Cut Nyak Din
dilahirkan kira-kira dalam tahun 1850, di Kampung Lampadang, wilayah VI Mukim,
Aceh Besar. Ayahnya bernama Nanta Muda Seutia, berasal dari turunan Makhdum
Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia adalah cikal-bakal yang
membangun wilayah VI Mukim menjadi lebih terkenal dan makmur. Ibunya seorang
turunan bangsawan yang terpandang dari Kampung Lampagar. Karena istrinya inilah
maka nama Nanta Muda Seutia makin terkenal dan dihormati oleh rakyat VI Mukim.
Pada waktu sebelum Nanta menjadi uleebalang, wilayah VI Mukim dipimpin oleh
Uleebalang Teuku Nek dan pusat kedudukannya berada di Meuraksa. Ia menjalankan
pemerintahan wilayah VI Mukim kurang adil dan kurang bijaksana. Rakyat sangat
tertekan dan menderita oleh tindakan pemerasan yang dilakukan oleh Teuku Nek.
Karena praktek yang merugikan ini, ia tidak disenangi oleh rakyat VI Mukim.
Pada abad ke-I 7 kekuasaan Aceh telah meluas sampai ke
Sumatra Barat. Daerah ini
sangat penting artinya bagi Aceh baik dalam bidang politik maupun dalam bidang
ekonomi. Dalam bidang politik berarti Aceh telah menanamkan kekuasaannya dan
daerah ini merupakan "vazal". Sedangkan dalam bidang ekonomi daerah
ini merupakan penghasil lada yang sangat penting dalam pasaran dunia dan dengan
menguasai daerah tersebut berarti dapat menarik keuntungan yang banyak bagi
Aceh. Karena perkembangan ini Ratu Tajjul Alam mengangkat Uleebalang Panglima
Nanta untuk mengatur dan mengawasi daerah vazal ini. Salah
seorang keturunannya, ialah Makhdun Sati. Dalam tubuh Makhdun Sati mengalir
darah Aceh dan darah Minangkabau.
Dalam zaman
pemerintahan Sultan Jamalul Alam (1703 — 1726), Makhdun Sati beserta rombongan
yang terdiri 12 perahu berlayar menuju arah utara melalui pantai barat Pulau
Sumatra. Pelayaran ini terdorong oleh adanya berita yang menarik hati mereka,
bahwa diujung utara Pulau Sumatra banyak terdapat kekayaan alam yang terpendam
berupa emas. Dengan menempuh perjalanan panjang dan lama, rombongan Makhdun
Sati sampai di Pasir Karam. Daerah ini terletak di pantai barat Aceh dekat
Meulaboh. Kemudian rombongan ini tinggal menetap untuk membuat perkampungan dan
melalui hidup baru biarpun daerah ini masih asing bagi mereka. Ketika rombongan
Makhdum Sati mendarat di Pasir Karam, sepasukan tentara Aceh sedang bertempur
menghadapi pengacau suku Mantir yang belum memeluk ajaran Islam.8' Pasukan
Aceh yang sedikit jumlahnya ini hampir terdesak oleh pengacau Mantir yang lebih
banyak jumlahnva. Melihat tekanan yang diberikan suku Mantir, Makhdun Sati
dengan rombongannya yang merasa berkewajiban menolong sesama Islam memberikan
bantuan. Kerjasama yang rapi menvebabkan gerombolan pengacau Mantir dapat
dikalahkan dan mereka yang tinggal melarikan diri ke arah hulu ke pegununggan.
Dengan kekalahan suku Mantir, daerah ini menjadi aman. Sebagai rasa terima
kasih kepada bantuan Makhdun Sati. pimpinan pasukan Aceh dengan ikhlas
memberikan daerah Pasir Karam untuk dibagi-bagikan kepada rombongan Makhdun
Sati sebagai tempat tinggal mereka. Kemudian dengan penuh ketekunan mereka
membuka persawahan dan peladangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Rumah-rumah dibangun dengan bergotong-royong, sesuai dengan rumah adat yang
ditinggalkannya, dalam waktu singkat Makhdun Sati serta pengikutnya telah
menjadi orang-orang makmur.
Selanjutnya
mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, sehingga
persaudaraan terjalin secara akrab seperti di kampung yang di tinggalkannya.
Kemudian Makhdun Sati berserta rakyatnya menyatakan kesetiaannya kepada
kekuasaan Sultan Aceh. Karena tidak adanya kepuasan, maka Makhdun Sati membawa
rakyatnya bergerak ke utara lagi ke muara Sungai Wolya. Daerah ini lebih subur
daripada daerah Pasir Karam Daerah ini terletak antara daerah Pidie dan
Gleupang. Kemudian mereka membuka persawahan dan ladang untuk menanam lada. Di
samping itu mereka menemukan bijih emas yang dibawa arus Sungai Wolya. Kerena
itu rakyat Makhdun Sati setiap hari dengan tekun mengumpulkan bijih-bijih emas
pada tempat ini. Dengan penuh ketekutan mereka dapat mengumpulkan emas dalam
jumlah yang banyak. Berkat kemakmuran yang diperoleh rakyat. Makhdun Sati
membangun sebuah kota di Kuala Bie sebelah utara Pasir Aceh lengkap dengan
rumah adatnya. Kota ini menjadi kota dagang dan terus berkembang serta menjadi
lebih ramai dengan kedatangan pedagang dari berbagai penjuru . Perkembangan
kota menjadi kota dagang turut mengangkat nama Makhdun Sati. Rakyatnya makin
makmur karena dapat mengambil keuntungan dari pedagang tersebut.
Berita
kemakmuran daerah Makhdun Sati terdengar oleh Sultan Aceh yang berkuasa. Daerah
ini merupakan wilayah Aceh yang harus tunduk pada peraturan sultan. Setiap
daerah harus menyerahkan upeti kepada sultan sebagai tanda setia. Karena itu
sultan mengirim utusan kepada Makhdun Sati sebagai penguasa daerah agar menyerahkan
upeti. Tetapi Makhdun Sati dengan keras menolak apa yang dikehendaki Sultan
Aceh. Sebagai rasa tidak senang, ia menyerahkan upeti kepada sultan berupa besi
tua yang berkarat sebagai persembahan. Menerima itu sultan sangat marah, ia
merasa dihina oleh perbuatan Makhdun Sati. Karena itu sultan mengirim sepasukan
tentara di bawah pimpinan Panglima Penghulu Perahu dari Keumangan untuk
mengambil tindakan. Pasukan Penghulu Penaru dapat menghancurkan kekuatan
Makhdun Sati. Hampir Makhdun Sati dapat ditawan dan dibawa menghadap sultan
Aceh. Karena kesalahannya yang berat, yakni melawan kekuasaan yang sah dengan
menggerakkan rakyatnya, maka majelis pengadilan kerajaan menjatuhkan hukuman
mati buat Makhdun Sati. Tetapi dengan beberapa pertimbangan sultan mengambil
kebijaksanaan untuk memberi ampunan atas kesalahan yang diperbuat Makhdun Sati.
Makhdun Sati menginsafi tindakkannya yang salah, karena itu setelah diberi
ampunan, ia mengabdi kepada sultan Aceh. Karena itu ia diangkat oleh suitan
menjadi barisan pengawal istana kesultanan dan ia mendapat tempat di wilayah VI
Mukim, dekat Betay.
Pada masa
pemerintahan Sultan Alaidin Muhammad Syah (1787 — 1795) timbul sedikit
keguncangan politik dalam pemerintah Aceh, sungguh pun Sultan telah berusaha
menjalankan pemerintahan dengan baik. Ia berusaha menempatkan diri dengan adil
dan terus mengadakan hubungan baik dengan Panglima Sagi XXII Mukim yang masih
mempunyai hubungan darah dengan Sultan Iskandar Muda. Tetapi karena suatu hal
kecil saja. Panglima Sagi XXII Mukim merasa sakit hati pada sultan. Karena hal
tersebut. Panglima Sagi XXII mengerahkan kekuatannya untuk menyerang kraton
hendak menjatuhkan sultan dan akan menggantikannya. Serangan dilakukan dari
berbagai jurusan. Hubungan istana ke luar diputuskan; suplai makanan ke istana
diawasi dengan ketat, sehingga istana hampir kehabisan bahan makanan. Panglima
Istana yang mengatur pertahanan tak dapat berbuat banyak. Mereka hanya bertahan
dalam benteng menunggu kehancuran. Sedangkan serangan yang dilancarkan pasukan
Panglima Sagi XXII Mukim makin rapat dan sangat mencemaskan isi kraton.
Dalam
kemelut yang menentukan ini, kalah atau menang Makhdun Sati dengan pengikutnya
datang dari VI Mukim secara diamdiam di waktu malam memberikan bantuan kepada
sultan. Pasukannya bergerak cepat memotong pasukan Panglima Sagi XXII Mukim dan
berusaha terus mendesak keluar. Sebelum fajar menyingsing pasukan tersebut
telah dapat memukul mundur pasukan Panglima Sagi XXII Mukim dan pasukan
penyelamat secara diamdiam pula menghilang kembali ke VI Mukim. Kiranya bantuan
ini dapat menyelamatkan kedudukan sultan.
Atas jasa
Makhdun Sati kepada Sultan Alaidin Muhammad Syah, sultan menganugrahkan pangkat
kehormatan kepadanya menjadi Panglima Sagi dan dengan nama tambahan
"Nanta", seperti nama neneknya. Dan karena kesetiaannya kepada
sultan, namanya menjadi Seutia Raja. Kemudian ditambahkan pula nama kebesaran,
Uleebalang Poteo, '"' vang artinya hulubalang sultan dan bebas dari
Panglima Sagi.
Keputusan
sultan tersebut dicantumkan sebagai tambahan dalam Undang-undang Mahkota Alam.
Dengan demikian namanya secara lengkap menjadi Panglima Nanta Cik Seutia Raja. Setelah
kedudukannya dikukuhkan sultan Aceh, daerah kekuasaan Nanta Cik diperluas
dengan menambah pulau-pulau yang terletak dipantai wilayah VI Mukim. Kepadanya
diberikan kekuasaan penuh untuk mengatur daerah tersebut seperti pengaturan
kapal dan perahu keluar-masuk dan memungut bea cukai lain-lainnya.
Nama
kebesaran dan kedudukannya boleh terus diwariskan kepada anak-cucunya.
Kedudukan
Nanta makin bertambah kuat setelah ia kawin dengan anak Teuku Nek bangsawan
dari Meuraksa. Teuku Nek adalah seorang yang terpandang dan di segani. Ia
pernah diangkat menjadi panglima perang dalam masa pemerintahan Sultan Sulaiman
Syah. Dari perkawinan ini lahirlah Teuku Nanta Muda Seutia dan Teuku Cut
Muhammad Teuku Nanta Muda Seutia kawin dengan anak bangsawan Lampagar. Anaknya
adalah Teuku Rayut dan Teuk Cut Nyak Din. Teuku Rayut akalnya kurang sempurna
sehingga ia tidak diharapkan oleh Nanta untuk menggantikan kedudukannya sebagai
uleebalang di VI Mukim. Karena itu Teuku Nanta lebih banyak memperhatikan Cut
Nyak Din. Ia mengharapkan Cut Nyak Din dapatmeneruskan kedudukannya sebagai
pemimpin di VI Mukim. Teuku Muhammad kawin dengan Cut Mahani, adik keujuran
Abdul Rahman dari Meulaboh. Anaknya enam orang, dua perempuan dan empat
laki-laki. Yang laki-laki antara lain Teuku Cut Ahmad, Teuku Puteh, Teuku Umar
dan Teuku Musa. Di antara keempat anak ini yang paling menonjol hanyalah Teuku
Umar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar