Seandainya
Sultan Iskandar Muda masih ada, entah air mata apa yang akan dijatuhkan ke atas
Bumi Aceh. Sejak tahun 1970-an, Masyarakat Aceh tidak pernah
merasakan kebahagiaan yang sama dengan apa yang telah dinikmati oleh propinsi
lain di seluruh Indonesia, akibat pertikaian yang terjadi antara Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan pemerintahan pusat, pembunuhan, pemerkosaan, hingga
munculnya tsunami yang menghancurkan Bumi Aceh dan membunuh ratusan ribu rakyat
tak berdosa.
Saat ini
kita tentu tidak bicara tentang bagaimana pasir kuarsa Riau dijual di bawah US
2 permeter kubik kepada negara Singapura. Kita juga tidak bicara tentang
Pulau Kalimantan, jagad rayanya mineral dan energi, pemilik salah satu deposit
karbon terbesar di dunia yang kekayaan tambangnya telah dikerok habis oleh
Exxon, Chevron, Bumi dan perusahaan-perusahaan afiliasi zionis lainnya.
Kita juga
tidak membahas tentang ratusan ton emas yang dikeruk NHM di Maluku Utara,
anehnya propinsi ini disebut-sebut sebagai salah satu propinsi paling
tertinggal di Indonesia. Dan Kita tidak bicara tentang Wakatobi, pusat
karang dunia terindah yang mengalahkan Great Barrier Reef di Australia dan Blue
Hole yang ajaib di Belize, namun pemerintah bahkan tidak bisa menunjukkan di
mana Kepulauan Wakatobi di dalam peta.
Akan tetapi
mari sejenak kita luangkan waktu kita untuk melihat daerah yang terletak paling
barat wilayah Indonesia, diujung Sumatera yaitu Aceh. Hal penting untuk kita
ketahui adalah Aceh merupakan daerah yang menyimpan berbagai Sumber Daya Alam
(SDA) dengan kapasitas super besar.
Seperti,
Potensi minyak hidrokarbon di timur laut Simeulue diperkirakan mencapai 320
miliar barrel, jauh di atas cadangan minyak Arab Saudi yang hanya memiliki
volume 264 miliar barrel. Selain itu terdapat potensi tenaga panas bumi di
Jaboi, Sabang, serta emas, tembaga, timah, kromium dan marmer di Pidie. Perut
bumi Aceh juga menyimpan tembaga alam seperti Native Cupper, Cu, Chalcopirit,
Bornit, Chalcosit, Covellit dan biji tembaga berkadar tinggi lainnya.
Minyak dan
gas bumi adalah mantera paling ampuh untuk mendatangkan Pelacur Dunia Amerika
dan sekutu-sekutu dan memasukkan kapal-kapal tanker ke Aceh tanpa alasan yang
tentu saja diboncengi dengan kepentingan tertentu.
Anehnya,
dengan kehadiran perusahaan besar di Aceh tidak bisa memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat, masih banyak masyarakat aceh yang hidup dibawah garis
kemiskinan. Seharusnya dengan kehadiran perusahaan-perusahaan besar, seperti
perusahaan minyak dan gas di aceh, meningkatkan perekonomian dan mengurangi
pengangguran masyarakat Aceh.
Seperti
halnya di daerah Aceh Utara dan Lhokseumawe, di daerah tersebut terdapat lima
perusahaan bonafit atau perusahaan besar yang berskala internasional, seperti
perusahaan PT. Arun LNG, Exxon Mobil, PT. Pim, PT. Asean dan PT. KKA. Maka
daerah itu pun dikenal sebagai daerah kota Petro dolar.
Hampir
rata-rata provinsi lainnya di seluruh Indonesia mengenal kota Petro dolar, apa
lagi seperti di daerah Medan, nama kota Petro dolar sudah tidak asing lagi di
indera dengar masyarakat disana. Banyak masyarakat kota Medan berfikir bahwa
mereka yang berada di kota Petro dolar rata-rata adalah orang mempunyai duit
banyak dan hidup nya sejahtera.
Daerah aceh
yang sangat dikenal oleh masyarakat di medan adalah kota petro dolar bukan kota
Banda Aceh, namun sayang kondisi yang sebenarnya jauh berbanding terbalik.
Masih banyak masyarakat kota Petro dolar yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Seperti di
daerah Matang kuli kecamatan Pirak Timu kabupaten Aceh Utara, kondisi kehidupan
masyarakat disana sungguh sangat memprihatinkan karena masyarkat disana tidak
bisa mengakses air bersih, kondisi jalan di gampong tersebut sangat rusak
parah, bahkan pada saat hujan turun tidak sedikit para pengguna sepeda motor
yang jatuh ketika melintas jalan tersebut.
Padahal
Kecamatan Pirak Timu sangat dekat dengan perusahaan raksasa, yaitu Exxon Mobil.
Kondisi permukiman disekitar perusahaan paman sam tersebut sangat berbanding
terbalik. Namun sayang masyarakat sekitar hanya duduk manis memandang
perusahaan kapitalis tersebut. Seharusnya kondisi masyarakat disekitar
perusahaan tidak seperti itu dan kondisinya harus lebih baik, ternyata dengan
kehadiran perusahaan tidak berdampak baik terhadap masyarakat.
Hal senada
juga terjadi di daerah pesisir Hagu Selatan kota Lhokseumawe, kondisi perumahan
penduduk disana sudah tidak layak huni. Dulunya daerah tersebut pernah diterpa
abrasi, sehingga sampai sekarang masyarakat disana hidup ala kadarnya. Bahkan
disetiap rumah penduduk tidak ada tempat untuk keperluan Mandi Cuci Kakus
(MCK).
Sehingga
masyarakat membuang hajat di pinggir laut, apabila malam hari masyarakat
membuang hajat di plastic kresek dan kemudian melempar ke laut. Padahal kalau
kita melihat bahwa gampong Hagu selatan sangat dekat dengan Perusahaan PT. Arun
LNG.
Seharusnya
pemerintah Aceh dan Pemerintah daerah dapat membuat suatu aturan terhadap
perusahaan raksasa yang ada di aceh, sehingga jelas berapa banyak jumlah hasil
sumber daya alam (SDA) bumi Aceh yang telah diambil dan pembagian hasil untuk
daerah pun bisa jelas, kalau seperti saat ini kita tidak mengetahui berapa
persen pembagian untuk daerah dari jumlah hasil SDA Aceh yang telah diambil.
Penulis
berharap, kedepannya pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah dapat melakukan
nasionalisasi asset terhadap perusahaan-perusahaan asing yang ada di Aceh.
Karena apabila terjadinya nasionalisasi asset asing maka kewenangan sepenuhnya
berada di tanggan kita dan tidak ada campur tangan asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar