Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah
didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi
generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar
kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2
Mei 1964.
Nama :
Cut Nyak Dien
Lahir :
Lampadang, Aceh, tahun 1850
Wafat :
Sumedang, Jawa Barat, 6 Nopember 1908
Dimakamkan:
Sumedang, Jawa Barat
Suami :-
·
Teuku Ibrahim Lamnga (pertama), meninggal di Gle
Tarum, Juni 1878
·
Teuku Umar (kedua), meninggal di Meulaboh, 11 Pebruari
1899
Pengalaman Perjuangan: -
·
Bergerilya di daerah pedalaman Meulaboh
·
Dibuang ke Sumedang, Jawa Barat
·
Tanda Penghormatan: Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Di Sumedang tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua
renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di
tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari
tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan
politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh
pada 11 Disember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati
Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat
perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara,
tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar
Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara
mereka yang datang banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka
menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia
menerima apapun yang diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini
terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia.
Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah komplek pemakaman para
bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai
wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang
banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan
Indonesia.
Ketika
masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an
berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak
Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal telah diasingkan ke Pulau
Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23
(Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu
Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan Belanda bersama seorang
panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia
15 tahun
Tjoet Njak
Dien lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari
wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah
keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu
Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
bangsawan Lampagar.
Sebagaimana
lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang
tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak
maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut
kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh
didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien
memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak
Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana
perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang
keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang
mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.
Tjoet Njak
Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan
Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan
dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan
syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga
dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka
melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus
rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya.
Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka
dikurniakan seorang anak laki-laki.
Ketika
perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis
depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku
Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien
mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong
dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya
yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia
menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali
suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien
tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir
Belanda.
Keterlibatan
Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali ketika terjadi pembakaran
terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala
berserulah ia,
“Hai
sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan
matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka menentang Allah Subhanahuwataala,
tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu!
Janganlah kita melupakan budi si kafir yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh
yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh
yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely Lulofs, 1951:59).
Bertahun-tahun peperangan kian
berkecamuk. Karena keunggulan Belanda dalam hal persenjataan dan adanya
pengkhianatan satu per satu benteng pertahanan Aceh berjatuhan, termasuk Kuta
(benteng) Lampadang. Karena terdesak Tjoet Njak Dien beserta keluarganya
terpaksa mengundur. Pada sebuah pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim
Lamnga gugur, yang konon karena penghianatan Habib Abdurrahman.
Meski
kematian suaminya menimbulkan kesedihan yang dalam bagi Tjoet Njak Dien, tapi
ini tak membuatnya murung dan mengurung diri. Sebaliknya, semangat juangnya
kian berkobar. Sebagai seorang janda yang masih muda dengan seorang anak, ia
tetap ikut bergerila melawan Belanda. Menurut orang yang dekat dengannya, Tjoet
Njak Dien pernah bersumpah hanya akan menikah dengan orang yang turut
membantunya melawan Belanda.
Kehadiran
seorang figur seperti Teuku Umar yang juga adalah pemimpin perjuangan yang gagah
berani, sangatlah berarti bagi rencana perjuangan Tjoet Njak Dien. Meski
masih saudara sepupu, dia baru bertemu dengan Teuku Umar saat upacara pemakaman
suaminya. Karena sama-sama terikat dalam Sabilillah maka pasangan ini kemudian
menikah pada 1878.
Perlawanan
terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda
berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar
kian mendapatkan tanggungjawab yang banyak. Meskipun telah mempunyai istri
sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar.
Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi,
mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Selanjutnya
Tjoet Njak Dien terpaksa meninggalkan Montesik, karena kepala Mukim menyerah
pada Belanda. Pada saat itulah Tjoet Njak Dien melahirkan putrinya yang diberi
nama Tjoet Gambang yang kemudian dinikahkan dengan Teungku Di Buket, anak
laki-laki Teungku Tjik Di Tiro (ulama dan pejuang Aceh, juga merupakan salah
seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia). Anak dan menantu Tjoet Njak
Dien ini pun gugur sebagai syuhada melawan Belanda.
Peristiwa
menggegerkan yang dinamakan “Sandiwara Besar” terjadi ketika Teuku Umar
melakukan sumpah setia pada Belanda. Ketika sudah mendapatkan berbagai
kemudahan dana kelengkapan, Teuku Umar justru berbalik melawan Belanda.
Kemarahan Belanda membuat Tjoet Njak Dien dan Teuku Umar beserta para
pengikutnya yang setia terpaksa memasuki hutan rimba. Dari belantara inilah
Teuku Umar memimpin peperangan.
Dalam sebuah
serangan ke Meulaboh Teuku Umar tertembak pada 11 Februari 1899. Dengan tabah
dan tawakal Tjoet Njak Dien menerima berita duka ini. Sepeninggal Teuku Umar,
Tjoet Njak Dien memimpin langsung peperangan.
Sejak meninggalnya
Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan
besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang
masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kos peperangan. Lama-lama pasukan
Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat
selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut,
kesehatannya kian menurun.
Tapi, ketika
Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah
sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh
penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak
sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada
Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya
jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.
Ketika
tertangkap wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah
tangannya dengan sikap menentang. Dari mulutnya terucap kalimat, “Ya
Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan
kepada kafir”.
Tjoet Njak
Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen
yang memimpin operasi penangkapan itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak
dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Penempatan
Tjoet Njak Dien di Kutaraja mengundang kedatangan para pengikutnya. Karena
khawatir masih bisa menggerakkan semangat perjuangan Aceh, Tjoet Njak Dien
terpaksa dijatuhi hukuman pengasingan ke Pulau Jawa, yang berrati mengingkari
salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
Perjuangan
Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga
banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff
mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster van het verzet
(pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes
Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai
sektor.
Menjelang
akhir hidupnya, di Sumedang, di daerah yang sangat asing baginya, Tjoet Njak
Dien masih juga berperang dalam pertempuran lain, yakni perlawanan terhadap
penjajahan kebodohan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar