Oleh: Chaerol Riezal dan Maulida
Isdar
Partai Nasional Indonesia Dan
Lahirnya Partai Nasional Indonesia (PNI Baru)
PNI
didirikan di Bandung pada 4 Juli 1927 oleh kaum terpelajar yang yang dipimpin
oleh Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar itu tergabung dalam Algemene Studieclub (Bandung) dan
kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia yang telah kembali
ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya. Ini
terlihat dari strategi perjuangannya yang berhaluan nonkooperasi. PNI tidak mau
ikut dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah.
Tujuan
PNI adalah kemerdekaan Indonesia, dan tujuan itu akan dicapai dengan asas
“percaya pada diri sendiri”. Artinya: memperbaiki keadaan politik, ekonomi,
sosial, dan budaya yang sudah dirusak oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri.
Semua itu akan dicapai melalui berbagai usaha, antara lain:
1.
Usaha
Politik
Yaitu
dengan cara memperkuat rasa kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan
pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia
dan menumpas segala perintang kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidamh
politik, PNI berhasil menghimpunorganisas-organisasi pergerakan lainnya ke
dalam suatu wadah yang disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia.
2.
Usaha
Ekonomi
Yaitu
dengan memajukan perdagangan rakyat, kerajinan atau industri keci, bank-bank,
sekolah-sekolah, dan koperasi.
3.
Usaha
Sosial
Yaitu
dengan memajukan pengajaran yang bersifat nasional, mengurangi pengangguran,
mengangkat derajat kaum wanita, meningkatkan transmigrasi dan memperbaiki
kesejahteraan rakyat.
Gerakan
PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali
Sasrtoamijoyo, Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di
Indonesia. Ir. Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan
rakyat sesuai dengan tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada
organisasi-organisasi pemuda hingga melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi
wanita yang melahirkan Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
Melihat
gerakan dan pengaruh PNI yang semakin luas, pemerintah kolonial menjadi cemas,
maka dilontarkanlah bermacam-macam isu untuk menjelekkan PNI. Bahkan kemudian
mengancam PNI agar menhentikan kegiatannya. Rupanya Belanda belum puas dengan
tindakannya itu, maka PNI pun dituduh melakukan pemberontakan. Pemerintah
Belanda melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap tokoh-tokoh PNI di
seluruh wilayah Indonesia pada 24 Desember 1929.
Akhirnya
4 tokoh teras PNI yaitu: Ir. Soekarno, Gatot Mangkoepradja, Markoen
Soemadiredja, dan Soepiadinata diadili di Pengadilan Negeri Bandung dan dijatuhi
hukuman penjara pada 20 Desember 1930. Peristiwa ini merupakan pukulan besar
bagi PNI dan atas inisiatif Mr. Sartono pada Kongres Luar Biasa ke-2 (25 April
1931) PNI dibubarkan.
Kemudian
Sartono mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Tetapi tindakan ini membawa
perpecahan yang mendalam. Ketergantungan pada seorang pemimpin, dikritik habis
oleh mereka yang menentang perubahan PNI. Mereka menyebut dirinya “Golongan
Merdeka”, kemudian membentuk partai baru, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia
atau PNI Baru.
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru)
Pendidikan
Nasional Indonesia (PNI-Baru) ini lahir pada bulan Desember 1931. Organisasi
ini dipimpin oleh orang-orang yang memiliki gaya yang berbeda dengan Soerkarno.
Dari
sini muncul tokoh baru yaitu Sultan Syahrir (20 tahun) yang waktu itu masih
menjadi mahasiswa di Amsterdam. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu
sama, yaitu kemerdekaan Indonesia dan nonkooperasi, tetapi strategi
perjuangannya berbeda. PNI Baru lebih menekankan pentingnya pendidikan kader.
Mohammad
Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk menerbitkan
majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta
mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang mempertahankan asa
kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan
pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke
Indonesia pada bulan Desember 1931 untuk membantu “Golongan Merdeka” serta
membantu “Daulat Rakjat”.
Pada
tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada bulan
Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan
penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut diberi nama
Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi
sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris
cabangnya adalah Djohan Sjahroezah.
Kemudian
dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di
Bandung, Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia
menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru adalah
sebagai suatu partai kader politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa
PNI Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup
panjang dan rumit yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk
membawa PNI Baru sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian besar
pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada awal tahun 193, Pimpinan Umum PNI
Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.
Dimasukkannya
kata “Pendidikan” ke dalam nama partai mengandung maksud yang serius. Sebagian
besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para
anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan
tulisan-tulisan lain, termasuk risalah “Kearahan Indonesia Merdeka” (KIM) yang
secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.
Arah
sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang
mencakup banyak aspek politik, ekonomi, dan sosial. Secar keseluruhan,
jawaban-jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana,
bahwa kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi
dalam suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang
ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan
realita jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pernyataan (kunci) sebagai
berikut, “Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup?”. Jawabannya, “Demokrasi
politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhakan oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang
ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat masih menderita dibawah kekuasaan kaum
kapitalis dan majikan”.
Suasana
dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dan
kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada “Workers
Education Essocition” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang berusaha
memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA
mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian
kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun
anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar mereka
adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan
politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas
gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah
kepemimpinan Hatta dan Sjharir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas
dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi
oleh pergerakan kebangsaan.
Malai
tahun 1933, dengan meningkatnya tekanan politik dari pemerintah Belanda, PNI
Baru akan menempuh taktik-taktik yang membedakannya dengan PNI Lama. Para
pemimpin PNI Baru kemudian mengembangkan pandangan bahwa aksi massa benar-benar
sulit, jika bukan msutahil, dilaksanakan dalam lingkungan seperti itu, dan
ketergantungan hanya kepada seorang pemimpin saja dapat mengakibatkan lumpuhnya
suatu partai apabila sang pemimpin ditangkap. Oleh karena itu, PNI Baru lebih
bertujuan menghasilkan kader-kader pemimpin yang dapat menggantikan para
pemimpin yang ditangkap.
Yang
pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun
Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo
seperti gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa
syarat. Bagi Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila
didasarkan pada pengertian atas prinsip-prinsip bersama.
PNI
Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi
Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu
peoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul
analisis-analisis tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang
saling melengkapi dan berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam
suatu gambaran global. Tentu saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut
analisis-analisis mengenai imperialisme dan tatanan sosial, PNI Baru tidak
memiliki ideologis.
Kesadaran
diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui
kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika
anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang
sependirian dan generasi yang lebih muda keluar Partai Sosialis untuk
mendirikan PSI.
Disini
tampak jelas adanya pengaruh-pengaruh Marxis terhadap PNI Baru, karena
organisasi ini merasa yakin akan perlunya perjuangan melawan kaum borjuis
pribumi, sehingga membuatnya jatuh dari kalangan dagang Islam maupun priyayi
pemerintahan. Dengan demikian, gerakan nasionalis yang tidak bersifat keagamaan
terpecah antara model “aksi massa” dan model “pembentukan kader”. Sesungguhnya,
pada tahun 1930-an, kedua model tersebut sama-sama tidak mempunyai peluang
untuk berhasil, juga karena politiknya yang sangat kolot dan keras dari
Gubernur Jenderal de Jonge. Karena kegiatan aktivitas politik PNI Baru yang
dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda, maka pada tanggal
25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan,
Baurhanuddin, Murwoto Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman,
Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman, dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan
Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pemimpin PNI Baru lainnya diasingkan
ke Boven Digul. Di samping itu, pemimpinnya kemudian di tangkap dan dibuang ke
luar Jawa.
Partindo, PNI Baru, Dan Gerindo
Setelah
pergeledahan dan penangkapan terhadap beberapa pemimpin PNI, Mr. Sortono dan
Ir. Anwari mengambil alih pimpinan pusat PNI. Pada tanggal 19 Januari 1930,
Sartono dan Anwari mengeluarkan perintah kepada pengurus-pengurus cabang dan
para anggotanya agar menghentikan semua kegiatan politik dan membatasi kegiatan
pada bidang sosial dan ekonomi. Pada tanggal 22 Desember 1930 Landraad Bandung mengeluarkan keputusan
terhadap Ir. Soekarno dkk. Keputusan itu memberikan angin akan rupa langkah
baru yang akan diambil oleh Pengurus Besar PNI. Pada bulan Februari 1931
dilangsungkan kongres luar biasa PNI di Yogyakarta untuk membicarakan situasi
politik waktu itu dan langkah-langkah yang akan ditempuh. Kongres antara lain
memutuskan memberikan mandat kepada Pengurus Besar PNI tentang sikap
selanjutnya yang akan diambil sesudah putusan dari Raad van Justitie.
Sesudah
keluar putusan dari Raad van Justitie, dengan
mandat yang diterima Pengurus Besar itu, pada tanggal 25 April 1931 (seminggu
setelah keluar putusan dari Raad van
Justitie) atas putusan kongres luar biasa dinyatakan pembubaran PNI dengan
alasan karena keadaan yang memaksa. Keputusan itu diambil antara lain atas
pertimbangan bahwa putusan hukuman itu tidak hanya menimpa keempat pimpinan
PNI, tetapi juga mengenai organisasi PNI. Kemudian pada tanggal 29 April 1931,
di Jakarta didirikan partai politik baru dengan nama Partai Indonesia
(Partindo). Pada dasarnya, Partindo adalah PNI dengan nama lain. Para
pemimpinnya yakin bahwa cara itu akan mencegah tindakan dari pemerintah
penentang Partindo.
Dalam
maklumatnya tertanggal 30 April 1931 dalam majalah Persatuan Indonesia dinyatakan bahwa Partindo berdiri di atas dasar
nasionalisme Indonesia, self help,
dan tujuannya adalah kemerdekaan Indonesia. Dalam mencapai tujuan itu, Partindo
yang dipimpin oleh Sartono akan mendasarkan pada kekuatan sendiri. Anggota
Partindo sebagian besar berasal dari anggota PNI. Pada permulaan bulan Februari
1932, Partindo mempunyai anggota sekitar 3.000 orang.
Golongan
Merdeka tidak senang melihat pembubaran PNI itu yang kemudian disusul dengan
Partindo. Mereka tidak tinggal diam, tetapi berusaha untuk mendirikan suatu
organisasi sendiri. Mereka selalu berhubungan dengan Mohammad Hatta yang masih
berada di negeri Belanda. Akhirnya, pada bulan Desember 1931 di Yogyakarta
didirikan organisasi baru bagi mereka dengan nama Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI-Baru).
Jika
PNI-Baru dibandingkan dengan Partindo, pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang
besar. Kedua organisasi itu berdiri di atas dasar yang tidak jauh berbeda,
yaitu nasionalisme Indonesia dan demokrasi. Tujuannya adalah kemerdekaan
Indonesia yang hendak dicapai dengan kekuatan sendiri tanpa meminta bantuan
siapa pun (self-help) dan tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Perbedaan adalah dalam cara mencapai
tujuan. PNI-Baru berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak akan dapat
dicapai dengan agitasi belaka, tetapi memerlukan kerja yang terorganisasi.
Kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui usaha-usaha orang-orang yang terdidik.
Tidak
lama sesudah PNI-Baru lahir, Ir. Soekarno yang baru menjalani setengah hukuman
yang dijatuhkan kepadanya, pada tanggal 31 Desember 1931 dibebaskan dari
penjara. Ia kemudian selama enam bulan lebih berusaha keras untuk menyatukan
partai itu, tetapi tidak berhasil, dan akhirnya ia masuk Partindo.
Setelah
Ir. Soekarno kembali dan memimpin Partindo, partai ini yang sebelumya kurang
berani jika dibandingkan dengan PNI mengalami perkembangan pesat. Jumlah
anggotanya dan cabangnya meningkat. Isi pidato-pidatonya makin lama makin
berani. PNI-Baru baru berkembang pesat setelah organisasi ini dipimpin oleh
Sultan Syahrir dan kemudian Mohammad Hatta. Pada tahun 1932, PNI-Baru sering
mengadakan rapat propaganda. Materi yang disampaikan antara lain tentang
riwayat pergerakan nasional Indonesia, kemerdekaan Indonesia, kedudukan daerah
jajahan dan daya upaya untuk mencapai kemerdekaan itu, persatuan, kapitalisme,
dan imperialisme. Jumlah anggota meningkat walaupun kalah jika dibandingkan
dengan Partindo.
Makin
meningkatnya perjuangan kedua partai ini, menimbulkan rasa khawatir di kalangan
pemerintah. Kemudian dibuatlah berbagai macam peraturan yang bermaksud hendak
mengekang perkembangannya. Tindakan pertama yang dilakukan oleh Gubernur
Jenderal de Jonge adalah dengan dikeluarkannya ordonansi pengekangan pers.
Sejak berlakunya ordonansi ini tahun 1931 sampai tahun 1936 (selama
pemerintahan de Jonge) sebanyak 27 surat kabar menjadi korban.
Setelah
keluar ordonansi, kebebasan berbicara dalam rapt-rapat menjadi sangat terbatas.
Polisi yang biasa menghadiri rapat-rapat dianjurkan agak bertindak lebih keras.
Atas dasar itu, polisi-polisi dapat bertindak sesuka hati. Mereka dapat
memberhentikan pembicara-pembicara dalam suatu rapat jika sekiranya materi yang
dibicarakan menyinggung pemerintah. Demikian pula jika dalam rapat-rapat partai
diperlihatkan simbol-simbol nasional Indonesia. Tekanan-tekanan yang demikian
itu tidak hanya menimpa Partindo dan PNI-Baru, tetapi juga partai-partai
lainnya.
Usaha
pemerintah untuk mematikan Partindo dan PNI-Baru tidak hanya dengan cara
tersebut. Untuk mengurangi jumlah anggota, dikeluarkannya larangan terhadap
para pegawai pemerintah untuk memasuki kedua partai itu. Pegawai-pegawai
pemerintah yang terlibat dalam aksi-aksi golongan nonkooperasi ini dikenai
hukuman. Tindakan pemerintah yang lain untuk menekan kedua partai itu ialah
dengan dilaksanakan exorbitant rechten hak
luar biasa yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal untuk mengasingkan seseorang
yang dianggap membahayakan ketentraman umum. Mereka yang dianggap berbahaya
diasingkan ke Boven Digul di Irian
Jaya.
Hak
luar biasa Gubernur Jenderal tersebut menimpa pemimpin-pemimpin Partindo dan
PNI-Baru. Ir. Soekarno yang baru dibebaskan dari penjara pada akhir tahun 1931,
pada bulan Juli 1933 ditangkap lagi. Tanpa diadili kemudian ia diasingkan ke
Flores, kemudian dipindah ke Bengkulu, Sumatra, sampai pembebasannya oleh
pemerintah pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Reaksi Terhadap Penggeledahan
Pemerintah
Sikap
Vanderlandse Club yang jelas
anti-gerakan nasional dan ketakutan kalangan Belanda serta hasutan pers Belanda
terhadap propaganda Partai Nasional Indonesia adalah faktor-faktor penting yang
memengaruhi perintah dalam melakukan tindakan. Bagaimanapun, pihak pemerintah
mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan politik penjajahan dan melindungi warga
negara Belanda. Demikianlah, pada tanggl 10 Januari Kiewiet de Jonge, selaku
wakil pemerintah, memberikan keterangan tentang alasan penggeledahan dan
penangkapan para anggota pengurus Partai Nasional Indonesia. Nada dan isinya
sama dengan hasutan pers Belanda. Dikatakannya bahwa kegiatan Partai Nasional
Indonesia menyebar benih ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang lambat laun
menimbulkan ketegangan dan akhirnya pasti menimbulkan pemberontakan. Berita
yang serius ini harus segara disusul dengan tindakan cepat untuk menjaga
keselamatan dan menghindarkan kemungkinan meletusnya pemberontakan.
Nada
dan irama keterangan pemerintah itu tidak mengherankan kalangan Indonesia baik
yang duduk dalam Volksraad sebagai wakil golongan maupun yang ada di luar.
Tidak ada orang yang percaya akan maksud menimbulkan pemberontakan dari pihak
Partai Nasional Indoensia. Keterangan pemerintah itu tidak dapat memberikan
keyakinan kepada para Volksraad yang berhaluan kooperatif dan kepada para
nasionalis Indonesia yang bersikap nonkooperatif. Demikianlah, alih-alih
menjadi reda, suasana menjadi bertambah tegang. Baik nasionalis lunak maupun
nasionalis keras bertekad untuk menggalakkan usahanya dalam menghadapi politik
penjajahan. Pada tanggal 12 Januari, PPPKI mengadakan rapat umum untuk protes
dan mengutuk tindakan pemerintah dan menganjurkan kemerdekaan sampai
cita-citanya terkabul. Nasional lunak yang duduk sebagai angota Volksraad pada
tanggal 27 Januari, membentuk Nationale
Fractie (Fraksi Nasional) dengan tujuan untuk memerjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui saluran legal.
Tanggal
27 Januari 1930, M.H. Thamrin mengumumkan lahirnya Fraksi Nasional dalam
Volksraad, yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia
secepat-cepatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Fraksi Nasional melakukan
usaha-usaha seperti berikut:
1. Berusaha
mencapai perubahan ketatanegaraan,
2. Berusaha
melenyapkan semua perbedaan-perbedaan politik, ekonomi, dan tingkat pendidikan
yang diakibatkan oleh antitesis kolonial.
3. Menggunakan
semua jalan yang sah untuk tujuan tersebut.
Anggota
Volksraad yang masuk sebagai anggota Fraksi Nasional adalah Kusumo Utomo,
Mochtar, Soangkupon, Surono, Dwijosewojo, Otto Iskandar Dinata, Sukardjo
Wirjopranoto, Mohammad Noor, Abdul Rasyid, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Moh.
Husni Thamrin. Fraksi Nasional dipimpin oleh H.M Thamrin. Anggota Fraksi
Nasional berjumlah 10 orang, berasal dari berbagai perkumpulan dan berbagai
suku. Meskipun disadari sepenuhnya bahwa keanekaragaman keanggotaan itu
mencerminkan kelemahan komposisi Fraksi Nasional dalam tindakan-tindakannya,
harus diakui bahwa perbentukan Fraksi Nasional adalah salah satu usaha untuk
menjatuhkan segala tenaga nasional yang ada di dalam Volksraad sebagai wakil
dari masing-masing perkumpulan. Penyatuan tenaga nasional itu bersifat mutlak
untuk menghadapi pihak lawan. Sementara itu, Soekarno, Maskun, Gatot
Mangkrupradja, dan Supriadinata tetap ditahan di rumah kurungan di Bandung
menunggu perkara dimajukan di pengadilan.
Sudah
sewajarnya bahwa perjuangan baru itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai
dengan paham penafsiran masing-masing. Belum lagi dapat dipastikan bahwa
pemerintah akan mengambil tindakan lebih lanjut terhadap PNI sesuai dengan
bunyi pasal 169 yang diterapkan pada proses perkara Soekarno; karena tindakan
yang berkelanjutan itu berarti pengintensifan perjuangan pergerakan nasional
menuju kemerdekaan. Pembubaran partai tidak akan dilakukan oleh pemerintah.
Paling barter adalah perintah untuk membatasi geraknya. Jika ditafsirkan dari
sudut itu, tindakan Sartono dapat dikatakan gegabah. Ada lagi interpretasi lain
yang menghendaki agar pembubaran partai itu ditawarkan dalam rapat umum
disertai penjelasan lengkap, demikian suara harian Keng Po. Dalam Bintang Timur,
Hatta menyalahkan tindakan Sartono. Dikatakannya bahwa pemerintah tidak
akan mengeluarkan perintah pembubaran PNI untuk menghindari tumbuhnya paham
komunis. Akan tetapi, pemerintah akan berusaha sekeras-kerasnya untuk
melemahkan dan melumpuhkan PNI. Dalam hal itu, jawaban yang paling tepat adalah
bahwa pihak PNI harus memperkuat diri untuk menghadapi tindakan pemerintah.
Dengan jalan demikian, hak hidup partai dipertahankan sampai saat yang
terakhir. Siapa pun boleh memberikan tafsiran menurut pahamnya masing-masing.
Pahamnya itulah yang dianggap benar, namun kebenaran masih merupakan khayalan.
Kenyataan yang harus diterima adalah bahwa Sartono mengambil kebijakan sendiri
untuk membubarkan PNI, tidak menunggu perintah pembubaran dari pihak
pemerintah. Apakah pemerintah akan mengeluarkan perintah pembubaran atau tidak,
itu pun pada hakikatnya teka-teki. Penilaian kebijaksanann Sartono sebagai
pemimpin partai baru dapat dilakukan setelah memerhatikan sepak terjang
Partindo sebagai penjelmaan PNI yang dikenakkan pasal 169 KUHP pada proses
perkara Soekarno. Manifesto Partindo yang dikeluarkan tanggal 1931 sesuai
dengan cita-cita politik Moh. Hatta. Soal pembentukan kader, asa self-help, penerapan pedagogi sosial
dalam pendidikan massa, dan lain-lain sudah sesuai dengan angan-angan Hatta.
Di
penghujung bulan Desember 1931, Sultan Sjahrir tidak setuju dengan Partindo,
dan mendirikan partai baru yang bernama Pendidikan Nasional Indonesia (PNI).
Singgkatan partai baru yang dipimpin Sultan Sjahrir itu sama dengan singkatan
PNI Lama yang telah dibubarkan. Untuk menghindari salah paham, PNI Sjahrir ini
disebut PNI Baru. Pendidikan Nasional Indonesia didirikan di Yogyakarta. PNI
Baru mempunyai haluan sosial-revolusioner. Watak sosial-revolusioner itu dinyatakan
dalam pembentukan organisasi massa proletariat yang diharapkan pada kapitalisme
dan borjuis, tidak pandang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri.
Bagaimanapun, perjuang kelas terhadap kapitalisme dan borjuis tidak dapat
dielakkan. Untuk tujuan itu, diperlukan kader-kader terdidik yang harus
mengajar massa. Demikianlah, PNI Baru itu diam-diam bergerak di dalam
masyarakat, namun mengutamakan pendidikan kader. Justru itulah sebabnya partai
baru itu bermaksud untuk merealisasikan tujuan pembentukan masyarakat yang
bebas dari pengaruh kapitalime dan imperialisme. Kapitalisme dan imperialisme
itulah sebenarnya diciptakan kelas-kelas dalam masyarakat. Paham yang dianut
PNI Baru itu adalah paham Sosialisme-Marxisme. Justru perkembangan Marxisme
yang demikian itulah yang sangat ditakuti oleh pihak pemerintah. Oleh karena
itu, meskipun PNI Baru bekerja secar diam-diam, ia dianggap membahayakan
kedudukan pemerintah kolonial.
Partindo
adalah partai massa. Di mana-mana mengadakan propaganda dalam rapat untuk memperoleh
massa pengikut. Sesuai dengan cara kerja Partai Nasional Indonesia, Partindo
mengarahkan kegiatannya pada pembentukan massa-aksi. Tujuan utama Partindo
adalah mencapai kemerdekaan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan kesatuan barisan
kulit berwarna yang harus menghadapi pemerintahan asing. Kesatuan kulit
berwarna yang dimaksut oleh Partindo tidak memperhitungkan perbedaan kelas dan
kepercayaan, seperti dinyatakan dalam siarannya tanggal 1 Mei 1931. Jelaslah,
musuh utama dalam perjuangan kemerdekaan adalah imperialisme. Demikianlah,
Partindo itu berbahaya bagi pemerintah karena aksinya; PNI Baru karena
ideologinya. Dari sudut inilah kita akan menilai tindakan pemerintah terhadap
kedua gerakan nasional tersebut.
Sebelum
Gubeenur Jenderal Greaff meninggalkan Indonesia, ia masih sempat memberikan
jasanya kepada pergerakan nasional Indonesia, yang ditindasnya selama
pemerintahannya. Demikanlah, tindakan Gubernur Jenderal itu jika boleh disebut
sebagai jasa. Tindakan yang dimaksud adalah memberi grasi kepada Soekarno yang
ditetapkan pada tanggal 4 September 1932: hukuman Soekarno dari 4 tahun
dikurangi 2 tahun. Pada bulan itu juga, ia diganti oleh Gubernur Jenderal de
Jonge. Tanggal 14 Desember 1931, Soekarno menulis surat kepada Mr. Sartono
bahwa ada maksud dari kaum pergerakan nasional dari berbagai tempat untuk
beramai-ramai menjemput Soekarno pada tanggal 31 Desember 1931 di halaman
penjara Sukamiskin. Sehubungan dengan maksud itu dan bertalian dengan zaman
meleset (malaise) yang sedang
mengganas, ia menghendakai maksud itu dibatalkan. Kawan-kawan dari Bandung dan
sekitarnya bisa bertemu dengannya sepanjang hari di rumah karena baru pada hari
berikutnya ia akan berangkat ke Jawa Timur untuk menghadiri kongres Indonesia
Raya, yang sengaja diselengarakan untuk menyambut bebasnya Soekarno dari
penjara. Kongres Indonesia Raya diadakan pada tanggal 1-3 Januari 1932,
dipimpin oleh Dr. Sutomo, bertempat di Surabaya. Di setiap stasiun yang dilalui
oleh Soekarno dalam perjalanan menuju Surabaya, ia disambut oleh kawan-kawannya
yang sepaham, ini suatu bukti bahwa Soekarno masih mendapat simpati dari
masyarakat. Juga dalam kongres itu, ia mendapat cukup kesempatan untuk
berbicara.
Setelah
kenyataan bahwa setelah keluar penjara Sukamiskin, Soekarno dihadapkan pada
pilihan antara dua partai revolusipner, yakni Partindo di bawah pimpinan
Sartono dan PNI Baru di bawah pimpinan Sjahrir. Sedangkan Partai Nasional
Indonesia telah dibubarkan.
Dampak Penahanan Pemimpin
Dalam
masa Soekarno meringkuk di penjara Sukamiskin, beberapa pihak mencoba mengatasi
situasi dengan berbagai jalan yang sudah barang tentu cocok dengan cita-cita
serta kepentingan masing-masing. Mengingat keanekaragaman haluan dan strategi
politik, maka reaksi-reaksi yang bermacam-macam itu menciptakan situasi politik
yang sangat kompleks. Ketegangan dan konflik terjadi secara bertubi-tubi, suatu
proses yang hanya membuat perpecahan menjadi bertambah parah. Apakah skenario
yang penuh konflik itu memang telah dibayangkan oleh pemerintah Hindia
Belanda–yang lazim digambarkan terampil dalam menjalankan politik divide et impera–hal itu tidak
diketahui. Yang jelas ialah bahwa motif penangkapan para pemimpin ialah untuk
mencegah terulangnya huru-hara tahun 1926, sekaligus memperlemah kedudukan PNI,
dan rupanya sama sekali tidak untuk menumpas organisasi nasionalnya.
Gubernur
Jenderal de Graeff sebagai seorang liberal lebih condong menjalankan politik
toleransi, namun desakan golongan konservatif di Negeri Belanda dan Indonesia
memaksanya bertindak keras. Tafsiran dari pihak kaum nasionalis terhadap
politik itu berbeda-beda sehingga berbedalah pula reaksinya.
Sartono
dengan pandangannya yang legalistik segera menginstruksikan agar semua kegiatan
cabang sementara waktu dihentikan, bahkan berusaha untuk membubarkan PNI serta
kemudian mendirikan partai baru. Tindakannya itu dimaksudkan agar dengan
identitas baru organisasi baru tidak menjadi sasaran dan buronan penguasa.
Sikap seperti itu dikritik secara pedas oleh Moh. Hatta yang mengatakan bahwa
PNI telah bunuh diri sebelum berhadapan benar-benar dengan lawannya. PNI yang
menjalankan politik elitis gagal dalam memobilisasikan massa. Dengan mengambil
sikap tersebut, telah kehilangan kewibawaannya di kalangan rakyat pada umumnya,
di antara para anggota khususnya.
Ada
sekelompok anggota PNI yang tidak mau mengikuti haluan Sartono; mereka
mendirikan studieclub di beberapa
tempat antara lain di Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan
Pelembang. Kemdian mereka mendirikan sendiri Golongan Merdeka, yang kemudian
lebih terkenal sebagai PNI-Baru.
Seperti
diketahui Soetomo mengambil kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yaitu
mendirikan organisasi tersendiri dengan gaya dan isi yang berbeda dari PNI
dengan politik agitasinya. PBI didirikan lebih cenderung untuk bergaya sebagai
aktivitas sosial-ekonomis.
Menurut
pandangan Moh. Hatta kesimpangsiuran dan kekacauan di kalangan kaum nasionalis
adalah adanya manifestasi krisis ideologi. Sesungguhnya meskipun gayanya
berbea-beda, isi perjuangan kaum nasionalis seharusnya sama, sehingga banyak
konflik dapat diatasi. Disinilah sebenarnya letaknya persatuan dan tidak
seperti yang dikonsepsikan Soekarno tentang hakikat organisasi PPPKI. Seperti
apa yang kemudian dirumuskan oleh Golongan Merdeka yang kemudian terhimpun dengan
nama PNI-Baru atau Pendidikan Nasional Indonesai, ialah bahwa ideologi politik
harus berdasarkan kebangsaan dan kerakyatan (nasionalisme dan demokrasi).
Pada
ummnya, bentuk-bentuk alternatif tidak memakai gaya politik agitasional, tetapi
bergaya sosial-ekonomis. Lagi pula organisasi perlu disusun sebaik-baiknya
dengan tidak secara langsung mencoba menggerakkan massa, melainkan
menyelanggarakan kaderisasi pemimpin yang cakap.
Apabila
dalam kerangka PPPKI telah timbul perpecahan antara PSI dan organisasi sekuler,
maka di lingkungan organisasi-organisasi yang disebut terakhir pertentangannya
menjadi-jadi, khususnya antara Partindo dan PNI-Baru.
Pihak
pertama beranggapan bahwa dia adalah kelanjutan PNI Lama serta waris
niali-nilai perjuangannya. Dalam situasi baru semua kegiatan dilakukan secara
berhati-hati, namun tanpa meninggalkan ideologi politiknya, ialah kemerdekaan
Indonesia, swadaya, menentukan nasib sendiri, swadesi, dan kedaulatan rakyat.
Di samping rapat-rapat umum juga diusahakan adanya perkumpulan debat, koperasi,
kursus-kursus, dan lain sebagainya. Partindo mempunyai cabangnya terutama di
Jawa Barat, khususnya di Batavia dan Bandung. Di antara anggota-anggotanya
terdapat banyak pengikut gigih Soekarno. Pada awal 1932 jumlah anggota ditaksir
lebih kurang tiga ribu orang, yang sebagian besar terdapat di Batavia, termasuk
pula para mahasiswa RHS dan GHS.
Intervensi
pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kejutan di kalangan anggota PNI dan
banyak yang menyadari arti kritik yang dilancarkan oleh Moh. Hatta, antara lain
politik agitasi lebih mudah dijalankan daripada menyusun organisasi yang baik
dan melatih para anggotanya untuk menjadi kader politik yang baik.
Pidato-pidato yang berkobar-kobar adalah hal yang dangkal dan tidak mempunyai
pengaruh yang mendalam. Pertumbuhan partai lewat kaderisasi lebih mantap
daripada lewat mobilisasi dengan demagogi. Kegiatan kelompok-kelompok kecil
lebih terarah pada aktivitas untuk meningkatkan kesejahteraan sosial rakyat,
antara lain kopersi- kursus-kursus, dan lain sebagainya. Besarlah kekecewaan di
kalangan PNI akan peristiwa intervensi gubernemen. Mereka yang tidak ikut
ajakan Sartono mulai bergabung dengan nama Golongan Merdeka, antara lain
dibawah pimpinan Soedjadi. Kemudian terjadi proliferasi dan di berbagai tempat
didirikan perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya dapat dihimpun dalam PNI Baru.
Kedua
aliran tersebut diatas sebenarnya mewakili antagolisme yang timbul antara
Soekarno dan Moh. Hatta. Sesungguhnya debat telah berjalan cukup lama;
persoalannya sesungguhnya tidak menyangkut isi asas tujuan perjuangan nasional,
melainkan lebih menyangkut soal gaya politik. Pada hakikatnya gaya itu memang
dapat dikembalikan pada perbedaan kepribadian. Dengan keulungan berpidato
Soekarno lebih mudah menggerakkan massa serta menanam kesadaran serta semangat
nasional. Sebaliknya Moh. Hatta adalah termasuk tipe pemikir dan mahir dalam
merumuskan prinsip perjuangan serta menganalisis situasi politik. Kalau
Soekarno sangat mampu membuat agitasi, Hatta lebih memikirkan organisasi. Oleh
karena bagi yang kedua kaderisasi vital, maka yang lebih diutamakan adalah
pendidikan politik. Akibatnya intervensi gubernemen Hindia Belanda menunjukkan
bahwa politik agitasi Soekarno tidak banyak mempunyai dampaknya.
Arena
politik yang diciptakan oleh pergerakan nasional sejak 1927 terisi oleh
forum-forum yang diciptakan oleh rapat-rapat umum, kongres-kongres, dan
berbagai bidang ekonomi dan sosial. Media massa kemudian mengkomunikasikan
segala kegiatan itu secara luas kepada khalayak ramai. Dalam hal ini sangat
menonjollah peranan golongan nonkooperasi, khususnya PNI dan kemudian Partindo
dan PNI Baru. Proses yang terjadi ialah pendidikan politik atau sosialisasi
politik bagi anggota kedua partai tersebut. Dengan demikian, terjadilah proses
pemahaman dan penyadaran dengan konsep-konsep, seperti pemahaman serta
penyadaran sehubungan dengan masalah kebangsaan, kerakyatan, kemerdekaan,
swadaya, swadesi, dan lain sebagainya. Secara khusus Soekarno memasukkan konsep
marhaenisme, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi.
Ideologi Politik
Dalam
menjalankan sosialisasi politik para pemimpin partai nasionalis sebagai elite
modern menghadapi masalah bagaimana mencapai dan memobilisasi massa, mengingat
bahwa mereka terpisah oleh jarak sosial dari rakyat. Berbeda dengan SI (PSI)
yang berdasarkan ideolgi religius, PNI dan kemudian Partindo atau PNI Baru
sebagai organisasi nasionalis sekuler membutuhkan ideologi politik yang
nonrelegius. Dalam hal ini lingkungan PNI Soekarnolah yang telah banyak memberi
sumbangan konsepsi-konsepsi politik, antara lain konsep marhaenisme,
sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasinya.
Menurut
pandangan Soekarno, jalan untuk menghadapi kolonialisme dengan kapitalismenya
tidak lain ialah dengan menggerakkan massa yang paling menderita sebagai korban
sistem kolonial itu. maka dari itu, ideolgi nasionalisme sewajarnya mencakup
aksi massa dari rakyat menjadi sosio-nasionalisme. Selanjutnya peningkatan
taraf hidup rakyat baru dapat dilaksanakan setelah kolonialisme terhapus; maka
dikatakannya bahwa perjuangan antikolonialisme merupakan “jembatan emas” menuju
ke alam merdeka dan sejahtera. Perjuangan itu dengan sendirinya menjadi
pertentangan ras. Meskipun demikian, Soekarno juga menyatakan bahwa perjuangan
melawan kapitalisme perlu dilakukan juga.
Justru
dalam hal ini, PNI Baru mempunyai strategi yang berlawanan dengan Soekarno.
Disangsikannya apakah agitasi politik itu sebagai sosioalisasi politik
betul-betul efektif dan sebaliknya menurut anggapannya kaderisasi dan
pemantapan organisasi merupakan cara yang lebih tepat untuk meningkatkan proses
politisasi itu. Situasi sesudah penangkapan Soekarno akhir tahun 1929
membuktikan bahwa strategi yang terakhir memang tepat. Pengikut massa tidak
bedaya sedikit jua pun.
Setelah
kira-kira dua tahun arena politik menghirup suasana yang lebih tenang serta
aktivitas organisasi pergerakan lebih banyak meliputi bidang pendidikan,
ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, maka dengan dibebaskannya Soekarno pada
akhir Desember 1931, lambat laun politik mulai bergerak lagi; hal itu
disebabkan tidak lain karena Soekarno mulai terjun kembali ke gelanggang
politik.
Perlu
ditambahkan di sisi bahwa keanggotaan Partindo dan juga PNI Baru, pada umumnya
terbatas di kota-kota besar di Jawa, khususnya di Jawa Barat dengan Bandung dan
Batavia dengan pusatnya. Di Jawa Timur, di mana PBI mempunyai pengaruhnya
sukarlah Partindo melebarkan sayapnya.
Di
samping itu, konsep sosio-demokrasi diterangkan sebagai sistem kerakyatan,
tetapi bukan seperti yang terwujud di Barat sebagai demokrasi parlementer
melainkan yang didasarkan suara terbanyak. Meskipun Soekarno tidak asing
terhadap ideologi Barat, namun tampak ada usaha mengadaptasikannya kepada
situasi Indonesia. Sebaliknya, ideologi yang dianut PNI Baru merupakan konsepsi
Hatta dan Sjahrir yang mengikuti ideologi sosialisme.
Perbedaan-perbedaan
isi ideologi kedua pihak sesungguhnya tidak terlalu prinsipal, akan tetapi di
sini yang mencolok adalah perbedaan gaya serta jiwa perjuangan mereka. Soekarno
lebih cenderung ke suatu populisme, sedang pihak Hatta dan Sjahrir lebih ke
arah elitisme. Kedua pihak sebenarnya sampai akhir aktivitasnya pada tahun 1933
belum berhasil memantapkan partainya sebagai mobilisasi rakyat yang efektif.
Bahwasanya
arena politik terutama di kota-kota – dan khususnya di Jawa – tampak jelas dari
uraian sampai di sini. Keadaan itu dapat dijelaskan dengan menunjukkan pada
kepemimpinan organisasi nonkooperasi yang ada di tangan kaum inteligensia hasil
pendidikan Barat, baik dari Negeri Belanda maupun Indonesia. Dari tahun 1927
sampai tahun 1933 golongan elite kota itulah yang menjadi faktor penggerak
utama perkembangan gerakan nasionalis nonkooperasi dan radikal. Bila dilacak
akar sosialnya maka mereka berasal dari golongan elite, antara lain priyayi pamong praja (BB).
Dipandang
dari perspektif konflik sosial, khususnya perjuangan kekuasaan, kaum
inteligensia sebagai elite modern menghadapi elite religius dengan otoritas
kharismatiknya, priyayi BB dengan
otoritas setengahnya tradisonal setengahnya legal-rasional, yang semuanya
menguasai sebagian besar struktur kekuasaan. Dalam menghadapi kekuasaan
kolonial, kaum inteligensia tidak beraliansi dengan elite religius karena jarak
sosial-kulturnya sangat besar.
Oleh
karena jarak dengan golongan-golongan itu dengan para pemimpin masih cukup
jauh, maka diperlukan pemimpin tingkat bawahan. Untuk mengerahkan dan melatih
merekalah PNI Baru menyelenggarakan kursus-kursus dan latihan. Dengan demikian,
struktur organisasi dapat dimantapkan sehingga dapat berfungsi sebagai basis
yang kuat bagi pergerkan.
Masalah Persatuan
Salah
satu isu yang sangat berpengaruh terhadap pernggalangan persatuan di antara
organisasi-organisasi pergerakan nasional tahun tiga puluhan ialah sekitar soal
konsepsi persatuan itu sendiri. Dalam hal ini yang menonjol ialah perdebatan
dan pertentangan pendapat antara Partindo dan PNI Baru, atau seperti umum yang
digambarkan sebagai pertentangan antara golongan Soekarno dan Hatta. Seperti
sejak awal perkembangan PPPKI telah dilancarkan kritik tajam oleh Hatta mengenai
PPPKI sebagai bentuk persatuan, seperti yang dikonsepsikan oleh Soekarno, yaitu
pengintegrasian berbagai organisasi dalam satu wadah atau lembaga. Lembaga itu
akan bertindak berdasarkan keputusan berlandasan mufakat.
Dalam
konsepsi persatuan seperti itu tidak diperhitungkan adanya berbagai unsur yang
mewakili golongan, aliran, kepentingan, ataup kelas sosial yang beraneka ragam.
Persatuan yang terwujud menurut Hatta adalah lancung oleh karena menurut
analisisnya dengan perspektif sosialis terkandung di dalamnya kontradiksi dan
konflik kepentingan, lagi pula ideologi-ideologi yang bertolak belakang satu
sama lain.
Isu
tersebut di atas mulai hangat lagi pada tahun 1932 dan 1933 sewaktu timbul
gagasan untuk mempersatukan lagi Partindo dan PNI Baru. Kecuali pertentangan
pandangan politik tersebut, ketidakserasian hubungan antara pemimpin kedua
partai itu merupakan faktor penghambat persatuan. Sjahrir yang sudah ada di
Indonesia sejak awal 1932 berusaha keras menjajagi situasi politik untuk dapat
mengarahkan PNI Baru. Suatu kompromi dengan Partindo tidak dapat dicapainya.
Mengenai masalah demokrasi ada pula perbedaan konsepsi soal demokrasi atau
kedaulatan rakyat.
Setelah
mengadakan pembicaraan luas dengan Soekarno, akhirnya Sjahrir berkesimpulan
bahwa Soekarno merupakan faktor politik yang sanantiasa perlu diperhitungkan
sehingga tidak lagi menghalang-halangi atau menentang usahanya, antara lain
dalam membenahi dan menghidupkan lagi PPPKI. Sadar akan kharisma yang ada
padanya serta yakin akan peranan yang dapat dijalankannya, maka Soekarno
bergerak terus sesuai dengan gaya lamanya tanpa terlalu melibatkan diri dalam
debat soal ideologi serta pertentangan antara Partindo dan PNI Baru.
Dalam
periode pasca-Sukamiskin, Soekarno masih optimis dan penuh semangat namun tidak
disadari bahwa kajayaan dari masa sebelum 1930 sudah pudar; timbul banyak
kekecewaan atau kebimbangan di kalangan PNI Lama. Di samping itu, sudah terjadi
garis pemisah antara kelompok Partindo dan PNI Baru sehingga hal itu menjadi
penghalang pokok bagi proses pemersatuan. Akhirnya, Soekarno pun tidak berdaya
melaksanakannya.
Usaha
dalam PPPKI juga terbentur pada masalah perpecahan, antara lain Partindo dan
PNI Baru pada satu pihak dan pemimpin PPPKI pada pihak lain, padahal
keikutsertaan kedua partai itu atau salah satu daripadanya dianggap sangat
perlu. Dalam hubungan ini perlu di tambahkan bahwa tokoh Soetomo merupakan
faktor kontroversial yang menimbulkan ketidakserasian dalam tubuh PPPKI serta
sangat melemahkannya. Baik pengundurannya sebagai pengurus harian maupun
reorganisasi yang dilakukan oleh Soekarno tidak berdaya untuk memperkokoh
kedudukan PPPKI yang telah kehilangan momentumnya, dan dalam hal ini kharisma
Soekarno tidak dapat berbuat apa-apa.
Dengan
ditangkapnya Soekarno pada 1 Agustus 1933 sebenarnya nasip PPPKI sudah tidak
memberi harapan lagi. “Sebenarnya PPPKI mati tetapi tidak pernah secara resmi
dikubur”. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa gagasan tentang
persatuan serta pemersatu organisasi sudah mati, sama sekali tidak. Dalam
tahun-tahun berikutnya secara terus-menerus ada usaha-usaha untuk mewujudkan
badan pemersatu itu.
Berakhirnya Masa Nonkooperasi
Periode
awal tahun 1932 sampai dengan pertengahan 1933 tidak hanya ditandai oleh
perpecahan gerakan nasionalis serta kegagalan usaha pengintegrasian
organisasi-organisasi nasionalis, tetapi juga oleh aksi politik yang semakain
meningkat terutama sebagai dampak positif agitasi yang dijalankan oleh
Soekarno. Di sisni dijumpai kekuatan-kekuatan sosial yang antagonistik sehingga
gerakan nasionalis sebagai totalitas menjadi kontra produktif, bahkan dalam
rangka kondisi ekonomis serta situasi politik menuju ke perbenturan kekuatan
nasionalis dengan kekuatan kolonial. Akselerasi aktivitas pada satu pihak hanya
memancing politik serta tindakan yang semakin reaksioner pada pihak lain.
Lebih-lebih dalam hal ini pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge tidak
tanggung-tanggung secara konsekuen menjalankan politik “purifikasi” atau
“permunian”, artinya menumpas segala kecnderungan ke arah radikalisasi dengan
agitasi massa dan semua bentuk nonkooperasi. Maka dari itu, gerak-gerik
Partindo dan PNI Baru senantiasa diawasi secara ketat.
Aksi
massa dan politik agitasi Soekarno selama lebih kurang satu tahun dari
pertengahan 1932 samapai petengahan 1933 merupakan titik puncak perkembangan
Partindo. Jumlah anggotanya naik dari 4.300 menjadi 20.000 orang.
Selama
periode itu, frekuensi rapat-rapat meningkat pula, antara sehubungan dengan
perjalanan keliling Soekarno ke berbagai tempat cabang-cabang di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dalam bulan Agustus dan September 1932, Soekarno berpidato di
muka tidak kurang dari 30.000 orang. Kemudian dalam bulan Februari 1933 bersama
Gatot Mangkoepradja dan Alamsyah, Soekarno bersafari ke Jawa Tengah dan
mengunjungi 17 cabang di mana mereka berbicara di muka rapat-rapat yang penuh
sesak. Di mana-mana pokok pidatonya berkisar sekitar marhaenisme,
sosial-nasionalisme, dan Indonesia Merdeka.
Dalam
suasana yang semakin panas dapat diduga bahwa penguasa sudah siap untuk
bertindak. Tindakan pertama ialah pemberangusan surat kabar Fikiran Rakyat pada tanggal 19 Juli 1933
yang memuat sebuah cartoon. Pada 1
Agustus semua rapat Partindo dan PNI Baru di larang dan hari itu juga Soekarno
ditahan. Sehari kemudian dikeluarkan larangan bagi semua pegawai negeri masuk
menjadi anggota partai tersebut. Tindakan-tindakan itu kesemuanya
dilegitimasikan oleh pemerintah Hindia Belanda semata-mata untuk menjamin rust en orde dan dilandaskan pada
artikel 153 bis dan ter.
Bagi
PNI Baru, akhir yang tragis dari politik agitasi memang dalam kritiknya selalu
dibayangkan akan terjadi; maka kejadian-kejadian itu memberi pembenaran bagi
strateginya. Meskipun demikian, politik ketat sejak 1 Agustus itu tidak memberi
ruang bergerak lagi kepada PNI Baru. Politik Gubernur Jenderal de Jonge tidak
bersifat setengah-tengah, maka dalam bulan Desember 1933 PNI Baru yang menjadi
sasaran: Moh. Hatta dan Sjahrir, ditangkap, dan PNI Baru dilarang.
Dengan
tangan besinya, Gubernur Jenderal de Jonge hendak mempertahankan otoritasnya,
sehingga setiap gerakan bernada radikal atau revolusioner tanpa ampun
ditindasnya dengan alasan bahwa pemerintah kolonial bertanggung jawan atas
keadaan di Hindia Belanda, baginya dibayangkan bahwa dalam massa 300 tahun
berikutnya pemerintah itu akan masih tetap tegak berdiri. Politik represifnya
berhasil menghentikan gerakan politik nonkooperasi sama sekali.
Dalam
hubungan ini perlu ditambahkan bahwa selama dalam tahanan, Soekarno – menurut
dokumen-dokumen arsip kolonial – telah menulis surat kepada pemerintah Hindia
Belanda sampai empat kali, yaitu tanggal 30 Agustus, 3, 21, dan 28 September
yang kesemuanya memuat pernyataan bahwa dia telah melepaskan prinsip politik
nonkooperasi, bahkan selanjutnya dia tidak lagi akan melakukan kegiatan
politik. Sudah barang tentu hal itu menggemparkan kaum nasionalis serta
menimbulkan bermacam-macam reaksi. Ada yang penuh keheranan atau kekecewaan,
ada pula yang merasa cengkel atas perubahan sikap yang berbalik 180 derajat
itu.
Terlepas
dari berbagai tafsiran itu rupanya aliran nonkooperasi tidak berdaya lagi,
lebih-lebih karena salah seorang perintis dan pelopornya telah mengingkari
sendiri sikap politik itu. Pembuangan Soekarno ke Digul diperkirakan membawa
risiko karena dapat mempengaruhi bekas anggota PKI yang dalam jumlah besar ada
di sana. Akhirnya, dipilih Flores sebagai tempat pembuangannya. Soekarno
diberangkatkan pada Februari 1934.
Meskiupun
PNI Baru tidak menjalankan politik agitasi dan aksi massa, namun hubungannya
dengan golongan komunis di Belanda dipakai sebagai alasan untuk menahan Hatta,
Sjahrir, dan anggota Badan Pekerja PNI dalam bulan Desember 1934.
Kesimpulan
Ketika
Sartono membubuarkan PNI pada tahun 1930, banyak anggotanya yang tidak setuju.
Mereka menyebut dirinya sebagai “Golongan Merdeka”. Dengan giat mereka
medirikan studi club-studi club baru, seperti
Studi Club Nasional Indonesia di
Jakarta dan Studi Club Rakyat Indonesia
di Bandung. Selanjutnya, mereka mendirikan Komite
Perikatan Golongan Merdeka untuk menarik anggota-anggota PNI dan untuk
menghadapi Partindo.
Pada
bulan Desember 1931, Golongan Merdeka membentuk Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI Baru). Mula-mula Sultan Syahrir dipilih sebagai ketuanya. Moh. Hatta
kemudian dipilih sebagai ketua pada tahun 1932 setelah kembali dari Belanda.
Strategi perjuangan PNI Baru tidak jauh berbeda dengan PNI maupun dengan
Partindo. Organisasi-organisasi tersebut tetap sama-sama menggunakan taktik
perjuangan non-kooperatif dalam mencapai kemerdekaan politik. Adapun perbedaan
antara PNI Baru dengan Partindo adalah sebagai berikut:
1. PPPKI
oleh PNI Baru dianggap sebagai “persatean” bukan persatuan karena
anggota-anggotanya memilii ideologi yang berbeda-beda. Sementara itu, Partindo
manganggap PPPKI dapat menjadi wadah persatuan yang kuat daripada mereka
berjuang sendiri.
2. Dalam
upaya mencapai kemerdekaan, PNI Baru lebih mengutamakan pendidikan politik dan
sosial. Partindo lebih mengandalkan organisasi massa dengan aksi-aksi massa
untuk mencapai kemerdekaan.
Pada
tahun 1933, PNI Baru memiliki 65 cabang. Untuk mempersiapkan masyarakat dalam
mencapai kemerdekaan, PNI Baru melakukan kegiatan penerangan untuk rakyat dan
penyuluhan koperasi. Kegiatan-kegiatan PNI Baru tersebut dan ditambah dengan
sikapnya yang non-kooperatif dianggap oleh pemerintah kolonial membahayakan.
Oleh karena itu, pada bulan Februari 1934 Bung Hatta, Sultan Syahrir Maskun,
Burhannuddin, Murwoto, dan Bondan ditangkap pemerintah kolonial. Bung Hatta
diasingkan ke hulu sungai Digul, Papua. Kemudian dipindahkan ke Banda Neira
pada tahun 1936 dan akhirnya ke Sukabumi pada tahun 1942. Dengan demikian,
hanya partai-partai yang bersikap kooperatif saja yang dibiarkan hidup oleh
pemerintah kolonial Belanda.
Pembubaran PNI pada kongres bulan April 1931
mengakibatkan terjadinya perpecahan di kalangan anggotanya. Kelompok yang
menyetujui pembubaran mendirikan Partindo. Sedangkan kelompok yang tidak setuju
mempersatukan diri membentuk “Golongan Merdeka”. Pada bulan Desember 1931,
golongan merdeka mendirikan partai baru, sesuai dengan saran Hatta. Partai itu
diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia (lebih sering disebut PNI-Baru)
dipimpin oleh Sukemi.
PNI didirikan di Bandung pada 4 Juli
1924 oleh kaum terpelajar yang dipimpin oleh Ir. Soekarno. Kaum muda terpelajar
itu tergabung dalam Algemene
Studieclub (Bandung)
dan kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia yang
telah kembali ke tanah air. Keradikalan PNI sudah tampak sejak pertama didirikannya.
Ini terlihat dari strategi perjuangannya yang berhaluan nonkooperasi. PNI tidak
mau ikut dalam dewan-dewan yang diadakan oleh pemerintah.
Tujuan PNI adalah kemerdekaan
Indonesia dan tujuan itu akan dicapai dengan asas “percaya pada diri sendiri”. Artinya:
memperbaiki keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah dirusak
oleh penjajahan, dengan kekuatan sendiri. Semua itu akan dicapai melalui
berbagai usaha, antara lain:
1.
Usaha politik, yaitu dengan cara memperkuat rasa
kebangsaan persatuan dan kesatuan. Memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan,
mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia dan menumpas segala perintang
kemerdekaan dan kehidupan politik. Dalam bidang politik, PNI berhasil
menghimpun organisasi-organisasi pergerakan lainnya ke dalam satu wadah yang
disebut Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia;
2.
Usaha ekonomi, yaitu dengan memajukan perdagangan
rakyaat, kerajinan atau industri kecil, bank-bank, sekolah-sekolah, dan
terutama koperasi;
3.
Usaha sosial, yaitu dengan memajukan pengajaran yang
bersifat nasional, emngurangi pengangguran, mengangkat derajat kaum wanita,
meningkatkan transmigrasi dan memperbaiki kesehatan rakyat.
Gerakan
PNI dipimpin oleh tokoh-tokoh berbobot, seperti Ir. Soekarno, Mr. Ali Sastroamijoyo,
Mr. Sartono, yang berpengaruh luas di berbagai daerah di Indoenesia. Ir.
Soekarno dengan keahliannya berpidato, berhasil menggerakkan rakyat sesuai
dengan tujuan PNI. Pengaruh PNI juga sangat terasa pada organisasi-organisasi
pemuda hingga melahirkan Sumpah Pemuda dan organisasi wanita yang melahirkan
Kongres Perempuan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928.
Saran
Bangsa
Indonesia harus bersyukur atas kemerdekaan Indonesia yang dicapai dari proses
yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, sebagai penerus bangsa hendaknya
kita melanjutkan perjuangan atau cita-cita para pejuang dalam Pergerakan
Nasional demi sebuah kemerdekaan yang sebenarnya. Dan menjadikan hari esok
sebagai pembuktian lahirnya pemuda-pemudi Pergerakan Nasional Indonesia yang rela
berjuang demi Bangsa dan Negara. Dan para pemuda-pemudi di Indonesia harus
membuktikan bahwa Bangsa Indonesia dapat bersaing dengan negara-negara yang
lebih maju.
Daftar Pustaka
Sartono
Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme
Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Penerbitan P.T Gramedia Pustaka Utama, 1992 – Jakarta –Indonesia.
Marwati
Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto. Sejarah
Nasional Indonesia V: Zaman
Kebangkitan Nasional Dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Penerbitan Balai Pustaka,
2008 – Jakarta – Indonesia.
Slamet
Muljana. Kesadaran Nasionalisme: Dari
Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, Jilid I. Yogyakarta:
Penerbitan P.T LKiS Pelangi Aksara, 2008 – Yogyakarta – Indonesia.
J.
D. Legge. Kaum Intelektual Dan Perjuangan
Kemerdekaan. Penerbitan: P.T Pustaka Utama
Grafiti, 1993.
M.
C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Penerbitan P.T Serambi Ilmu Semesta, 2008 – Jakarta – Indonesia.
www.wka-cool32.blogspot.co.id
BalasHapus