Orang pertama memperkenalkan karya ulama besar dari
Aceh ini merupakan Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi. Karya yang
dimaksud itu berjudul Sirajuz Zhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahasi fis Syuhuri
wal Aiyam, yang dicetak pada bagian pertama grup Tajul Muluk.
Kemudian ditemukan karyanya yang berjudul Qunu 'liman
Ta'aththuf yang masih dalam bentuk manuskrip, beberapa buah tersimpan di Museum
Islam Pusat Islam Kuala Lumpur, juga di Pusat Manuskrip Melayu Perpustakaan
Negara Malaysia dan koleksi penulis sendiri.
Karena itu, penulis mulai melacak secara serius dan
mengumpulkan data mengenai ulama besar Aceh tersebut.
Secara tidak disengaja, dua kertas kerja yang
dibentangkan dalam Bengkel Sejarah Bahasa Melayu Dari Berbagai Kota (anjuran
Bagian Penelitian Bahasa (DBP) dan Institut Bahasa, Kesusasteraan dan
Kebudayaan Melayu (UKM 1992), ada sedikit informasi tentang ini.
Dalam kertas kerja yang dibentangkan oleh Tuanku Abdul
Jalil yaitu seorang Sekretaris Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh
menyebutkan, "... Ulama Besar Syaikh Abbas bin Muhammad bergelar Teungku
Chik Kutakarang ...".
Dalam kertas kerja M. Adnan Hanafiah tertulis,
"Seorang ulama lainnya, Syeikh Abbas Kuta Karang di Aceh Besar, selaku
penulis, tabib, ahli ilmu astronomi, berkedudukan Kadi Malikul Adil pada masa
pemerintahan Sultan Alaidin Ibrahim Mansur Syah (1857-1870) ...".
Syeikh Abbas sendiri menulis serba ringkas asal
usulnya, yaitu "... Syekh Abbas, Aceh nama negerinya, Masjidul Jami 'Ulu
Susu tempatnya, kejadiannya, Kuta Karang nama kampungnya".
Syeikh Ismail bin Abdullah Muthallib al-Asyi
mencatatkan, "... Syeikhuna wa qudwatuna asy-Syeikh Abbas orang Aceh. Lagi
sangat tabahhur pada sekalian fan ilmu handasah dan ilmu falakiyah ..."
Tahun lahir dan pendidikan dasar ketika masih
anak-anak belum dapat dideteksi dengan pasti. Kita hanya dapat membandingkan
tahun-tahun kehidupannya, seperti disebutkannya selesai menulis Qunu '1259
H/1843 M, selesai menulis Sirajuz Zhalam 1266 H/1849 M.
Ini berarti penampilan aktivitasnya agak belakangan
sedikit dari dua orang ulama besar Aceh bernama Syekh Muhammad bin Khathib
Langien karyanya Dawaul Qulub, 1237 H/1821 M dan Syekh Muhammad bin Syeikh
Abdullah Ba'id (karyanya Hukum Jarah 1236 H/1820 M).
Kebetulan Tuanku Abdul Jalil juga menyebut bahwa nama
ayah Syeikh Abbas adalah "Muhammad". Kemungkinan saja Syeikh Abbas
yang diriwayatkan ini adalah anak salah seorang dari Syeikh Muhammad yang
tersebut itu. Jika kita dapat ketahui nama kakeknya, maka hal yang rumit itu
dapat diselesaikan. Tidak mustahil pula kemungkinan Syeikh Abbas adalah murid
kepada kedua ulama itu.
Beberapa informasi yang dapat dideteksi bahwa Syeikh Abbas bin Muhammad al-Asyi tersebut melanjutkan pelajarannya ke Mekah. Di Mekah dia bersahabat dengan Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ismail Minangkabau, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Muhammad Shalih Rawa dan banyak lagi.
Ulama yang berasal dari dunia Melayu tempat mereka
belajar adalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan Syeikh Abdus Shamad
al-Falimbani. Hanya dua ulama itu saja yang terdeteksi sebagai gurunya yang
berasal dari Tanah Jawi (Asia Tenggara), selain turut belajar dari beberapa
ulama yang berasal dari bangsa Arab sendiri.
Di antara mereka adalah: Saiyid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki, Syeikh Utsman ad-Dimiyathi, Syeikh Muhammad Sa'id Qudsi, Syeikh Muhammad Shalih bin Ibrahim ar-Rais, Syeikh Umar Abdur Rasul, Syeikh Abdul Hafiz al-Ajami dan ramai lagi .
Belum ditemukan riwayat yang jelas aktivitasnya di Mekah selain belajar, hanya sebagai selingan pada waktu-waktu terluang, ia mencoba menulis kitab. Kegiatan mengajar baik di rumah maupun di Masjidil Haram pun tidak ada keterangan mengenai itu. Apa yang jelas bahwa Syeikh Abbas Aceh pulang ke kampungnya membawa ilmu pengetahuan yang sangat banyak dalam berbagai bidang disiplin ilmu.
Karya dan pemikiran
Karya Syeikh Abbas Aceh yang diketahui secara lengkap
adalah sebagai berikut:
1. Qunu 'liman Ta'aththuf, diselesaikan pada 8
Rabiulakhir 1259 H/1843 M di Mekah. Manuskrip judul ini tersimpan di Museum
Islam Pusat Islam dengan nomor MI 220, disalin oleh Muhammad Kadak bin Ismail
Jering, Kampung Dala, Pattani, pada bulan Rajab. Penyalin berasal dari Kampung
Bendang Daya Pattani, tanpa kenyataan tahun penyalinan. MI 513 disalin pada
1296 H/1878 M, dan MI 670 manakala yang tersimpan di Pusat Manuskrip Melayu
pula adalah MS 221 (B) disalin pada hari Selasa, Syakban 1296 H/1878 M di
Mekah. Selain itu, ada juga koleksi penulis sendiri dari bekas kepunyaan
Muhammad Abdur Rahman bin Lebai Muhammad, Kampung Kepala Bukit, Senggora,
disalin pada 1300 H/1882 M.
2. (Sirajuz Zhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahasi fisy Syuhuri wal Aiyam), diselesaikan pada waktu Dhuha, Senin, 9 Rajab 1266 H/1849 M. Disalin oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi pada hari Sabtu, 28 Rabiulawal 1306 H/1888 M di Mekah. Cetakan mutawal yang telah ditemukan dalam judul Tajul Muluk oleh Matba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 H/1893 M. Ditashhih oleh Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyi kemudian diperiksa kembali oleh gurunya Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.
3. Kitabur Rahmah.
4. Tazkiratur Rakidin
5. Mau 'izhatul Ikhwan
Kitab ketiga dan keempat disebut oleh Tuanku Abdul
Jalil dalam kertas kerjanya. Menurutnya, Tazkiratur Rakidin, berbentuk prosa
Malayo-Aceh, Naskah Leiden, 1304 H. Selain dua kitab ini kitab kelima juga
disebut oleh M. Adnan Hanafiah dalam kertas kerjanya.
Apabila kita periksa keseluruhan karya Syeikh Abbas
Aceh, ia menyentuh disiplin ilmu falakiyah, hisab, hikmah, fiqh, kedokteran,
sastra dan politik.
Pada bagian akhir karyanya Qunu 'liman Ta'aththuf,
Syeikh Abbas Aceh menyebutkan bahwa dia oleh Mazhab Syafi'i dan amalannya oleh
Tarekat Khalwatiyah. Lainnya Qunu 'liman Ta'aththuf pada bagian akhirnya
terdapat dua risalah sebagai tambahan yang dipercaya merupakan catatan Syeikh
Abbas Aceh.
Risalah yang pertama mengenai masalah anjing dan
pamflet yang kedua, masalah hukum meninggalkan shalat. Masalah anjing yang ia
tulis, "Orang wathi '(menjimak) anjing atau anjing wathi' orang maka
beranak jadi manusia, maka wajib atasnya shalat dan puasa. Dan jikalau ia alim,
jadi kadi, maka sah ia menikah dengan orang. Dan dijadikan iman pun sah, tetapi
haram sembelihannya. Dan jikalau ayahnya orang dan ibunya anjing, dan anaknya
jadi orang, maka sah berimam akan dia, dan sembelihannya haram jua. Dan air
matanya, dan air liurnya, dan ... (naskah rusak), dan basah farajnya, maka
sekalian itu suci. Khilaf bagi Syeikh Ibnu Hajar dan Syeikh Ramli "
Kita periksa pula Sirajuz Zhalam, pada bagian Mukadimah, Syeikh Abbas Aceh menulis, "Maka bahwasanya bertitah oleh orang yang empunya kebesaran dan kemegahan pangkatnya, adalah yang menanggung panji-panji syariat dalam negeri Aceh yang mahrus, dan itulah tuan kita, sultan yang kebesaran pangkatnya , dan kemuliaan nasabnya, dan kebesaran kepujiannya, itulah sultan yang dilaqab dengan sultan Manshur Billah Syah ibnu Sultan Johor al-Alam Syah.
Akan bahwasanya aku kerjakan baginya suatu risalah
yang Mukhtasar dengan bahasa Jawi pada menyatakan mengenal segala hari bulan
Arab. Dan mengenal segala saat bagi segala hari dan dari bulan ...",
demikian yang tertulis pada semua Sirajuz Zhalam yang pernah dicetak.
Tetapi ada beberapa manuskrip di kata "... ibnu
Sultan Johor al-Alam Syah" itu ditulis dengan "... ibnu Sultan
Fathani al-Alam Syah". Ada tiga tempat dalam kitab Sirajuz Zhalam itu
menyebutkan nama itu, dan pada ketiga tempat itu semuanya berbeda tulisannya,
"... ibnu Sultan Johor al-Alam Syah" atau "... ibnu Sultan
Fathani al-Alam Syah".
Sebagaimana disebutkan bahwa salah seorang guru Syeikh
Abbas Aceh adalah Syeikh Ahmad / Muhammad al-Marzuqi, pada Mukadimah juga
Syeikh Abbas Aceh menyebut ulama itu dengan "Syaikhuna". Dia juga
menyebut karya ulama itu yang berjudul Syarh Natijati Miqat sebagai pegangannya
mengenal 'ilmu Nujum' (ilmu perbintangan atau astronomi).
Sebagaimana pada judul artikel ini telah penulis
sebutkan bahwa Syeikh Abbas Aceh adalah seorang astronom dunia Melayu.
Astrologi adalah disiplin ilmu yang membicarakan baik
dan buruk manusia yang dihitung menurut perjalanan perbintangan, planet dan
bulan.
Sebenarnya Sirajuz Zhalam bukan hanya membicarakan
persoalan itu saja, tetapi adalah bersifat menyeluruh, bab pertama, mengenal
sejarah bulan Arab. Tentang ini Syaikh Abbas Aceh merujuk kepada kitab
Wasilatut Thullab karya Syeikh Yahya bin Muhammad al-Hattab al-Maliki.
Dimulai dengan perpindahan Nabi s.a.w. dari Mekah ke
Madinah, awalnya dengan hisab itu pada hari khamis, dan dengan ru'yat itu pada
hari Jumat. Dibicarakan pula istilah tahun kabisah dan basitah dan lain-lain.
Pendek kata kitab Sirajuz Zhalam adalah merupakan
sebuah kitab yang bercorak sains yang merupakan pembuka jalan untuk kita
membandingkan dengan buku-buku ilmu pengetahuan modern dalam bidang ilmu
falakiyah, hisab, astrologi / astronomi dan sebagainya.
Baik pada tingkat awal bahkan sampai sekarang memang
tidak banyak ulama dunia Melayu kita membicarakan ilmu yang itu, apakah yang
tersebar berupa bahan tercetak dan yang bercorak klasik satu-satunya hanyalah
kitab Sirajuz Zhalam.
Yang berupa manuskrip pula bisa dikatakan hampir-hampir tidak ditemukan. Dalam koleksi penulis, terdapat sebuah manuskrip yang tidak diketahui nama pengarangnya.
Penutup karyanya itu, Syeikh Abbas Aceh menganjurkan
supaya merujuk kepada kitab-kitab yang terkenal yaitu Risalah Imam Ja'far
as-Shadiq, Risalah Abu Ma'syaril Falaki, Wasilatut Thullab, 'Umdatut Thalib,
Syamsul Ma'arif al-Kubra, Syarhu Nazhmi Natijatil Miqat, Syarhu Sirajil Munir,
Syarhu Nazhmil Kawakib, dan banyak lagi yang tidak ia menampilkan tetapi
disebut di beberapa tempat di antaranya Qanunus Siyasah.
Ada pun Kitabur Rahmah, menurut M. Adnan Hanafiah,
kandungannya membicarakan ilmu tabib dan obat-obatan. Tazkiratul Rakidin,
peringatan bagi yang terlambat dalam bentuk puisi dan prosa dalam bahasa
Malayo-Aceh. Mau'izhatul Ikhwan, yaitu pengajaran kepada teman, karya ini
berbentuk prosa dalam bahasa Malayo-Aceh juga.
Menurut M. Adnan Hanafiah juga, bahwa Syeikh Abbas
Kutakarang mengatakan dalam risalahnya, "segala bentuk perbuatan yang
memberi manfaat kepada kafir dihukumkan orang itu menjadi
kafir". Barangkali pemikirannya itu mencerminkan bahwa dia adalah
seorang ulama yang sangat anti terhadap Belanda yang melampaui batas dan
menjajah Aceh pada zaman itu.
Mantap Bang...
BalasHapus