Aceh adalah Kerajaan pertama di kawasan Timur yang memberikan pengakuan
kepada Kerajaan Belanda setelah lepas dari kekuasaan Spanyol dalam Perang 80
Tahun. Hubungan persahabatan demikian terjadi juga dengan Inggris di masa Ratu
Inggris Elisabeth I, dan dengan Prancis semasa Louis XIII, pada masa Sultan
Iskandar Muda. Tapi, dalam persaingan dagangnya dengan Portugis, Belanda justru
berusaha menancapkan kukunya di Aceh.
Sebelum itu, pada abad ke-16 itu juga Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Kahhar
(1537-1571) mengirim delegasi ke Turki dalam upaya mendapatkan perlengkapan
perang guna menghadapi Portugis. Turki mengirimkan armada, termasuk alat-alat
perang berupa meriam serta tenaga ahli pembuat senjata perang, sejumlah ahli
bangunan benteng, ahli perkapalan, dan instruktur militer. Setahun kemudian,
hal itu diikuti dengan pembentukan sebuah akademi militer di Aceh, sebagai
satu-satunya akademi militer di luar Istanbul. Akademi ini telah menghasilkan
sejumlah ahli perang yang tangguh seperti Keumalahayati, Laksamana (perempuan).
Sejarah perjuangan yang memperlihatkan keberanian dan kegigihan orang Aceh
melawan penjajah Portugis, dan kemudian berhadapan dengan Belanda, telah
membawa Aceh lebih terkenal dari daerah lain mana pun di Indonesia.
Dalam persetujuan yang dicapai antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Inggris
(Traktat London tahun 1824) dinyatakan bahwa Belanda tidak akan melakukan
tindakan permusuhan terhadap Kerajaan Aceh, tapi ternyata kemudian Belanda
mengkhianati persetujuan itu. Akibatnya, dalam perjalanan sejarah setelah 1824,
konflik-konflik antara kedua kerajaan itu tak dapat dihindari. "Pada tahun
1829, Belanda menyerang Barus yang dikuasai oleh Aceh. Serangan Belanda dapat dipatahkan
oleh pasukan Aceh" (73). Sejak saat itu, agaknya, hubungan kekerasan
antara kedua pihak sudah tak kunjung reda. Harga diri orang Aceh memang sangat
tinggi.
Hubungan Aceh-Belanda ini sebenarnya tak hanya di medan perang, tapi
lebih-lebih dalam hubungan politik dan diplomasi. Mereka saling mengirim
delegasi dan beberapa kali mengadakan perundingan. Keduanya rupanya sama-sama
ulet, dalam diplomasi ataupun militer. Banyak contoh yang dapat dikemukakan di
medan pertempuran, seperti peranan ulama Tgk. Chik di Tiro, Syaikh Saman, Teuku
Umar, yang kemudian dilanjutkan oleh istrinya, Cut Nya' Dien, dan Teuku
Mohammad Chi' Tunong, yang tewas tertembak, yang perjuangannya juga diteruskan
oleh istrinya, Cut Meutiah.
Buku ini disudahi dengan tiga bab penutup: Kontak Kebudayaan dan Pendidikan
Modern di Aceh pada Awal Abad XX, Persepsi Mengenai Nasionalisme
dalam Pembangunan pada Masyarakat Provinsi Aceh, dan Aceh dalam Bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sayang, isi buku yang bagus ini dengan referensi yang luas kurang diimbangi
oleh penerbitannya. Bab-babnya dibiarkan tanpa nomor. Dan yang sangat penting,
indeks pun tidak ada.
Perjalanan sejarah Aceh secara ringkas direntang dalam buku ini hingga masa
timbulnya berbagai gerakan setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai akhir
abad ini.
Guru besar ilmu sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada itu
mengakhiri kumpulan tulisannya dengan mengatakan, "Dalam perjalanan waktu,
maka pada tahun 1989 bertambah terasa gerakan Tgk. Hasan Tiro yang hendak menghapuskan
UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia, mempertinggi provokasi-provokasi yang
dapat diinterpretasikan sebagai gangguan-gangguan keamanan. Reaksi pemerintah
pusat di Jakarta adalah gerakan seperti itu perlu dihentikan sebelum bertambah
meluas dan dijadikan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM). Sayangnya,
operasi militer yang dijalankan itu dalam pelaksanaannya telah berlangsung
tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar