Siapa
orang Gila? Melihat riset pasca tsunami dan konflik di Aceh tak banyak pasien
jiwa. Tapi sebuah pendapat dan kenyataan lain, orang gila di Aceh meningkat
drastis setelah dua bencana itu.
Suatu
hari, seperti biasa saya mengisi pagi dengan rutinitas Ngopi di warung Solong
Ulee Kareng. Tempat itu konon kedai kopi terbesar di Banda Aceh dan telah
menarik pelanggan dari para menteri, gubernur dan kelas bawahan, tak ingin saya
menyebutkannya. Sepele saja alasannya, karena sudut pandang bawahan dan atasan
hanya pada isi kantong, kalau soal moral, saya berani bertaruh bahwa kadang
kala tukang becak dan tukang sapu lebih mulia dari penjabat sakalipun. Lebih
setia kawan, lebih bisa di ajak bicara satu sama lain. Dari segi ekonomi memang
mereka kalah, sama seperti saya. Sangat tak sopan ada bawahan meledak dengan
kata-kata itu untuk sesama kaum rendahan.
Ada
sebuah status tak terbatas yang bercerita tentang kaum saya, kawan kampus.
Banyak cerita dan sering terkisah, mereka bisa setara dengan presiden bahkan
bisa lebih rendah dari pengemis atau penganguran. Bayangkan seorang kawan bisa
seeanaknya masuk ke istana presiden apalagi ke pendopo gubernur Banda Aceh
hanya untuk sekedar meliput berita atau sekedar tugas wawancara. Akan tetapi di
lain pihak, seorang kawan kampus bahkan saya sendiri bisa seperti pengangguran
atau pengemis. Tidur dimana saja saat keluar malam, mandi jarang ketika telat
bangun pergi kuliah, bahkan yang lebih parah lagi, Com Punggong Dosen maupun
mengkhianati kawan sendiri hanya sekedar mancarai nilai bagus. Ssst, jangan
sampai aku meledek kaum sendiri,,,, sorry,,, terlepas dari hati.
Kembali
ke pokok utama ke warung yang juga yang diserbu oleh para pengemis. Baru 5 atau
10 menit saya duduk bersama kawan-kawan, seorang berpenampilan kusut dengan
baju yang compang camping dan kotor, rambut panjang gimbal dan acak, masuk ke
warung. Semua tahu dia karena telah biasa, dan semua mengklaim nya sebagai
orang gila. Kendati tak ada yang berani menyebutnya di muka si gimbal itu. Kalau
pun ada, mungkin dia akan cuek aja.
Tanpa
bicara sepatah pun, dia merapat ke meja yang ada nasi bungkusnya. Satu di ambil
dan bergegas mencari tempat kosong yang kebetulan ada di meja paling depan. Duduk
sebentar saja sambil menyantap nasi, kopi sudah diantar ke tempatnya walau
tanpa memesan. Padahal saat itu, warong sangat ramai. Coba anda bayangkan,
seandainya kalau anda duduk disana tanpa memesan dari pekerja kedai, saya jamin
kopi atau pesanan anda tak bakalan datang sampai beberapa menit atau jam
kemudian.
Setidaknya
ada dua orang gila seperti orang menyebutnya yang beredar di Ulee Kareng. Satu yang
tadi dan satu lagi Si Alu, dengan rambut ala Bob Marley nya, dengan tanpa bau,
yang melintas saban hari dari Darussalam ke Ulee Kareng. Hanya saja Si Alu tak
pernah singgah di warong Solong, mungkin ada tempat langganan lain.
Dulu
saya sering mendengar tentnag Si Alu, entah benar entah tidak. Kabarnya, dai
adalah bekas mahasiswa Unsyiah yang berubah perilakunya seperti sekarang karena
putus cinta dengan sang kekasih yang mengkhianatinya. Kalau benar, kasihan Si
Alu, yang masih gelap dalam mencari cintanya yang hilang. Entahlah.......
Ada
banyak kisah yang mengherankan bagi saya tentang orang-orang seperi mereka,
tentu dalam perilakunya tak pernah mengganggu sesama, tak pernah meledek,
mengejek dan sebagainya. Semua berjalan pada porosnya. Lihatlah Nek Sion sudah
yang renta tapi sanggup berjalan dari Darussalam ke Kutaraja. Misinya hanya
mencari belas kasihan dengan selembar uang, “Bie Peng Sion (Minta Uang Selembar)”
katanya saat meminta.
Merenung
mereka, teringat suatu hari pada sebuah pagi setelah bencana Tsunami. Saya dan
seorang rekan melakukan beberapa pertanyaan di Ruah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh.
Memang saat Tsunamai banyak penghuninya yang lari menyelamatkan diri, karena
pada saat gempa para pegawai membuka seluruh pintu pasien. Kata yang berwenang,
banyak pasien yang sudah kembali, hanya tinggal beberapa lagi di luar atau
mungkin telah menjadu korban bencana. Uniknya, mereka kembali ke asalnya.
Setelah
itu, kemudian saya menikmati sejenak sambil mengusili pasien yang telah hampir
sembuh dan bisa berkeliaran di halaman, pikir saya sekedar melepas stres. Ada yang
bercerita tentang keinginan menjadi
tentara, ada yang putus cinta, dan berbagai launnya. Eehh...... tak lama
kemudian, malah saya diganggu oleh seorang pasien wanita yang rambutnya
berkepang dua. “Aduh Abang Ini Artis Yaa, rambutnya pendek hitam” sebutnya
sambil tertawa dengan kepada rekannya. Saat itu rambut saya pendek dan hitam. Saya
masih panik, si rambut kepang pun merayu lagi “Minta Uang Dong Abang Artis.” Baru
mau berkelit, dia sudah usil lagi “Artis Ganteng tapi pelit, Enggak Kawan
Ahh...” Dia lalu pergi begitu saja.
Si Pria
yang ingin jadi tentara berujar “Bang Gak Usah Di Open Lagi, Gilanya Itu Masih
Parah.” Duuhh,,,,, saya tergelak dan memutuskan untuk segera pergi, lama-lama
saya bisa jadi gila juga meladeni pasien sakit jiwa. Tapi saya tak mau
membohongi bahwa masih banyak kisah bijak yang terambil dengan penuh sadar dari
kegilaan mereka dalam mencari kehidupannya. Pasca Tsunami dan Konflik yang
berkepanjangan, memang tak banyak jumlah pertumbuhan pasien jiwa di Aceh tapi
ada. Bigitu setidaknya hasil riset lembaga-lembaga kajian tentang ini. Artinya,
tak banyak orang stres setelah dua bencana itu. Itu sedikit bisa membuat dan
membanggakan kita.
Tapi
pada sisi yang lain.
Sehari
sebelum saya duduk di kedai kopi Ulee Kareng itu, saya Jum’atan di Masjid Lamreng,
Meunasah Papeun, Aceh Besar. Saya tercengang saat khatib kutbah jum’at mengutip
sebuah hadist Nabi Muhammad SAW. Kisahnya kira-kira seperti ini: Suatu hari
saat Nabi Muhammad Saw masih hidup, bebrapa anak-anak dilahat oelh Nabi sedang
menganggu orang gila. Lalu Nabi menegur, “Jangan Engkau Ganggu Dia Wahai Anak
Ku.” “Kenapa Wahai Rasul, Dia Kan Gila” jawab seorang anak itu. “Dia Bukan
Gila, Tapi Sedang Mendapat Cobaan Dari Allah” kata Nabi. Para anak-anak itu pun
berhenti menganggu, sampai kemudian beberapa sahabat menanyakan, “Lalu Siapa
Sebenarnya Oarng Gila”? Nabi pun menerangkan “Orang Gila Adalah Pemimpin Yang
Sombong Dan Congkak, Orang Kaya Yang Sombong Dengan Hartanya, Orang Pintar Yang
Sombong Dengan Kepintarannya Dan Orang Miskin Yang Sombong Dengan
Kemiskinannya.” Begitulah kira-kira yang masih saya ingat dan saya rekam.
Sejak
saat itu, saya mengubah pendapat saya tentang orang gila yang sesungguhnya. Yang
gila bisa disebut gila, saya sebut sakit jiwa. Dan orang gila sesungguhnya,
saya tidak berani menyebutnya siapa mereka. Semakin berpikr, saya semakin gila.
Terkadang juga saya bisa gila berada di kampus. Gila karena tugas yang
menumpuk, membuat otak saya menggila, apalagi gila karena kawan yang memang
gila dengan tingkah lakunya, gila akan pemikirannya yang gak jelas, sekali
bilang A, yang satu bilang B, menahan ego masing-masing. Pokoknya macam-macamlah
yang pernah saya lihat.
Dua
hari ini saya merenung tentang tatakrama orang yang sakit jiwa yang sering
ditabalkan sebagai orang gila. Mereka sopan asal jangan diganggu, tak diganggu
bila tak diusik. Tapi ada yang benar-benar gila seperti Nabi yang mengusik
tanpa perlu diganggu. Saya ingin berceramah karena tidak sedang menjadi khatib.
Tapi sang khatib pada akhirnya menyampaikan kesimpulannya. Kalau itu yang
disebut gila, maka banyak sekali orang gila di Aceh. Sebutnya.
Mungkin
saja pada sisi lain, pasca Tsunami dan Konflik orang gila semakin bertambah. Jika
orang kaya sombong maka dia adalah orang gila, orang pintar yang angkuh maka
dia juga orang gila, si miskin sombong juga orang gila, dan pemimpin yang
congkak bin sombung juga masuk dalam kelompok ini.
Lantas
siapa saja mereka? Hanya penulis dan pembacalah yang menilai sendiri. Ketika zaman
sudah saling sikut untuk merebut sebuah kekuasaan alam. Ketika bibir menjadi
manis untuk merebut simpati orang. Banyak yang kadang mengumbar congkak dengan
segepok uang. Ada juga yang sok tahu dalam kepintarannya yang bodoh.
Dan
bahkan mungkin saja, saya sendiri juga masuk dalam kategori Orang Gila. Kegilaan
yang mengalahkan cueknya Si Kusut Kedai Solong, Si Alu yang tahan terik, Nek
Sion yang tegar dalam rentanya, Si Pria yang ingin jadi tentara dan Si Rambut
Kepang Dua yang mengatakan saya artis yang pelit.
Entahlah...
Saya masih merenungi dengan kegilaan Aceh setelah pasca Tsunami dan Konflik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar