Setiap
negeri memiliki pemimpinya. Itulah jargon realitas yang kita temui. Dalam
kearifan masyarakat Aceh, hal tersebut tercermin dalam hadih maja lampôh
meupageu umong meupitak, nanggroe meusyarak maséng na raja. Karena itu,
kearifan dalam kepemimpinan yang dianut masyarakat Aceh sejak lampau bahwa
seorang pemimpin itu seolah raja yang mesti jadi panutan, guguan, dan tiruan.
Jika pemimpin tidak baik, ditakutkan pengikutnya juga akan mengambil jalan tak
baik.
Hal ini bukan hanya tergambar pada hadih maja Aceh, tetapi hampir semua peribahasa atau pepatah dalam bahasa apa saja disebutkan. Untuk bahasa Indonesia sendiri ada ungkapan kalau guru kencing berdiri, anak kencing berlari. Dalam bahasa Jawa ada pepatah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani. Dalam bahasa Minang ada juga bidal indak jauah buah jatuah dari batang. Sedangkan bagi orang Aceh disebutkan, pakiban u meunan minyeuk, pakiban abu meunan aneuk.
Kalimat
tegas dan lugas oleh peribahasa tersebut ditamsilkan bahwa dalam sebuah
wilayah atau kesatuan, ada yang diikuti dan ada yang mengikuti. Lazimnya, yang
mengikuti itu tidak jauh beda dengan yang diikuti. Yang diikuti di sini,
meskipun ada yang menamsilkan dalam peribahasa dengan kata guru atau abu, maksudnya
adalah pemimpin. Akibatnya, kalau pemimpin berbuat salah, pengikut akan
berguru pada yang salah. Karena itu, kearifan ureueng Aceh mendidik masyarakat
agar memilih pemimpin sesuai dengan kemampuan atau kapasitasnya. Dengan kata
lain, berikan suatu pekerjaan pada yang ahlinya. Ini sangat jelas ditegaskan
dalam hadih maja berbentuk syair berikut.
//yang utôh tayue ceumulék/ yang lisék tayaue keunira
yang baca tayue ék kayèe/ yang dungèe tayue jaga kuta
yang beu-o tayue keumimiet/ yang meugriet tayue meumita
yang malém tayue beut kitab/ yang bansat tayue rabé guda
yang bagah tayue seumeujak/ yang bijak tayue peugah haba//
‘si tukang disuruh mengukir/ orang teliti atau cermat diminta menghitung
orang yang lincah disuruh naik pohon/ yang tampang bengis diminta jaga kota
yang malas disuruh menghuni padi/ yang suka sibuk disuruh mencari
yang alim disuruh baca kitab/ yang bangsat disuruh jaga kuda
yang gesit disuruh bepergian/ yang bijak diminta bertutur kata’
Jika yang
dimaksudkan oleh hadih maja tersebut dilaksanakan oleh masyarakat dan tak
terkecuali oleh pemimpin kita dalam memberikan tugas/jabatan kepada bawahan,
tentunya petaka pemimpin masuk penjara tak perlu terdengar di negeri ini.
Apalagi, yang masuk penjara itu seorang Kepala Dinas Pendidikan. Bukankah
seorang kadis merupakan salah satu pemimpin juga? Yang lebih ironis adalah
Kadis Pendidikan yang merupakan gurunya para guru.
Akan tetapi, ini lah realisme di negeri kita. Kebiasaan menyelewengkan kepercayaan seakan sudah menjadi gejala regenerasi. Sebelum Kadis Pendidikan, gubernur di negeri ini pun pernah di penjara karena kasus yang sama, yakni “makan” uang yang bukan jatahnya. Tak terkecuali, beberapa bupati di provinsi kita juga pernah mendapat “hak” yang sama untuk sampai ke “hotel prodeo”. Sebut saja di antaranya bupati di sebelah utara Aceh dan bupati di sebelah selatan Aceh.
Selain itu,
kita juga mengamati tingkah lain dari pemimpin kita yang tak semestinya
dilakukan oleh seorang panutan di negeri ini, sebab—seperti saya sebutkan di atas—pemimpin
bagi orang Aceh adalah raja yang merupakan guru bagi rakyatnya. Misalkan saja
apa yang dilakukan oleh Bupati Aceh Selatan dalam acara Pekan Kebudayaan Aceh
(PKA) V, 5 Agustus kemarin, sungguh sebuah perkara yang mesti diperhitungkan.
Sebagai orang Aceh, seperti apa pun sakit hati, seorang pemimpin tak etis
membuka baju hingga telanjang dada di hadapan orang ramai. Apalagi, saat
menyambut kedatangan tamu kehormatan. Semarah apa pun kita, sebagai pemimpin
baiknya bersikap bijaksana. Indatu kita menganjurkan surôt lhèe langkah
meureundah diri, mangat jituri tanyoe bijaksana.
Oleh sebab itu, persoalan mundurnya kontingen Aceh Selatan dalam PKA V dapat dianggap sebagai perkara “merendah diri”. Namun, soal buka baju—apalagi baju kebesaran adat—ini mesti ditinjau ulang lagi. Ah, ada-ada saja pemimpin negeri ini. Semoga ke depan pemimpin kita benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan. Amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar