9 Juni 2012

Orang Gila Apa Gila ?


Siapa orang Gila? Melihat riset pasca tsunami dan konflik di Aceh tak banyak pasien jiwa. Tapi sebuah pendapat dan kenyataan lain, orang gila di Aceh meningkat drastis setelah dua bencana itu.

Suatu hari, seperti biasa saya mengisi pagi dengan rutinitas Ngopi di warung Solong Ulee Kareng. Tempat itu konon kedai kopi terbesar di Banda Aceh dan telah menarik pelanggan dari para menteri, gubernur dan kelas bawahan, tak ingin saya menyebutkannya. Sepele saja alasannya, karena sudut pandang bawahan dan atasan hanya pada isi kantong, kalau soal moral, saya berani bertaruh bahwa kadang kala tukang becak dan tukang sapu lebih mulia dari penjabat sakalipun. Lebih setia kawan, lebih bisa di ajak bicara satu sama lain. Dari segi ekonomi memang mereka kalah, sama seperti saya. Sangat tak sopan ada bawahan meledak dengan kata-kata itu untuk sesama kaum rendahan.

Ada sebuah status tak terbatas yang bercerita tentang kaum saya, kawan kampus. Banyak cerita dan sering terkisah, mereka bisa setara dengan presiden bahkan bisa lebih rendah dari pengemis atau penganguran. Bayangkan seorang kawan bisa seeanaknya masuk ke istana presiden apalagi ke pendopo gubernur Banda Aceh hanya untuk sekedar meliput berita atau sekedar tugas wawancara. Akan tetapi di lain pihak, seorang kawan kampus bahkan saya sendiri bisa seperti pengangguran atau pengemis. Tidur dimana saja saat keluar malam, mandi jarang ketika telat bangun pergi kuliah, bahkan yang lebih parah lagi, Com Punggong Dosen maupun mengkhianati kawan sendiri hanya sekedar mancarai nilai bagus. Ssst, jangan sampai aku meledek kaum sendiri,,,, sorry,,, terlepas dari hati.

Kembali ke pokok utama ke warung yang juga yang diserbu oleh para pengemis. Baru 5 atau 10 menit saya duduk bersama kawan-kawan, seorang berpenampilan kusut dengan baju yang compang camping dan kotor, rambut panjang gimbal dan acak, masuk ke warung. Semua tahu dia karena telah biasa, dan semua mengklaim nya sebagai orang gila. Kendati tak ada yang berani menyebutnya di muka si gimbal itu. Kalau pun ada, mungkin dia akan cuek aja.

Tanpa bicara sepatah pun, dia merapat ke meja yang ada nasi bungkusnya. Satu di ambil dan bergegas mencari tempat kosong yang kebetulan ada di meja paling depan. Duduk sebentar saja sambil menyantap nasi, kopi sudah diantar ke tempatnya walau tanpa memesan. Padahal saat itu, warong sangat ramai. Coba anda bayangkan, seandainya kalau anda duduk disana tanpa memesan dari pekerja kedai, saya jamin kopi atau pesanan anda tak bakalan datang sampai beberapa menit atau jam kemudian.

Setidaknya ada dua orang gila seperti orang menyebutnya yang beredar di Ulee Kareng. Satu yang tadi dan satu lagi Si Alu, dengan rambut ala Bob Marley nya, dengan tanpa bau, yang melintas saban hari dari Darussalam ke Ulee Kareng. Hanya saja Si Alu tak pernah singgah di warong Solong, mungkin ada tempat langganan lain.

Dulu saya sering mendengar tentnag Si Alu, entah benar entah tidak. Kabarnya, dai adalah bekas mahasiswa Unsyiah yang berubah perilakunya seperti sekarang karena putus cinta dengan sang kekasih yang mengkhianatinya. Kalau benar, kasihan Si Alu, yang masih gelap dalam mencari cintanya yang hilang. Entahlah.......

Ada banyak kisah yang mengherankan bagi saya tentang orang-orang seperi mereka, tentu dalam perilakunya tak pernah mengganggu sesama, tak pernah meledek, mengejek dan sebagainya. Semua berjalan pada porosnya. Lihatlah Nek Sion sudah yang renta tapi sanggup berjalan dari Darussalam ke Kutaraja. Misinya hanya mencari belas kasihan dengan selembar uang, “Bie Peng Sion (Minta Uang Selembar)” katanya saat meminta.

Merenung mereka, teringat suatu hari pada sebuah pagi setelah bencana Tsunami. Saya dan seorang rekan melakukan beberapa pertanyaan di Ruah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh. Memang saat Tsunamai banyak penghuninya yang lari menyelamatkan diri, karena pada saat gempa para pegawai membuka seluruh pintu pasien. Kata yang berwenang, banyak pasien yang sudah kembali, hanya tinggal beberapa lagi di luar atau mungkin telah menjadu korban bencana. Uniknya, mereka kembali ke asalnya.

Setelah itu, kemudian saya menikmati sejenak sambil mengusili pasien yang telah hampir sembuh dan bisa berkeliaran di halaman, pikir saya sekedar melepas stres. Ada yang bercerita tentang  keinginan menjadi tentara, ada yang putus cinta, dan berbagai launnya. Eehh...... tak lama kemudian, malah saya diganggu oleh seorang pasien wanita yang rambutnya berkepang dua. “Aduh Abang Ini Artis Yaa, rambutnya pendek hitam” sebutnya sambil tertawa dengan kepada rekannya. Saat itu rambut saya pendek dan hitam. Saya masih panik, si rambut kepang pun merayu lagi “Minta Uang Dong Abang Artis.” Baru mau berkelit, dia sudah usil lagi “Artis Ganteng tapi pelit, Enggak Kawan Ahh...” Dia lalu pergi begitu saja. 

Si Pria yang ingin jadi tentara berujar “Bang Gak Usah Di Open Lagi, Gilanya Itu Masih Parah.” Duuhh,,,,, saya tergelak dan memutuskan untuk segera pergi, lama-lama saya bisa jadi gila juga meladeni pasien sakit jiwa. Tapi saya tak mau membohongi bahwa masih banyak kisah bijak yang terambil dengan penuh sadar dari kegilaan mereka dalam mencari kehidupannya. Pasca Tsunami dan Konflik yang berkepanjangan, memang tak banyak jumlah pertumbuhan pasien jiwa di Aceh tapi ada. Bigitu setidaknya hasil riset lembaga-lembaga kajian tentang ini. Artinya, tak banyak orang stres setelah dua bencana itu. Itu sedikit bisa membuat dan membanggakan kita.

Tapi pada sisi yang lain.

Sehari sebelum saya duduk di kedai kopi Ulee Kareng itu, saya Jum’atan di Masjid Lamreng, Meunasah Papeun, Aceh Besar. Saya tercengang saat khatib kutbah jum’at mengutip sebuah hadist Nabi Muhammad SAW. Kisahnya kira-kira seperti ini: Suatu hari saat Nabi Muhammad Saw masih hidup, bebrapa anak-anak dilahat oelh Nabi sedang menganggu orang gila. Lalu Nabi menegur, “Jangan Engkau Ganggu Dia Wahai Anak Ku.” “Kenapa Wahai Rasul, Dia Kan Gila” jawab seorang anak itu. “Dia Bukan Gila, Tapi Sedang Mendapat Cobaan Dari Allah” kata Nabi. Para anak-anak itu pun berhenti menganggu, sampai kemudian beberapa sahabat menanyakan, “Lalu Siapa Sebenarnya Oarng Gila”? Nabi pun menerangkan “Orang Gila Adalah Pemimpin Yang Sombong Dan Congkak, Orang Kaya Yang Sombong Dengan Hartanya, Orang Pintar Yang Sombong Dengan Kepintarannya Dan Orang Miskin Yang Sombong Dengan Kemiskinannya.” Begitulah kira-kira yang masih saya ingat dan saya rekam.

Sejak saat itu, saya mengubah pendapat saya tentang orang gila yang sesungguhnya. Yang gila bisa disebut gila, saya sebut sakit jiwa. Dan orang gila sesungguhnya, saya tidak berani menyebutnya siapa mereka. Semakin berpikr, saya semakin gila. Terkadang juga saya bisa gila berada di kampus. Gila karena tugas yang menumpuk, membuat otak saya menggila, apalagi gila karena kawan yang memang gila dengan tingkah lakunya, gila akan pemikirannya yang gak jelas, sekali bilang A, yang satu bilang B, menahan ego masing-masing. Pokoknya macam-macamlah yang pernah saya lihat.

Dua hari ini saya merenung tentang tatakrama orang yang sakit jiwa yang sering ditabalkan sebagai orang gila. Mereka sopan asal jangan diganggu, tak diganggu bila tak diusik. Tapi ada yang benar-benar gila seperti Nabi yang mengusik tanpa perlu diganggu. Saya ingin berceramah karena tidak sedang menjadi khatib. Tapi sang khatib pada akhirnya menyampaikan kesimpulannya. Kalau itu yang disebut gila, maka banyak sekali orang gila di Aceh. Sebutnya.

Mungkin saja pada sisi lain, pasca Tsunami dan Konflik orang gila semakin bertambah. Jika orang kaya sombong maka dia adalah orang gila, orang pintar yang angkuh maka dia juga orang gila, si miskin sombong juga orang gila, dan pemimpin yang congkak bin sombung juga masuk dalam kelompok ini.

Lantas siapa saja mereka? Hanya penulis dan pembacalah yang menilai sendiri. Ketika zaman sudah saling sikut untuk merebut sebuah kekuasaan alam. Ketika bibir menjadi manis untuk merebut simpati orang. Banyak yang kadang mengumbar congkak dengan segepok uang. Ada juga yang sok tahu dalam kepintarannya yang bodoh.

Dan bahkan mungkin saja, saya sendiri juga masuk dalam kategori Orang Gila. Kegilaan yang mengalahkan cueknya Si Kusut Kedai Solong, Si Alu yang tahan terik, Nek Sion yang tegar dalam rentanya, Si Pria yang ingin jadi tentara dan Si Rambut Kepang Dua yang mengatakan saya artis yang pelit.

Entahlah... Saya masih merenungi dengan kegilaan Aceh setelah pasca Tsunami dan Konflik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar