Aceh merupakan salah satu wilayah
yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa
Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan
nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga
untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku
Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di
Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional
yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Kakek Teuku Umar adalah keturunan
Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh.
Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad
Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.
Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil
dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan
teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah
dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan
pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat,
cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika
umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah,
anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar
kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV
Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku
Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien
sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada
Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak
Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang
bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan
keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat
pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.
Belanda
sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian
(tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku
Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari
pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki
tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah
atas keputusan suaminya itu. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud
memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar
kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894,
Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk
membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata
lengkap.
Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn.
Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda.
Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
2. Pemikiran
Sejak kecil,
Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh
teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit
dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang
berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran
dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar
tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik
dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial
Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap. Teuku Umar
memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk
mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran
kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme
yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam
menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam
itu.
3. Karya
Karya Teuku
Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh,
pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik
Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya,
Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta
tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat
Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan
banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.
4. Penghargaan
Berdasarkan
SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi
gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di
sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di
Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah
lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
SEKILAS LAGI TENTANG SEJARAH TEUKU UMAR
Teuku Umar
lahir dalam Tahun 1854 di Meulaboh. Ayahnya bernama Teuku Mahmud, dan ibunya
seorang adik raja Meulaboh. Teuku Mahmud bersaudara dengan Nanta Setia,
Ulebalang di VI Mukim, ayah Cut Nyak Din yang kemudian kawin dengan Teuku Umar.
Mereka itu keturunan perantau dari Minangkabau yang datang di Aceh pada akhir
abad ke-17.
Gelar Teuku
diperoleh dari kake Umar yang bernama Nanta Cih sebagai penghargaan atas
jasanya membantu Sultan Alaiddin Syah dalam pertentangannya dengan Panglima
Polim dan Sagi XXII. Dengan bantuan Nanta Cih itu Sultan mendapat kemenangan
dan Nanta Cih diberi gelar Teuku yang diwariskan kepada anak-anak dan
cucu-cucunya, antara lain Teuku Umar. Umar bersaudara ada 6 orang, yaitu 2
wanita dan 4 pria.
Umar tidak
pernah mendapat pendidikan seperti lazimnya di kalangan anak yang sederajat. Ia
lebih banyak mengikuti kemauannya sendiri, tidak mau tunduk kepada orang tuanya
dan kepada siapa pun. Ia suka berkelahi dan berkelana ke hutan-hutan di Aceh
Barat dengan membawa senjata yang tingginya sama dengan tubuhnya dan membawa
kelewang pula. Dalam usianya yang masih muda ia menduduki jabatan Kepala
Kampung Darat. Tiap hari ia dikelilingi oleh orang-orang pemberani, khususnya
bekas prajurit. Ia ciptakan suasana jagoan karena mendambakan menjadi pahlawan
yang berani dan tangguh.
Kemauannya
sepanjang hayatnya pun serba keras pula. Ia hidup hanya sampai umur 45 tahun,
dan dari seluruh umurnya itu 19 tahun terlibat dalam perjuangan yang khas Teuku
Umar. Mula-mula ia melawan Belanda, namun kemudian berbalik membantu Belanda
dan akhirnya kembali ke pangkuan perjuangan rakyat hingga akhir hayatnya.
Semasa hidupnya kawin 3 kali. Pertama, dengan Sapiah puteri Ulebalang Glunang.
Kedua, dengan Nyak Maligai, puteri Panglima Sagi XXV. Dan yang ketiga, dengan
Cut Nyak Din, puteri pamannya, Nanta Setia.
Dari
perkawinannya dengan Cut Nyak Din ia mendapat seorang puteri yang diberi nama
Cut Nyak Dumbang yang kemudian kawin dengan Teuku Mayet di Tiro. Waktu Perang
Aceh meletus pada tahun 1873, Umar berusia 19 tahun. Ia segera terjun ke dalam
perjuangan bersenjata dan menunjukkan keberanian dan ketangkasannya.
Mula-mula ia berjuang di kampungnya sendiri. Ia menjadi kepala kampung, yaitu
kampung Darat daerah Meulaboh.
Daerah
pertempurannya meluas sampai Meulaboh sehingga Belanda mengerahkan pasukannya
untuk merebut kampung Darat yang merupakan Markas Besar Teuku Umar. Pertahanan
Umar amat kuat dan tidak mudah Belanda menundukkannya. Baru setelah kampung
Darat dibom dari kapal yang berlabuh di pantai serta sesudah pertempuran di
tepi pantai yang amat sengit, kampung Darat dapat diduduki Belanda pada bulan
Pebruari 1878. Teuku Umar lalu bergerak ke Aceh Barat dan meneruskan
perjuangannya di daerah itu.
Pada akhir
1875 Teuku Umar datang di VI Mukim dan bertemu dengan Ulebalangnya, yakni Nanta
Setia. Dia adalah paman Teuku Umar, saudara sekandung ayahnya, Teuku Mahmud.
Waktu itu pamannya telah mundur dari daerahnya yang diduduki Belanda. Dalam
perang gerilya di Sela Gle Tarum, menantu pamannya, Ibrahim Lamnga, gugur. Umar
sempat menyaksikan upacara pemakamannya.
Kemudian ia
membantu pamannya dalam merebut kembali VI Mukim dan berhasil pula. Ia tinggal
di sana dan pada tahun 1680 mengawini puteri pamannya, janda Ibrahim Lamnga,
yaitu Cut Nyak Din. Selanjutnya Cut Nyak Din ikut giat dalam perang. Dalam
tahun 1882 Umar dibantu isterinya melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda
yang berada di Krueng. Dalam menghadapi Belanda rakyat Aceh terbagi menjadi 3
bagian. Pertama, golongan yang sama sekali tidak mau tundukatau pun bekerjasama
dengan Belanda. Golongn ini disebut golongan Sabilillah.
Dasar
perjuangannya kecuali memusuhi Belanda yang hendak menjajah Aceh, pun
memusuhinya karena Belanda itu golongan kafir. Para pemimpinnya yang mashur
dari golongan ini ialah Tengku Cik di Tiro, Panglima Polim dan Cut Nyak Din,
isteri Teuku Umar. Golongan kedua ialah yang mau tunduk dan mau bekerja sama
dengan Belanda, tetapi kemudian berbalik memihak lagi kepada rakyat.
Dalam hal
ini dapat disebut Teuku Muda Baid, Kepala Mukim VII dan Teuku Umar yang bahkan
hingga dua kali berbulak-balik tunduk kepada Belanda kemudian memusuhinya. Dua
orang pejuang ini berbuat demikian dengan alasan masingmasing. Teuku Muda Baid
menyerah kepada Belanda sesudah Markas Besarnya diduduki Belanda dan setelah
kalah dalam pertempuran di Longi. Oleh Belanda ia lalu ditugaskan memadamkan
perlawanan rakyatnya, namun kemudian berbalik kepada rakyatnya lagi hingga
akhirnya ia ditangkap dan diasingkan ke Banda.
Adapun Teuku
Umar tunduk kepada Belanda dengan perhitungannya yang khas, yaitu untuk dapat
merebut senjata dan peralatan perang. Manakala maksud itu sudah dapat
dilakukannya, ia lari dengan pasukannya dan kembali berjuang di pihak rakyat.
Golongan yang ketiga ialah yang mau tunduk kepada Belanda. Kebanyakan karena
kelemahannya dan merasa kewalahan menghadapi musuh yang persenjataannya lengkap
dan lebih unggul dari persenjataan rakyat.
Perhitungannya,
mustahil Belanda dapat dikalahkan oleh persenjataan rakyat yang serba kurang.
Tingkahlaku Teuku Umar dalam perjuangan amat sulit diterka. Cut Nyak Din,
isterinya menjadi kebingungan, malu dan marah waktu Umar tunduk kepada Belanda.
Demikianlah, karena ia terkenal sebagai wanita pejuang yang tidak mengenal
damai dengan musuh. Untuk pertama kalinya Umar berbalik kepada Belanda justru
waktu ia pada tahun 1883 tinggal di rumah isteri bersama mertuanya. Cut Nyak
Din amat sedih menghadapi perbuatan suaminya itu.
Belanda
banyak kali salah perhitungan, karena mengira Aceh sudah dikuasainya waktu
istana Sultan didudukinya pada tahun 1874, pada hal rakyat di luar istana
melawan terus dan Sultan pun mengungsi untuk mengatur perlawanan. Belanda
menempatkan Aceh Besar langsung di bawah pemerintahan sipil Belanda, pada hal
situasi seluruh Aceh Besar sama sekali tidak menggambarkan keamanan. Perlawanan
di Aceh Besar tetap berkobar, dimulai dengan penyerbuan oleh Nyak Hasan, tangan
kanan Teuku Umar.
Bahan
makanan dan perlengkapan senjata yang didatangkan dari luar Aceh Besar banyak
yang jatuh di tangan pejuang. Oleh karenanya Belanda memperkeras tindakan dan
pengamanannya, terutama di bandar pantai Aceh Utara, Ulee-lee, Sigli dan
Samalanga. Pada bulan Nopember 1884 kapal Inggeris Nisero terdampar di
pantai Teunom, Aceh Barat. Raja Teunom, Teuku Imam Muda menawan semua awak
kapal dan menyita muatannya. Inggeris dan Belanda tidak dapat menyelesaikannya,
meskipun mengirim kapal perang Inggeris Begagus untuk mengancam raja
Teunom.
Akhirnya
hanya dapat diselesaikan dengan membayar tebusan 100.000 dollar. Itu pun dengan
bantuan Teuku Umar yang diminta oleh gupernur Laging Tobias. Waktu itu Umar
memang sedang tunduk kepada Belanda, sejak tahun 1883 seperti tersebut di atas.
Belanda mengirim Umar dengan 32 orang anak buah Teunom untuk membereskan soal
tersebut. Di tengah jalan pendayung sampan yang membawa Teuku Umar dibunuhnya semua.
Semua senjata dan amunisi
disita dan Teuku Umar lari untuk berbalik kepada perjuangan rakyat.
Setelah
melarikan diri dari Belanda, pada tanggal 14 Juni 1886 Teuku Umar menyerang
kapal Hok Canton milik Belanda dengan nakhoda Hans, orang Denmark. Umar
menyerang kapal itu, karena
ia menduga bahwa nakhodanya akan menangkap dirinya. Dalam pertempuran itu
nakhoda tersebut tewas. Kemudian kapal diserahkan kepada Belanda dengan uang
tebusan sebesar
25.000 ringgit. Setelah lebih dari 10 tahun berperang di Aceh, Belanda
meyakini, bahwa Aceh tidak dapat ditundukkan oleh kekuatan senjata.
Pertempuran
terus-menerus terjadi di mana-mana. Di daerah XXVI Mukim rakyat dipimpin oleh
Teuku Asan; di Aceh Timur, Langkat dan Tamiang di bawah pimpinan Nyak Makam.
Belanda berusaha mendekati Teungku Cik di Tiro, tetapi sama sekali gagal karena
pemimpin pejuang Aceh ini berpendirian Sabilillah.
Sementara
itu di Aceh telah datang Dr. Snouck Hurgronye yang menyamar dengan nama Abdul
Algaffar, bertempat tinggal di tengah-tengah rakyat, yaitu Peukan Aceh.
Kehadirannya mulamula tidak disetujui oleh gupernur Aceh, tetapi didukung oleh
pemerintah Hindia Belanda. Snouck Hurgronye dapat mengadakan kontak dengan
pemimpin-pemimpin perjuangan Aceh karena ia faham bahasa Arab dan pernah
bermukim di Mekkah.
Pemukimannya
di Mekkah adalah terutama untuk mendekati orang-orang Aceh yang bermukim
di sana dan yang sedang menunaikan ibadah haji. Maksudnya untuk mengetahui
sikap rakyat Aceh terhadap Belanda yang sedang memeranginya. Seberapa dapat
untuk melemahkan pendiriannya sekaligus membujuk agar mau tunduk kepada
Belanda. Berdasar surat-menyurat dengan Teungku Cik di Tiro.
Snouck dapat
menerangkan, bahwa Sultan tidak mempunyai peranan apa-apa. Yang berkuasa ialah
para bawahannya. Pengaruh kaum ulama digambarkannya sebagai sangat besar
sekali. Laporan Snouck Hurgronye itu disimpulkan oleh pemerintah Hindia
Belanda, bahwa cara menundukkan Aceh haruslah dengan memecah-belah kekuatan
yang ada dalam masyarakat. Golongan ulama akan dihadapi dengan kekuatan senjata
dan golongan bangsawan akan dibujuk masuk pamongpraja. Sementara itu pertahanan
militernya diperkuat dengan mengadakan garis-garis penutup (afsluitingslinie)
kurang lebih seperti sistem benteng-benteng dalam perang Diponegoro.
Daerah yang
sudah direbutnya ditutup untuk rakyat Aceh yang membangkang. Disanalah
didirikan benteng yang kuat. Dengan demikian pejuangpejuang digiring mundur.
Dalam usahanya merebut Aceh, Gubernur van Teijin memerlukan bantuan Teuku Umar
yang diketahuinya berpengaruh besar, mempunyai jumlah anak buah yang banyak dan
kuat, lagi dikenal cakap menjalankan tugas-tugas militer. Oleh karena itu pada
bulan Januari 1888 van Teijin mengusulkan kepala gupernur jenderal untuk
mengampuni Teuku Umar. Gubernur jenderal menolak usul itu hingga dua kali.
Kemudian
atas saran Snouck Hurgronye sikap pemerintah Hindia Belanda berobah dan
terlaksanalah rencana Gupernur Aceh van Teijin untuk merangkul Teuku Umar. Umar
tidak pula menolak permintaan Belanda agar dia masuk kembali ke dinas militer.
Pada bulan Agustus 1893 di Kutaraja diadakan upacara Teuku Umar masuk dinas
militer Belanda. Ia' bersumpah setia di hadapan gupernur merangkap Panglima
Aceh. Teuku Umar diterima masuk dinas militer Belanda dan diberi gelar Teuku
Johan Pahlawan. Ia diizinkan membentuk legiun (pasukan) sendiri yang
beranggotakan 250 orang dengan persenjataan lengkap dan diberi tugas
mengamankan daerah Aceh Besar dan sekitarnya.
Teuku Umar
berhasil. Banyak pos-pos pertahanan rakyat Aceh yang dapat ditundukkan, yaitu
yang termasuk daerah XXV Mukim dan XXVI Mukim. Di kalangan perjuangan Aceh
timbul tanda tanya tentang sikap dan pendirian Teuku Umar. Cut Nyak Din, isteri
Umar yang tidak mau damai dengan Belanda, amat sedih dan malu serta marah
sekali. Ia mendesak Umar agar selekasnya berbalik kepada rakyat. Dalam pada itu
Umar mendapat tekanan batin dan penghinaan dari pembesar-pembesar militer
Belanda. Seringkali ia dicurigai dan isterinya Cut Nyak Din pun dicurigai pula.
Umar menjadi
gelisah sekali, namun ia rupanya merencanakan sesuatu yang lebih menguntungkan
baginya dan bagi perjuangan Aceh. Ia belum segera bertindak meninggalkan
kedudukannya sebagai Teuku Johan Pahlawan. Sementara itu Gubernur van Teijin
digantikan oleh Deykerhoff, seorang yang tidak berpendirian keras seperti van
Teijin. Gubernur baru ini tidak suka pada kekerasan. Waktu ia mulai berkuasa,
di kalangan pejuang Aceh pun terjadi perobahan. Teungku Cik di Tiro meninggal
dunia.
Kedudukannya
digantikan oleh puteranya, Ma' Amin, namun tidak besar pengaruhnya di kalangan
kaum pejuang, bahkan ia berbuat berbagai kesalahan hingga menimbulkan
kegelisahan di kalangan rakyat. Oleh karena itu Teuku Umar pernah bertindak
terhadap Ma'Amin. Meskipun demikian masyarakat pejuang masih lebih memberi
penghargaan kepada Ma'Amin yang bagaimana pun juga tetap melawan Belanda,
daripada Umar yang berpihak kepada musuh. Makin lama tingkah Umar itu tak
tertahankan lagi bagi isterinya
Cut Nyak Din
mendesak agar Umar secepatnya berbalik memihak pejuang. Teuku Umar tidak
secepat diharapkan isterinya berbalik kepada rakyatnya. Ia justru menyatakan
kepada gupernur Deykerhoff, bahwa ia akan menjalankan tugasnya dengan baik. Ia
sanggup mengamankan daerah VI Mukim, IX Mukim sampai Sagi XXVI, semuanya
daerah-daerah pejuang Aceh dengan kekuatan yang besar. Untuk tugas yang berat
itu Umar minta tambahan kekuatan manusia dan persenjataan. Dengan kepercayaan
penuh dari gupernur, Umar mendapat bantuan 17 orang panglima perang dari pantai
Aceh Barat dan 120 orang prajurit yang dulu termasuk anak buah Teuku Umar. Di
antara 17 orang panglima perang itu terdapat Pang Leot yang amat berani dan
ditakuti pasukan Belanda. Pang Leot adalah tangan kanan Umar.
Pertempuran
terjadi di sana sini. Tekanan dari pihak pejuang cukup berat sehingga Umar
minta agar Belanda keluar dari lini pertahanannya. Hal itu dapat dimaklumi dan
permintaan Umar pun dikabulkan. Dengan demikian lini pertahanan Belanda agak
diperlonggar dan dibentuklah lini kedua yang tidak terlalu kuat seperti lini
yang pertama. Sementara itu rakyat Aceh makin memperkuat dirinya.
Pejuang-pejuang Sabilillah bertambah tinggi semangatnya, terutama ulama
Kutakarang yang tampil dengan pasukannya yang tangguh.
Pada saat
yang serba memuncak itu Teuku Umar mulai memainkan sandiwaranya. Pertempurannya
melawan pasukan Aceh merupakan pertempuran sandiwara. Serbuan pasukan Umar
sebentar dihadapi oleh kaum pejuang yang kemudian melarikan diri sambil
melepaskan tembakan, namun tidak mengenai sasasran, melainkan menembak ke udara
kosong.
Pada permulaan
permainan sandiwara Teuku Umar itu, ulama Kutarang yang memegang tampuk
pimpinan pejuang Aceh meninggal dunia. Ia digantikan oleh ulama Tanah Abue.
Panglima baru ini bukan seorang diplomat, tetapi prajurit. Ulama Abue
mengerahkan kekuatan untuk selekasnya mengusir Belanda. Ulama, panglima dan
Sultan amat memerlukan bantuan Teuku Umar. Maka datanglah saatnya Teuku Umar
mengakhiri sandiwara-nya.
Pada tanggal
30 Maret 1896 dengan resmi Teuku Umar mengundurkan diri dari dinas militer
Belanda. Ia keluar dengan segenap pasukannya dan membawa 800 pucuk senjata,
15.000
butir
peluru, 500 kg amunisi dan uang 18.000 dollar. Segera ia bersatu dengan pasukan
pejuang Aceh, Panglima Polim, ulama-ulama Di Tiro, para Ulebalang yang juga
telah menghentikan kerjasamanya dengan Belanda. Semua kekuatan dikerahkan untuk
menghadapi Belanda. Sudah tentu Belanda amat marah sekali, terutama sekali
gupernur Deykerhoff yang ditipu mentah-mentah oleh Teuku Umar.
Pimpinan
pemerintah Hindia Belanda di Jakarta segera bertindak. Dikirimnya van Heutsz
yang datang di Aceh pada bulan Mei 1898 menggantikan van Vliet. Ia merencanakan
dengan matang tindakan keras terhadap pejuang-pejuang Aceh, khususnya Teuku
Umar tidak akan diampuninya. Panglima Angkatan Darat Hindia Belanda datang di Aceh.
Teuku Umar ditulisi surat untuk mengembalikan segala peralatan perang yang
dilarikannya.
Tentu saja
tidak ada jawaban hingga usaha Belanda itu gagal sama sekali. Umar dipecat dari
dinas militer sebagai Panglima Besar dan Ulebalang Leupong dengan gelarnya
Teuku Johan Pahlawan, semua kedudukan dan gelar itu tidak perlu lagi bagi Umar.
Yang perlu sekarang, ia membaktikan jiwa raganya untuk Aceh dan agama Islam.
Untuk itu
tidak sayang kehilangan nyawanya. Pendiriannya mendapat penghargaan tinggi dari
rakyat Aceh, terutama dari Cut Nyak Din, isterinya. Teuku Umar menyerang
pos-pos Belanda dan merencanakan akan menyerang Meulaboh. Bulan-bulan Pebruari
1899 ia sudahdi daerah Meulaboh dalam pengawalan yang tidak begitu kuat seperti
biasanya seorang Panglima Perang di daerah bergolak. Hal itu diketahui oleh van
Heutsz yang segera mengerahkan pasukannya untuk menangkap Teuku Umar, hidup
atau mati.
Umar
mengatur siasat dan bergerak maju hendak cepat-cepat menguasai daerah Meulaboh.
Hal itupun tercium oleh van Heutsz sehingga pasukannya mengadakan pencegatan.
Tanggal 10 Pebruari 1899 malam pasukan Teuku Umar sudah sampai di pinggiran
Meulaboh. Dengan tidak terduga dan amat tiba-tiba pasukan van Heutsz
menyerangnya dengan gencar. Teuku Umar tidak mundur setapak. Ia sendiri maju
sambil memberi aba-aba pasukannya. Rupanya van Heutsz telah mendapat bala
bantuan pula sehingga serangannya
dahsyat sekali.
Dalam
pertempuran yang sengit Teuku Umar tertembak pada dadanya. Dua buah peluru
telah menembus dadanya dan Teuku Umar jatuh terkulai. Ia gugur dalam
pertempuran dengan sikap gagah berani. Pang Leot, pembantu Umar yang setia,
segera menyelamatkan jenazah panglimanya, jangan sampai jatuh ke tangan musuh.
Pasukannya melindungi usaha menyelamatkan jenazah Umar itu dengan bertahan dan
terus bertempur. Akhirnya jenazah Teuku Umar dapat diselamatkan sampai ke hulu
di Meulaboh dan dikebumikan di mesjid Kamung Mugo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar