"Ya
Allah...buatlah Islam ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang
ini. Amr bin Hisham atau Umar bin Khattab." Salah
satu dari doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran
dan masih lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih
Umar bin Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam,
sedangkan Amr bin Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Bunga Rampai Aceh
31 Juli 2012
Zainab Binti Jahsy, Wanita Yang Paling Panjang Tangannya
Zainab binti Jahsy
bin Ri’ab bin Ya’mar bin Sharah bin Murrah bin Kabir bin Gham bin Dauran bin
Asad bin Khuzaimah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, namanya adalah Barrah,
kemudian diganti oleh Rasulullah menjadi Zainab setelah menikah dengan beliau.
Ibu dari Zainab bernama Umaimah binti Abdul-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf
bin Qushai. Zainab dilahirkan di Mekah dua puluh tahun sebelum kenabian.
Ayahnya adalah Jahsy bin Ri’ab. Dia tergolong pemimpin Quraisy yang dermawan
dan berakhlak baik. Zainab yang cantik dibesarkan di tengah keluarga yang
terhormat, sehingga tidak heran jika orang-orang Quraisy menyebutnya dengan
perempuan Quraisy yang cantik.
Zainab Binti Khuzaimah, Ibu Orang-Orang Miskin
Zainab binti Khuzaimah adalah
istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat
santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang wafat
setelah Khadijah r.a. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus
mayat Zainab dengan tangan beliau sendiri.
29 Juli 2012
Zaid Bin Haritsah
"Setiap Rasulullah
mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu
diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasul,
tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah!" (Aisyah
r.a).
Saudah Binti Zam'ah, Pengisi Kesunyian Hati Nabi Saw
Dalam kesendirian
dan kehampaan hati terenggutnya kekasih tercinta, dia hadir membawa nuansa bagi
manusia yang paling mulia, dengan keceriaan jiwa yang dimilikinya. Kebesaran
jiwanya membuat dirinya senantiasa di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Dialah Saudah
binti Zam'ah.
Kekhalifahan Islam
Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kaum
muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat, yang
dibai'at dengan bai'at syar'i untuk memerintahkan kaum muslimin berdasarkan
Kitabullah dan Sunah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad
bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah.
27 Juli 2012
Usman Bin Affan
Pada tahun pertama dari khilafah
Usman bin Affan, yaitu tahun 24 Hijriah, negeri Rayyi berhasil ditaklukkan.
Sebelumnya, negeri ini pernah ditaklukkan, tetapi kemudian dibatalkan. Pada
tahun yang sama, berjangkit wabah demam berdarah yang menimpa banyak orang.
Khalifah Usman bin Affan sendiri terkena sehingga beliau tidak dapat
menunaikan ibadah haji. Pada tahun ini, Usman bin Affan mengangkat
Sa’ad Bin Abi Waqqash menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin
Syu'bah.
Sa'ad Bin Abi Waqqash Ra
Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih
sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi
Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan.
Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya
terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita.
Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya
dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang
gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari
seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad
bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain
adalah Ali Bin Abi Thalib, Abu Bakar Abi Quhafah, dan Zaid Bin Haritsah.
25 Juli 2012
Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi
Said bin Zaid bin Amru bin
Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A'waar lahir di
Mekah 22 tahun sebelum Hijrah. Beliau termasuk sepuluh orang yang diberi kabar
gembira akan masuk surga oleh Nabi saw.
Terbelahnya Bulan
Di zaman Jahilliyah hiduplah raja bernama Habib bin
Malik di Syam, Dia penyembah berhala yang fanatik dan menentang serta membenci
agama yang didakwahkan Rasulullah saw.
Thalhah Bin Ubaidillah, Syahid Ketika Masih Hidup
ThalhahbinUbaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab binSa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai.
Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'.
Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang
pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah
punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat
mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. Pada suatu ketika
Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra,
Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah
garis hidupnya.
Napak Tilas Nur Muhammad Saw
Istri Nabi
Ibrahim AS yang bernama sarah tak dapat menyembunyikan rasa cemburunya saat
melihat Hajar, yang menjadi istri kedua Nabi Ibrahim, melahirkan anak lelaki
yang bernama Ismail. Nabi Ibrahim amat memahami perasaan sang istri. Karena
itu, ia yang saat itu bermukim di Syam, berniat hendak menjauhkan putranya
bersama Hajar dari Sarah. Ia pun membawa keduanya pergi hingga tiba di sebuah
tempat yang dikehendaki Allah kelak menjadi tempat tinggal anak-anak cucu
Ismail, yaitu sebuah lembah gersang di tengah Mekah.
Nafkah Rasulullah
Di dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi, diceritakan bahwa Abu Amir
Abdullah Al Hawazini bertemu Bilal yang menjadi muadzin Rasulullah saw. Abu
Amir lalu bertanya kepada Bilal, “Wahai Bilal, beritahukan kepada saya bagaimana
Rasulullah memberi nafkah?”
Nabi Ibrahim Dan Nabi Ismail Mendirikan Ka’bah
Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihi salam
untuk membangun Baitul ‘Atiq, yaitu masjid yang diperuntukkan bagi manusia
untuk mereka menyembah Allah subhanahu wa ta’ala.
21 Juli 2012
Nabi Muhammad SAW Hanya Hamba Allah
Manusia besar memiliki kebesaran/keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
manusia biasa. Karakter, kebiasaan, dan gaya hidup manusia yang besar berbeda
dengan manusia biasa. Apalagi jika manusia besar yang kita bicarakan adalah
utusan Tuhan alias nabi atau rasul, maka perbedaannya dengan manusia biasa
semakin besar. Lebih dari itu,
Nabi Muhammad Saw Dalam Masehi
Semasa hidup baginda Rasulullah Saw, tercatat
dalam sejarah, kehidupan beliau masuk dalam angka masehi. Banyak
sekali peristiwa atau kejadian yang dialami Nabi Muhammad Saw dan menjadi sejarah
didalam agama islam, baik peristiwa yang langsung dari Allah Swt, ada yang melalui
malaikat Jibril, dan
ada pula memang dari diri sendiri.
Berikut rangkaian peristiwa yang pernah dialami
Nabi Muhammad SAW sejak lahir hingga akhir hayatnya yang tercatat dalam angka masehi.
20 Juli 2012
Mereka Mencintai Dan Membelanya, Bagaimana Dengan Kita Tuan?
Banyak sekali para sahabat yang menjadi
pahlawan-pahlawan Islam, di antaranya: Thalhah bin Ubaidillah, Abu Dujanah,
Hatib bin Abu Balta’ah, Sahal bin Hanif, Qatadah, Abdurrahman bin Auf, dan
Malik bin Sinan. Inilah kisah tentang para pahlawan Islam yang gagah berani!
Masuk Islamnya Zubair bin Awwam
Zubair bin Awwam bin
Khuwailid bin Asad bin Abdil Uzza bin Qushai bin Kilab. Ibunya bernama Shafiyah
binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah saw. Wanita ini telah menyatakan dirinya
sebagai pemeluk agama Islam. Beliau termasuk salah seorang dari 7 orang
yang pertama masuk Islam. Beliau memeluk agama Islam ketika dia masih berusia 8
tahun dan melakukan hijrah ketika berusia 18 tahun. Berperawakan tinggi dan
berkulit putih. Namun ada juga yang mengatakan bahwa perawakan Zubair tidak
termasuk sangat tinggi dan juga tidak tergolong pendek dan bukan termasuk orang
yang berbadan gemuk. Ada yang mengatakan bahwa warna kulitnya sawo matang,
memiliki banyak bulu badan, dan kedua pipinya tidak penuh terisi
daging. Ketika pamannya Naufal bin Khuwailid mengetahui perihal Zubair
telah masuk Islam, beliau sangat marah dan berusaha menyiksanya, pernah beliau
dimasukkan dalam karung tikar, kemudian dibakar, dan dia berkata
kepadanya,“lepaskan dirimu dari Tuhan Muhammad, maka saya akan melepaskan
dirimu dari api ini.” Namun Az-Zubair menolaknya dan berkata kepadanya, “Tidak,
demi Allah saya tidak akan kembali kepada kekufuran selamanya.”
Mariyah Qibtiyah
Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah
Al Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau
nikahi. Rasulullah Saw memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan
istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah
layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah Saw satu-satunya
yang melahirkan seorang putra, yang diberi nama Ibrahim, setelah Siti Khadijah.
Baginda Rasulullah Saw dan Dunia Islam
Peringatan hari
Mab’ats atau hari kenabian tanggal 27 Rajab sudah berlalu. Namun masih ada
banyak hal yang perlu diungkap dan dibacakan mengenainya. Sebab, kenabian
Rasulullah Muhammad SAW adalah kenabian terakhir yang berarti bahwa beliau
adalah duta Allah terakhir yang membawa risalah paling lengkap dan abadi
sepanjang masa. Kenabian Muhammad SAW adalah awal dari sebuah perubahan besar
dalam sejarah umat manusia, yang sampai sekarang dan akan selamanya mempengaruhi
proses kehidupan ini. Tak syak, misi besar yang diembannya membuktikan bahwa
nabi terakhir ini adalah manusia yang paling agung di sisi Allah swt.
18 Juli 2012
Kisah Ya'juj Dan Ma'juj
Saat menjelang wafat, Nabi Nuh a.s memanggil anak-anaknya untuk menghadap
beliau. Maka Sam a.s segera datang menemuinya, namun kedua saudaranya tidak
muncul yaitu Ham dan Yafits. Akibat dari ketidakpatuhan Ham dan Yafits, Allah kemudian
menurunkan ganjaran kepada mereka. Yafits yang tidak datang karena lebih
memilih berdua dengan istrinya (berhubungan suami istri) kemudian melahirkan
anak bernama Sannaf. Kelak kemudian Sannaf menurunkan anak yang ganjil. Ketika
dilahirkan, keluar sekaligus anak-anak dalam wujud kurang sempurna. Selain itu
ukuran besar dan bobot masing-masing juga berbeda, ada yang fisiknya besar
sedangkan lainnya kecil. Untuk selanjutnya yang besar kemudian terus tumbuh
hingga melebihi ukuran normal (raksasa), sebaliknya yang bertubuh kecil terus
kecil seperti liliput. Mereka kemudian dikenal sebagai Ya’juj dan Ma’juj.
14 Juli 2012
Kisah Nabi Yusuf As
Silsilah Nabi Yusuf :
Ibrahim AS, adalah bapak para Nabi. Ibrahim berputra
tiga orang, 2 diantaranya adalah nabi, yaitu nabi Ismail AS (nama ibunya Siti
Hajar) dan nabi Ishaq AS (nama ibunya Siti Sarah). Nabi Ismail , dari beberapa keturunan
berikutnya menurunkan Nabi Muhammad SAW .
Kisah Sekantong Air
Kisah ini terjadi ketika Nabi
dan pasukannya sedang memerangi suatu suku Badui yang memusuhi kaum muslimin di
Madinah.
11 Juli 2012
Kisah Nabi Isa AS (Bag.5)
Nabi Isa berusaha menyadarkan para pendeta Yahudi bahwa para dai yang
menyeru di jalan Allah SWT bukanlah algojo-algojo yang bengis yang menerapkan
hukum syariat tanpa melihat keadaan masyarakat yang bersalah, tetapi mereka datang
dan membawa ajaran Allah SWT yang merupakan ajaran yang penuh dengan rahmat
kepada manusia. Jadi, rahmat adalah tujuan semua dakwah Ilahi ini. Bahkan
diutusnya para nabi itu sendiri mengandung rahmat Allah SWT terhadap kaum
mereka.
Kisah Nabi Isa AS (Bag.6)
Kemudian apa yang dilakukan Nabi Isa terhadap syariat qisas cersebut?
Yang jelas, tindakan yang dilakukkan oleh Nabi Isa murni dari ilham yang
didapatnya dari Allah SWT. Nabi Isa mengem-balikan kaum kepada tujuan asli dari
syariat. Nabi Isa mengembalikan mereka kepada hikmah syariat yang asli. Nabi
Isa mengembalikan mereka kepada cinta. Nabi Isa tidak mengatakan sesuatu pun
kepada orang yang memukul pipi sebelah kanannya. Nabi Isa tidak berusaha untuk
memukul pipi sebelah kanannya.
Kisah Isra' Mi'raj Nabi Muhammad Saw
Diterjemahkan dengan ringkas dari Kitab Al Anwaarul Bahiyyah Min Israa’ Wa
Mi’raaj Khoiril Bariyyah.
8 Juli 2012
Memperbanyak Makanan Yang Sedikit
Peristiwa mukjizat yang terjadi
di masa perang Khandaq (di sebut juga perang ahzab) ini diberitakan oleh Jabir
bin Abdullah r.a yang menuturkan sebagai berikut.
Kisah Ashabul Kahfi
"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu
mencari tempat berlindung kedalam gua lalu mereka berdoa, "Wahai Tuhan
kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami
petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS
al-Kahfi:10).
Kijang Minta Pertolongan Nabi Saw
Banyak Imam ahli hadis yang
mengetengahkan berita riwayat tentang seekor kijang yang dapat berbicara kepada
Rasulullah Saw, sebagai peristiwa mukjizat. Hadits semakna yang dituturkan oleh
Ummul mukminin, Umm Salamah r.a adalah sebagai berikut: Ketika Rasulullah Saw
sedang berada di tengah sahara beliau mendengar suara memanggil-manggil,
"Ya Rasulullah!" hingga tiga kali. Beliau menoleh ke arah datangnya
suara itu. Beliau melihat seekor kijang tertambat pada sebuah batu besar. Di
sebelahnya seorang Arab pegunungan dalam keadaan tidur nyenyak, telentang di
bawah sinar matahari.
Khadijah binti Khuwailid, Orang yang pertama kali masuk Islam
Beliau adalah sayyidah wanita sedunia pada zamannya. Putri dari Khuwailid
bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiah al-Asadiyah. Dijuluki
at-Thahirah bersih atau suci. Terlahir 15 tahun sebelum tahun fiil (tahun
gajah).
Keutamaan Rasulullah Menurut Nabi Adam
Diriwayatkan
tentang Nabi Adam AS, beliau berkata,"Bahwa saya diajak mengelilingi Surga
dan saya tidak melihat satu istana pun dan satu dedaunan pun yang ada di Surga
kecuali tertulis nama Sayyidul Wujud Muhammad SAW." Lalu Nabi Sys bertanya
pada Nabi Adam,”Wahai ayahku lebih mulia mana ayah dengan Nabi Muhammad SAW?”
Jawab Nabi Adam, “lebih mulia Nabi Muhammad SAW dari nabi dan malaikat dengan
enam macam kelebihan:
Kesalehan Sejati: Teladan Keluarga Nabi
Ibnu Abbas meriwayatkan:
Pada suatu waktu kedua cucu nabi
SAW yakni Hasan dan Husein sakit keras. Rasulullah dan para sahabat datang
untuk mengunjungi mereka. Nabi juga berpesan agar Ali dan Fatimah bernazar
untuk kesembuhan kedua putra mereka. Keduanya, diikuti Faidhah, pembantu
mereka, bahkan anak-anak yang sedang sakit mengucapkan nazar: Jika Tuhan
menyembuhkan Hasan dan Husein, mereka semua bernazar untuk melakukan puasa tiga
hari berturut-turut.
Di Balik Sebuah Perang
“Perang” apabila mendengar kata tersebut,
terlintas dibenak kita sungguh sangat mengerikan, dan kekejamannya pun sungguh
luar biasa. Perang tak asing lagi bagi umat manusia sedunia. Perang takkan
berhenti sampai seluruh manusia dimuka Bumi ini betul-betul lenyap. Musuh
terbesar kita adalah diri kita sendiri yaitu Hawa Nafsu. Tanpa disadari hawa
nafsu lah yang mengendalikan dan menguasai manusia itu sendiri. Hawa nafsu pula
yang mengubah kemenangan menjadi kekalahan bahkan hawa nafsu pun bisa mengubah
Dunia ini menjadi Gelolak Sebuah Perang.
5 Juli 2012
Kepada Para Mahasiswa, Ilmu Atau Nilai?
Menjajaki
bangku kuliah memang berbeda dengan bangku masa SMA. Ketika status ku masih
menjadi siswa, siswa-siswi berlomba-lomba mengumpulkan nilai bagus untuk
mendapatkan ranking teratas alias “Aku Paling Hebat”. Setelah memasuki ruangan
kampus, semuanya berubah karena kita sudah dispesifikasikan sesuai dengan
kemampuan kita dan bidang yang kita sukai (kecuali yang dipaksa sama orang
tua). Kita berada dalam jurusan yang akan mengantarkan kita ke dunia kerja.
Sistem penilaiannya sudah berbeda.
3 Juli 2012
Keringat Rasulullah Saw
Diriwayatkan dari Anas bin
Malik, ia berkata, “Nabi saw biasa masuk ke rumah Ummu Sulaim, lalu tidur di
ranjangnya, sementara Ummu Sulaim sendiri sedang tidak ada.
Kembalikanlah Ketenteraman Jiwa Yang Hilang Dengan Sholat
Ketenangan dan ketenteraman jiwa, adalah hal yang paling dicari oleh
manusia dalam hidupnya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan ketenangan
dan ketenteraman jiwa. Oleh karena itu, kedua hal tersebut pada umumnya menjadi
sesuatu yang hilang dalam hidup manusia.
Kelahiran Sang Nabi Muhamma Saw Dalam Untaian Puisi
Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhuran budinya,
dengan segala keterbatasan para ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran
dan akhlaknya dalam untaian puisi yang indah.
Keindahan Akhlak Nabi Muhammad SAW
Kata khuluq yang berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang
sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya adalah kalau khalq lebih
bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah
ciptaan Allah yang bersifat batiniah.
Kedermawanan Membawa Berkah
Imam Ja'far Shadiq mengetengahkan sebuah riwayat dari ayahnya, Imam
Muhammad Al Baqir, bahwa Imam Ali Zainal Abidin telah berkata:
Kebesaran Islam
"Ya Allah...buatlah Islam
ini kuat dengan masuknya salah satu dari kedua orang ini. Amr bin
Hisham atau Umar bin Khattab." Salah satu dari
doa Rasulullah pada saat Islam masih dalam tahap awal penyebaran dan masih
lemah. Doa itu segera dikabulkan oleh Allah. Allah memilih Umar bin
Khattab sebagai salah satu pilar kekuatan islam, sedangkan Amr bin
Hisham meninggal sebagai Abu Jahal.
Kantong Kurma Abu Hurairah
Imam Ath-Thabrani meriwayatkan, suatu hari Abu Hurairah berkata, “Saya
merasa sedih karena tiga hal. Pertama, sewaktu Nabi wafat, saya adalah sahabat
dan pelayan beliau yang masih kecil. Kedua, peristiwa terbunuhnya Utsman.
Ketiga karena tempat perbekalan itu.”
Ka'bah, Sebuah Dambaan Insan Tauhid
Safari ibadah, penghambaan dan
cinta ke tanah suci Mekah sudah dimulai. Meski singkat, namun safari ini penuh
makna dan rahasia. Safari ke negeri wahyu, negeri makrifat, cinta dan
penghambaan kepada Zat yang Maha Suci. Dalam perjalanan spiritual ini yang
dituju adalah Rumah Allah, Ka'bah, yang menjadi dambaan setiap insan bertauhid.
Juwairiyah Binti Al Harits
Juwairiyah dilahirkan empat
belas tahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sebelum memeluk islam beliau
bernama Burrah. Nama lengkapnya adalah Juwairiyah binti al-Harits bin Abi
Dhiraar bin Habib bin Aid bin Malik bin Judzaimah bin Musthaliq bin Khuzaah.
Ayahnya, al-Harits, adalah pemimpin kaumnya yang masih musyrik dan menyembah
berhala sehingga Juwairiyah dibesarkan dalam kondisi keluarga seperti itu.
Tentunya dia memiliki sifat dan kehormatan sebagai keluarga seorang pemimpin. Dia
adalah gadis cantik yang paling luas ilrnunya dan paling baik budi pekertinya
di antara kaumnya. Kemudian dia menikah dengan seorang pemuda yang bernama
Musafi’ bin Shafwan.
Jundub Bin Junadah Bin Sakan
Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan, tetapi dia
dikenal dengan sebutan Abu Dzar al-Ghiffari. Dia adalah sahabat Rasulullah yang
berasal dari suku ghiffar dan termasuk golongan orang yang pertama masuk Islam.
Sebelum menjadi seorang muslim, Abu Dzar dikenal sebagai seorang perampok yang
suka merampok para kabilah yang pedagang yang melewati padang pasir. Suku
Ghiffar memang sudah dikenal sebagai binatang buas malam dan hantu kegelapan.
Jika bertemu dengan mereka, jarang sekali orang yang selamat dari perampokan.
Istana Topkapi, Museum Penyimpan Benda Nabi Muhamaad SAW
6 Pedang Nabi Dipamerkan Di titik pertemuan Selat Bosphorus, Tanjung Tanduk
Emas (Golden Horn) dan Laut Marmara, Istanbul, Turki, menjulang indah Istana
Topkapi. Lambang kejayaan Dinasti Ottoman Turki dan museum penyimpan
benda-benda Nabi Muhammad SAW.Didirikan di atas tanah seluas 592.600–700.000 m.
Hindun Binti Abu Umayyah
Hindun binti Hudzaifah (Abu
Umayyah) bin Mughirah bin Abdullah bin Amr bin Makhzum, dari Bani Makhzum.
Bapaknya Hindun adalah putra dari salah seorang Quraisy yang diperhitungkan
(disegani) dan terkenal dengan kedermawanannya.
Hamzah Bin Abdul Muthalib
Pada suatu hari Hamzah bin Abdul
Muthalib keluar dari rumahnya sambil membawa busur dan anak panah untuk berburu
binatang di padang pasir, hal itu telah menjadi hobi dan kegemarannya sejak
masa muda.
Hak Suami Dalam Islam
Agar bahtera
pernikahan selamat berlayar ke pulau tujuan, nahkoda bahtera ini harus diberi
hak penuh. Boleh jadi hak pertama yang diberikan Allah SWT kepada suami adalah
hak kepemimpinan (qaimumah).
Allah SWT berfirman, artinya :
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
(an-Nisa: 34)
Hak kepemimpinan
diperoleh suami karena keunggulan struktur dirinya daripada perempuan, juga
karena dia memikul tanggung jawab kehidupan sehari-hari yang berat. Tapi,
kepemimpinan suami tidak membolehkannya untuk otoriter (tasalluth) dan keluar
dari lingkaran tanggung jawab ke lingkaran penguasaan dan interaksi yang
bersifat pemaksaan pada istri, karena hal ini bertentangan dengan hak istri
untuk mendapatkan perlakuan yang baik yang ditegaskan oleh al-Quran:
“Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa: 19)
Tidak
diragukan bahwa Islam telah menuntut istri untuk tunduk kepada suami dalam
segala hal yang dibolehkan oleh akal dan syariat. Jika kondisi ini tidak
terpenuhi, maka tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada
Khaliq.
Islam tidak
membolehkan kepemimpinan ini digunakan sebagai media untuk merendahkan istri
atau mengurangi kehormatannya. Memang benar bahwa manusia yang haknya paling
besar atas seorang istri adalah suami, tapi hak ini tidak boleh ditafsirkan
atau diterapkan secara salah yang membawa pada perendahan terhadap istri.
Istri adalah
bunga yang lembut. Dia tidak memiliki kekuatan, ketegasan, dan kehendak. Karena
itu, dia membutuhkan tenda yang melindunginya dari angin yang beracun agar
bunga ini tidak kehilangan kesegarannya ketika bunga ini sedang mekar-mekarnya.
Tenda itu adalah suami, karena suami memiliki kekuatan, kehendak, dan kesiapan
untuk berkorban.
Hak lain bagi
suami adalah istri bersiap sedia baginya setiap dia berkehendak kecuali pada
kondisi pengecualian alamiah yang dialami oleh kaum perempuan. Rasulullah saw
bersabda:
“Wanita yang
terbaik di antara kamu adalah yang banyak anak dan penyayang, penutup diri,
penjaga kesucian diri, yang agung di mata keluarganya, tunduk di hadapan
suaminya, terjaga dari orang selain suaminya, mendengar dan patuh kepada
suaminya, jika dia berdua-duaan dengan suaminya, dia memberikan apa saja yang
diminta kepadanya.”
Rasulullah
saw bersabda:
“Wanita yang
terbaik di antara kamu adalah yang jika suaminya masuk, maka dia menanggalkan
baju rasa malunya.”
Bukan
kebalikannya, kalau diluar rumah malah wanita berhias dan tampil seksi agar
dilihat kaum laki-lakitapi bukan muhrimnya. Sungguh kemaksiatan yang disengaja.
Banyak hadits
lain yang melarang istri menjauh dari peraduan rumah tangga. Dia akan dihukum
di kehidupan dunia jika melakukannya dan dikutuk oleh malaikat sampai dia
kembali. Dia juga harus menghormati suami dan berperan serta dalam menciptakan
cinta kasih sayang bersama sang suami. Rasulullah saw bersabda:
“Sekiranya
aku memerintah seseorang untuk bersujud kepada seseorang, tentu aku akan
memerintahkan istri bersujud kepada suaminya.”
Berdasarkan
arahan Nabi saw ini istri harus berperilaku lembut pada suami, berbicara dengan
ungkapan-ungkapan yang memasukkan rasa bahagia ke dalam hati suami, khususnya
ketika suami pulang kerja dengan energi yang terkuras, syaraf yang lelah. Dia
harus menyambut suami dengan kegembiraan yang meruah pada wajahnya, menawarkan
khidmat kepada suami, sehingga dia memperoleh ridha suami.
Rasulullah
saw bersabda:
“Sangat
beruntung seorang istri yang suaminya ridha padanya.”
Tentang
masalah ini, Al-Baqir ra mengatakan:
“Tidak ada
pemberi syafaat bagi seorang wanita pada sisi Tuhan yang lebih ampuh daripada
ridha suaminya. Ketika Fathimah wafat, Amirul Mukminin berdiri di sisinya dan
berkata, ‘Ya Allah, aku ridha pada putri Nabi-Mu. Ya Allah, dia telah dibuat
sedih, maka hiburlah dia.’”
Dari
penjelasan ini jelaslah bahwa suami memiliki hak kepemimpinan, hak dipenuhi
keinginannya atau disenangkan. Lebih dari itu, ketika dia diberikan tampuk
kepemimpinan keluarga, maka dia memiliki hak dipatuhi dalam batasan-batasan
syariat. Salah satu isi hak ini adalah istri tidak boleh keluar dari rumah
kecuali atas izinnya. Di dalam hadits disebutkan:
“Dia tidak
boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Jika dia
melakukan, maka malaikat di langit dan di bumi, serta malaikat ridha dan benci
melaknatnya.”
Istri adalah
harta karun yang sangat berharga dan wajib dijaga di tempat yang aman. Rumah
adalah tempat aman yang melindungi istri. Karena itu, al-Quran memerintahkan
kaum perempuan:
Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Ada hak lain
bagi suami, yaitu dijaga kehormatannya dan hartanya ketika dia tidak ada, tidak
diungkap kekurangannya, istri tidak puasa sunnah kecuali dengan izinnya. Secara
umum, agar kehidupan rumah tangga langgeng, harus ada ridha dan penghormatan
dan khidmat dari kedua belah pihak, sebagaimana bunga butuh cahaya, udara, dan
air untuk bisa mekar.
Komitmen
suami istri terhadap hak satu sama lain, selain menggugurkan kewajiban, juga
mendatangkan pahala yang besar. Sebaliknya juga benar. Jika suami memberi
minuman bagi istrinya, dia mendapat pahala, dan Allah SWT akan memanjangkan
umurnya dikarenakan kebaikannya kepada istrinya.
Sebaliknya,
istri yang berkhidmat kepada suami selama 7 hari, Allah SWT akan menutup 7
pintu neraka baginya dan membuka 8 pintu surga yang dapat dia masuki dari mana
saja. Istri yang mengangkat sesuatu di rumah suaminya dari satu tempat ke
tempat lain untuk terlihat lebih baik, maka Allah SWT akan memandangnya, dan
siapa saja yang dipandang Allah SWT, maka tidak akan Dia azab.
Jaminan
keharusan memenuhi hak dalam syariat ilahiah lebih banyak daripada di dalam
hukum positif. Sebab, dalam hukum positif, orang dapat menghindar dan tidak
memenuhi kewajibannya dengan tipu muslihat, suap, ancaman, paksaan, dsb.
Sedangkan dalam hukum ilahi, selain menggunakan media pemaksaan eksternal,
seperti polisi dan pengadilan, ada juga faktor-faktor pemaksaan internal, yaitu
rasa takut terhadap siksa dan murka Allah SWT di akhirat.
Seorang
muslim akan berusaha meraih ridha Allah SWT dengan cara menunaikan kewajibannya
kepada orang lain. Al-Quran memandang kezaliman seseorang kepada orang lain
adalah kezaliman pada dirinya sendiri. Allah SWT berfirman:
“Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu
menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)
Motif
religius adalah alat terbesar untuk membendung dorongan setan yang mendorong
orang mangkir dari kewajiban dan komitmennya. Sedangkan orang yang hanya tunduk
kepada hukum positif, dia tidak memiliki alat pembendung internal tersebut,
kecuali nurani dan etika yang seringkali menyimpang dari jalan lurus karena
berbagai sebab, sehingga kriteria-kriteria yang dia miliki terbalik,
kemungkaran menjadi kebaikan dan kebaikan menjadi kemungkaran.
Lebih dari
itu, di dalam Islam, terdapat ikatan yang erat antara dimensi sosial dan
dimensi ibadah. Setiap celah di dimensi pertama, disebabkan tiadanya komitmen
terhadap hak orang lain, akan berefek negatif terhadap dimensi ibadah. Inilah
yang dijelaskan oleh hadits Nabi saw:
“Orang
yang memiliki istri yang menyakitinya, Allah SWT tidak menerima shalat atau
kebaikan yang dilakukan istrinya itu, sampai istri itu menolong dan membuatnya
ridha meskipun si istri berpuasa dahr. Suami juga akan mendapat dosa seperti
itu jika dia menyakiti dan menzalimi istrinya.”
Dengan
demikian jelaslah bahwa suami istri memiliki hak timbal balik yang jika
ditelantarkan maka akan mengancam eksistensi keluarga, dan komitmen padanya
akan menciptakan kesatuan sosial yang erat.(alh)
Hak Orang Tua Dalam Islam
Islam
memberikan perhatian khusus terhadap keluarga dan upaya menjaganya. Caranya,
Islam menetapkan hak-hak anggota-anggota keluarga yang harus dipenuhi mereka
satu sama lain. Ini karena Islam menganggap terpeliharanya keluarga sebagai
batu bata asasi dalam upaya mencapai bangunan masyarakat yang diidam-idamkan.
Karena orang
tua adalah pondasi dalam bangunan keluarga dan upaya membangun generasi, maka
al-Quran menegaskan posisi mereka yang sangat agung dan kewajiban berbuat baik kepada
mereka.
Tulisan ini
menjelaskan hak-hak orang tua seperti dijelaskan al-Quran dan Sunnah.
Hak-hak orang tua
Allah SWT
menyandingkan kewajiban beribadah kepada-Nya dengan kewajiban berbakti kepada
orang tua pada banyak ayat al-Quran. Di antaranya:
Dan
Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra:
23)
Juga dalam
firman-Nya:
Dan
(ingatlah), ketika kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak.”
(Al-Baqarah: 83)
Demikianlah
kita dapati al-Quran menganggap berbuat baik kepada orang tua sebagai masalah
yang sangat penting. Sedemikian pentingnya sampai-sampai di dalam level ungkapan
al-Quran (al-Isra: 23) menggunakan kalimat, ÙˆَÙ‚َضَÙ‰ رَبُّÙƒَ, yang artinya, “Dan
Tuhanmu telah menetapkan.” Dan di dalam level pelaksanaan al-Quran (al-Baqarah:
83) menjelaskan, ÙˆَØ¥ِØ°ْ Ø£َØ®َØ°ْÙ†َا Ù…ِيثَاقَ بَÙ†ِÙŠ Ø¥ِسْرَائِيلَ, “Ingatlah ketika
Kami mengambil janji dari Bani Israil.”
Al-Quran
menganggap pelanggaran terhadap kehormatan orang tua sebagai tindakan yang
diharamkan. Catatan penting, al-Quran, dalam banyak ayat menegaskan urgensi
anak-anak berbuat baik pada orang tua, sedangkan orang tua tidak diberi
penegasan untuk memperhatikan anak-anak kecuali jarang dan dalam kondisi yang
tidak normal, misalnya, mereka tidak boleh membunuh anak-anak mereka karena
takut imlaq. Al-Quran sekadar menegaskan bahwa anak adalah zinah dan mut’ah,
lokus fitrah dan ighra bagi orang tua, dan tidak menyebut mereka kecuali
disandingkan dengan harta dan dalam konteks berbangga-banggaan.
Lebih dalam
lagi, berbuat baik kepada orang tua dijadikan sebagai manifestasi sosial dan
ibadah yang benar dan semua bentuk perbuatan buruk terhadap orang tua secara
khusus, walaupun hanya dengan kata “uh”, dianggap sebagai perusakan terhadap
ibadah sebagaimana setitik cuka merusak madu. Karena nila setitik, rusak susu
sebelanga.
Hak ibu lebih besar
Al-Quran
memberikan ibu hak yang lebih besar dikarenakan pengorbanannya yang ia berikan
lebih banyak. Hanya ibu yang menanggung beban mengandung, melahirkan, dan
menyusui beserta pengorbanan dan derita yang menyertainya. Bayi tinggal di
perutnya selama 9 bulan pada masa kehamilan yang normal, makan di perutnya dari
apa yang ia makan, dan tinggal dengan tenang dengan mengorbankan ketenangan dan
kesehatannya. Setelah itu tiba masa persalinan yang penderitaannya tidak dapat
diketahui kecuali oleh ibu, bahkan nyawanya terkadang menjadi taruhan.
Al-Quran
memberikan wasiat khusus berkaitan dengan ibu. Allah SWT berfirman,
Dan kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya
Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun.” (Lukman: 14)
Dengan
penjelasan ini al-Quran menggelorakan perasaan para anak agar mereka tidak lupa
atau pura-pura lupa jerih payah orang tua, khususnya ibu, dan penderitaan yang
ia tanggung, karena memberikan perhatian sepenuhnya pada istri dan anak-anak
saja.
Hak orang tua menurut Sunnah
Masalah hak
pada umumnya dan hak orang tua pada khususnya mengambil tempat yang luas dalam
hadits dan wasiat Nabi saw. Beliau mengaitkan ridha Allah SWT dengan ridha
kedua orang tua untuk memberikan dimensi ibadah bagi masalah ini. Beliau juga
menegaskan bahwa durhaka kepada orang tua adalah salah satu dosa terbesar dan
mengaitkan antara cinta dan ampunan Allah SWT dengan cinta dan kepatuhan kepada
kedua orang tua.
Sy.Zainal Abidin meriwayatkan,
"Seseorang datang kepada Nabi saw lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tidak
ada perbuatan yang buruk kecuali aku telah melakukannya. Apakah aku bisa
bertobat?” Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Adakah salah satu dari orang
tuamu yang masih hidup?” Dia berkata, “Ayahku.” Beliau bersabda, “Pergilah
kepadanya dan berbaktilah padanya.” Setelah orang itu pergi, beliau bersabda,
“Jika yang masih hidup adalah ibunya, (aku akan mengatakan hal yang sama).”
Dalam salah
satu arahan Nabi saw:
“Salah
satu hak orang tua atas anaknya adalah ditakuti ketika marah agar kemuliaan
orang tua tidak jatuh.”
Lebih dari
itu, Rasulullah saw menganggap menyebabkan orang tua dicela karena mencela
orang tua orang lain termasuk dosa besar yang pantas dihukum dan disiksa di
akhirat.
Berbakti
kepada mereka tidak terbatas ketika mereka hidup. Anak yang patuh dapat
berbakti kepada kedua orang tuanya dengan cara membayar hutang-hutang mereka,
berdoa dan beristighfar bagi mereka, setelah perbuatan baik lainnya.
Nabi saw
telah mewujudkan wasiat-wasiat ini di dalam kehidupan nyata. Ketika beliau
menganjurkan kaum Muslimin untuk hijrah dan membentuk benih masyarakat tauhid
yang baru di Madinah, ketika kaum Muslimin berjumlah sedikit, buku-buku sejarah
meriwayatkan bahwa seseorang datang kepada Nabi saw dan berkata, “Aku datang
untuk membaiatmu untuk berhijrah dan aku meninggalkan kedua orang tuaku sedang
menangis.” Maka, Nabi saw bersabda, “Kembalilah kepada keduanya. Buat mereka
tertawa sebagaimana engkau telah membuat mereka menangis.”
Para ulama
terpilih dari keluarga Nabi saw memberikan ruh baru bagi arahan-arahan al-Quran
dan sabda-sabda Nabi saw yang dapat kita lihat lewat poin-poin berikut ini.
Pertama,
menafsirkan ayat-ayat al-Quran
Pertama,
perlu disinggung di sini bahwa Keluarga Kenabian adalah orang-orang yang di
rumahnya al-Quran diturunkan, Rasulullah saw mengaitkan mereka dengan al-Quran,
dan menyebut mereka sebagai al-Quran nathiq, al-Quran yang berbicara. Mereka
berbicara dengan kebenaran dan menegaskan penunaian hak-hak.
Ash-Shadiq ra
menjelaskan pengertian ihsan yang terdapat di dalam firman Allah SWT:
Dan Tuhanmu
Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Al-Isra: 23)
Dengan
mengatakan:
“Ihsan adalah
engkau menemani mereka dengan baik, tidak membuat mereka meminta apa yang
mereka butuhkan, meskipun mereka dapat memenuhinya sendiri.”
Tentang
firman Allah SWT:
“Jika salah
seorang di antara mereka atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepadanya “ah” dan
janganlah kamu membentak keduanya.” (al-Isra: 23)
Beliau
mengatakan:
“Jika kedua
orang tuamu membuatmu kesal, janganlah kamu mengatakan “ah”, dan jika mereka
memukulmu, janganlah kamu membentak mereka.”
Tentang
firman Allah SWT:
“Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,
‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidik aku waktu
kecil.” (al-Isra: 24)
Beliau
mengatakan:
“Janganlah
engkau memandang mereka kecuali dengan pandangan kasih sayang dan kelembutan,
janganlah engkau mengangkat suaramu lebih keras daripada suara mereka dan
mengangkat tanganmu lebih tinggi dari tangan mereka. Dan jangan maju ke depan
mereka (?)”
Tentang
firman Allah SWT:
“Dan berterimakasihlah
kepada-Ku dan kedua orang tuamu dan kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Beliau
mengatakan:
“Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan bersyukur kepada-Nya dan berterima kasih kepada orang
tua. Maka, orang yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, dia tidak
bersyukur kepada Allah SWT.”
Kedua,
membangkitkan motivator akhlak.
Para imam
menginginkan sistem moralitas tetap hidup dan efektif di dalam masyarakat
dengan pijakan keinginan mereka yang sangat kuat akan keselamatan masyarakat
Islam agar anggota-anggotanya tidak terjatuh ke jurang kegelisahan dan
kesia-siaan. Karena itu, mereka menganjurkan berpegang teguh pada nilai-nilai
akhlak dalam memperlakukan orang tua sampai hal ini menjadi tabiat yang
mewarnai perilaku anak-anak. Mengenai hal ini, Imam Ali berkata:
“Berbakti
kepada orang tua adalah watak yang paling mulia.”
Ketiga,
menetapkan hukum syariat.
Imam Ali
memandang bahwa berbakti kepada orang tua adalah kewajiban yang paling utama.
“Tiga hal
yang wajib dilakukan dan tidak ada rukhsoh di dalamnya bagi siapa pun:
menunaikan amanah baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, memenuhi
janji baik kepada orang yang baik maupun orang yang jahat, dan berbakti kepada
orang tua baik mereka orang yang baik maupun orang yang jahat.”
Perlu disebutkan
di sini bahwa Islam tidak mengaiktkan hak orang tua dengan status agama mereka
dan keharusan mereka beridentitas muslim, melainkan mewajibkan penunaian hak
mereka tanpa memandang hal tersebut. Imam mengatakan:
“Berbakti
kepada orang tua adalah kewajiban meskipun mereka musyrik, tapi tidak boleh
taat kepada mereka dalam bermaksiat kepada Pencipta.”
Imam tidak
cukup dengan menjelaskan hukum syariat, tapi mengungkap hikmah diharamkannya
durhaka kepada orang tua. Beliau berkata:
“Allah SWT
mengharamkan durhaka kepada orang tua karena itu sama dengan keluar dari
bimbingan untuk taat kepada Allah SWT, penghormatan terhadap orang tua,
bersanding dengan kufur nikmat, menafikan terima kasih, dan efek-efek yang
ditimbulkannya seperti sedikit dan terputusnya keturunan karena durhaka itu
sama dengan tidak menghormati orang tua dan tidak mengakui hak mereka, memutus
silaturahim, orang tua tidak membutuhkan anak dan tidak mendidik mereka dengan
dalih anak tidak berbakti kepada mereka.”
Menetapkan hak-hak orang tua
“Sesungguhnya
bagi anak atas orang tuanya ada hak yaitu mematuhinya dalam apa saja kecuali
dalam maksiat kepada Allah SWT.”
Di dalam
Risalah al-Huquq Imam mengatakan:
“Adapun hak
ayahmu adalah engkau mengetahui bahwa dia adalah asal muasalmu. Jika bukan karena
dia, engkau tidak ada. Bagaimanapun engkau melihat pada dirimu hal-hal yang
menakjubkanmu, ketahuilah, ayahmu adalah asal muasal nikmat itu. Karena itu,
pujilah Allah dan berterimakasihlah kepada ayahmu sebanding dengan hal
tersebut, dan tiada daya kecuali karena Allah.”
Al-Kazhim ra
meriwayatkan dari Nabi saw:
Seseorang
bertanya kepada Rasulullah saw, “Apa hak orang tua dari anaknya?” Beliau
menjawab, “Tidak dipanggil dengan namanya langsung, anak tidak berjalan di
depannya, anak tidak duduk sebelum dia duduk, dan anak tidak mengundang celaan
baginya.”
Durhaka kepada orang tua dan efek negatifnya di dunia
Pada
penjelasan terdahulu kami telah menerangkan efek-efek durhaka kepada orang tua
di akhirat, yang utamanya adalah mengundang murka Allah SWT, tidak diterimanya
amal shalih, dll. Orang yang menelaah hadits-hadits Keluarga Nabi dalam masalah
ini, akan mendapati banyak sekali hadits. Sekarang kami akan menerangkan
efek-efek negatif durhaka kepada orang tua di dunia. Hal ini dapat kami
klasifikasi dalam poin-poin berikut ini:
Pertama,
mengundang kemiskinan.
Kedua,
mendapat balasan yang setimpal.
Anak-anak
yang berperilaku buruk terhadap orang tua mereka akan mendapatkan perlakuan
yang setimpal dari anak-anak mereka. Anak-anak mereka tidak akan menghargai
mereka ketika mereka telah tua.
Pengalaman
sehari-hari telah membuktikan hakikat ini dan menjadi aksioma dari generasi ke
generasi. Orang yang durhaka kepada orang tuanya, akan mendapati nasib yang
sama dari anak-anaknya.
Ketiga,
mengundang kehinaan dan kerendahan.
Tidak
diragukan bahwa orang yang durhaka kepada orang tuanya akan dipandang
masyarakat dengan pandangan benci dan rendah. Dia akan terasing dan dicela
masyarakat, tidak disebut kecuali dengan celaan dan hujatan apa pun dalih yang
ia lontarkan. Al-Hadi ra mengatakan:
“Durhaka akan
melahirkan kemiskinan dan menyebabkan kehinaan.”
Kata
kemiskinan di dalam riwayat ini dapat diartikan secara umum, sehingga mencakup
kemiskinan harta dan kemiskinan mental serta sosial yang mewujud dalam
sedikitnya teman serta kenalan. Orang-orang tidak akan menaruh kepercayaan
kepada orang yang durhaka kepada orang tuanya. Bagaimana mungkin dia dapat
dipercaya, sementara dia telah memutus tali kasih sayang dengan orang tuanya,
orang yang paling dekat dengan dirinya? (Machtum/alha/prs)
Hak Istri Dalam Islam
Al-Quran
membantah konsep-konsep batil yang dianut manusia pada zaman dahulu dan
menegaskan bahwa sifat dan asal penciptaan laki-laki sama dengan perempuan.
Tidak benar bahwa laki-laki diciptakan dari bahan yang mulia sedangkan
perempuan dari bahan yang hina.
Allah SWT menciptakan keduanya
dari unsur yang sama, yaitu tanah, dan dari jiwa yang sama.
Allah SWT
berfirman: artinya :
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”
(an-Nisa: 1)
Jadi,
al-Quran telah meningkatkan derajat perempuan dengan menjadikannya persis
seperti laki-laki dari segi tabiat penciptaan dan dengan demikian memberikannya
hak kemuliaan manusia sepenuhnya. Selain itu, al-Quran menyatukan laki-laki
dengan perempuan dalam hal memikul tanggung jawab. Allah SWT berfirman:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(An-Nahl: 97)
Tapi kesamaan
dalam asal penciptaan, kemuliaan, dan tanggung jawab, sedikit pun tidak berarti
pengingkaran perbedaan fitrah dan tabiat yang ada di antara mereka yang
mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban. Neraca keadilan adalah menyamakan
antara seseorang dengan kewajibannya dan bukan menyamakan hak dan kewajiban
antara dua jenis yang berbeda struktur dan tabiatnya.
Dengan dasar
ini pengutamaan laki-laki dalam warisan bukanlah pencederaan terhadap keadilan,
melainkan keadilan itu sendiri. Laki-laki wajib memberikan mas kawin sejak awal
relasi/hubungan suami istri, dan wajib memberi nafkah sampai akhir.
Dari sisi
lain, al-Quran tidak ingin membatasi kebebasan dan posisi perempuan dengan
kewajiban berjilbab (hijab), melainkan hendak melindunginya dengan jilbab dan
bukannya mengekang, disertai penetapan kehormatan perempuan pada dirinya dan
orang lain. Al-Quran ingin perempuan keluar ke masyarakat—jika dia keluar—tanpa
merangsang naluri yang terpendam di dalam diri laki-laki. Dengan demikian, dia
melindungi dirinya dan tidak membahayakan orang lain.
Al-Quran
menetapkan hak perempuan untuk berkeyakinan dan bekerja berdasarkan aturan
tertentu, dan memberikannya hak sipil secara penuh. Perempuan memiliki hak
memiliki, memberi, menggadai, menjual, dsb.
Al-Quran
memberi perempuan hak untuk belajar dan mencapai derajat keilmuan yang tinggi,
mendorong watak membebaskan dri dari kezaliman dan tiranitas. Al-Quran memberi
contoh dengan Asiyah istri Firaun yang tetap menjaga akidah tauhid yang dia
anut meskipun dalam kondisi terjepit, sehingga dia menjadi teladan. Allah SWT
berfirman:
Dan Allah
membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
Aku dari kaum yang zhalim. (at-Tahrim: 11)
Demikianlah
al-Quran mengungkap keteguhan yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan jika
dia memiliki iman dan persepsi yang benar. Tapi kebalikannya akan terjadi jika
dia menyimpang dari jalur hidayah seperti yang dilakukan oleh Istri Nuh. Dia
menjadi tawanan perasaan dan hawa nafsunya, menjadi seperti bulu ditiup angin.
Hak istri menurut Sunnah
Masalah
perempuan dan hak-haknya sebagai istri atau ibu adalah objek perhatian Sunnah.
Nabi saw bersabda:
“Jibril
terus menerus mewasiatkan istri kepadaku, sampai aku menyangka tidak boleh
mentalaknya kecuali karena kekejian yang nyata.”
Kemudian,
beliau menetapkan tiga hak asasi seorang istri atas suaminya, yaitu memenuhi
kebutuhan pangan, memenuhi kebutuhan sandang yang pantas baginya, dan pergaulan
yang baik dengannya. Beliau bersabda:
“Hak istri
atas suami, diatasi rasa laparnya, ditutupi auratnya, dan tidak diberikan wajah
yang masam.”
Hadits ini
tidak membatasi hak istri pada masalah-masalah material yang primer seperti
makanan dan pakaian saja, tapi menyandingkan hal itu dengan hak mental, yaitu
tidak diberikan wajah yang masam, atau dengan ungkapan lain diperlakukan dengan
baik. Apalagi istri adalah mitra hidup, partner kerja. Salah jika dia
diperlakukan sebagai alat kesenangan dan pembantu dan diperlakukan dengan cara
diberikan perintah.
Selain itu
ada hadits Nabi saw yang mendorong untuk memperlakukan istri secara manusiawi
bahkan meminta pendapatnya meskipun suami tidak bermaksud menerima pendapat itu
di dalam masalah tersebut, karena sikap suami meminta pendapat pada istri
berarti melakukan dialog secara terus menerus dengannya. Inilah yang
diperintahkan oleh akal dan syariat.
Jadi, istri
memiliki hak mental yang menyempurnakan hak-hak materialnya, yaitu hak untuk
dihormati dan dihargai, dan dipilihkan ungkapan-ungkapan yang pantas ketika
berbicara yang melahirkan suasana tenang, menyalakan pelita cinta. Rasulullah
saw bersabda:
“Kata-kata
seorang suami kepada istrinya, ‘Aku mencintaimu’, tidak akan hilang dari hati
istrinya selama-lamanya.”
Jadi,
menghormati istri, menyayanginya, memaafkan kesalahannya yang normal, adalah satu-satunya
jaminan dan cara terbaik untuk kelanggengan rumah tangga. Tanpa menjaga hal-hal
ini, bangunan keluarga akan rapuh. Survey membuktikan bahwa kebanyakan
perceraian terjadi disebabkan oleh penyebab yang sepele.
Seorang hakim
yang selama 40 tahun bertugas menangani kasus perselisihan suami istri,
mengatakan, “Engkau pasti akan selalu menemukan hal-hal yang sepele di dalam
setiap perselisihan suami istri. Jika mereka mau bersabar dan menutup mata atas
kesalahan yang terjadi tanpa disengaja, maka bahtera rumah tangga pasti dapat
diselamatkan dari kehancuran.”
Di dalam
Risalah al-Huquq Imam menerangkan hak istri dan memberikan keterangan tambahan
terhadap hak mentalnya yang berupa kasih sayang dan keintiman. Beliau berkata:
“Adapun hak
istrimu yang engkau miliki dengan nikah, engkau harus mengetahui bahwa Allah
SWT telah menjadikannya sebagai penenang, penenteram, pengintim, dan pelindung.
Demikianlah masing-masing orang dari kalian berdua harus memuji Allah SWT atas
pasangannya, dan mengetahui bahwa pasangannya adalah nikmat yang berikan Allah
SWT kepadanya. Dia wajib memperlakukan nikmat Allah SWT dengan baik,
menghormatinya, dan bersikap lembut kepadanya, meskipun hakmu atasnya lebih
besar, dia lebih wajib taat kepadamu, di dalam hal-hal yang kamu sukai atau
tidak kamu sukai selama bukan maksiat, maka dia memiliki hak kasih sayang dan
keintiman, dan tiada daya kecuali karena Allah.”
Jika kita
mencermati keterangan ini, jelas bagi kita bahwa ikatan suami istri adalah
nikmat terbesar yang harus disyukuri secara verbal dengan cara mengucapkan puji
kepada Allah, dan syukur secara praktis yakni seseorang harus menghormati
istrinya, lembut dan memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang,
menjalin pertemanan yang sejati sebagaimana dia menjalin ikatan persahabatan
dengan orang lain.
Jika dia
bersikap kasar, menghitung setiap kesalahan dan kealpaan, maka urat-urat cinta
dan kasih sayang akan putus. Sikap ini akan menjadi pisau yang sangat tajam
untuk memutus hubungan suami istri yang suci.
Imam Shadiq ra
menjelaskan cara yang harus ditempuh seorang suami untuk menarik hati istrinya
dan tidak memutus tali cintanya. Beliau berkata:
“Seorang
suami tidak bisa mengabaikan tiga hal dalam relasinya dengan istrinya.
Keharmonisan, agar dia memperoleh keharmonisan, cinta, dan gairah istrinya.
Akhlak yang baik terhadap istrinya dan mengupayakan menarik hati istrinya
dengan penampilan yang baik di mata istri. Dan, berlapang dada pada istri.”
Harus
disebutkan di sini bahwa ungkapan-ungkapan tersebut bukanlah sekadar kata-kata
yang dilontarkan ke udara oleh para imam sebagai sebuah nasihat, tapi mereka
telah mempraktekkannya sampai detail dalam kehidupan nyata. Di dalam perilaku
para imam tidak terdapat problematika adanya jurang antara kesadaran dan
kenyataan. Salah satu buktinya adalah, al-Hasan bin al-Jaham meriwayatkan: Aku
melihat Abu al-Hasan bercelak (ihtidhab). Maka, aku berkata, “Aku rela jadi
tebusanmu, engkau bercelak?” Beliau berkata:
“Ya.
Berdandannya suami adalah tindakan yang menambah iffah seorang istri. Wanita
menanggalkan iffah karena suami mereka tidak berdandan. Apakah engkau senang
melihatnya seperti dia melihatmu ketika engkau tidak berdandan?” Aku berkata,
“Tidak.” Beliau berkata, “Itu sama.”
Imam
mengetahui bahwa menarik hati istri merupakan poin sentral dalam kehidupan
rumah tangga. Karena itu, beliau menjaga hak istri dan berusaha menarik hati
istrinya dengan cara berdandan. Sebab, tidak harmonis dalam masalah ini
merupakan salah satu penyebab utama kegagalan perkawinan.
Memang benar
bahwa pernikahan di dalam Islam bukanlah untuk pemuasan hasrat seksual. Seks
hanya media untuk mencapai tujuan pernikahan, yaitu mempersembahkan generasi
yang baik bagi umat manusia. Akan tetapi hal ini tidak membenarkan tindakan
mengabaikan hak istri dalam pemuasan seksual. Karena itu, syariat tidak
membolehkan meninggalkan istri lebih dari 4 bulan.
Hafshah Binti Umar Bin Khattab, Mengumpulkan Mushaf Yang Berserakkan
Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah
putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum
muslimin. Umar Bin Khattab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati
yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah saw dengan Hafshah merupakan bukti
cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan
suaminya, Khunais bin Hudzafah As Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah
berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar.
Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Umar menghadap
Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah
berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya
kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.
Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada
jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang
pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan
pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.
Nasab dan Masa Petumbuhannya
Nama lengkap
Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khatthab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin
Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah.
Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara
perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat
terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah saw, memindahkan
Hajar Aswad ke tempatnya semula sewaktu Ka’bah dibangun kembali setelah roboh
karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fatimah Az Zahra, putri bungsu
Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau.
Beberapa hari setelah Fatimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab.
Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah,
sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita
kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak
perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar
tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar
akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu
kelak menjadi istri Rasulullah.
Hafshah dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam
soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan
ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya.
Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannva dalam membaca dan
menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum
perempuan.
Memeluk Islam
Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam,
karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar Bin Khattab, masih
menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk
Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perernpuannya,
Fatimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa
mereka.
Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan
menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang
yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan
dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan
keislaman, Umar bin Khatthab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak
mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk
di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.
Menikah dan Hijrah ke Madinah
Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin
dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi
para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka
setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat
seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat
mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung
halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya.
Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khatthab, dan di sana dia
melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan
Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun
berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan
dan ketakwaan.
Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah
. menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah
beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka
sekaligus menjaga mereka dari penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam
hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.
Cobaan dan Ganjaran
Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah saw berhasil
menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk
menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain
itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.
Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang
Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba-
hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk
salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah
sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan
mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais
sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman,
sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas
tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.
Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat
muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan
seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke
rumah Abu Bakar As Siddiq dan meminta kesediaannya untuk menikahi
putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian
Umar menemui Utsman Bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi
putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena
istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan
Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah
sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan
maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah
saw bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada
Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik
daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi
karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan
meminang putrinya.
Umar bin Khattab merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk
menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui
Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak
bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah
telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia
beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan
menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi
putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah
dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat
terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum,
dia dijuluki dzunnuraini
(pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah saw dengan Hafshah lebih dianggap
sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah
seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Berada di Rumah Rasulullah
Di rumah Rasulullah saw, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah
binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat
mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zam’ah yang
menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khatthab, sahabat
Rasulullah yang terhormat.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia
pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan
menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha
terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha
dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah
menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi
perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih
saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang
dada Rasulullah saw mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara
istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat
Mariyah Al Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh
dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang
ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya
tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian
itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha
membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan
Mariyah baginya kalau Mariyah tidak meminta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta
agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.
Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu
terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra
Rasulullah setelah Siti Khadijah. Kejadian itu segera menyebar, padahal
Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu
akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian
riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah saw menceraikan
Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat
ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa
Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau
dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai
istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan
Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena Hafshah sangat menyesali perbuatannya
dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.
Umar bin Khatthab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan
amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar
bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah saw pada tempat terpenting yang
harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena
memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan
suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu
yang tersebar.
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya
bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian
membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara
rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka
tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah
memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada
Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah
kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala
(Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah
bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab,
‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu
berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu
membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu
pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat
adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan
memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang
patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang
berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5).
Cobaan Besar
Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan
hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah
senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.”
Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta
tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar
melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi
perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil
putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat
membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak
harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah
untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka
menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari
kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan
dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu
itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat,
sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian
pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab)
Rasulullah saw menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar
yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu
kamar.
Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah
telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah
Umar bin Khatthab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis.
Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak
Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu
sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi,
aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan
menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari
Rasulullah . menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah
beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar
mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang
ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya
kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang
ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi
penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di
sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri-istri
beliau. Dan memang benar, Rasulullah saw tidak akan menceraikan istri-istri
beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada
kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah saw tidak
menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut,
dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.
Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali
kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau
mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan
sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada
Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah.
Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu
berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di
bagian timur maupun barat.
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu
Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi
fitnah besar antar sesama muslim yang menuntut balas atas kematian Khalifah
Utsman hingga masa pembai’atan Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika
itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya,
“Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak
termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin
Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di
rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Hafshah wafat
pada tahun ke 47 pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia
dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang
lain.
Pemilik Mushaf yang Pertama
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya A1 Qur’an di tangannya
setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi saw yang
pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al Qur’an terjaga di dalam dada
dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau
lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al Qur’an banyak yang gugur
dalam peperangan Ridda (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu
mendorong Umar bin Khatthab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al
Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al
Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada
zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu
bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus
menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al Qur’an itu berada di rumah Hafshah
hingga dia meninggal.
Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah
memberinya tempat yang layak.
Langganan:
Postingan (Atom)