Teuku Nyak
Arif, setelah menamatkan Sekolah Dasar di Banda Aceh pada tahun 1908,
meneruskan ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Bukittinggi jurusan pangrehpraja,
kemudian melanjutkan ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren =
Sekolah calon pangrehpraja) di Banten, tamat tahun 1915. Ia memang disiapkan
sebagai pegawai pamongpraja untuk menggantikan ayahnya sebagai Panglima Sagi
XXVI.
Sebenarnya
sejak 1911 ia sudah mewarisi kedudukan itu, namun karena masih terlalu muda,
ayahnyalah yang mewakilinya hingga 1919. Sejak kecil Nyak Arif sudah tampak
cerdas dan berwatak berani dan keras. Ia membenci Belanda karena menganggapnya
bangsa itu penjajah negerinya yang membawa kesengsaraan rakyat Aceh. Sejak
kecil ia sudah mengenal sumpah sakti orang Aceh, "Umat Islam boleh
mengalah sementara, tetapi hanya sementara saja dan pada waktunya umat Islam
harus melawan kembali". Kebenciannya kepada Belanda itu menyebabkan ia
bersikap melawan. Ia tidak mau menerima tunjangan f 10,— setiap bulan yang
disediakan pemerintah untuk anak-anak Aceh yang belajar di luar Aceh. Di
sekolahan ia tidak mau tunduk kepada perintah gurunya, misalnya untuk menghapus
tulisan di papan tulis dan sebagainya.
Kegemarannya,
bermain sepakbola dan menjadi bintang lapangan, baik di Banda Aceh mau pun
kemudian di Bukittinggi. Pada tahun 1935 ia dipilih menjadi ketua dari
Persatuan Sepak-Bola Aceh (Acehse Voetbalbond). Keahliannya di dalam kesenian,
sebagai pemain bola. Teuku Nyak Arif kawin dengan puteri Teuku Maharaja, kepala
daerah di Lhok Seumawe. Perkawinan itu oleh mertuanya akan dirayakan secara
besar-besaran seperti lazimnya di kalangan bangsawan Aceh, namun Nyak Arif
menolak. Ia minta perkawinannya dilaksanakan dengan sederhana dan sang mertua
pun terpaksa menurutinya. Perkawinan itu tidak berlangsung lama. Suami isteri
bercerai sebelum dikaruniai anak.
Kemudian
Nyak Arif Kawin dengan pemudi Jauhari, berpendidikan MULO (SMP Belanda) anak
mantri polisi Yazid, asal Minangkabau. Suami isteri hidup teratur dengan disiplin
keluarga yang mampu membawanya ke jenjang kebahagiaan. Mereka dikarunia 3 orang
anak, 2 laki-laki dan yang bungsu wanita. Anaknya mula-mula disekolahkan pada
Sekolah Rendah Belanda (ELS), namun kemudian 2 orang puteranya dipindahkan ke
Taman Siswa, dan si bungsu bersekolah Muhammadiyah. Tentang sekolah
anak-anaknya itu sudah memberikan petunjuk, bahwa Teuku Nyak Arif seorang yang
berpandangan maju dan memiliki sifat-sifat sebagai nasionalis.
Nyak Arif
memang seorang nasionalis Indonesia yang mengikuti faham nasionalisme NIP
(Nederlandsch Indische Partij) pimpinan trio Dr. E.F.E. Douwes Dekker
(Setiabudhi Danudirja), Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki
Hajar Dewantara). Pada tahun 1919 ia menjadi anggota NIP, bahkan ketua cabang
Banda Aceh. Sebagai seorang nasionalis ia selalu memihak kepada rakyat,
mengikuti jejak pengarang mashur Max Havelaar (Eduard Douwes
Dekker residen Lebak, Jawa Barat) dengan karyanya yang mengungkap kekejaman
Belanda di zaman tanam-paksa (cultuurstelsel).
Karena
fanatiknya kepada Max Havelaar, maka di kalangan kaum terpelajar ia mendapat
nama panggilan Max. Nama ini terkenal di kalangan NIP dan Aceh
Vereniging (Syarekat Aceh) yang diketuainya dan bergerak di bidang sosial.
Sebagai Panglima atau kepala daerah Sagi XXVI sikapnya tegas dan keras. Ia
senantiasa menjalankan peraturan pemerintah dengan kebijaksanaan dan
memperhatikan kepentingan rakyat, dalam arti memberikan keringanan-keringanan
kepada beban yang harus ditanggung oleh masyarakat. Sebagai Panglima Sagi XXVI
ia bertempat tinggal di Lam Nyong. Ia terkenal giat di dalam masyarakat.
Berbagai gerakan ia ikuti. Kecuali Muhammadiyah dan Taman Siswa, ia lebih dulu
membantu berdirinya JIB (Jong Islamietan Bond) di Banda Aceh dan Jong.
Sumatranen Bond (Pemuda Sumatera).
Kebijaksanaannya
didukung oleh kecakapannya mempertemukan dan merukunkan golongan muda, dan tua
dan golongan ulama dan bangsawan. Yang terakhir ini, perbedaaan pendirian kaum
ulama dan kaum bangsawan, merupakan ciri khas masyarakat Aceh. Dan Nyak Arif
berhasil mengatasi kesulitan itu hingga tercapai persesuaian yang laras,
khususnya dalam mengabdi kepada masyarakat dan agama.
Di Aceh
Teuku Nyak Arif tercatat sebagai orang yang terkemuka, mempunyai pengaruh besar
di kalangan masyarakat. Kecakapannya sebagai orang keluaran OSVIA tampak
menonjol, terutama didukung oleh keberaniannya menghadapi pembesarpembesar
Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 16 Mei 1927 atas usul residen Aceh ia
diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Di samping itu pekerjaannya
sebagai Panglima Sagi XXVII tetap ia jalankan dengan baik. Sebagai anggota
Volksraad ia lebih banyak tinggal di Aceh daripada di Jakarta.
Di
sidang-sidang Volksraad ia selalu menunjukkan kecakapan dan keberaniannya
terutama dalam mengeritik kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda. Lebih khusus
lagi ketangkasannya menghadapi orang-orang Belanda anggota-anggota Volksraad
yang reaksioner. Seringkali nama Teuku Nyak Arif muncul dalam laporan-laporan
perdebatan di Volksraad di dalam suratsuratkabar. Ia terpuji sebagai,
"anak Aceh yang berani dan lurus" seperti ditulis dalam laporan
harian Bintang Timur. Ia mampu menandingi jago-jago bicara Belanda
terkenal di Volksraad seperti Mr. Drs. Fruin, Lighart dan Zentgraaf, wartawan
ulung yang amat terkenal pada zamannya.
Ucapannya
yang dihadapkan kepada lawan dan kepada pemerintah antara lain, "Orang
yang sopan tidak akan mencoba menekan hak rakyat". Pada tanggal 27 Januari
1930 di dalam Volksraad di umumkan oleh Moh. Husni Thamrin, berdirinya Fraksi
Nasional sebagai reaksi tindakan kejam Belanda terhadap pergerakan nasional
PNI (Partai Nasional Indonesia) dengan penangkapan-penangkapan
pemimpin-pemimpinnya dan sebagai kelompok yang sanggup menandingi golongan
Belanda yang terhimpun dalam Vaderlandsche Club (Cinta Tanah Air
Belanda). Fraksi Nasional itu diketuai oleh Moh. Husni Thamrin dengan
anggota-anggota, Kusumo Utoyo, Dwijowewoyo, Datuk Kayo, Muchtar, Teuku Nyak
Arif, Suangkupun, Pangeran Ali dan R.P. Suroso.
Di dalam
Fraksi Nasional itu pun Nyak Arif cukup menonjol. Dalam sidang Volksraad
tanggal 18 Juni 1928 ia menjelaskan pendiriannya tentang Persatuan Indonesia,
antara lain sebagai berikut:
"Jikalau
kita membicarakan keadaan politik di negeri ini haruslah memakai kata Indonesia.
Ada juga pemimpin Indonesia segan memakai kata Indonesia itu. Kata Indonesia
mengandung suatu kebangsaan dan bukan sesuatu yang hampa dan impian. Dasar
pembentukan kebangsaan itu adalah, bahasa, kesenian dan hukum tanah.
Dasar-dasar itu harus dikembangkan ke arah kesatuan kebangsaan, sebagai salah
satu syarat untuk mencapai kemerdekaan kenegaraan (Staatkundige vrijheid)
Sebelum meninggalkan mimbar ini, sekali lagi saya ingin menunjukkan kepada
bangsaku yang terhormat pada kenyataan, bahwa mereka dalam batas-batas hukum secara
mutlak dapat berjalan bersama untuk mewujudkan cita-cita; dengan melalui
persatuan Indonesia mencapai kemerdekaan nasional."
Dalam tahun
1931 berakhirlah keanggotaan Teuku Nyak Arif dalam Volksraad. Ia kembali ke
pekerjaannya sekaligus giat dalam perjuangan rakyat di Aceh. Berbagai langkah
dan tindakannya senantiasa menuju kepentingan dan keringanan rakyat, bahkan
pembelaan terhadap nasib rakyat kecil. Sekalipun kejadian tidak di wilayah
kekuasaannya, namun Nyak Arif tidak segan-segan bertindak. Dialah satu-satunya
Ulebalang (Panglima) yang amat disegani baik oleh rekan-rekannya maupun oleh
Belanda.
Pajak nipah
yang hendak dikenakan di daerah bukan kekuasaan Nyak Arif dibatalkan karena
tuntutan Teuku Nyak Arif. Kontrolir, polisi dipindahkan karena tindakannya yang
sewenangwenang dituntut oleh Nyak Arif. Di dalam gerakan agama ia terkenal
dengan prakarsanya menentang Ordonansi Mencatat Perkawinan (sipil)
karena hal itu bertentangan dengan agama Islam dan tak ada manfaatnya
dijalankan di Aceh yang penduduknya hampir semuanya beragama islam. Ia
mendukung Muhammadiyah, termasuk Hizbul Wathan dan pemuda Muhammadiyah. Ia
menyokong Taman Siswa dengan terang-terangan sebagai donatur tetap. Pada waktu
Taman Siswa menentang Ordonansi Sekolah Liar Teuku Nyak Arif membantu
aksi perlawanan Taman Siswa dengan gigih. Pendeknya hampir segala kegiatan
masyaratan yang bersifat sosial politis ekonomis untuk kepentingan nasional,
pastilah disokong oleh Nyak Arif atau dialah yang justru memprakarsainya.
Berdirinya Beasiswa
Aceh diprakarsai dan diketuai olehnya berhasil mengirimkan siswa-siswa ke
Perguruan Tinggi. Pada saat Belanda dalam keadaan lemah karena menghadapi
serbuan Hitler dalam Perang Dunia II, Nyak Arif dengan cekatan menggunakan
kesempatan yang baik itu. Pada pertemuan pemimpin- pemimpin masyarakat, agama
dan partai-partai politik, pada waktu memperingati wafatnya Dr. Sutomo, Teuku
Nyak Arif berbicara dengan berkobar-kobar menanam semangat kebangsaan yang
tahan uji dan sanggup mencapai kemerdekaan.
Pada akhir
pidatonya ia mengajak semua yang hadir bersumpah, mengikuti sumpah yang
diucapkannya. Ia disumpah oleh Haji Abdullah Lam U, mengucapkan:
"Walah,
Bilah, Tallah. Saya berjanji setia kepada tanah air, bangsa dan agama, dan
tidak mengkhianati perjuangan." Semua yang hadir mengikuti sumpah Nyak
Arif termasuk Tengku Daud Beureuh, Teuku Cut Hasan, Tengku Syekh Ibrahim
Lamnga, Tengku H. Abdullah Indrapuri dan Tengku H. Abdulah Lam U.
Demikianlah gambaran kegiatan dan wibawa Teuku Nyak
Arif di dalam masyarakat luas di Aceh.
Pada akhir
1941 Jepang menyerbu Malaya. Penang jatuh pada 19 Desember 1941, Ipoh pada 28
Desember dan pada 11 Januari 1942 Kualalumpur dan Singapore jatuh pula.
Kemudian pada 22 Januari 1942 Sabang dibom dengan hebat dan kapal Belanda Hr.
Ms. Wegu ditenggelamkan di pelabuhan Ulee-lee.
Keadaan
menjepit menghimpit Belanda dan rakyat Aceh mulai bangkit bersiap-siap
menjelang datangnya Jepang. Pemberontakan terjadi di Seubimeum. Orang-orang
Eropa di Banda Aceh diungsikan ke Medan. Kontrolir Tiggelman dibunuh. Kepala
jawatan keretaapi van Sperling dibunuh. Hubungan tilpon dengan Medan diputuskan.
Rel-rel di Indrapuri dibongkar. Di Banda Aceh diumumkan jam malam.
Pada tahun
1939 berdiri Persatuan Ulama Aceh, disingkat PUSA yang diketuai oleh
Tengku Daud Beureuh. Pemudapemuda PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang di
Malaya
sejak 1940
sampai 1942. Kemudian Jepang mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di
Aceh dengan segala jalan. Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA
dan menganggapnya sebagai suatu kemunduran bagi pergerakan nasional.
Keadaan
makin lama makin memuncak. Pada 8 Maret 1942 residen Aceh mengadakan pertemuan
politik dengan Tuanku Mahmud dan Teuku Nyak Arif. Permintaan Nyak Arif agar
pemerintah diserahkan kepadanya ditolak oleh residen. Pertemuan lanjutan pada
10 dan 11 Maret 1942 diundang 9 pemimpinpemimpin Aceh, namun Nyak Arif tidak
hadir. Ternyata 8 orang pemimpin yang hadir semuanya ditangkap.
Rumah Nyak
Arif di Lam Nyong diserbu, namun Nyak Arif tak diketemukan dan keluarganya
sempat meninggalkan rumahnya sebelum diserbu Belanda. Kolonel Gozenson panglima
militer di Aceh berusaha sungguh-sungguh untuk menangkap Nyak Arif, tapi tidak
berhasil. Pemimpin-pemimpin lainnya, Cut Hasan Mauraxa, Hanafiah dan Raja
Abdullah berhasil ditangkap.
Pada 12
Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Sabang, kemudian Mayor Jenderal Overakker
dan Kolonel Gazenson menyerah kepada Jepang pada 28 Maret 1942. Sementara itu rakyat
telah membentuk "Komite Pemerintahan daerah Aceh" dengan Teuku Nyak
Arif sebagai ketuanya. Jepang mengatur pemerintahan di Indonesia dengan
pembagian yang berbeda dengan Belanda. Sumatera dan Kalimantan digabungkan
dengan Malaya, dikuasai oleh tentara XXV. Jawa dikuasai oleh tentara XVI dan
Indonesia Timur dikuasai oleh Angkatan Laut.
Sumatera
dibagi menjadi 9 karesidenan, masingmasing dikepalai oleh residen Jepang
(Cookang). Di Aceh Jepang menggunakan kaum Uleebalang dalam pemerintahan. Hal
ini menimbulkan kekecewaan kepada PUSA yang merasa berjasa kepada Jepang,
tetapi hanya dipakai untuk bidang keagamaan.
Teuku Nyak
Arif menempuh jalan kerjasama dengan Jepang. Ia diangkat menjadi penasehat
pemerintahan militer Jepang. Sebenarnya Nyak Arif tidak menaruh kepercayaannya
kepada Jepang. Ucapannya yang terkenal ialah: "Kita usir anjing, datang
babi." Belanda pergi Jepang datang, demikianlah maksud ucapan itu.
Dua-duanya
sama-sama busuknya. Seperti pula terjadi di semua tempat, di Aceh pun Jepang
bertindak kejam. Rakyat ditindas dan semuanya dikerahkan untuk kemenangan
perangnya. Pangan dan sandang amat kurang. Maka terjadilah pada tahun 1942
pemberontakan yang dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil di Cot Pliing. Jepang
menyerbu pemberontak yang sedang menjalankan shalat Subuh, namun serangan
Jepang itu mengalami perlawanan sengit sekali. Jepang mundur, kemudian menyerang
untuk kedua kalinya yang mengalami nasib yang sama. Baru yang ketiga kalinya
serangan Jepang berhasil. Mesjid dibakar. Teuku Jalil dapat meloloskan diri,
tetapi akhirnya pun terbunuh di waktu ia sedang bersembahyang.Pemerintah Jepang
mengadakan Dewan Perwakilan Rakyat yang disebut "Aceh Syiu Sangikai."
Nyak Arif dipilih menjadi ketuanya.
Pada tahun
1943 sebagai ketua itu Nyak Arif diundang ke Tokio bersama 14 orang pemimpin
lainnya dari seluruh Sumatera. Pada waktu mau dihadapkan kepada Tenno Heika, Nyak
Arif dan Teuku Hasan menolak menjalankan Saekere, memberi hormat dengan
membungkuk seperti menyembah. Akhirnya disetujui hanya dengan menganggukkan
kepala saja di muka Kaisar Jepang.
Sepuluh dari
Jepang, dua orang wakil Aceh tersebut disuruh berpidato di muka mesjid raya
Banda Aceh. Pidato mereka memuji kekuatan Jepang, namun banyak sindiran, bahkan
ejekan. Di lain kesempatan Teuku Hasan mengatakan Jepang itu di negerinya
baik-baik, sedang di Indonesia mereka jahat dan jelek.
Oleh karena
itu ia ditangkap, kemudian dibunuh. Di zaman penuh kesulitan, rakyat banyak
sekali mengalami penderitaan dan perlakuan tidak adil. Tidak sedikit orang yang
mengadukan nasibnya kepada Teuku Nyak Arif dan ia pun seringkali banyak
bertindak. Gedung Yatim Piatu Muhammadiyah akan digunakan asrama tentara
Jepang. Atas bantuan Nyak Arif Maksud Jepang itu dapat dicegah. Ia banyak
sekali melemparkan kritik kepada tindakan Ken petai dan residen pula.
Nyak Arif
memang disegani oleh Jepang. Meskipun ia keras dan banyak bentrok dengan
pejabat-pejabat Jepang sipil dan militer, namun pemerintah Jepang mau tidak mau
harus memperhitungkan dia sebagai pemimpin rakyat Aceh yang besar pengaruhnya.
Pada tahun 1944 Nyak Arif dipilih menjadi wakil ketua "Sumatera Chuo Sangi
In" (Dewan Perwakilan Rakyat seluruh Sumatera) yang diketuai oleh Moh.
Syafei. Ia berpendirian, kerjasama dengan Jepang harus dimanfaatkan untuk
kepentingan rakyat. Dalam pidatonya pada bulan Maret 1945 antara lain ia
katakan:
" Sumatera Chuo Sangi In akan membawa kita bersama
secepat mungkin ke arah yang kita ingini hanyalah dengan penghargaan dan
bekerjasama dari seluruh penduduk pulau Sumtera ini. Persatuan lahir bathin
yang kokoh dengan mempunyai tujuan yang tertentu, yaitu 'Indonesia Merdeka'
haruslah menjadi tujuan hidup kita bersama. Kemerdekaan akan tercapai dengan
berbagai-bagai pengorbanan, pengorbanan dan pertahanan yang sempurna hanya
dapat dilaksanakan oleh rakyat yang segar dan sehat "
Kekalahan
Jepang dalam Perang Dunia II disampaikan oleh Chokang Aceh S. Ino kepada
pemimpin-pemimpin Aceh, Teuku Nyak Arif, Panglima Polim dan Teuku Daud Beureuh,
katanya: "Jepang telah berdamai dengan Sekutu." Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia terdengar di Aceh yang disampaikan oleh 2 orang pemuda
kepada Teuku Nyak Arif, kemudian didapat berita-berita radiogram dari Adinegoro
di Bukittinggi.
Pemimpin-pemimpin
rakyat mengadakan pertemuan dan membentuk "Komite Nasional Indonesia"
(KN1) pada tanggal 28 Agustus 1945. Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketuanya.
Pada tanggal 3 Oktober 1945 Teuku Nyak Arif diangkat oleh pemerintah RI menjadi
residen Aceh. Selanjutnya Teuku Nyak Arif diliputi oleh berbagai kegiatan, baik
soal-soal sipil maupun soal-soal keamanan/ketentaraan.
Mula-mula
dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) diketuai oleh Syamaun Gaharu yang
kemudian menjadi panglima divisi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan pangkat
Kolonel. Mulamula Jepang menghalang-halangi API, namun karena ketegasan dan
keberanian residen Teuku Nyak Arif yang didukung oleh kaum pemuda dan rakyat, maka
akhirnya dapat dilaksanakan penyerahan senjata oleh Syucokan kepada residen RI.
Senjata itu kemudian dibagikan kepada TKR dan Polisi Istimewa. PUSA tidak
diberi senjata karena bukan badan resmi.
Dalam
keadaan peralihan yang serba berat, maka residen Nyak Arif lebih banyak
menyerupai pimpinan ketentaraan. Oleh karenanya tugas sipilnya banyak
diserahkan kepada wakil residen. Teuku Nyak Arif banyak mengadakan perjalanan
keliling mengatur ketentaraan dan khususnya keamanan. Karena jasanya itu ia
pada tanggal 17 Januari 1946 ia diangkat menjadi Jenderal Mayor Tituler.
Revolusi
masih berjalan terus. Setiap waktu dapat terjadi perobahan yang di luar
perhitungan. Di Aceh bergolaklah kembali persaingan antara kaum Ulebalang dan
kaum Ulama. Laskar yang terbesar di Aceh adalah Mujahiddin dan Pesindo.
Mujahiddin yang di bawah pengaruh kaum agama mempunyai ambisi akan menggantikan
residen Nyak Arif. Maksud itu mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan
Rakyat).
Waktu itu
Teuku Nyak Arif sedang beristirahat karena penyakit gulanya kambuh. Pimpinan
TKR sanggup menghadapi TPR dan Mujahiddin, tetapi Nyak Arif tidak memberikan
izin, katanya: "Biarlah saya serahkan jabatan ini, asal tidak terjadi
pertumpahan darah seperti di Pidie." Maka dengan secara damai pangkatnya
Jenderal Mayor diambilalih oleh Hasan al Mujahid dan pangkat Kolonel Syamaun
Gahara diambilalih oleh Husen Yusuf.
Demikianlah
dikisahkan dalam "Pahlawan Nasional Mayjen Teuku Nyak Arif,"
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Biografi/Drs. Mardanas Safwan,
Pahlawan Nasional, 1976. Nyak Arif ditangkap secara baik dan terhormat, dibawa
dengan kendaraan sedan dan dikawal oleh 2 orang anggota TPR yang berpakaian
hitam-hitam dan memakai topeng.
Para
pemimpin terkemuka di Lam Nyong mengusulkan agar Teuku Nyak Arif diistirahatkan
di sana, tetapi Nyak Arif menolak karena khawatir rakyat Lam Nyong akan
membelanya dengan kekerasan. Semua langkah dan pikiran ditetapkan untuk Nyak
Arif selalu ditetapkan untuk menghindari pertempuran sesama kita, dan untuk
maksud itu ia ikhlas berkorban.
Korbannya
terutama tidak lain ialah kedudukan dan pangkat yang ia ikhlaskan untuk mencegah
pertempuran yang akan berakibat parah untuk kesatuan dan persatuan rakyat,
sebab revolusi belum selesai. Rakyat harus tetap bersatu menghadapi segala
kemungkinan.
Teuku Nyak
Arif dibawa beristirahat di Takengon. Sebulan kemudian keluarga diizinkan menjenguknya.
Sementara itu penyakit gulanya makin parah dan sebelum hayatnya berakhir ia berpesan
kepada keluarganya: "Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat
harus diletakkan di atas segala-galanya." Teuku Nyak Arif, pemimpin rakyat
yang sepanjang hidupnya berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan negara dengan
jasajasanya yang besar dan dengan keikhlasannya berkorban, pada tanggal 26
April 1946 wafat dengan tenang di Takengon,
Jenazahnya
dikebumikan di makam keluarganya di Lam Nyong. Pemerintah RI berdasarkan SK
Presiden No. 071 /TK/Tahun 1974 tanggal 9 Nopember 1974 menganugerahi Teuku
Nyak Arif gelar Pahlawan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar