5 Juni 2012

Pilih Pemimpin


Setiap negeri memiliki pemimpinya. Itulah jar­gon realitas yang kita temui. Dalam kearifan masyarakat Aceh, hal tersebut tercermin dalam hadih maja lampôh meupageu umong meupitak, nang­groe meusyarak maséng na raja. Karena itu, kearifan dalam kepemimpinan yang dianut masyarakat Aceh sejak lampau bahwa seorang pemimpin itu seolah raja yang mesti jadi panutan, guguan, dan tiruan. Jika pemimpin tidak baik, ditakutkan pengikutnya juga akan mengambil jalan tak baik.

Hal ini bukan hanya tergambar pada hadih maja Aceh, tetapi hampir semua peribahasa atau pepatah dalam bahasa apa saja disebutkan. Untuk bahasa Indonesia sendiri ada ungkapan kalau guru kencing berdiri, anak kencing berlari. Dalam bahasa Jawa ada pepatah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani. Dalam bahasa Minang ada juga bidal indak jauah buah jatuah dari batang. Sedangkan bagi orang Aceh disebutkan, pakiban u meunan minyeuk, pakiban abu meunan aneuk.

Kalimat tegas dan lugas oleh peribahasa tersebut ditam­silkan bahwa dalam sebuah wilayah atau kesatuan, ada yang diikuti dan ada yang mengikuti. Lazimnya, yang mengikuti itu tidak jauh beda dengan yang diikuti. Yang diikuti di sini, meskipun ada yang menamsilkan dalam peribahasa dengan kata guru atau abu, maksudnya ada­lah pemimpin. Akibatnya, kalau pemimpin berbuat salah, pengikut akan berguru pada yang salah. Karena itu, kearifan ureueng Aceh mendidik masyarakat agar memi­lih pemimpin sesuai dengan kemampuan atau kapasitas­nya. Dengan kata lain, berikan suatu pekerjaan pada yang ahlinya. Ini sangat jelas ditegaskan dalam hadih maja berbentuk syair berikut.

//yang utôh tayue ceumulék/ yang lisék tayaue keunira
yang baca tayue ék kayèe/ yang dungèe tayue jaga kuta
yang beu-o tayue keumimiet/ yang meugriet tayue meumita
yang malém tayue beut kitab/ yang bansat tayue rabé guda
yang bagah tayue seumeujak/ yang bijak tayue peugah haba//
‘si tukang disuruh mengukir/ orang teliti atau cermat diminta menghitung
orang yang lincah disuruh naik pohon/ yang tampang bengis diminta jaga kota
yang malas disuruh menghuni padi/ yang suka sibuk disuruh mencari
yang alim disuruh baca kitab/ yang bangsat disuruh jaga kuda
yang gesit disuruh bepergian/ yang bijak diminta bertu­tur kata’

Jika yang dimaksudkan oleh hadih maja tersebut di­laksanakan oleh masyarakat dan tak terkecuali oleh pemimpin kita dalam memberikan tugas/jabatan kepada bawahan, tentunya petaka pemimpin masuk penjara tak perlu terdengar di negeri ini. Apalagi, yang masuk penjara itu seorang Kepala Dinas Pendidikan. Bukankah seorang kadis merupakan salah satu pemimpin juga? Yang lebih ironis adalah Kadis Pendidikan yang merupa­kan gurunya para guru.

Akan tetapi, ini lah realisme di negeri kita. Kebiasaan menyelewengkan kepercayaan seakan sudah menjadi gejala regenerasi. Sebelum Kadis Pendidikan, gubernur di negeri ini pun pernah di penjara karena kasus yang sama, yakni “makan” uang yang bukan jatahnya. Tak terkecuali, beberapa bupati di provinsi kita juga pernah mendapat “hak” yang sama untuk sampai ke “hotel prodeo”. Sebut saja di antaranya bupati di sebelah utara Aceh dan bupati di sebelah selatan Aceh.
           
Selain itu, kita juga mengamati tingkah lain dari pemimpin kita yang tak semestinya dilakukan oleh seorang panutan di negeri ini, sebab—seperti saya sebutkan di atas—pemimpin bagi orang Aceh adalah raja yang merupakan guru bagi rakyatnya. Misalkan saja apa yang dilakukan oleh Bupati Aceh Selatan dalam acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) V, 5 Agustus kemarin, sungguh sebuah perkara yang mesti diperhitungkan. Sebagai orang Aceh, seperti apa pun sakit hati, seorang pemimpin tak etis membuka baju hingga telanjang dada di hadapan orang ramai. Apalagi, saat menyambut keda­tangan tamu kehormatan. Semarah apa pun kita, sebagai pemimpin baiknya bersikap bijaksana. Indatu kita men­ganjurkan surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri tanyoe bijaksana.

Oleh sebab itu, persoalan mundurnya kontingen Aceh Selatan dalam PKA V dapat dianggap sebagai perkara “merendah diri”. Namun, soal buka baju—apalagi baju kebesaran adat—ini mesti ditinjau ulang lagi. Ah, ada-ada saja pemimpin negeri ini. Semoga ke depan pemimpin kita benar-benar memiliki jiwa kepemimpinan. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar