Sejak Habib Abdurrahman menjadi Teuku Chik yang berkedudukan di Monklayu, maka mulai berkembanglah daerah tersebut, terutama Kuala Ceurapee menjadi salah satu daerah pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang, baik dalam dan luar negeri. Tempatnya yang strategis di delta sungai yang dapat menghubungkan dengan daerah hulu sungai sebagai sarana hubungan yang penting pada masa itu. Bersamaan dengan itu tumbuhlah pelabuhan-pelabuhan kecil seperti pelabuhan Kuala Peusangan (sekarang Jangka) yang terkenal memiliki hubungan dagang dengan Pulau Pinang Malaysia dan menjadi kota satelit perdagangan di sekitar utara Aceh.
Hikayat-hikayat yang dijumpai disekitar daerah Kuala Peusangan/Jangka ataupun Kuala Ceurapee dan Monklayu menggambarkan bagaimana kemakmuran masyarakat di sekitar pelabuhan yang sangat sibuk dan penuh dengan perdagangan rempah dan hasil bumi lainnya. Itulah sebabnya pada awal abad 20an, Kota Bugak dan Kewedanaan Peusangan, yang sekarang menjadi Matang Glumpang berkembang pesat menjadi sentra bisnis yang menampung hasil bumi dari wilayah sekitarnya. Kemajuan daerah ini pada awal 1930an dibuktikan dengan berdirinya perguruan tinggi (al-Jami'ah) yang akan menjadi cikal bakal Universitas Al-Muslim.
Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya, tapi artikel mengenai hal tersebet belum saya temukan. Bukti Sejarah, tentang keberadaan Penduduk Aceh di Pulau pinang pada akhir abad ke-18 yaitu masjid Lebuh Aceh dan enklavenya ini berawal dari tahun 1792. Ditandai dengan kedatangan pendirinya, yaitu Teungku Sayedhussain al-idid, seorang bangsawan dari Aceh keturunan arab dari hadramaut, yaman, yang kemudian menetap di penang. Tengku Sayed hussain al-idid ini kemudian menjadi pedagang Aceh yang kaya dan sukses ketika penang baru dibuka oleh kapten sir francis light pada akhir abad ke-18.
Dengan kekayaan yang dimilikinya, Dalamhussain al-idid dengan bantuan keluarga dan pengikutnya membuka kawasan di lebuh Aceh. Dia mendirikan masjid pada 1808, menara, rumah kediaman, deretan rumah kedai, madrasah al quran, dan kantor perdagangan. Bagi masyarakat Aceh khususnya dan nusantara umumnya, penang bukanlah sebuah tempat asing. Snouck hurgronje, ahli ilmu agama islam yang menuliskan catatan tentang Aceh pada tahun 1892 pun menyatakan bahwa "bagi masyarakat Aceh, penang adalah gerbang menuju dunia dalam banyak hal, terutama juga untuk memasarkan produk mereka langsung menuju eropa".
Kejayaan masyarakat Aceh di penang tidak terbatas hanya pada masa tengku Sayed al-idid, tetapi selepas kematian beliau pada pertengahan abad ke-19, perkampungan ini terus berkembang maju dan telah mencapai kegemilangannya hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Teuku Nyak Putih, ayahanda seniman legendaris melayu P Ramlee pun adalah satu di antara banyak orang Aceh yang sukses di penang.
Keharuman nama para pedagang Aceh di masa silam ini terpancar pula dari keindahan arsitektur masjid enklave lebuh Aceh di jantung george town, berhadapan dengan enklave kuil khoo kong si. Lebuh Aceh ini memiliki luas 66.000 kaki persegi dengan masjid sebagai penandanya. Sementara permukiman dan rumah kedai mengelilinginya sehingga membentuk perimeter block dengan masjid dan ruang terbuka di tengah-tengahnya ini. Arsitektur masjid lebuh Aceh ini cukup unik karena merupakan gabungan dari gaya moor, china, dan klasik.
Menara persegi delapan yang berada di sisi utara tepat di pintu masuknya berbentuk seakan pagoda china. Sementara gaya moor terlihat dari lengkung dan juga plester yang menghiasi dinding dan bagian mihrab. Tiang klasik berukuran besar tampak menghiasi beranda masjid ini yang lebih mirip seperti pendopo masjid-masjid di sumatera dan jawa. Sebagaimana masjid-masjid kuno di nusantara lainnya, di belakang masjid ini berderet makam orang-orang yang berkaitan erat dengan masjid ini, termasukTeungku Sayedal-idid sendiri beserta kerabatnya.
Kompleks masjid lebuh Aceh dan bangunan di sekelilingnya merupakan tanah wakaf yang tidak dapat diperjualbelikan. Secara turun-temurun kawasan ini ditinggali tidak hanya oleh masyarakat Aceh di penang, tetapi juga dari arab, yaman, dan melayu sendiri. Apalagi letak lebuh Aceh ini yang berdekatan dengan permukiman dari berbagai bangsa dan etnis. Georgetown memang dikenal sebagai kawasan majemuk yang berasal dari etnis dan agama berbeda. Semua itu hingga kini masih terpancar dari arsitektur bangunan di dalamnya.
Masjid lebuh Aceh ini semakin istimewa karena tidak hanya berfungsi sebagai basis masyarakat islam di penang, namun juga menjadi "jeddah kedua" bagi masyarakat serantau yang akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Kompleks ini senantiasa dipadati jemaah sepanjang musim haji, dan bahkan hampir sepanjang tahun. Perjalanan dengan kapal laut saat itu yang memakan waktu hampir setengah tahun menjadikan kompleks masjid ini didiami pengantar jemaah haji dan selama menunggu jemaah pulang dari tanah suci. Begitu seterusnya hingga musim haji berikutnya tiba. Berbagai jenis perdagangan dari mulai rempah ratus, bazar makanan, percetakan buku-buku agama islam, warung makan, hingga jasa pengurusan haji mengelilingi kesemarakan masjid ini.
Tradisi mengunjungi masjid lebuh Aceh sebelum pergi haji kini semakin lama semakin pudar. Keramaian suasana semakin berkurang. Kini masjid lebuh Aceh hanya digunakan dua kali shalat jumat dalam sebulan bergantian dengan masjid kapitan keling yang juga berada di salah satu blok kota lama georgetown ini.
Keberadaannya yang semakin renta menggerakkan sejumlah pelestari warisan budaya untuk memugar masjid ini. Pada akhir dekade 1990-an masjid yang sudah berumur lebih dari 200 tahun ini dipugar dan dikonservasi sebagaimana bentuk aslinya oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan universiti sains malaysia dengan dana dari pihak pemerintah bandaraya penang. Tidak tanggung-tanggung gubernur Aceh pada saat itu, profesor syamsudin mahmud, pun turut berkunjung pada saat bangunan dipugar.
Meski demikian, kompleks enklave ini kini masih terus menjadi sengketa. Meski statusnya sebagai tanah wakaf yang tidak dapat diperjualbelikan, letaknya yang strategis di pusat kota dan tingginya nilai lahan di georgetown ini menjadikan kompleks bangunan di sekeliling masjid lebuh Aceh diincar banyak pihak. Isu-isu manajemen tanah wakaf, konservasi, dan kepentingan kapital menjadi mengemuka. Permasalahan ini cukup merisaukan banyak pihak, mengingat kompleks masjid ini merupakan warisan arsitektur sekaligus saksi sejarah bangsa kita di negeri tetangga, malaysia.
Masyatakat Aceh cukup berjaya di penang tidak terbatas hanya pada masa Teungku Sayedal-idid tetapi selepas kematian beliau pada pertengahan abad ke 19, perkampungan ini terus berkembang maju dan telah mencapai kegemilangannya hingga akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.teuku nyak putih, ayahanda seniman legendaris melayu p. Ramlee-pun adalah satu diantara banyak orang Aceh yang sukses di penang.
Hubungan Aceh - Amerika (1873)
Dua hari setelah Niewenhuyzen memuntahkan peluru meriam atas Aceh dari kapal-kapalnya, Sultan mahmud mengirim sepucuk surat kepada Studer (Konsul Amerika di Singapura), yang dibawa dua utasan pada waktu malam yang bergerak dengan perahu kecil. Mereka Thambi Meidin Syah,salah satu dari anak buah sultan, dan Jhon Swennsen orang norwegia dari Simpang Ulim.
Setelah dsampai di Simpang Ulim, mereka dikirim dengan sebuah schooner menuju Penang oleh Teuku Muda Nyak Malim, yang juga mengirim suratnya sendiri menawarkan lada miliknya kepada orang Amerika.
Surat itu, yang mendesak Studer mengusir armada Belanda dari Aceh dan menjajikan sebagai imbalan bahwa Aceh akan menerima barang dagang Amerika, Surat itu sampai di Singapura 28 April. Dalam laporannya ke Washington, Mayor Studer tidak memberikan dorongan pada utusan itu. Tentu saja ia tidak boleh melakukan itu, setelah ia mendapat teguran dari pemerintahannya karena perannya yang canggung dan tanpa persetujuan atasannya dalam peristiwa Arifin. Tetapi Konsul itu dipengaruhi oleh rasa simpati kepada Aceh, dan dipengaruhi oleh ambisi para pedagang Amerika setempat, ai secara pribadi terus berunding dengan orang Aceh, dan dengan demikian segaja atau tidak sengaja menghidupkan terus harapan orang Aceh.
Segera setelah permohonan Aceh itu sampai ketangan Mayor Studer, ia memanggil penulisnya seorang india, ke Penang, Untuk membicarakan sebuah Perjanjian dengan Teuku Ibrahim dan orang-orang Aceh lain yang ada di Penang.
Di Penang juga Teuku Ibrahim Raja Fakih yang bertindak atas nama Sultan Aceh Sultan Mahmud Syah, terdorong untuk menulis surat kepada Presiden Grant tanggal 16 Agustes 1873 pada waktu itu hampir bersamaan dengan saat Teuku Paya kepada Marshal MachMahon dengan permintaan yang sama yaitu membersihkan nama Aceh dari pencemaran yang dilontarkan oleh Belanda. Departemen Luar Negeri Amerika menjawab dengan sederhana, Bahwa Amerika Serikat tidak mepunyai keluhan mengenai Aceh.
Dalam bulan September, Teuku Ibrahim Raja Fakih yang mendapat wewenang yang pasti dari Sultan Mahmud untuk menandatangani sebuah Perjanjian berdasarkan rancanagnya (Teuku Ibrahim). Dewan Delapan bertemu sekali lagi menjelang akhir bulan itu dan mempercayakan penyusunan rancangan perjanjian itu dalam Bahasa Inggris kepada Mayor Stuart Herriot, untuk diserahkan kepada Mayor Studer. Namun Oleh Mayor Studer Naskah Perjanjian itu baru ditranfer ke Pemerintah Amerika Serikat di WASHINGTON D.C pada 4 Oktober 1873, naskah yang oleh Pemerintah Amerika Serikat disebut PROPOSAL OF ATJEH-AMERICAN TREATY tersebut disimpan dibagian Arsip Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Isi penawaran Perjanjian oleh Pihak Aceh, adalah membuka kesempatan lebih luas untuk meningkatkan hubungan dagang antara kedua negara, dalam hal ini Aceh memberikan jaminan sepenuhnya baik terhadap kapal-kapal Amerika yang berlayar di Perairan Aceh, maupan Warga Amerika yang berada di Daratan Aceh, selanjutnya Kerajaan Aceh bersedia tidak akan mengikat Perjanjian serupa dengan Negara lain. Tatkala Panglima Tibang menanyakan hal-hal yang diinginkan oleh Pemerintah Amerika Serikat, Mayor Studer mengemukakan beberapa hal, yaitu Ektratetritoriality, Ekstradisi, Jaminan hak milik warga Amerika, jaminan Keamanan, dan kebebasan beragama.
Daya tarik paling kuat dari draf perjanjian tersebut adalah penyerahan Pulau Weh kepada Amerika. Dan semua anggota Dewan Delapan menyetujuai perjanjian itu dan dibawah Teuku Ibrahim membawanya ke Singapura.
Dewan Delapan
Pada tahu 1883 terdapat 347 jiwa orang Aceh di Penang, orang-orang Aceh disana adalah yang tidak memiliki kontak khusus melalui Abd-Arrahman dengan Timur Tengah, mereka berhubungan secara teratur dengan eropa. Karena merupakan pusat perniagaan Aceh, penang juga pusat sumber informasi dari luar negeri dan dari wilayah Aceh lain. Konsul Hindia Belanda untuk Aceh waktu itu dan banyak juga Agen-agen rahasia belanda ditemapatkan diPulau Pinang. Sebagian besar orang Aceh sudah pernah berkunjung ke pelabuhan inggris itu untuk mencicipi kehidupan kota. Sebagian dari mereka mengirim anak-anak mereka untuk sekolah dipenang.
Sebuah peran penting dimainkan oleh sekelompok orang Aceh yang menetap di Pulau Pinang, yaitu perdagangan. Orang Aceh ini membentuk sebuah inti dari koloni orang Aceh yang berjumlah 300 orang, yang selalu bertambah seiring terus berdatangnya orang Aceh ke penang. Solidaritas koloni orang Aceh dipenang terbukti kuat, hal ini pernah ter uji ketika 270 haji Aceh dilarang blokade Belanda meneruskan perjalanan pulang keAceh dan terkatung-katung tanpa uang sepeserpun, mereka ini ditampung oleh dipenang mulai juli 1873 sampai mei 1874 dan dengan tegas menolak bantuan belanda yang ditawarkan kepada mereka.
Simpang Ulim pernah menjadi negeri baru terkaya pengeksport lada dipantai timur Aceh, mempunyai pengaruh besar atas koloni ini dibawah Uleebalangnya Teuku Nyak Malim, adalah pemilik "Gedong Atjeh". Gedung ini berada ditengah kota Penang dan bernilai 40.000 dolar Amerika Serikat. itu menjadi tempat orang-orang Aceh berkumpul. Teuku paya adalah bekas panglima perang Simpang Ulim tengah berada diPulau Pinang mengurus perdagangannya ketika perang Aceh pecah dan tinggal disitu memainkan peran penting sampai 1876.
Dengan pengaruh besar, mereka berhasil merangkul orang-orang Aceh yang dipenang untuk mengembangkan sikap bela tanah air yang gigih sejak awal pecahnya perang. Mereka juga menjadi pendukung paling antusias misi abd ar-Rahman ke Constatinopel, Teuku Paya meminjam uang dalam jumlah besar dari pedagang Arab kaya raya, dia juga pemain dibelakang layar yang penting dalam membela Aceh yaitu Sheih Ahmad bin Abdullah Baschaib untuk dikirim kehabib itu, dengan perantaranya adalah kemenakannya dan rekanya sesama pemilik ditanjong seumeutoh, Nyak Abas ikut dalam misi itu.
Diantara kelompok "Atjeh" di Penang hanya teungku ibrahim yang tidak terlibat dalam aktivitas perdagangan. Anak Aceh dari Pidie ini datang ke Penang setahun sebelum perang Aceh pecah. Ia memiliki prestise alami disitu karena hubungannya dengan dinasti Sultan melalui pamannya, Teugku Raja Pakeeh Dalam dari Pidie. Kedudukan terkemuka ini ditegaskan ketika Sultan Mahmud, tak lama setelah ekspedisi belanda petama, mengirim kepadanya wewenang resmi untuk bertindak atas nama Aceh dalam perundingan-perundingan dengan kekuataan asing.
Sebagai pemimpin-pemimpin efektif kelompok Aceh di Penang, Teuku Paya, Syeih Ahmad dan Teungku Ibrahim cendrung bertindak sebagai pembentuk "politik luar negeri" Aceh dalam masa enam bulan yang paling penting antara ekspansi belanda pertama dan ekspansi kedua Belanda. Mereka mengambil keputusan melalui meusyawarah dan mufakat; karena itu mereka biasanya meminta nasehat kapada kelompok orang Aceh yang lebih besar (Ulama, orang berpengaruh lain). Salah satu dari mereka sering mengundang orang-orang Aceh yang lain untuk bersembahyang disalah satu mesjid di Penang dan kemudian membahas persoalan-persoalan yang dihadapi Aceh.
Memasuki bulan September 1873 sebuah kelompok yang terdiri dari delapan orang mulai menandatangani surat-surat bersama dan bertemu secara teratur dalam sebuah kemite dibawah Teuku Ibrahim sebagai ketua. Inilah yang disebut "Dewan Delapan". Dewan ini berperan menytalur upaya-upaya Aceh sampai pertangahan tahun 1874. Lima lagi anggota Dewan Delapan adalah dua orang Aceh yaitu Nyak Abu dan Panglima Perang Haji Yusuf, dua muslim india kelahiran kelahiran Penang yaitu Gullahmeidin dan Umar, dan satu orang Arab kelahiran Penang yaitu Syeikh kassim. Semuanya pedagang lada, dengan kepentingan khusus dipantai timur Aceh. Meski Gullahmeidin juga kerani dikantor Lorreine, Gillespie & co.
Ruang mengambil keputusan yang lebih luas harus diberikan pada Dewan Delapan untuk mencari sekutu-sekutu kuat bagi Aceh. Dewan Delapan lebih memahami politik dari pada sultan dan para Uleebalang Aceh Besar, dan lagi pula kesulitan komunikasi untuk meminta nasihat pada sultan. Lagi pula Sultan Mahmud terlalu lemah teruma setelah perang pecah untuk memberi petunjuk mengenai arah kebijakan. (Antoni Reid, Asal Mula Konflik Aceh)
Hubungan Aceh Pulau Pinang Masa Penjajahan Jepang
Tokoh Aceh mengirim utusannya yang berjumlah delapan orang pada 14 februari 1942 yang diketuai oleh Tengku Muda dari lhoksukon ke pemimpin perang Jepang, guna memberi tahu agar Jepang segara masuk ke Aceh untuk membantu Aceh mengusir Belanda. Pada tanggal 21 februari 1942 pas malam minggu berangkat lagi serombongan orang Aceh ke Pulau Pinang atas utusan PUSA yang diketuai oleh Teungku Hamid dari Jeunip baru tanggal 4 Maret 1942 sampai ke Pulau Pinang, mereka diterima dengan baik oleh Petinggi jepang dipulau Pinang, begitulah diberita Radio Jepang di penang.
Pada 19 februari 1942 sebanyak tujuh orang anak Aceh dikirim dari Pulau Pinang oleh S.Masubasi sebagai anggota Fujiwara Kikan (Sayap Militer jepang )mereka mendarat di Simpang Ulim (Wilayah barat Kabupaten Aceh Timur sekarang),disana mereka sempat digeledah dan ditangkap seterusnya dikirim ke IDI dan dipenjara oleh Ulee Balang Simpang Ulim Teuku Husen.
Kerjasama Antara PUSA dengan Militer Jepang dapat terjadi karena Jepang sedang mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia. Pada 1940 negosiasi antara Jepang dengan Aceh dimulai. Dan pada 19 Desember 1941 Jepang menguasai Penang, dan sejumlah orang Aceh bermukim di Penang untuk melakukan gerakan politik kemerdekaan dengan dukungan Jepang.
(Gerak Kebangkitan Aceh, M.Yunus Djamil)
Aceh Pulau Pinang Masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Penang, Malaysia telah menyediakan tidak hanya tempat yang aman bagi pengungsi Aceh, tetapi juga platform untuk banyak aktivis di antara mereka untuk melanjutkan pekerjaan mereka perdamaian. Melalui Perdamaian Aceh Program (APP), Universiti Sains Malaysia Riset dan Pendidikan untuk Perdamaian (REPUSM) unit adalah dasar untuk banyak kegiatan ini, memberikan keuangan, kelembagaan, intelektual, dan moral, dukungan.
Ada selalu dekat solidaritas budaya antara Aceh dan Penang, membuat Penang pilihan yang sempurna bagi masyarakat Aceh untuk melakukan kegiatan mereka perdamaian.Meskipun banyak tantangan, termasuk kepekaan politik dan keamanan di Malaysia, REPUSM dan APP berhasil mengubah konflik Aceh melalui dukungan perdamaian berdasarkan advokasi, pembangunan kapasitas, jaringan, bangunan kelembagaan, dan lokal (Aceh) kepemilikan kegiatan.
REPUSM terletak di Universiti Sains Malaysia (USM) di Penang, Malaysia. Ini didirikan pada tahun 1995 untuk memfasilitasi penelitian dan pendidikan perdamaian di universitas. Ini memiliki program outreach dan telah terlibat dalam kegiatan mendukung perdamaian, bukan hanya di Malaysia tetapi juga di seluruh kawasan Asia Tenggara.Pada tahun 2001 REPUSM menjadi Sekretariat Daerah untuk Asia Tenggara Jaringan Studi Konflik (SEACSN), bertugas dengan meningkatkan studi perdamaian dan konflik di wilayah tersebut dan mendorong kerjasama antara akademisi perdamaian dan peneliti. Empat program perdamaian khusus diciptakan di REPUSM, termasuk APP, Mediasi dan Rekonsiliasi Layanan, Mindanao Program Perdamaian dan Thailand Selatan Peace Program.
APP diluncurkan pada 2001 untuk lima alasan utama. Pertama, kedekatan Aceh ke Malaysia berarti telah ada masyarakat Aceh substansial dalam negeri, khususnya di Penang, selama bertahun-tahun. Banyak Aceh juga telah dipaksa untuk menyeberangi Selat Malaka karena konflik yang sedang berlangsung. Antara tahun 1999 dan 2004 lebih baru 'migran' dan 'pengungsi' termasuk anggota masyarakat sipil, termasuk para pemimpin LSM yang melarikan diri penganiayaan di Aceh, anggota GAM, aktivis orang buangan, kombatan, pengungsi sipil dan mahasiswa.
Beberapa pengungsi, akademisi terutama yang digunakan untuk bekerja di Atau LSM, terdaftar di USM. Ini masuk akal untuk memanfaatkan energi mereka, semangat dan pengalaman untuk membantu merancang program damai yang akan dilaksanakan oleh mereka. Generasi tua hidup Aceh di Malaysia yang aktif dalam membantu para pendatang baru. Sebagai contoh, sebuah kelompok pendukung yang disebut Ikatan Masyarakat Aceh Malaysia (IMAM) telah dibuat oleh orang Malaysia keturunan Aceh dan didukung oleh beberapa politisi terkemuka Malaysia dengan ikatan Aceh, seperti mantan Kepala Menteri Negara Kedah, Tan Sri Sanusi Junid.
Kedua, karena ketidakamanan di Aceh, sulit untuk mengorganisir program peacebuilding di Aceh sendiri, terutama setelah eskalasi kekerasan dari tahun 1999 dan runtuhnya perundingan perdamaian pada tahun 2003. Penang disediakan tempat yang aman untuk melanjutkan kegiatan pembangunan perdamaian. REPUSM, dan khususnya koordinatornya, memainkan peran penting dalam mempromosikan isu Aceh di Malaysia dan melindungi rakyat Aceh di Penang. Sebagai contoh, artikel yang ditulis dalam surat kabar dan media populer lainnya untuk menjelaskan konflik Aceh dan nasib para pengungsi Aceh. Ini menjelaskan pentingnya mendefinisikan pengungsi Aceh berbeda dari migran lain, terutama yang ekonomi. Upaya juga dilakukan untuk mendapatkan dukungan publik Malaysia, terutama bantuan kemanusiaan.
Ketiga, ada kebutuhan untuk memperkuat dukungan regional dan internasional untuk perdamaian di Aceh. Sebuah penelitian dilakukan oleh APP untuk menentukan kekuatan pekerjaan pendukung perdamaian untuk Aceh. Hal ini menyimpulkan bahwa ada kebutuhan pertama untuk mengkonsolidasikan posisi dari berbagai LSM yang bekerja di Aceh, dan kedua untuk terhubung aktivis Aceh dan peacebuilders kepada masyarakat peacebuilding nasional dan internasional. Ini difasilitasi melalui SEACSN, yang memiliki kontak yang luas di wilayah tersebut.
Keempat, adalah penting untuk meningkatkan kapasitas aktivis perdamaian, khususnya di bidang advokasi, bahasa, perencanaan strategis, dan teori dan praktek! Perdamaian dan transformasi konflik. Ini adalah bagian dari strategi untuk mengembangkan pemikiran strategis tentang Aceh:! Untuk membayangkan Aceh yang damai dan cara-cara untuk sampai ke sana. Sebagai lembaga akademik, REPUSM dan SEACSN berada di posisi Untuk memberikan kontribusi terhadap upaya ini.
Terakhir, ada kebutuhan untuk terlibat dengan anggota GAM dan simpatisan, banyak di antaranya yang berbasis di Malaysia, dan menghubungkan mereka dengan anggota masyarakat sipil Aceh, terutama yang hadir di Penang. Alasan di balik ini adalah: pertama, untuk mengevaluasi kecenderungan untuk perdamaian di antara anggota GAM dan simpatisan, terutama para pemimpin muda, dan mengidentifikasi inklusi potensi mereka dalam kegiatan damai yang berhubungan dengan masa depan, kedua, untuk menciptakan solidaritas antara Aceh dan mengkonsolidasikan berbagai posisi mereka dalam antisipasi masa depan pembicaraan damai.
APP bekerja atas dasar mendukung aktor peacebuilding lokal untuk mengubah konflik.Hal ini selalu menjadi kepercayaan REPUSM dan SEACSN bahwa 'akar peacebuilding harus selalu lokal'. Koordinator APP adalah seorang mahasiswa pascasarjana Aceh melekat pada REPUSM. Dia adalah seorang aktivis bekerja dengan koalisi LSM hak asasi manusia di Aceh. Karena tekanan hidup di Aceh, ia bergabung dengan istrinya yang sedang belajar di Malaysia dan mendaftar di REPUSM sebagai mahasiswa Master. Di APP ia didukung oleh jaringan informal Aceh: siswa Aceh lainnya belajar di USM dari berbagai latar belakang, serta aktivis non-mahasiswa, baik di Penang dan Aceh.
Kegiatan
Kemanusiaan telah berfokus untuk mendukung pengungsi Aceh di Penang, misalnya:
mengorganisir sebuah 'rumah aman' di Penang dengan dukungan dari masyarakat
Aceh setempat dan Badan Pengungsi PBB, mendokumentasikan pengungsi; penghubung
dengan masyarakat Malaysia lokal dan otoritas, dan menyediakan siswa visa dan
dukungan keuangan untuk aktivis pengungsi. Beberapa siswa Aceh di universitas
juga membantu menyediakan dasar pendidikan untuk anak-anak pengungsi.
Melibatkan dengan GAM yang terlibat memperoleh kepercayaan anggota GAM di Malaysia, para pemimpin terutama menengah peringkat, melalui dukungan kemanusiaan dan diskusi sering, dan menghubungkan mereka dengan kelompok aktivis. Strategi keterlibatan ini penting untuk menghubungkan dan mengkonsolidasikan dua kelompok. Keterlibatan dilakukan dengan proses perdamaian akhirnya dalam pikiran: untuk memastikan bahwa GAM menyadari permasalahan dan kebutuhan orang-orang yang mereka mengaku berjuang.
Aceh Institute [www.Acehinstitute.org] muncul dari lokakarya Group seorang Cendekiawan Aceh diselenggarakan oleh APP pada bulan Juli 2004. Workshop ini membawa bersama ulama terkemuka Aceh dan aktivis dari berbagai bidang untuk membuka jalan bagi gerakan perdamaian melalui diskusi. Lokakarya dimulai dengan membayangkan masa depan Aceh dan pindah ke mengembangkan strategi tentang cara membuat, Aceh yang damai sejahtera. Itu berakhir dengan kesepakatan untuk mendirikan Aceh Institute. Lembaga ini dipindahkan ke Aceh pada tahun 2005 setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki yang secara resmi menandai berakhirnya perang. Relokasi ke Aceh sangat penting untuk kepemilikan lokal inisiatif.
Pendanaan Tidak ada dukungan keuangan yang stabil untuk kegiatan APP. Sebagian besar didukung oleh REPUSM, yang pada gilirannya menggunakan sumber daya dari SEACSN. anggota Staf REPUSM dibayarkan oleh SEACSN, tapi menyumbangkan waktu dan energi ekstra untuk program Aceh. Orang-orang yang bekerja di APP juga membantu program REPUSM lain, menggunakan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman lebih dari konflik lain dan masalah perdamaian di kawasan serta menggunakan platform ini untuk mengadvokasi perdamaian di Aceh.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa kerja yang dilakukan oleh APP, REPUSM, dan SEACSN untuk Aceh menunjukkan bahwa kolaborasi lintas-perbatasan untuk perdamaian untuk memberikan dukungan, advokasi, dan pembangunan kapasitas untuk masa depan, memainkan peran penting dalam konflik,, transformasi dan proses pembangunan perdamaian. Kamarulzaman Askandar adalah Koordinator Riset dan Pendidikan untuk Perdamaian di Universiti Sains Malaysia (REPUSM). Ia juga Koordinator Regional untuk Asia Tenggara Jaringan Studi Konflik (SEACSN). Dia telah aktif dalam mendukung kegiatan pembangunan perdamaian di daerah konflik di Asia Tenggara, dan khususnya di Aceh, Indonesia, Mindanao, Filipina, dan Thailand Selatan.
Hubungan Aceh Pulau Pinang Pasca Damai Aceh (2005-2011)
Pengusaha GAM Buka Trayek Penang-Aceh ( Februari 2006 )
Perusahaan
ekspedisi angkutan laut milik seorang pengusaha Gerakan Aceh Merdeka (GAM) akan
lebih fokus pada bidang ekspor dan impor. Perusahaan yang menggunakan bendera
Aceh World Trade Center (AWTC) Dagang Holding Sdn. Bhd. ini menggandeng ASDP
Malaysia Sdn. Bhd. sebagai kongsi dagangnya di Malaysia.
Karena lebih mengutamakan pengangkutan barang dibandingkan penumpang.
Nurdin mengakui perusahaan yang dipimpinnya telah mendapat sambutan dan dukungan yang baik dari berbagai pihak, baik dari pemerintah Malaysia, Indonesia, masyarakat di kedua negara dan bahkan restu dari pimpinan tertinggi GAM di Swedia.
Dalam kesempatan terpisah, salah seorang Direktur Utama perusahaan ASDP Malaysia Sdn. Bhd., Mohd Khairuddin bin Othman, yang merupakan kongsi dagang AWTC turut menjelaskan baiknya sambutan masyarakat dengan jalur perjalanan laut Penang-Aceh. Sambutan masyarakat baik sekali. Untuk trayek Penang-Lhokseumawe yang telah diadakan Jum'at (10/2) malam ini, Kapal Jatra III akan memuat 100 ton barang, 50 penumpang dan beberapa buah kendaraan pribadi.
Namun AWTC
Dagang Holding dan ASDP Malaysia ingin konsentrasi mengurus trayek langsung
Penang-Aceh, yang pelayaran perdananya baru saja mereka lakukan pada Sabtu
(28/1) silam.
Pendirian Konsulat Aceh di Pulau Pinang
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, meresmikan pemakaian Kantor Perwakilan Investasi dan Promosi Aceh (Aceh Investment and Promotion Centre Representative Office) di Penang, Malaysia. Kantor itu berlokasi di Gedung Penang Development Centre (PDC), kawasan Bayan Lepas. Pembukaan kantor ini dimaksudkan untuk lebih mempererat hubungan antara Aceh dan Pulau Pinang. Gubernur Irwandi mengatakan, Aceh dan Penang telah menyepakati kerja sama mempromosikan dan memfasilitasi perdagangan serta investasi dengan prinsip saling menguntungkan.
Gubernur Aceh Irwandi Yusof memimpin delegasi ke Penang untuk menutup nota kesepahaman untuk, antara lain, perdagangan bilateral dan pertukaran budaya dengan negara Malaysia utara yang membanggakan perekonomian negara kedua terkuat.
Hasil yang paling dramatis dari dialog antara kedua belah pihak, bagaimanapun, adalah difokuskan pada cadangan alam Aceh. Jika Penang memiliki sedikit atau tidak ada sumber daya alam, Aceh teems dengan kelimpahan bahan bakar fosil, mineral dan komoditas pertanian. Jika Aceh membutuhkan keahlian pembangunan, Penang, yang menampung salah satu konsentrasi terbesar perusahaan multinasional teknologi tinggi di wilayah tersebut dan memiliki sektor logistik sangat berkembang, telah memiliki jaringan yang mapan untuk menyalurkan bakat-bakat manusia yang diperlukan.
Dan Aceh pada prinsipnya setuju untuk menjelajahi Penang sebagai titik pendaratan untuk minyak menguntungkan dan gas. Kedua pemerintah sekarang ditetapkan untuk besi perincian tentang bagaimana cadangan lepas pantai provinsi, dalam apa yang dikatakan menjadi salah satu waduk belum dimanfaatkan terbesar di dunia, bisa disalurkan ke Penang untuk redistribusi dan ekspor.
Prof Dr P. Ramasamya Dalah tokoh lain di balik kesepakatan MoU Helsinki - seorang ilmuwan politik dari Malaysia yang memainkan peran yang tenang namun signifikan dalam membantu dan menegosiasikan rancangan perjanjian perdamaian antara separatis Aceh dan pemerintah pusat Indonesia pada tahun 2005 lalu ia juga sahabat Irwandi Yusuf.
Jalinan hubungan antara Aceh dan Penang sesungguhnya bukan barang baru. "Benang merah" antara Aceh dan Penang telah terjalin sejak lama. Hubungan dagang para sudagar Aceh lampau dengan saudagar Pulau Pinang itu terjalin sangat kuat. Bahkan, di Pulau Pinang sejak lama sudah ada Jalan Aceh. Ini menandakan ada hubungan historis.
Masyarakat Aceh yang punya banyak uang kini lebih mau berobat ke Penang ketimbang ke rumah sakit di dalam negeri, salah Rumah sakit favorit adalah Lam Wah EE Hospital dan Island Hospital.
Salam sejahtera,
BalasHapusSaya Nor Diyana Binti Zainol Abidin, pelajar jurusan Sastera Sejarah dari Universiti Malaya sedang menjalankan kajian mengenai Masyarakat Acheh di Pulau Pinang. Boleh saya tahu, sumber rujukan apakah yang saudara telah gunakan? Ingin sekali saya membuat rujukan terhadap penulisan ini.
Terima kasih.