Oleh Chaerol Riezal
Siapa yang tidak kenal bila seseorang menyebut sebuah nama “Sultan Iskandar Muda” sebuah nama yang dikenang sepanjang masa, nama yang hampir diseluruh pelosok negeri Aceh ini sudah terlebih dahulu mengenal nama itu walaupun hanya sebagian sekedar tahu tentang sebutan nama saja. Tetapi itu sudah cukup untuk memberikan sebuah bukti bahwa Nama Sultan Iskandar Muda bukan sembarangan nama, bukan asal menyebut, bukan pula nama yang asing dikalangan rakyat Aceh. Beliau lah pahlawan kebanggaan rakyat Aceh yang sampai sekarang belum dibisa digantikan, baik berupa rekor yang dicapai maupun status, gelar, nama dan sebagainya.
Setelah mengikuti mata kuliah Sejarah Aceh I, saya berkenaan ingin menulis
sebuah tulisan tentang Sultan Iskandar Muda. Apalagi dalam diskusi makalah
diruang kuliah, kami dari kelompok 7 (Chaerol Riezal, Nurama Yuni, dan Eva Avini)
membahas tentang Kerajaan Aceh Darussalam. Dan dari sinilah saya takjub akan
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
yang berhasil membawa Aceh pada puncak kegemilangannya. Sejarah
Kerajaan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada
umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. “Kerajaan Aceh Darussalam Zaman
Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam
hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih
besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda, manusia yang seluruh hidupnya diserahkan mutlak bagi
negara dan kebesaran bangsa yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Dia
tidak pernah berfikir kapan namanya ditulis di lempengan emas, di atas
prasasti. Dia tidak pernah berfikir namanya akan jadi kontroversial di hari
kemudian. Satu yang ada di jiwanya: Bagaimana seluruh pelosok Aceh, dan rakyat
menikmati kesejahteraan yang berkeadilan, merdeka dan mampu menjadi negara
seutuhnya atas tanah warisan nenek-moyangnya.
Terlalu sedikit tempat dan waktu untuk menuliskan kegagahan dan
kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda dalam memimpin negara selama masa hidupnya.
Kalau kita mau jujur, kita seharusnya bangga dan berbesar hati memiliki kakek
moyang seperti Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam.
Dalam kurun
hampir 30 tahun masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda telah berhasil
menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal jamaah yang terdiri dari 500 ayat
Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah, Ijma' Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian dilengkapi pula dengan Qanun Putroe Phang
suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada Kaum Wanita.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah dikenal sebuah Kata
Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun
bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana/Bentara. Hukom Ngon Adat Lage Zat Ngon
Sifet, Hudep Sare Matee Syahet. Kata-kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup
bagi negara dan masyarakatnya (juga rakyat Aceh sekarang) untuk mengatur tata kehidupan
dalam menegakan kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan rakyat Aceh.
Tapi kemudian ‘’Sejarah’’ kebesaran Keajaan Aceh Darussalam yang dikenal hampir di seluruh Aceh dan
mancanegara pada zamann Sultan Iskandar Muda pada tahun kelahirannya hingga
tahunn 1636 itu kemudian seperti mengalami stagnasi.
Kita lebih cepat menemukan buku yang bercerita banyak tentang fiksi
mengenai keperkasaan mahluk-mahluk luar angkasa versi Amerika dan Jepang maupun
yang lain, yang begitu melekat di alam pikiran anak-anak zaman sekarang. Kita
hampir sudah melupakan siapa Sultan Iskandar Muda. Kecuali tentunya kita hanya
ingat bahwa Sultan Iskandar Muda hanyalah nama Bandara Internasional, nama Jalan,
nama Buku, nama Pamplet Makam, dan bahkan nama Pabrik Pupuk, baik itu yang
adadi Bnada Aceh maupun ditempat lain.
Kita bahkan hampir lupa bahwa Sultan Iskandar Muda yang terlahir tanpa
diketahui kapan tanggal dan tahun kelahirannya secara pasti itu selain sekedar
sebagai seorang penduduk biasa, pada zaman itu sudah mampu menyusun tatanan
pemerintahan yang mengacu pada pola persatuan dan kesatuan bangsa.
Keterbatasan komunikasi pada zaman itu tidak menjadi halangan bagi Sang
Sultam untuk menerapkan langkah-langkah diplomasi dan menjalin hubungan yang
romantis dengan negara lain, sebut saja Turki, Inggris, Perancis, dan Belanda.
Sultan Iskandar Muda betul-betul cerminan seorang pemimpin sejati. Sikap,
tindakan dan perilakunya sangat lugas, tegas, bijaksana, arif, cerdas,
bertanggungjawab dan tidak mementingkan diri sendiri. Sebagai seorang pemimpin
sejati, Sultan Iskandar Muda sangat menjunjung tinggi nilai-nilai, norma, dan
hukum agama Islam.
Demi persatuan dan kesatuan, Sultan Iskandar Muda tidak segan-segan
melakukan tindakan apapun demi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Tentu saja kita masih ingat pada saat beliau menghukum mati anak
kesayangannya yang kelak diharapakan menggantikan Sang Ayah yaitu Putra Mahkota
Meurah Pupok atau Poteu Cut, karena jelas-jelas Meurah Pupok menentang konsep
Qanun yang terkenal dengan Qanun Meukuta Alam. Merah Pupok telah melakukan
kesalahan sangat besar. Adalah, melakukan tindakan asusila dengan menodai istri
Syahdan Perwira Muda yang merupakan Pelatih Angkatan Perang Aceh sekaligus Perwira
Muda Kerajaan yang sangat dikenaln dan merupakan kepercayaan Sultan. Sehingga
Poteu Cut dihukum dan dipancung oleh Ayahnya sendiri.
Fenomena ini
sangat menarik untuk dikaji. Meurah Pupok seorang tokoh yang berusia masih
beliau dan pada saat itu sedang beranjak dewasa. Tapi bagi Sang Sultan
supremasi hukum harus ditegakkan. Baginya, akulah yang menegakan hukum di
negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak terkecuali terhadap
keluargaku sendiri harus dihukum. Negeri ini kuat karena hukum yang ditegakan
dan adanya keadilan. Sultan kemudian menyebut dalam bahasa Aceh - gadoh
aneuk meupat jrat, gadoh hukom ngon adat pat tamita? Yang artinya “hilang
anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang
hilang hendak kemana kita mencarinya.” Negara akan kokoh berdiri di atas
kepentingan kesejahteraan rakyat apabila sendi hukum menjadi landasan berpijak
seluruh kebijakan dan kinerja pemerintahan, tanpa kecuali.
Mengenai hal ini, Sultan Iskandar Muda sangat tegas. Ini juga terlihat
jelas pada saat penobatan Tun Sri Lanang sebagai Raja Pertama di Samalanga, beliau
menghukum mati Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan
keuleebalangan Samalanga . Tun Sri Lanang yang nantinya akan dijadikan Raja
Pertama di Samalanga tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung.
Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa
Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela
Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja
Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap
Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar
berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja
Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun
Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas
orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh Sultan.
Tetapi ternyata seorang Sultan Iskandar Muda yang berdarah ksatria dan
militer sejati itu mempunyai kelembutan melebihi apa yang telah kita baca
diatas tadi. Ketika beliau secara tekun dan telaten membangun Masjid Raya
Baiturrahman pada masa pemerintahannya sebagai tempat beribadah bagi umat Islam
di Aceh yang walaupun tak seindah seperti sekarang dan juga Sultan Iskandar
Muda membangun sebuah bangunan tempoe doeloe yang sampai sekarang masih bisa
dilihat adalah “Gunongan” yang bisa dikatakan sebagai bukti Cinta Sejati Sultan
kepada Sang Isteri yaitu Puteri Kamliah-Puteri Pahang, orang Aceh menyebutnya
dengan Putroe Phang.
Bukan itu saja, yang sangat menarik untuk dijadikan suri tauladan adalah
sikapnya yang tetap bersahaja sebagai seorang Sultan yang sangat menjunjung
tingi hukum dan segala hal yang berbau agama Islam serta beliau sang menyayangi
para Ulama-Ulama yang ada di Aceh.
Sejarah mencatat, kejatuhan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam dimulai sejak
meninggal Sultan Iskandar Muda pada
tahun 1636 M. Setelah meninggalnya, jabatan Sultan Iskandar Muda sebagai
penguasa Aceh, Sumatra dan Senenanjung Melayu dipegang oleh menantunya sendiri
dan pada masa 4 Ratu yang berturut-turut. Ini suatu indikasi yang menarik untuk
menilai sejauh mana kemampuan Sultan Iskandar Muda memimpin negara tanpa
pamrih.
Kini Sang
Sultan Iskandar Muda telah tiada.
Dia pergi tidak pernah meninggalkan warisan harta sedikitpun, bahkan
keturunanpun tak punya. Tetapi dia pergi meninggalkan pesan (Wasiet) dan
falsafah yang tidak akan pernah pudar bagi anak cucunya di Aceh ini yaitu Adat
bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak
Laksamana.
Terlalu naïf menilai Sulatan Iskandar Muda sebagai bagian yang terpisah
dari perjuangan bangsa kalau kita merasa sebagai bangsa yang mau menghargai
jasa pahlawan, terlebih pahlawan yang sepanjang hidupnya diabdikan hanya untuk
bangsa dan negaranya. Pahlawan yang tidak punya pamrih apapun kecuali mensejahterakan
rakyat dan menjadikan Aceh mampu
bersaing dikancah dunia.
Tidak ada gading yang tak retak. Sang Sultan pun demikian.
Barangkali kalaupun ada kelemahannya tidak lebih pada saat terjadinya
penaklukan Malaka I saat melawan Portugis yang pecah berdasarkan kesalahpahaman
Sultan. Akan tetapi pada babak selanjutnya Sang Sultan dan pasukan Aceh
berhasil menaklukan Malaka dan mengusir Portugis dari Bumi Aceh dan Senenanjung
Melayu kini Malaysia.
Tetapi dengan segala kebesaran hatinya, kekecewaan Sultan Iskandar Muda
sebagai raja yang berkuasa pada saat itu, raja yang besar karena momongannya
sejak masih bayi, diwujudkan dengan cara melakukan ekspansi (perluasan daerah)
di berbagai daerah dan Aceh pun berhasil menepatkan diri sebagai Kerajaan
terbesara ke 5 di dunia kala itu.
Sultan Iskandar Muda meninggalkan sejarah yang sulit untuk dihapus bagi
rakyat Aceh walau buku-buku tentang kebesarannya sulit dicari lagi di toko buku
terdekat maupun di tempat-tempat pameran buku sekaligus.
Selamat
jalan orang besar.
Namamu akan tetap abadi di hati setiap bangsa Aceh ini, bangsa yang
terus haus mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa ini, bangsa
yang sekarang ini sangat prihatin terhadap rong-rongan sebagian orang yang
ingin memecah-belah bangsa dan negara yang telah kau persatukan ini, bangsa
yang sekarang mengalami stagnasi perjalanan politiknya karena ada sebagian
orang yang berjuang hanya bagi kepentingannya sendiri, bangsa yang sebagian
pejabatnya sekarang melakukan korupsi tanpa rasa malu, bangsa yang satu dan
lainnya sudah saling tidak perduli lagi, bangsa yang sudah tidak perduli dengan
pendidikan anak cucunya, bangsa yang sudah terbiasa menahan lapar dan hidup
bersahaja sementara kebijakan konsumerisme dan gaya hidup berlebihan menjadi
prioritas utama bagi sebagian kecil masyarakatnya, bangsa yang tidak perduli
lagi dengan rasa nasionalisme bangsanya, bangsa yang sebagian sumberdaya
alamnya sudah tergadaikan dan dinikmati oleh bangsa asing yang pada zamanmu
justru sangat diharamkan.
Kami rindu kelahiranmu kembali, orang yang terlahir hanya untuk kemajuan
bangsanya tanpa pernah sedikitpun berfikir bagaimana terlebih dahulu memajukan,
mensejahterakan dan membahagiakan pribadi dan keluargamu. Seorang militer
sejati yang budayawan, negarawan dan tetap berdiri di atas sendi-sendi
keagamaan yang sangat kuat. Pada zamanmu, kemajuan di bidang sosial, ekonomi,
politik, keamanan, kebudayaan, peradaban, agama dan pendidikan mengalami
kemajuan begitu pesat dan tak terhingga. Ini membuat negara dan mancanegara
kagum dan segan. Persatuan bangsa menciptakan kemajuan yang sangat inheren.
Semoga energimu tetap berada di atasbumi Aceh ini. Mengayomi dan terus memberikan
inspirasi dan kekuatan moral bagi bangsa ini, bangsa yang sudah lelah diguncang
perpecahan dan kemunafikan, bangsa yang rindu akan kebesaran, keagungan,
kesejahteraan dan kemakmuran masa lalu yang sering diceritakan kakek-nenek
kita, bangsa yang sudah bosan dijajah oleh berbagai bentuk penjajahan; bangsa
asing, kebudayaan dan peradaban asing, sistem dan konsep perekonomian asing
yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan negara asing.
Sekarang, walaupun setelah
ratusan tahun berlalu, dan bahkan ketika kelak ranting-ranting pohon Asam di
Gedung Juang (tempat Makam Sultan Iskandar Muda) lapuk dimakan usia, dan
meriam-meriam buatan Portugis, Turki, Belanda, dan Jepang tak sanggup lagi
bertengger di tempatnya, namun Sang Sultan Iskandar Muda tetap menjadi idola di
hati rakyat Aceh.
Penulis Adalah Mahasiswa
FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar