Memperingati
100 tahun Cut Meutia (25 Oktober 1910-25 Oktober 2010), diadakan kunjungan ke
Rumah Cut Meutia di Matangkuli. Saya ikut rombongan dan ketika berada di sudut
rumah pahlawan itu menjadi teringat semangat juang Pang Nanggroe, suami ke tiga
Cut Meutia. Di depan rumah terlihat Teuku Rusli, salah seorang keturunan Cut
Meutia yang sedang berkisah tentang perjuangan neneknya. Ia dihujani pertanyaan
para penziarah. Sayang pertemuan tersebut sedikit orang membicarakan kisah Pang
Nanggroe, panglima gagah berani, ahli strategi gerilia yang pernah dijuluki
Napoleon Aceh oleh Belanda. “Napoleon Atjeh” (in zijn soort, en met
inachtneming van het verschil in dimensies, was hij een Napoleon) Dalam catatan
Belanda, gerakan pasukan Pang Nanggroë sangat aktif dan menggempur di mana-mana
sehingga pasukan Belanda tidak pernah istirahat. Gempuran-gempuran pasukan Pang
Nanggroe amat sulit dipatahkan dengan daya tempur yang tinggi, penuh tipu
muslihat dan licik dengan dibekali dengan semangat jihad bernyala-nyala.
Gerakan Pang Nanggroe di mulai dari Pasai, Keureuto, Lhokseukon sampai ke Keude Bawang Idi. Untuk menghadang pasukan ini dikirim bala bantuan berupa koloni-koloni infanteri di bawah pinpinan opsir-opsir yang terlatih dari Kutaraja. Usaha itu, sungguhpun mempunyai arti moril cukup besar untuk memelihara semangat serdadu serdadu di garnizun Lhokseumawe, Lhoksukon dan pos-pos lain di sekitarnya. Namun tidak banyak memberi hasil dalam gerakan operasinya.
Gerakan Pang Nanggroe di mulai dari Pasai, Keureuto, Lhokseukon sampai ke Keude Bawang Idi. Untuk menghadang pasukan ini dikirim bala bantuan berupa koloni-koloni infanteri di bawah pinpinan opsir-opsir yang terlatih dari Kutaraja. Usaha itu, sungguhpun mempunyai arti moril cukup besar untuk memelihara semangat serdadu serdadu di garnizun Lhokseumawe, Lhoksukon dan pos-pos lain di sekitarnya. Namun tidak banyak memberi hasil dalam gerakan operasinya.
Untuk pasukan Pang Nanggroe ini, maka pemerintah Belanda membentuk pasukan elit dalam kesatuan Marsause yang dinamakan “Kolonne Macan” dan dikomandani Kapitein Hans Christoffel, seorang opsir yang cakap dan berani. Christoffel diberi hak seluas-luasnya untuk menyusun kesatuannya itu dengan sempurna. Dalam kesatuan ini berkumpul ahli ahli siasat perang yang pernah bertugas di Aceh. Ada juga pawang hutan pun dimasukkan dalam kesatuan ini. Untuk tujuan itu dia berangkat ke Jawa. Di garnizun militer Cimahi (Jawa Barat) dan beberapa tempat lain terdapat orang-orang bekas serdadu Marsose yang telah selesai bertugas di Aceh. Di antara mereka terdapat serdadu-serdadu yang masih memiliki militansi dan kemauan bernyala-nyala untuk berperang di Aceh.
Mereka yang telah memiliki pengalaman banyak dan menggondol jasa-jasa besar inilah yang dipilih Christoffel menjadi anak anak macan dalam kesatuan Kolonne Macannya itu. Mereka diberangkatkan ke Aceh. Untuk membedakan Kolonne Macan dengan Korps Marsose biasa, dan sebagai penonjolan ciri-ciri keberaniannya yang luar biasa, maka di samping, simbol jari-jari merah (berdarah) pada leher baju (seperti yang dipakai oleh serdadu marsose biasa). Ditambah lagi suatu ciri khusus yang menonjolkan kelebihan mereka dari segala-galanya, yakni lilitan kain merah di leher. Kekuatan pasukan Kolonne Macan satu divisi, terdiri dari 12 brigade.
Bagi
prajurit dan rakyat Aceh ternyata tak pernah gentas Dalam pertarungan
menghadapi Kolonne Macan, Pang Nanggroe yang didampingi oleh isterinya Cut
Meutia dan teman seperjuangannya seperti Teuku Ben Daud, Teuku Ben Pirak,
Teungku Paya Bakong alias Teungku di Mata Ie, Teungku di Barat, dan Pang Lateh
serta para pejuang lainnya. Bahkan pernah pada bulan Juni 1909 pada saat Pang
Nanggroe terkepung. Dia nekad mendobrak kepungan serdadu-serdadu Belanda sambil
menewaskan beberapa di antaranya. Menurut sejarah dia pernah bertempur di
rawa-rawa Jambô Aye, kemudian pindah ke kebun-kebun lada Peutoe, kemudian ke
Jambo Aye lagi, seterusnya ke Matang Raya dan sekitarnya.
Akhirnya, pada tanggal 24 September 1910, Sersan Van Sloten dari kesatuan Kollene Macan Korps Marsose menuju rawa-rawa Paya Cicem. Pang Nanggroe dan para pejuang Aceh lainnya. Tanggal 26 berikutnya brigade tersebut memasuki pedalaman daerah Peutoé’. Mereka menyelusuri jejak-jejak kaki manusia yang menuju ke suatu arah. Ketika sedang istirahat dekat rawa-rawa, mereka mendengar orang bercakap-cakap agak ramai. Pasukan Van Sloten dibagi dua kelompok. Yang pertama bergerak ke lambung kanan. Van Sloten sendiri bersama sebagian anggota pasukannya menuju lambung sebelah kiri. Ketika berbunyi tembakan pancingan dari kesatuan Kollene Macan ini, suasana berubah seketika. Seruan “Allahu Akbar” tiada henti-hentinya berkumandang di angkasa hutan belantara itu. Pergumulan terjadi sangat seru, saling bunuh-membunuh tak mengenal ampun.
Akhirnya, pada tanggal 24 September 1910, Sersan Van Sloten dari kesatuan Kollene Macan Korps Marsose menuju rawa-rawa Paya Cicem. Pang Nanggroe dan para pejuang Aceh lainnya. Tanggal 26 berikutnya brigade tersebut memasuki pedalaman daerah Peutoé’. Mereka menyelusuri jejak-jejak kaki manusia yang menuju ke suatu arah. Ketika sedang istirahat dekat rawa-rawa, mereka mendengar orang bercakap-cakap agak ramai. Pasukan Van Sloten dibagi dua kelompok. Yang pertama bergerak ke lambung kanan. Van Sloten sendiri bersama sebagian anggota pasukannya menuju lambung sebelah kiri. Ketika berbunyi tembakan pancingan dari kesatuan Kollene Macan ini, suasana berubah seketika. Seruan “Allahu Akbar” tiada henti-hentinya berkumandang di angkasa hutan belantara itu. Pergumulan terjadi sangat seru, saling bunuh-membunuh tak mengenal ampun.
Setelah pertempuran reda, beberapa jam kemudian barulah diketahui bahwa korban yang jatuh terlalu banyak kedua pihak. Salah seorang yang menjadi korban ialah Pang Nanggroë, pemimpin perjuangan yang amat disegani musuh. Ketika mendengar tembakan marsose, Pang Nanggroe dengan gesit bergerak kian ke mari memberi komando kepada pasukannya. Kemudian sambil menghunus pedang, ia sendiri meloncat ke arah musuh. Van Sloten yang sejak tadi mengamat-amati Pang Nanggroé’, membidiknya dengan tembakan, tetapi tiada mengenai sasaran. Ketika Pang Nanggroë berusaha membunuh Van Sloten, tiba-tiba sebutir peluru menembus dadanya. Menjelang akhir hayatnya, berulang-ulang ia mengucapkan zikir memuji Ilahi. Ketabahan terbayang pada air mukanya yang semakin pucat kehabisan darah. Dia sempat meminta isterinya Cut Meutia dan teman temannya yang lain untuk meluputkan diri dari tangkapan musuh. Mayat Pang Nanggroe diangkat oleh pasukan Kollone Macan dan dikebumikan di Lhokseukon.
Cerita mengenai Kollone Macan versus Pang Nanggroe menunjukkan cerita perang di Aceh diwarnai oleh kesungguhan Belanda untuk melumpuhkan musuh mereka. Taktik Collone Macan ini memang dilakukan, untuk menghentikan perang geriliya. Sehingga yang menjadi pasukan disini, bukan hanya mereka yang memanggul senjata, tetapi segenap keahlian lain yang dipandang mendukung operasi. Taktik seperti ini memang sering berhasil. Operasi pasukan Collone ini kemudian dicatat sebagai pasukan terakhir yang dimiliki oleh Belanda di Aceh. Ini menunjukkan bahwa taktik perang gerilya pasukan Aceh juga tidak kalah dibandingkan dengan Belanda.
Sosok Pang Nanggroe juga memperlihatkan bagaimana seni perang yang dimainkan ketika melawan Belanda. Dia walaupun tidak punya latar belakang ilmu peperangan, tetapi mampu mengundang decak kagum pihak musuh, dari sisi strategi perangnya. Ini membuktikan bahwa orang Aceh memang memiliki seni perang yang amat tinggi. Seni perang inilah yang telah ditunjukkan selama hampir dua abad lebih. Saya melihat keunggulan Pang Nanggroe ini telah banyak ditiru oleh generasi Aceh selanjutnya. Sebab selama perang di Aceh, pasukan seperti Collone Macan memang banyak sekali. Mereka seperti “hantu” di malam hari, dan seperti “elang” di siang hari. Mereka mampu mengendus musuh di mana saja. Saya sendiri masih mencari tahu kenapa Collone Macan ini terus dikembangkan di Indonesia. Sebab di dalamnya, ternyata adalah pasukan yang tidak memakai senjata, namun punya cara melumpuhkan musuh.
Sejarah perang di Aceh memang meninggalkan seribu kisah, termasuk seni perang. Karena itu melihat potensi alam Aceh yang masih dipenuhi hutan belantara, sangat mungkin masih banyak sekali “Pang Nangroe” dan “Collone Macan” yang masih bergentayangan hingga hari ini. Karena itu, dalam catatan sejarah ini, setidaknya, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya di dalam sejarah perang Aceh, apa yang terjadi hari ini, pada hakikatnya adalah bukan hal yang baru. Hanya saja, mungkin sejarahnya sedang berhenti di suasana perdamaian. Untuk kita berharap semangat Pang Nanggroe ini perlu dipertahankan di dalam mengisi perdamaian. Sebab, sampai kapan pun Collne Macan tetapi melakukan operasi seperti pada zaman Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar