Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Pergerakan Nasionalisme Indonesia
Bagi
Dunia Ketiga abad ke-20 dapat diberi julukan Abad Nasionalisme, yaitu suatu
kurun waktu dalam sejarahnya yang menyaksikan pertumbuhan kesadarn berbangsa
serta gerakan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Perkembangan
nasionalisme pada umumnya merupakan reaksi terhadap imperialisme dan
kolonialisme yang merajalela dalam abad ke-19 dan bagian pertama awal abad
ke-20. Ekspansi Barat sejak akhir abad ke-15 memunculkan Belanda beserta
VOC-nya sebagai pemegang monopoli serta hegemoni politik di kawasan Nusantara,
kendati perlawanan yang dihadapi ada di mana-mana. Berbeda sekali dengan sifat
perlawanan itu, gerakan nasional mewujudkan corak dan bentuk jawaban yang
disesuaikan dengan struktur serta sistem masyarakat kolonial, maka periode
1900-1942 sebagai periode gerakan itu dapat dibedakan dari masa sebelumnya.
Bentuk
reaksi modern bersifat rasional serta memakai sistem organisasi modern.
Ideologi yang mendasarinya ialah nasionalisme, sesuatu yang sungguh-sungguh
baru di bumi Indonesia. Sehubungan dengan hal itu perlu ditambahkan di sini
bahwa pelbagai perlawanan terhadap kolonialisme dalam abad ke-19 dan
sebelumnya, lebih tepat disebut gejala protonasionalisme. Perlawanan bersenjata
secara tradisonal dapat dipadamkan oleh kekuatan militer penguasa kolonial
dengan teknologi perang modern.
Gerakan
nasionalis membangun kekuatan sosial dengan membentuk organisasi gaya modern
serta memobilisasi pendukung berdasarkan kesadaran sosial pada awalnya dan
kemudian nasional. Kesadaran itu tidak terpisah dari perkembangan ideologi
modern, ialah nasionalisme. Fase pertama gerakan nasionalis yang diawali oleh
Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Jong Sumatra, Pasundan, dan lain sebagainya,
kesemuanya menunjukkan gejala penemuan kembali identitasnya, yang logis sekali
masih terikat pada kebudayaan etnik masing-masing.
Baru
generasi tahun dua puluhan berhasil merumuskan konsep nasionalisme Indonesia,
yaitu pada tahun 1925 dengan Manifesto Politik yang dinyatakan oleh Perhimpunan
Indonesia. Di dalam pernyataan itu tercakup prinsip-prinsip nasionalisme,
antara lain: kebebasan, kesatuan, dan kesamaan. Sudah barang tentu sifat
nasionalisme itu antikolonial sehingga dalam rangka program perjuangan nasional
tercantum prinsip nonkooperasi terhadap penguasa kolonial.
Sejarah
gerakan nasionalis terhenti oleh runtuhnya Imperium Belanda, sehingga belum
memberi buah perjuangan yang penuh, namun hal itu tidak berarti bahwa gerakan
itu sia-sia belaka. Secara tidak berlebih-lebihan dapat dinyatakan bahwa tanpa
periode persiapan selama berlangsungnya gerakan itu, revolusi fisik belum tentu
terjadi. Kenyataannya ialah bahwa gerakan itu merupakan fase latihan dan
persiapan berpolitik memperjuangkan kemerdekaan seperti termaktub dalam
Manifesto Politik 1925.
Dipandang
dalam wawasan modernisasi, gerakan nasionalis merupakan suatu gerakan sosial
yang bersifat multidimensional, jadi tidak cukup untuk disoroti aspek
politiknya, tetapi perlu diungkapkan aspek ekonomis, sosial, dan kulturalnya.
Adalah suatu kenyataan bahwa proses transformasi dari tradisionalitas ke arah
modernitas merupakan proses perlembagaan nilai-nilai serta sistem-sistem lewat
gerakan tersebut. Dengan demikian akan menjadi jelas bahwa gerakan itu dalam
totalitas berfungsi untuk mentransfigurasi pola kehidupan tradisional berubah
menjadi bentuk atau sistem yang dapat mendukung proses penyesuaian masyarakat
Indonesia dengan perubahan sosial.
Kehadiran
kolonialisme di bumi Nusantara adalah fakta historis yang turut menentukan
perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lebih-lebih untuk menerangkan gerakan
nasionalis, kolonialisme adalah causa
originalis-nya. Terdapat korelasi terus-menerus antara corak politik
kolonial dengan sifat nasionalisme, terutama derajat radikalismenya.
Di
sini masih dipandang perlu untuk mempertanggungjawabkan mengapa kurun waktu
1900-1942 diperlukan sebagai unit temporal atau periode tersendiri. Akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20 ditandai oleh perubahan politik kolonial yang
terkenal sebagai Politik Etis. Di samping itu, muncullah gerakan emansipasi
yang diawali oleh Kartini, suatu gerakan yang bermuara pada awal gerakan
nasionalis, terkenal selanjutnya sebagai Kebangkitan Nasional.
Adapun
tahun 1942 adalah tahun keruntuhan pemerintahan Hindia Belanda ketika
mengadakan kapitulasi terhadap Balatentara Dai Nippon. Bersama dengan peristiwa
itu berakhirlah gerakan nasionalis, oleh karena penguasa Jepang tidak lagi
memberi kesempatan untuk melanjutkan eksistensinya. Kalau kemudian pemerintahan
militer Jepang menciptakan gerakan-gerakan baru, itu sebenarnya sudah berbeda
sifatnya.
Jadi,
tahun 1942 dapat dianggap sebagai tahun tutup usia berbagai organisasi
nasionalis. Berakhirlah pula fase pertama nasionalisme Indonesia, yaitu suatu
fase sewaktu konsep nation Indonesia dikonstruksi dan proses konseptualisasi
diikuti oleh tindak lanjut yang berupa perjuangan untuk merealisasikannya.
Perlu
ditambahkan di sini bahwa tahun 1945-1949 adalah fase perjuangan fisik yang
dengan perjuangan bersejarah hendak mempertahankan kemerdekaan bangsa. Masa
kini dapat dipandang sebagai fase nasionalisme III yaitu fase konsolidasi
nilai-nilai nasionalisme untuk masa datang, yaitu prinsip kemerdekaan
(kebebasan), kesatuan, kesamaan, kepribadian dan prestasi. Dipandang dari sudut
penglihatan itu fase nasionalisme I tak dapat diragukan lagi merupakan episode
penting dalam sejarah perjuangan bangsa.
Dalam
rangka pembangunan bangsa, sejarah, baik sebagai deskripsi-naratif maupun
sebagai deskripsi-analitis, berfungsi sebagai landasan bagi pembentukan
identitas bangsa. Ini tidak lain karena sejarah sebagai rekonstruksi pengalaman
kolektif mampu memberikan legitimasi atas eksistensinya sebagai suatu kesatuan.
Lagi pula historisitasnyalah yang mampu membentuk kepribadiannya. Jadi di sini
kepribadian nasional. Oleh karena itu, pengetahuan sejarah nasional merupakan conditio sine qua non bagi proses
penyadaran bagi seluruh warga negara. Selanjutnya penyadaran itu dapat
dibangkitkan dirinya kepada tujuan dan kepentingan kolektif, antara lain dengan
mengikuti jejak para tokoh yang penuh semangat berkorban mengabdikan dirinya
bagi nusa dan bangsa. Kesadaran sejarahlah yang mampu memacu motivasi generasi
mda untuk berperan serta membangun bangsa berdasarkan idealisme nasionalnya.
Kata
pengantar ini diakhiri dengan mengingat kenyataan bahwa suatu bangsa yang tidak
menganal sejarahnya berarti bangsa itu tidak mempunyai identitas, padahal
bangsa tanpa identitas adalah contradictio
in terminis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar