7 Juni 2012

Mengenang Jasa Pahlawan Aceh “Sultan Iskandar Muda”


Oleh Chaerol Riezal

Siapa yang tidak kenal bila seseorang menyebut sebuah nama “Sultan Iskandar Muda” sebuah nama yang dikenang sepanjang masa, nama yang hampir diseluruh pelosok negeri Aceh ini sudah terlebih dahulu mengenal nama itu walaupun hanya sebagian sekedar tahu tentang sebutan nama saja. Tetapi itu sudah cukup untuk memberikan sebuah bukti bahwa Nama Sultan Iskandar Muda bukan sembarangan nama, bukan asal menyebut, bukan pula nama yang asing dikalangan rakyat Aceh. Beliau lah pahlawan kebanggaan rakyat Aceh yang sampai sekarang belum dibisa digantikan, baik berupa rekor yang dicapai maupun status, gelar, nama dan sebagainya.

Setelah mengikuti mata kuliah Sejarah Aceh I, saya berkenaan ingin menulis sebuah tulisan tentang Sultan Iskandar Muda. Apalagi dalam diskusi makalah diruang kuliah, kami dari kelompok 7 (Chaerol Riezal, Nurama Yuni, dan Eva Avini) membahas tentang Kerajaan Aceh Darussalam. Dan dari sinilah saya takjub akan masa pemerintahan  Sultan Iskandar Muda yang berhasil membawa Aceh pada puncak kegemilangannya. Sejarah Kerajaan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. “Kerajaan Aceh Darussalam Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda.

Sultan Iskandar Muda, manusia yang seluruh hidupnya diserahkan mutlak bagi negara dan kebesaran bangsa yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Dia tidak pernah berfikir kapan namanya ditulis di lempengan emas, di atas prasasti. Dia tidak pernah berfikir namanya akan jadi kontroversial di hari kemudian. Satu yang ada di jiwanya: Bagaimana seluruh pelosok Aceh, dan rakyat menikmati kesejahteraan yang berkeadilan, merdeka dan mampu menjadi negara seutuhnya atas tanah warisan nenek-moyangnya.

Terlalu sedikit tempat dan waktu untuk menuliskan kegagahan dan kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda dalam memimpin negara selama masa hidupnya. Kalau kita mau jujur, kita seharusnya bangga dan berbesar hati memiliki kakek moyang seperti Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam.

Dalam kurun hampir 30 tahun masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal jamaah yang terdiri dari 500 ayat Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah, Ijma' Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian dilengkapi pula dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada Kaum Wanita.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah dikenal sebuah Kata Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana/Bentara. Hukom Ngon Adat Lage Zat Ngon Sifet, Hudep Sare Matee Syahet. Kata-kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup bagi negara dan masyarakatnya (juga rakyat Aceh sekarang) untuk mengatur tata kehidupan dalam menegakan kebenaran dan keadilan demi kesejahteraan rakyat Aceh.

Tapi kemudian ‘’Sejarah’’ kebesaran Keajaan Aceh Darussalam  yang  dikenal hampir di seluruh Aceh dan mancanegara pada zamann Sultan Iskandar Muda pada tahun kelahirannya hingga tahunn 1636 itu kemudian seperti mengalami stagnasi.

Kita lebih cepat menemukan buku yang bercerita banyak tentang fiksi mengenai keperkasaan mahluk-mahluk luar angkasa versi Amerika dan Jepang maupun yang lain, yang begitu melekat di alam pikiran anak-anak zaman sekarang. Kita hampir sudah melupakan siapa Sultan Iskandar Muda. Kecuali tentunya kita hanya ingat bahwa Sultan Iskandar Muda hanyalah nama Bandara Internasional, nama Jalan, nama Buku, nama Pamplet Makam, dan bahkan nama Pabrik Pupuk, baik itu yang adadi Bnada Aceh maupun ditempat lain.

Kita bahkan hampir lupa bahwa Sultan Iskandar Muda yang terlahir tanpa diketahui kapan tanggal dan tahun kelahirannya secara pasti itu selain sekedar sebagai seorang penduduk biasa, pada zaman itu sudah mampu menyusun tatanan pemerintahan yang mengacu pada pola persatuan dan kesatuan bangsa.

Keterbatasan komunikasi pada zaman itu tidak menjadi halangan bagi Sang Sultam untuk menerapkan langkah-langkah diplomasi dan menjalin hubungan yang romantis dengan negara lain, sebut saja Turki, Inggris, Perancis, dan Belanda.

Sultan Iskandar Muda betul-betul cerminan seorang pemimpin sejati. Sikap, tindakan dan perilakunya sangat lugas, tegas, bijaksana, arif, cerdas, bertanggungjawab dan tidak mementingkan diri sendiri. Sebagai seorang pemimpin sejati, Sultan Iskandar Muda sangat menjunjung tinggi nilai-nilai, norma, dan hukum agama Islam.

Demi persatuan dan kesatuan, Sultan Iskandar Muda tidak segan-segan melakukan tindakan apapun demi kesejahteraan masyarakat Aceh.

Tentu saja kita masih ingat pada saat beliau menghukum mati anak kesayangannya yang kelak diharapakan menggantikan Sang Ayah yaitu Putra Mahkota Meurah Pupok atau Poteu Cut, karena jelas-jelas Meurah Pupok menentang konsep Qanun yang terkenal dengan Qanun Meukuta Alam. Merah Pupok telah melakukan kesalahan sangat besar. Adalah, melakukan tindakan asusila dengan menodai istri Syahdan Perwira Muda yang merupakan Pelatih Angkatan Perang Aceh sekaligus Perwira Muda Kerajaan yang sangat dikenaln dan merupakan kepercayaan Sultan. Sehingga Poteu Cut dihukum dan dipancung oleh Ayahnya sendiri.

Fenomena ini sangat menarik untuk dikaji. Meurah Pupok seorang tokoh yang berusia masih beliau dan pada saat itu sedang beranjak dewasa. Tapi bagi Sang Sultan supremasi hukum harus ditegakkan. Baginya, akulah yang menegakan hukum di negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak terkecuali terhadap keluargaku sendiri harus dihukum. Negeri ini kuat karena hukum yang ditegakan dan adanya keadilan. Sultan kemudian menyebut dalam bahasa Aceh - gadoh aneuk meupat jrat, gadoh hukom ngon adat pat tamita? Yang artinya “hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang hendak kemana kita mencarinya.” Negara akan kokoh berdiri di atas kepentingan kesejahteraan rakyat apabila sendi hukum menjadi landasan berpijak seluruh kebijakan dan kinerja pemerintahan, tanpa kecuali.

Mengenai hal ini, Sultan Iskandar Muda sangat tegas. Ini juga terlihat jelas pada saat penobatan Tun Sri Lanang sebagai Raja Pertama di Samalanga, beliau menghukum mati Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan Samalanga . Tun Sri Lanang yang nantinya akan dijadikan Raja Pertama di Samalanga tiba-tiba dibuang di tengah laut di kawasan Laweung. Kejadian tersebut kemudian dikenal dalam masyarakat Samalanga sebagai Peristiwa Laut. Beruntung, Tun Sri Lanang berhasil diselamatakan oleh Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung). Setelah menyelamatkan Tun Sri Lanang, Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Sultan. Mereka memberitahukan penemuan Tun Sri Lanang di tengah laut. Mendengar berita tersebut, Sultan sangat murka, dia kemudian memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Sri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan sebelas orang panitia persiapan keuleebalangan pun akhirnya dihukum pancung oleh Sultan.

Tetapi ternyata seorang Sultan Iskandar Muda yang berdarah ksatria dan militer sejati itu mempunyai kelembutan melebihi apa yang telah kita baca diatas tadi. Ketika beliau secara tekun dan telaten membangun Masjid Raya Baiturrahman pada masa pemerintahannya sebagai tempat beribadah bagi umat Islam di Aceh yang walaupun tak seindah seperti sekarang dan juga Sultan Iskandar Muda membangun sebuah bangunan tempoe doeloe yang sampai sekarang masih bisa dilihat adalah “Gunongan” yang bisa dikatakan sebagai bukti Cinta Sejati Sultan kepada Sang Isteri yaitu Puteri Kamliah-Puteri Pahang, orang Aceh menyebutnya dengan Putroe Phang.

Bukan itu saja, yang sangat menarik untuk dijadikan suri tauladan adalah sikapnya yang tetap bersahaja sebagai seorang Sultan yang sangat menjunjung tingi hukum dan segala hal yang berbau agama Islam serta beliau sang menyayangi para Ulama-Ulama yang ada di Aceh.

Sejarah mencatat, kejatuhan kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam dimulai sejak meninggal Sultan Iskandar Muda  pada tahun 1636 M. Setelah meninggalnya, jabatan Sultan Iskandar Muda sebagai penguasa Aceh, Sumatra dan Senenanjung Melayu dipegang oleh menantunya sendiri dan pada masa 4 Ratu yang berturut-turut. Ini suatu indikasi yang menarik untuk menilai sejauh mana kemampuan Sultan Iskandar Muda memimpin negara tanpa pamrih.


Kini Sang Sultan Iskandar Muda telah tiada.

Dia pergi tidak pernah meninggalkan warisan harta sedikitpun, bahkan keturunanpun tak punya. Tetapi dia pergi meninggalkan pesan (Wasiet) dan falsafah yang tidak akan pernah pudar bagi anak cucunya di Aceh ini yaitu Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.

Terlalu naïf menilai Sulatan Iskandar Muda sebagai bagian yang terpisah dari perjuangan bangsa kalau kita merasa sebagai bangsa yang mau menghargai jasa pahlawan, terlebih pahlawan yang sepanjang hidupnya diabdikan hanya untuk bangsa dan negaranya. Pahlawan yang tidak punya pamrih apapun kecuali mensejahterakan rakyat dan menjadikan Aceh  mampu bersaing dikancah dunia.

Tidak ada gading yang tak retak. Sang Sultan pun demikian.

Barangkali kalaupun ada kelemahannya tidak lebih pada saat terjadinya penaklukan Malaka I saat melawan Portugis yang pecah berdasarkan kesalahpahaman Sultan. Akan tetapi pada babak selanjutnya Sang Sultan dan pasukan Aceh berhasil menaklukan Malaka dan mengusir Portugis dari Bumi Aceh dan Senenanjung Melayu kini Malaysia.

Tetapi dengan segala kebesaran hatinya, kekecewaan Sultan Iskandar Muda sebagai raja yang berkuasa pada saat itu, raja yang besar karena momongannya sejak masih bayi, diwujudkan dengan cara melakukan ekspansi (perluasan daerah) di berbagai daerah dan Aceh pun berhasil menepatkan diri sebagai Kerajaan terbesara ke 5 di dunia kala itu.

Sultan Iskandar Muda meninggalkan sejarah yang sulit untuk dihapus bagi rakyat Aceh walau buku-buku tentang kebesarannya sulit dicari lagi di toko buku terdekat maupun di tempat-tempat pameran buku sekaligus.


Selamat jalan orang besar.

Namamu akan tetap abadi di hati setiap bangsa Aceh ini, bangsa yang terus haus mempertahankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa ini, bangsa yang sekarang ini sangat prihatin terhadap rong-rongan sebagian orang yang ingin memecah-belah bangsa dan negara yang telah kau persatukan ini, bangsa yang sekarang mengalami stagnasi perjalanan politiknya karena ada sebagian orang yang berjuang hanya bagi kepentingannya sendiri, bangsa yang sebagian pejabatnya sekarang melakukan korupsi tanpa rasa malu, bangsa yang satu dan lainnya sudah saling tidak perduli lagi, bangsa yang sudah tidak perduli dengan pendidikan anak cucunya, bangsa yang sudah terbiasa menahan lapar dan hidup bersahaja sementara kebijakan konsumerisme dan gaya hidup berlebihan menjadi prioritas utama bagi sebagian kecil masyarakatnya, bangsa yang tidak perduli lagi dengan rasa nasionalisme bangsanya, bangsa yang sebagian sumberdaya alamnya sudah tergadaikan dan dinikmati oleh bangsa asing yang pada zamanmu justru sangat diharamkan.

Kami rindu kelahiranmu kembali, orang yang terlahir hanya untuk kemajuan bangsanya tanpa pernah sedikitpun berfikir bagaimana terlebih dahulu memajukan, mensejahterakan dan membahagiakan pribadi dan keluargamu. Seorang militer sejati yang budayawan, negarawan dan tetap berdiri di atas sendi-sendi keagamaan yang sangat kuat. Pada zamanmu, kemajuan di bidang sosial, ekonomi, politik, keamanan, kebudayaan, peradaban, agama dan pendidikan mengalami kemajuan begitu pesat dan tak terhingga. Ini membuat negara dan mancanegara kagum dan segan. Persatuan bangsa menciptakan kemajuan yang sangat inheren.

Semoga energimu tetap berada di atasbumi Aceh ini. Mengayomi dan terus memberikan inspirasi dan kekuatan moral bagi bangsa ini, bangsa yang sudah lelah diguncang perpecahan dan kemunafikan, bangsa yang rindu akan kebesaran, keagungan, kesejahteraan dan kemakmuran masa lalu yang sering diceritakan kakek-nenek kita, bangsa yang sudah bosan dijajah oleh berbagai bentuk penjajahan; bangsa asing, kebudayaan dan peradaban asing, sistem dan konsep perekonomian asing yang pada akhirnya hanya akan menguntungkan negara asing.

Sekarang, walaupun setelah ratusan tahun berlalu, dan bahkan ketika kelak ranting-ranting pohon Asam di Gedung Juang (tempat Makam Sultan Iskandar Muda) lapuk dimakan usia, dan meriam-meriam buatan Portugis, Turki, Belanda, dan Jepang tak sanggup lagi bertengger di tempatnya, namun Sang Sultan Iskandar Muda tetap menjadi idola di hati rakyat Aceh.


Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar