Sejarah dan budaya Aceh banyak ditulis oleh kaum orientalis barat. Konon,
dokumen sejarah dan budaya Aceh terlengkap tidak dimiliki Aceh, tapi ada di
Belanda dalam Atjeh Institute.
Atjeh Institute dibangun pada 31 Juli 1914 atas prakarsa Prof Dr Cristian Snouck Hurgronje, yang kemudian ditetapkan dengan surat keputusan KB nomor 61 oleh pemerintah Kolonial Belanda.
Tulisan-tulisan
tentang Aceh yang ditulis oleh ahli ketimuran, baik dari Belanda maupun
penulis-penulis barat yang pernah membuat penelitian di Aceh, semuanya dihimpun
di Atjeh Institute tersebut.
Prof Dr
Aboe Bakar Atjeh dalam makalah tentang “Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah” yang
disampaikan pada seminar kebudayaan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) kedua tahun
1972, menyebutkan susunan pengurusan Atjeh Institute ketika itu, Ketua Prof Dr
Cristian Snouck Hurgronje. Sekretaris Dr C Janssen dan Prof J V.Van Werde C J
Haselman sebagai Bendahara.
Untuk
kepentingan pemerintah kolonial Belanda kala itu dalam usaha menaklukan Aceh, maka
berbagai adat dan budaya serta karakteristik masyarakat Aceh diteliti di Atjeh
institute. Lalu dibukukan dengan menggunakan bahasa Belanda. Buku-buku yang
terlengkap tentang sejarah dan budaya Aceh yang sampai saat ini terpelihara.
Kesungguhan
pemerintah kolonial Belanda dalam mendalami dan meneliti karakteristik dan
budaya Aceh, tercermin dari pembentukan Atjeh Institute tersebut. Bahkan,
Snouck dikirim ke Mekkah untuk mendalami Islam agar lebih mudah berintegrasi
dengan masyarakat Aceh dalam melakukan penelitiannya.
Ketika itu
orang Aceh menerimanya dan menempatkannya setara ulama. Sebagaimana sejarah
mencatat, dimana Snouck sering menjadi khatib dimesjid-mesjid ditempat dia
melakukan penelitian. Sehingga Snouck dipanggil oleh orang Aceh saat itu dengan
gelar “Teungku Puteh” yang dibermakna ulama dari barat. Padahal dia sebenarnya
bukan muslim, melainkan orang yang punya banyak pengetahuan tentang agama
islam.
Buah dari
investigasi pura-pura Islam Snouck tersebut, maka lahirlah buku budaya Aceh. Ia
melakukan penelitian langsung ke Aceh setelah sebelumnya mengumpulkan data-data
dari pelawatan Aceh dan Cina yang pernah singgah di Aceh, baik masa Hindu
maupun setelah kedatangan Islam. Seperti Dr G A J Hazuee, dan J Kreemer.
Semua
biaya penelitian mereka ditanggung oleh Atjeh Institute. Dari penelitian
mereka, lahir pulalah buku-buku tentang kebudayaan dan Sejarah zaman keemasan
Aceh yaitu buku “Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer dan buku “Encyopedie Van Ned
Indie”.
Buku
“Atjeh” yang ditulis oleh Kreemer merupakan yang terluas cakupannya tentang
identitas dan budaya rakyat Aceh. Hal itu dilatari kepentingannya menulis buku
tersebut yang lebih didominir rasa tanggung jawabnya sebagai pakar sejarah dari
pada kepentingan politik pemerintah kolonial Belanda saat itu.
Sementara
dari kalangan jurnalis, muncul H C Zentgraaf, redaktur Kepala surat kabar Java
Bode. Mantan serdadu Belanda yang pernah ikut dalam perang Aceh, setelah
pensiun dari militer dan bekerja sebagai wartawan perang. Ia menulis tentang
kebrutalan serdadu Moersose bentukan Belanda dalam memerangi rakyat Aceh.
Rangkuman
dari pengalamannya itulah yang kemudian dikumpulkan dealam buku “Atjeh”.
Zentgraaf dengan gamblang menulis tentang karakteristik, keperkasaan serta
ketangguhan rakyat Aceh dalam menghadapi serangan Belanda. Zentgraaf tidak
segan-segan mencela bangsanya (Belanda-red) sendiri yang terlalu arogan.
Buku
Zentgraaf tersebut dengan berani diterbitkan pada masa pemerintahan kolonial
Belanda masih menguasai nusantara, banyak kritikus menilai buku tersebut
merupakan gondam yang memukul pemerintah Belanda kala itu.
Pada masa
itu ada juga beberapa penulis lainnya, yang menulis tentang Aceh, diantaranya,
Van Veer, Van Graaff, van Den Plass, Van Den Nomensen, semuanya dari Belanda.
Kemudian Prof. Dr Griff dari Inggris, Marcopolo dari Spanyol, dan Prof Dr. Wit
Shing dari Cina.
Soal
dokumentasi budaya, rakyat Jawa lebih beruntung, atas prakarsa almarhum Prof Dr
DA Husein Djajninggrat berhasil melobi pemerintah kolonoal Belanda untuk
membangun Java Institute di Yogyakarta dengan Museum Sono Budoyo dan majalah
Jowo. Sampai sekarang masih terpelihara dengan baik.
Begitu
juga di Surakarta walau tidak begitu lengkap, masih mempunyai pusat kebudayaan
yang mencerminkan karakteristik daerahnya. Pusat kebudayaan yang dikenal Radio
Putoko itu terdapat di lokasi latihan dan manifestasi kebudayaan yang dinamai
Taman Sriwidari.
Namun Aceh, karena keunikannya dan oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di negeri Belanda. Karena Belanda menilai sangat penting dokumentasi tentang Aceh ketimbang daerah lainnya di Nusantara yang berhasil ditaklukkannya. Diplomasi 1602.
Namun Aceh, karena keunikannya dan oleh Belanda Atjeh Institute tidak dibangun di Aceh, melainkan di negeri Belanda. Karena Belanda menilai sangat penting dokumentasi tentang Aceh ketimbang daerah lainnya di Nusantara yang berhasil ditaklukkannya. Diplomasi 1602.
Ketertarikan
Belanda Terhadap Aceh sudah dimulai sejak diplomat Aceh, Abdul Hamid
mengunjungi Belanda, yang konon katanya merupakan diplomat pertama dari asia
yang menjalin hubungan dengan Kerajaan Belanda waktu itu.
Abdul
Hamid diutus oleh Sultan Alauddin Al Mukamil ke negeri kincir angin tersebut.
Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid
meninggal di negeri Eropa itu dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di
Middelburg, Zeeland.
Menurut
Prof Osman Raliby dalam sebuah tulisan tentang Aceh, dunia orang Aceh berubah
cepat karena pengaruh agama Islam. Hal itu kemudian ditambah dengan bersentuhannya
Aceh dengan pedagang-pedagang internasional yang mencari rempah-rempah ke Aceh
sejak abad ke 14.
Namun,
sejak 18 Agustus 1511, Portugis yang menduduki Malaka menjadi ancaman bagi
perdagangan rempah-rempah di Aceh. Raja Aceh yang sudah melakukan kontak dagang
dengan kerajaan-kerajaan Islam di India, Persia, Mesir, Turki, dan
Bandar-bandar dagang di Laut Merah, menyadari hal tersebut. Akan tetapi tetap
menjaga hubungan dengan Portugis.
Persaingan
dagang kemudian membuat hubungan itu renggang, karena Portugis berhasrat untuk
memonopoli perdagangan rempah-rempah di Selat Malaka. Karena itu pula Portugis
berusaha menghentikan semua pengangkutan rempah-rempah dari pelabuhan Aceh.
Malah,
pada tahun 1520 Laksamana dan Raja Muda Portugis di Goa, Dirgo Lopez De Sequeira
mengancam dengan mengultimatum akan menyerang kapal-kapal yang melakukan kontak
dagang dengan Aceh. Aceh dan Portugis pun menjadi musuh bubuyutan di selat
Malaka.
Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.
Sembilan tahun kemudian (1529) Portugis ingin merebut pelabuhan Pidie dan Pase yang menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Namun usaha Portugis tersebut gagal. Raja Aceh berhasil menghalau Portugis untuk kembali ke Malaka. Malah pada Desember 1529, kapal-kapal Aceh muncul di depan Canannore di Pantai barat India, membantu armada Raja Kalicut yang bertempur melawan angkatan laut Portugis di Goa.
Selanjutnya,
menurut Prof Dr H Aboebakar Atjeh, dalam tahun 1599–saat itu Aceh dipimpin
Sultan Alauddin Riayatsyah yang dikenal dengan sebutan Sayid Al Mukammal
(1588-1604)— Belanda datang ke Aceh merintis perdagangan rempah-rempah.
Orang
pertama Belanda yang datang ke Aceh itu adalah dua bersaudara Cornelis de
Houtman dan Frederik de Houtman. Keduanya diutus oleh Zeewsche reeder Balthazar
de Moecheron, Belanda. Keduanya datang dengan dua kapal besar dan berlabuh di
Pelabuhan Kerajaan Aceh.
Menyadari
adanya misi dagang Belanda ke Aceh, Portugis yang sudah duluan menduduki Malaka
menghasut Kerajaan Aceh untuk tidak menerima misi dagang Belanda itu. Pasalnya,
Portugis tetap berkeinginan untuk memonopoli perdagangan renpah-rempah. Apalagi
waktu itu Portugis bermusuhan dengan Belanda.
Raja Aceh
pun terpengaruh, dua utusan dagang Belanda itu, Frederick de Houtman dan
Cornelis de Houtman ditahan. Karena negoisasi ekonomi yang gagal maka Cornelis
pun kemudian dibunuh. Sementara Frederick ditangkap dan ditawan. Kedua kapal
Belanda itu pun berlayar kembali ke Middelburg, Belanda.
J Kreemer,
seorang penulis Belanda dalam buku “Atjeh” menjelaskan, pada November 1600
Paulus van Caerden, teman sepelayaran dengan Pieter Both memerintahkan kembali
dua buah kapal dari Brabantsche Compagnie untuk merintis hubungan dagang dengan
Aceh.
Paulus van
Caerden berhasil membuat suatu perjanjian dagang dengan Aceh, tapi karena saat
itu Aceh masih terus dihasut oleh Portugis untuk tidak bekerja sama deangan
Belanda. Muatan rempah-rempah dibongkar kembali dari kapal Belanda, mereka pun
kembali ke Belanda tanpa hasil apa-apa.
Saat
itulah Federick de Houtman berhasil lari dari tawanan orang Aceh dan naik ke
kapal Van Caerden untuk melarikan diri. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya
dan kembali menyerahkan diri kepada Sultan Aceh. Cerita tentang peristiwa
tersebut terangkum dalam De Europeers in den Maleishen Archipel, dan Het
handelsverdrag van V Caerden, dalam buku J.E Heeres: Corpus Diplomaticum.
Sebuah catatan tentang diplomasi dagang Belanda ke Malaka.
Pun
demikian, Belanda terus berusaha untuk merintis perdagangan rempah-rempah ke
Aceh. Diminasi Portugis di Selat Malaka dalam perdagangan ingin direbut
Belanda. Karena pedagang pedagang dari Belanda terus saja berdatangan ke
Kerajaan Aceh untuk melakukan kontak dagang hubungan dagang antara Aceh dan
Portugis jadi putus.
Hubungan Dagang
Hubungan
dagang Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Belanda pun resmi terjalin pada tahun
1601. Ketika itu Raja Belanda, Print Maurist melalui utusannya ke Aceh yang
merintis kembali urusan dagang, mengirim sepucuk surat serta hadiah-hadiah dari
Kerajaan Belanda untuk Raja Aceh.
Pedagang-pedagang
dari Belanda yang membawa surat dan hadiah tersebut datang dari misi dagang
Gerard le Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa buah kapal dari maskapai Zeeuw
yang merupakan sebuah eskader dari Middelburg.
Utusan
Raja Belanda itu ipun diterima dengan baik oleh Raja Aceh. Kepada mereka
diberikan ijin mendirikan maskapai dagang untuk membeli rempah-rempah di Aceh.
Sementara Frederick de Houtman dan teman-temanya yang ditahan oleh Sultan Aceh
dibebaskan.
Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.
Ketika kapal Zeeuw berangkat dari Aceh membawa rempah-rempah ke Belanda, Sultan Aceh mengirim utusannya ke Belanda dengan menumpang kapal tersebut untuk menguatkan perjanjian persahabatan antara Aceh dan Belanda. Utrusan Aceh yang dikirim Sultan Alauddin Riayatsyah al Mukamil itu adalah, Abdul Hamid, duta besar Kerajaan Aceh, Laksamana Sri Muhammad, Mir Hasan, dan seorang bangsawan Aceh, serta penerjemah Leonard Werner.
Rombongan
ini tiba di Belanda pada bulan Agustus 1602. kedatangan mereka disambut
besar-besaran. Pada 9 Agustus Duta besar Aceh, Abdul Hamid meninggal di sana
dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland. Sejarah
pertemuan duta Aceh dengan Raja Belanda, Print Maurist tersebut kemudian
ditulis oleh Dr J J F Wap dalam buku “Het gezantschap van den sultan van Achin
(1602) aan Print Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek,” 1862.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar