Di Sumedang tak banyak orang tahu
perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu
saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga
sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya
sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan
perjuangannya di Aceh pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan
kepada Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran
Makkah. Melihat perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak
menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di
belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal
dan dirawat.
Sebagai tahanan politik, perempuan
yang kemudian oleh masyarakat digelari ibu Perbu (Ratu) itu, jarang keluar
rumah. Tapi banyak sekali ibu dan anak setempat yang datang mengunjunginya,
untuk belajar mengaji meskipun dalam keadaan mata yang sudah rabun --karena
banyak sekali ayat suci yang dihafalnya. Kegiatan lain selain mengajar mengaji
hanyalah berdzikir dan beribadah di sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Ia
terus bertaqarrub kepada Sang Pencipta serta menikmatinya, seolah meninggalkan
keinginan duniawi.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga
6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di
Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak
jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu
siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu,
bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih
generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari
pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan
wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat.
Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12).
Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet
Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun
dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Pada 2 Mei 1964, melalui Surat
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106, Tjoet Njak Dien ditetapkan
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, sebagai penghargaan terhadap
jasa-jasanya yang besar. Makamnya kemudian dipugar dan dibangun sebuah
meunansah (mushala) di dekatnya.
Tjoet Njak Dien lahir pada 1848 dari
keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku
Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari
pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada
permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda
Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri
bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya
pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru
agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi
atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari,
didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat
kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah,
teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh
orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga
putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan
agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah
semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir
(Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga
sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya
kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang
anak laki-laki.
Ketika perang Aceh meletus tahun
1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh
peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan
istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam
peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya.
Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang,
sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan
semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang
dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang
berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam
perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh.
Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, "Hai sekalian
mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid
kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah
dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita
melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka
mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka
menjadi budak Belanda?" (Szekely Lulofs, 1951:59).
Bertahun-tahun peperangan kian
berkecamuk. Karena keunggulan Belanda dalam hal persenjataan dan adanya
pengkhianatan satu per satu benteng pertahanan Aceh berjatuhan, termasuk Kuta
(benteng) Lampadang. Karena terdesak Tjoet Njak Dien beserta keluarganya
terpaksa mengungsi. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim
Lamnga gugur, yang konon karena penghianatan Habib Abdurrahman.
MESKI kematian suaminya menimbulkan
kesedihan yang dalam bagi Tjoet Njak Dien, tapi ini tak membuatnya murung dan
mengurung diri. Sebaliknya, semangat juangnya kian berkobar. Sebagai seorang
janda yang masih muda dengan seorang anak, ia tetap ikut bergerilya melawan
Belanda. Menurut orang yang dekat dengannya, Tjoet Njak Dien pernah bersumpah
hanya akan menikah dengan orang yang turut membantunya melawan Belanda.
Kehadiran seorang figur seperti
Teuku Umar yang juga adalah pemimpin perjuangan yang gagah berani, sangatlah
berarti bagi rencana perjuangan Tjoet Njak Dien. Meski masih saudara sepupu,
dia baru bertemu dengan Teuku Umar saat upacara pemakaman suaminya. Karena
sama-sama terikat dalam Sabilillah maka pasangan ini kemudian menikah pada
1878.
Perlawanan terhadap Belanda kian
hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan
menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan.
Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling
berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan
semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan
kebiasaan buruknya.
Selanjutnya Tjoet Njak Dien terpaksa
meninggalkan Montesik, karena kepala Mukim menyerah pada Belanda. Pada saat
itulah Tjoet Njak Dien melahirkan putrinya yang diberi namaTjoet Gambang yang
kemudian dinikahkan dengan Teungku Di Buket, anak laki-laki Teungku Tjik Di
Tiro (ulama dan pejuang Aceh, juga merupakan salah seorang Pahlawan Kemerdekaan
Nasional Indonesia). Anak dan menantu Tjoet Njak Dien ini pun gugur sebagai
syuhada melawan Belanda.
Peristiwa menggegerkan yang dinamakan
"Sandiwara Besar" terjadi ketika Teuku Umar melakukan sumpah setia
pada Belanda. Ketika sudah mendapatkan berbagai fasilitas, Teuku Umar justru
berbalik melawan Belanda. Kemarahan Belanda membuat Tjoet Njak Dien dan Teuku
Umar beserta para pengikutnya yang setia terpaksa memasuki hutan rimba. Dari
belantara inilah Teuku Umar memimpin perlawanan.
Dalam sebuah serangan ke Meulaboh
Teuku Umar tertembak pada 11 Februari 1899. Dengan tabah dan tawakal Tjoet Njak
Dien menerima berita duka ini. Sepeninggal Teuku Umar, Tjoet Njak Dien memimpin
langsung perlawanan.
Sejak meninggalnya Teuku Umar,
selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap
beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya
dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien
melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di
dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian
menurun. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya,
menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba
terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang
Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia
menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa
syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah
tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap
menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya Allah ya Tuhan inikah nasib
perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir".
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Penempatan Tjoet Njak Dien di
Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya. Karena khawatir masih bisa
menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Tjoet Njak Dien terpaksa dijatuhi
hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berrati mengingkari salah satu butir
perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
Perjuangan Tjoet Njak Dien
menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan
kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang
merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda
dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang
memegang peranan penting dalam berbagai sektor.
Menjelang akhir hidupnya, di
Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet Njak Dien masih juga
berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap penjajahan
kebodohan. Allahu Akbar. (Ida S. Widayanti/ Suara Hidayatullah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar