Setiap orang
yang menjadi uleebalang diberikan gelar teuku ben. Daerah-daerah
keuleebalangan yang lebih besar (pada waktu pemerintahan Belanda disebut
Zelfbestuur) yang mempunyai daerah uleebalangcut di bawahnya,
uleebalangnya digelar teuku chiek. Sebelum diduduki Belanda Pirak
diperintah oleh seorang uleebalang yang bernama Teuku Ben Daud. Pada
masa yang sama pula di daerah Keureuto ada Cut Nyak Asiah, yang mewarisi
takhta keuleebalangannya itu dari suaminya. seperti telah dijelaskan
di muka.
Pirak di
bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud berada dalam keadaan yang penuh ketenangan
dan kedamaian. Ini disebabkan uleebalang yang memerintah negeri itu adalah
seorang uleebalang yang bijaksana serta selalu memperhatikan keadaan rakyatnya.
Dia bukan saja uleebalang yang penuh dengan kebijaksanaan dalam menjalankan
pemerintahan. Tetapi ia juga seorang ulama. Dalam kedudukannya sebagai seorang
uleebalang dan ditambah dengan keahliannya dalam lapangan agama. Teuku Ben Daud
disenangi rakyatnya dan dihormati oleh pihak kawan dan lawannya. Teuku Ben Daud
memperisterikan seorang gadis rupawan bernama Cut Jah, yaitu anak uleebalang
Ben Seuleumak. Orang-orang di Kampung Pirak menamakannya Cut Mulieng, karena ia
beradal dari Kampung Muling daerah Seuleh (520). Dari perkawinan inilah Teuku
Ben Daud memperoleh keturunan lima orang anak yang terdiri atas empat laki-laki
dan satu anak perempuan. Anaknya yang tertua bernama Cut Beurahim lalu disusul
oleh Teuku Cut Hasan yang juga bergelar Teuku Muhammad Ali. Untuk lebih
jelasnya lihat silsilah Cut Nyak Meutia pada lamphan.
Satu-satunya
puteri dari Teuku Ben Daud yang lahir dalam tahun 1870, diberi nama Meutia.
Meutia berarti mutiara. Parasnya cantik, sangatlah cocok dengan nama meutia yang
diberikan kepadanya. Dia benar-benar merupakan sebuah mutiara di antara semua
wanita. Cut Nyak Meutia bukan saja cantik. Ia juga memiliki tubuh yang indah
dan menggairahkan. Dalam pakaian upacaranya yang indah dengan menggunakan
siluweue (celana) Aceh yang terbuat dari sutera berwarna hitam, dengan baju
berkancing perhiasan-perhiasan emas dengan rambutnya yang hitam pekat serta
dihiasi ulee ceumara (kepala cemara) yang terbuat dari emas, dengan gelang kaki
yang melingkarin pergelangan. wanita itu bagaikan seorang bidadari (45:26:578).
Sebagaimana lazimnya bagi setiap anak perempuan di Aceh sebelum menanjak
remaja. Cut Nyak Meutia dididik dengan pelajaran-pelajaran agama di
tempat-tempat pengajian.
Walaupun
telah dewasa dan tinggal bersama keluarganya. Pendidikan tidak ditinggalkan.
Kepadanya tetap diberikan pelajaran agama dengan cara mendatangkan ulama ke
rumahnya dan bahkan ayahnya sendiri yang ahli dalam masalah agama juga
bertindak sebagai guru. Cut Nyak Meutia adalah seorang anak yang patuh serta
menurut. Karena pendidikan yang diterimanya sejak kecil sampai dewasa ia
merasakan dengan sungguh-sungguh kebesaran agama Islam yang dianutnya. Untuk
kepentingan agama manusia di dunia haruslah mengorbankan segala-galanya. Harta
benda, pangkat, sampai-sampai kepada nyawa sekalipun tidak ada artinya bagi
kehidupan kalau diluar ridha Allah swt. Demikianlah keyakinan yang tertanam di
dalam dada Cut Nya Meutia, bahkan pada seluruh rakyat Aceh (36:578). Pada masa
Cut Nyak Meutia menanjak dewasa, keadaan politik di Aceh berada pada saat-saat
yang krisis. Pusat pemerintahan Kesultanan Aceh telah direbut oleh Belanda dan
daerah-daerah di sekitar Aceh Besar telah dikuasai musuh. Keadaan ini memberi
pengaruh yang besar bagi kehidupan daerah-daerah yang masih belum dapat
dikuasai Belanda, termasuk daerah Pirak.
Pendidikan
semakin dipergiat untuk membendung perluasan kekuasaan Belanda kalau sebelumnya
pendidikan lebih diarahkan untuk mengajar mata pelajaran-mata pelajaran yang
banyak
hubungannya dengan hukum-hukum Islam, kini lebih dititikberatkan pada menanam
keyakinan akan kebesaran Islam dan bahaya-bahaya yang sedang mengancam Islam.
Belanda masuk ke Aceh bukan saja untuk merebut daerah Aceh, tetapi juga untuk
menghancurkan agama Islam. Perkembangan politik dan agama selalu dibicarakan
dalam setiap dayah (pesantren besar) yang terdapat di luar Aceh Besar atau
daerah-daerah yang masih belum dapat dikuasai Belanda, termasuk Pirak. Salah
sebuah dayah yang terkenal di daerah ini adalah Dayah Tgk. Beuringen, yang
menyelenggarakan pendidikan bagi kaum laki-laki.
Keadaan
politik yang demikian menjadi pembicaraan luas dalam seluruh lapisan masyarakat
tidak saja di kalangan kaum laki-laki tetapi termasuk kaum perempuan. Keadaan
ini sangat mengesankan Cut Nyak Meutia, terutama karena keluarganya termasuk
keluarga uleebalang yang taat kepada agama serta telah menyatakan akan memusuhi
Belanda serta menentangnya apabila musuh sampai ke daerahnya. Dalam suasana
demikianlah Cut Nyak Meutia dibesarkan dan kesemuanya ini turut mempengaruhi
sikap Cut Nyak Meutia setelah ia dewasa. Seperti telah dijelaskan di muka
sebelum masuknya Belanda ke daerah Aceh Utara, terutama ke daerah-daerah
Keureutoe dan Pirak. daerah ini merupakan daerah yang subur dengan rakyatnya
yang makmur, terutama yang mendiami daerah Keureutoe. Keuleebalangan Keureutoe
pada waktu ini diperintah oleh Cut Nyak Asiah setelah suaminya Teuku Chi' Muda
Ali meninggal dunia. Kemakmuran dan kemashuran yang telah diwariskan suaminya
te tap dapat dipertahankan terus. Keharuman namanya semakin menanjak, sewaktu
ia dapat membantu Sultan Muhammad Daud memusatkan pertahanan daerah Pasai dalam
Tahun 1901.
Dengan
bermacam-macam cara ia turut membantu sultan dalam rangka pertahanan daerah
Aceh. terutama mengumpulkan perbekalan yang dibutuhkan oleh muslimin dalam
melakukan gerakan perang sabil. Pengorbanan yang dilakukan oleh Cut Nyak Aisah
tidak sampai di situ saja, bahkan salah seorang putera angkatnya (Teuku Cut
Muhammad) turut bergerilya bersama-sama dengan pasukan sultan di daerah Pasai
(41:85:-87). Bersama" dengan kepemimpinan Cut Nyak Asiah di Keureutoe
daerah Pirak berada di bawah pemerintahan- Teuku Ben Daud. Sewaktu Pemerintah
Belanda sampai ke Aceh Utara, Teuku Ben Daud giat membantu Sultan Muhammad Daud
dan Panglima Polem, baik dalam bentuk fisik dan material. Dia mengkoordinasi
rakyatnya untuk mengumpulkan perbekalan yang diperlukan oleh pasukan sultan
serta membentuk laskar rakyat guna membantu sultan secara fisik (65). Bantuan
yang diberikan Teuku Ben Daud diperbesar lagi sewaktu pusat pertahanan sultan
berada di daerah Pasai sejak Tahun 1901 sampai pertengahan Tahun 1903. saat
mana sultan. Panglima Polem dan pengikut-pengikutnya turun dari bergerilya.
Teuku Bend Daud tetap aktif bersama-sama rakyat dan secara terus-menerus
menentang penjajahan Belanda sejak Belanda menguasai daerah Pasai.
Keureuteo
dan daerah-daerah lain di sekitarnya. Semenjak daerah demi daerah di Aceh Utara
dikuasai oleh Belanda, para ulama di setiap daerah uleebalang menyusun
perlawanan
secara
bersama guna menghadapi Belanda. Pucuk pimpinan Kesultanan Aceh tetap berada
pada Sultan Muhammad Daud dengan pusat pemerintahan berpindah tempat dari satu
daerah pedalaman ke daerah lain yang lebih aman. Perjuangan yang disusun oleh
para uleebalang ini menyukarkan bagi Belanda dalam usaha pasifikasinya di Aceh.
Tindakan keras yang dilakukan oleh Van Heutz selaku Gubemur Sipil dan Militer
untuk Aceh, diimbangi dengan perlawanan yang keras oleh rakyat Aceh Utara di
bawah uleebalangnya masingmasing.
Para
uleebalang yang telah diangkat oleh sultan dengan mendapat cap sikureung tidak
dianggap sah oleh Belanda setelah mereka menduduki daerah itu. Ini disebabkan
oleh karena banyak di antara uleebalang tidak mau menerima persyaratan yang
diajukan oleh Belanda. Pemerintah Belanda pada umumnya selalu menyodorkan
konsep perjanjian pendek yang memuat pengakuan Pemerintah Belanda dan bersedia
tunduk di bawah Pemerintah Belanda.Pemerintah Belanda tidak jarang melakukan
pemecahan daerah-daerah yang besar menjadi beberapa daerah yang masingmasing
diperintah seorang uleebalang yang mereka percaya atau yang telah mau bekerja
sama dengan mereka percaya atau yang telah mau bekerja sama dengan mereka.
Semua konstruksi politik dan pemerintahan daerah yang mereka anggap
membahayakan atau memang dengan terang-terangan membrontak terhadap mereka.
selalu dihancurkan (45:115).
Demikianlah
keadaan ini berjalan cukup lama dan dalam masa yang begitu panjang terdapat
pulalah perubahan-perubahan politik, yaitu adanya uleebalang yang mau bekerja
sama dengan menandatangani Korte Verklaring, dan uleebalang yang tetap
menentang penjajahan sampai beberapa keturunan lamanya. Daerah yang termasuk ke
dalam kategori pertama termasuk Keureutoe di bawah Cut Nyak Asiah yang
diteruskan oleh Teuku Syamsarif dengan gelar Teuku Chi' Bentara yang dengan
resmi diangkat sebagai uleebalang Chi' Keureutoe oleh Van Heutz dalam Tahun
1899 (45:115. 41:87). Adapun yang tergolong ke dalam kelompok yang kedua antara
lain ialah Keuleebalangan Pirak, di mana para uleebalangnya mulai dari Teuku
Ben Daud dan anaknya termasuk yang perempuan, yaitu Cut Nyak Meutia, tetap
menentang penjajahan Belanda sampai akhir hayatnya masing-masing (53).
Teuku Ben
Daud yang dibantu oleh anak-anaknya beserta pengikut-pengikutnya tetap menolak
menandatangani Korte Verklaring. Setelah daerah mereka dirampas
oleh musuh, mereka memindahkan pusat pemerintahan, yang sekaligus menjadi pusat
pertahanan, ke hulu Krueng Jambo Aye. Daerah ini sejak 1905 kemudian dijadikan
pula pusat pasukan Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggro. Mereka tetap bergerilya,
sekalipun Sultan Muhammad Daud dan Panglima Polem telah turun dalam Tahun 1903.
Tekad untuk membebaskan kembaĆ¼ tanah air dari musuh. atau mati sahid. semakin
lebih membara di dalam dada mereka. Tekad ini tidak dapat digoyahkan oleh siapa
pun dan dalam bentuk bagaimana pun. Satu-satunya keturunan dari uleebalang
Keureutoe yang mempunyai pendirian serta tekad yang sama dengan uleebalang
Pirak adalah saudara Teuku Chi Bentara. yaitu Teuku Cut Muhammad. Selain
bergerilya dan memindahkan pusat pertahanan seperti yang telah disebutkan.
masih ada lagi taktik dan strategi lain yang mereka atur untuk menghadapi
musuh. Beberapa orang di antara anak Teuku Ben Daud yang laki-laki. di
antaranya Teuku Muhammad Syah dan Teuku Muhammad Ali. tidak selalu bersama-sama
dengan ayahnya yang bebas di gunung-gunung. Mereka tetap di kampung sebagai
uleebalang Pirak yang diakui oleh rakyatnya kendatipun pihak Belanda tidak
mengakuinya. Dengan bermodalkan kepercayaan rakyat. mereka mengumpulkan
perbekalan yang dibutuhkan pihak ayahnya. Teuku Ben Daud menyadari apabila
semua anaknya turut bergerilya dengan mudah Belanda bisa mengucilkan mereka
dari rakyat. Selain itu akan sulit untuk memperoleh bantuan secara ko'tinu
untuk melanjutkan perjuangan (50: 53, 60).
Dengan taktik
yang demikian itulah Teuku Ben Daud dan pengikut-pengikutnya dapat bertahan
puluhan tahun lamanya. serta menghadapi serangan demi serangan yang dilancarkan
oleh Belanda. Kemampuan untuk bertahan lama ini tidaklah tergantung kepada
lengkapnya persenjataan, tetapi yang dominan pengaruhnya adalah adanya bantuan
moral dari rakyat. Di samping itu juga turut sertanya sebagian besar
ulama-ulama terkenal, yang merupakan tokoh-tokoh religius yang berpengaruh,
yang dapat membangkitkan semangat setiap saat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar