Pertanyaan
di atas sangat mengusik lubuk hati mereka yang tengah berkuasa dan menikmati
kekuasaannya di ibukota Jakarta. Mereka sangat sensitif dengan
pertanyaan-pertanyaan seumpama itu karena dalam benak mereka NKRI itu dijadikan
harga mati, kalau mati NKRI harus sama-sama mati dengan mereka. Sebetulnya,
ditinjau dari sudut manapun juga tidak ada ketentuan yang memberi harga mati
kepada NKRI dalam konteks kenegaraan.
Di antara
tujuan mendirikan sesuatu negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya, untuk
memberi keamanan kepada rakyatnya, untuk memastikan semua hukum dan
perundang-undangan berjalan lancar di sana dan untuk memajukan Islam serta
meningkatkan iman dan amal shalih bangsanya (khusus buat muslim).
Lalu kalau
semakin lama NKRI wujud semakin compang camping dan mengorbankan rakyatnya,
maka kenapa harus Indonesia? Kalau semakin lama wujudnya NKRI semakin tidak
punya keamanan terhadap rakyatnya, maka mengapa mesti Indonesia? Kalau semakin
lama wujud NKRI semua hukum dan perundang-undangannya tidak berjalan semestinya
maka kenapa harus Indonesia? Khusus buat muslim dan muslimah, kalau semakin
lama bertahannya NKRI semakin hancur Islam dan Hukum Islam di dalamnya, maka
kenapa pula harus NKRI?
Sebaliknya;
kalau sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Aceh telah berjaya mendirikan
sebuah negara dan dapat mensejahterakan rakyatnya, maka kenapa tidak boleh
Aceh? Kalau sejarah telah mencatat bahwa Kerajaan Aceh Darussalam yang berusia
berabad-abad lamanya telah mampu dan sukses memberikan keamanan dan kesejahteraan
kepada rakyatnya, maka kenapa pula tidak boleh Aceh? Kalau bangsa Aceh telah
berjaya mewujudkan dan mengamalkan Hukum Islam dalam Negara Aceh dahulu kala,
maka kenapa mesti bersama Indonesia? Kalau sejarah telah mencatat bahwa bangsa
Aceh mampu menyaingi bangsa-bangsa lain di permukaan bumi ini dalam wadah
Ke-Aceh-an, maka kenapa harus bersama NKRI?
Sesungguhnya
tidak ada seorangpun yang berhak menghambat, melarang atau menyuruh orang Aceh
harus begini atau begitu dalam konteks kenegaraan hari ini kalau Indonesia dan
prilaku penguasanya masih tetap jahil dan biadab. Hanya ketentuan Allah sajalah
yang punya wewenang tinggi untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan Bangsa Aceh
harus selaras dengannya.
Kalau Bangsa
Aceh sudah tercemar dengan gaya hidup mayoritas rakyat Indonesia yang ragu-ragu
dengan Hukum Islam, maka Aceh lama kelamaan akan menyatu dan identik dengan
Indonesia yang tidak berakar dan tidak berazas yang identitasnya perlu
dipertanyakan.
Akibat lama
bersama Indonesia wilayah Aceh tidak lagi mencirikan khas Aceh seperti dalam
bidang Islam, dalam bidang pendidikan, dalam bidang adat-budaya, dalam bidang
sosial kemasyarakatan, politik dan peradaban. Untuk kembali kepada identitas
dan digniti Aceh yang orisinal, bangsa ini perlu waktu yang lumayan panjang
untuk mengikis susupan-susupan peradaban luar yang kini menyatu dengan
kehidupan sebahagian masyarakat kita.
Pengembalian
digniti dan identitas tersebut akan cepat prosesnya kalau dilakukan dengan
power atau kekuasaan Aceh sendiri. Untuk mewujudkan power tersebut bangsa Aceh
harus memiliki pakar dalam berbagai bidang dan harus saling membantu, saling
menghargai dan saling memajukan negeri sendiri. Tidak boleh ada orang Aceh yang
menyalahkan orang Aceh lainnya karena persoalan khilafiah dan furu�iyah dalam
beribadah. Tidak boleh ada orang Aceh yang dengki dan benci kepada orang Aceh
lainnya karena tidak mengikuti cara dan amalan hidupnya.
Saling
membantu sesama Aceh untuk membolehkan Aceh dalam berbagai sisi kehidupan
menjadikan modal penting pengembalian identitas dan digniti Ke-Aceh-an.
Sekarang peluang untuk itu sudah terbuka lebar dan menganga dengan ambruknya
dua rezim diktator Indonesia (Orde Lama dan Orde Baru). Ditambah lagi dengan
terbukanya Aceh kedunia luar sehingga komunikasi luar-dalam Aceh tidak lagi
menjadi kendala. Banyaknya pemuda Aceh yang mencicipi pendidikan peringkat
master dan doktor di luar negeri menjadi fasilitas tersendiri untuk membolehkan
Aceh dan membiarkan Indonesia.
Melihat dari
sisi pandang historis Indonesia memang tidak punya dasar sebuah negara yang
berdaulat. Namun kajian politis ia telah diwacanakan dan diformatkan oleh para
penjajah di periode akhir (Belanda) untuk menjadi sebuah negara yang segala
atributnya telah dipasang kaum pejajah biadab.
Hukum yang
berlaku di Indonesia adalah Hukum Belanda (Verkelij Wetbook), pendidikan yang
wujud di Indonesia adalah sisa-sisa pendidikan Belanda, sistem politik yang ada
di Indonesia hingga hari ini adalah sistem politik warisan Belanda dan konsep
hidup kebangsaan juga peninggalan Belanda yang semuanya jauh dari konsep Islam
yang menyatu dengan Aceh dan Bangsanya.
Ketulusan
jiwa-raga para mujahidin Aceh untuk mempertahankan negara ini dengan penuh
harapan menjadi negara yang berjalan Hukum Islam telah dipreteli dan
dipermainkan penguasa Indonesia semenjak ia merdeka sampai hari ini. Akhirnya,
para mujahidin Aceh di periode awal dapat mengawal keutuhan aqidah dan
kemantapan syari'ah, namun generasi Aceh hari ini telah gagal mempertahankan
keutuhan aqidah dan kesempurnaan syari'ahnya.
Semua itu
disebabkan semua anak bangsa Aceh harus tunduk, ikut dan patuh kepada ketentuan
NKRI peninggalan dan setting Belanda. Lalu apa yang harus dilakukan sekarang
untuk menebus semua kekeliruan itu...? jawablah wahai bangsaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar