Pengaruh
Kebudayaan Hindu dan Budha di Sumatera Utara
Seni
Arsitektur
Terdapat di bangunan-bangunan mesjid kuno Sumatera
Utara:
a. Mesjid
Al Osmani
Mesjid ini dibangun
pada tahun 1854, oleh Raja Deli Ketujuh
yakni Sultan Osman Perkasa alam dengan menggunakn kayu pilihan. Kemudian
pada tahun 1870 hingga 1872 yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi
permanen oleh anak Sultan Osman yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam yang juga
menjadi Raja Deli kedelapan. Pintu mesjid beronamen China, ukiran bangunan
bernuansa India. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga bersegi
delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton.
Mesjid Al Osmani ini berumur lebih dari 150 tahun.
Mesjid
Lama Gang Bengkok
Mesjid Lama Gang
Bengkok kampung “kesawan” ini bergaya rumah China memiliki keistimewaan karena
pembauran antara etnis Tionghoa (China) dengan etnis setempat. Salah satu
bangunan mirip kelenteng, atap nya melengkung dan terdapat empat tiang setebal
setengah meter yang menopang seluruh bangunan. Di bagian atas tiang terdapat
patung buah jeruk dan anggur, salah satu ciri khas arsitektur China. Serta
bentuk bangunan mesjid ini ada juga berbentuk stupa, seperti candi-candi.
Masyarakat dan Budaya
Dengan populasi sekitar 12 juta jiwa, penduduk Sumatra
Utara dibagi menjadi lima kelompok etnis utama dan bahasa yaitu Orang Melayu
pesisir yang hidup di sepanjang Selat Malaka, orang Batak, Angkola atau
Mandailing dari Tapanuli selatan, dan Nias kepulauan lepas pantai barat.
Kelompok-kelompok ini masing-masing memiliki dialek bahasa, agama, seni, adat
dan budaya khasnya tersendiri. Beberapa kelompok etnis lainnya juga hidup di
Medan dan kota-kota lain dari Sumatera Utara, yang terbesar yaitu orang
Cina dan India.
Di Medan ada banyak suku etnis dari seluruh Indonesia
yang datang ke kota ini untuk berbisnis. Kota ini juga rumah bagi warga
keturunan Cina dan India yang cukup mendominasi. Daerah yang sangat indah di
Sumatera Utara adalah sekitar Danau Toba, di sini hidup masyarakat Batak yang
dibagi menjadi enam budaya, masing-masing memiliki bahasa, upacara, dan tradisi
berbeda. Meskipun terisolasi secara geografis tetapi orang Batak memiliki
riwayat hubungan dengan dunia luar. Hubungan perdagangan antara dataran
tinggi dan daerah lain pun berjalan baik yaitu pertukaran barang seperti garam,
kain, dan besi, lalu yang diimpor ke wilayah ini seperti emas, beras dan
cassia (jenis kayu manis)
Orang-orang Eropa yang pertama berdagang ke wilayah Batak adalah misionaris,
mereka menjelajahi daerah pedalaman terpencil pada akhir abad ke-18. Misionaris
tersebut mengabarkan bahwa masyarakat lokal wilayah ini kanibalisme.
Sebelumnya awal abad ke-9, sebuah teks Arab menyebutkan bahwa penduduk Sumatra
itu memakan daging manusia. Namun, saat ini para antropologi percaya bahwa hal
ini adalah bentuk hukuman yang langka dan mungkin nampak biasa saja bagi orang
Batak. Banyak orang Batak yang menyimpan tulang nenek moyang mereka yang
disalah artikan oleh orang luar sebagai kanibalisme mengerikan. Kepercayaan tradisional
Batak berpusat pada pemahaman spiritual bahwa alam semesta dibagi menjadi tiga,
yaitu: dunia atas di mana Tuhan berada, dunia tengah dimiliki manusia, dan
dunia yang lebih rendah merupakan rumah bagi makhluk halus dan iblis.
Hubungan Masyarakat India dengan
Sumatera Utara Sejak Abad ke-3 M
Kedatangan berbagai etnis India ke pantai timur Sumatera dan pantai Barat
Sumatera Utara sudah jauh sekali sebelum Masehi, yaitu membawa agama Hindu dan
terakhir kemudian juga agama Budha terutama masa arus angin dari India ke Barus
pada bulan Nopember dan Desember. Prof. Coomalaswamy* menulis bahwa
Sumatera yang mula-mula sekali dari sejak sebelum Masehi menerima pendatang
Hindu-India. Mereka membawa aksara Pallawa
dan bahasa Sansekerta. Abad ke-V Masehi gelombang dari India Selatan membawa
agama Budha ke Sumatera dan memperkenalkan aksara Nagari yang menjadi cikal bakal aksara Melayu Kuno, Batak
dan lain-lain. Sejak abad ke-3 M, transportasi perdagangan di kepulauan
Nusantara berada di tangan orang Cola. Pusat di Tamilakam, diambil alih oleh
orang Pallava yang kemudian pula ditaklukkan oleh Cola kembali diabad ke-9 M.
Orang Pallava dulu beragama Budha, tetapi menjadi Hindu kembali. Mereka berasal
dari India utara dan simbol mereka “makara” dan “lembu Shiwa” dan
menganggap mereka bukan dari Matahari atau Bulan tetapi dari “Aswattaman”
(pahlawan dari cerita Mahabharata). Merekalah yang merebut ibukota Cola tahun
280 M dan lambang raja-raja Cola adalah Harimau yang dicap pada benderanya. Juga
pada tahun 717 M pendeta Tamil Wajabodhi membawa aliran Tantrisme Mahayana
Budha ke Malayu seperti terdapat di candi di Padang Lawas dan patung
Adytiawarman di Pagarruyung. Kesemuanya bersamaan dengan membawa juga pengaruh
atas perdagangan dan adat-budaya kepada masyarakat di pantai Barat Sumatera
Utara dan mereka membawa aksara Pallawa. Peranan etnis India dari Malabar
(Malabari) dapat ditelusuri dari hikayat tentang masuknya Islam ke
Sumatera. Islam di Malabar ialah bermazhab Syafei.
Menurut Tome Pires (1515 M) Raja Pasai dan sebagian penduduknya berasal
dari India Islam dari Bengal. Banyak Pedagang Gujarat, Kling dan Bengal di
sini. Di Lobu Tua (Barus) pantai barat Propinsi Sumatera Utara telah ditemukan
Batu Bersurat, tetapi atas perintah pembesar Belanda kepada Raja Barus Sutan
Mara Pangkat sebahagian telah dihancurkan. Adapun sisa-sisa dari pecahan batu
prasasti itu ada disimpan di seksi arkeologi Museum Pusat Jakarta, dan
inskripsinya sudah diterjemahkan oleh PROF. DR. K. A. Nilakanta Sastri dari Univ.
Madras ditahun 1931, yang menurut beliau prasasti itu dibuat ditahun Saka 1010
(=1088 M.). Itu masa pemerintahan Raja Cola Kerajaan yang diperintah oleh Kulotunggadewa
I yang menguasai wilayah Tamil di India Selatan. Kalau kita baca “Hikayat
Melayu” karangan Bendahara Melaka Tun Sri Lanang (abad ke-16 M), itu memang
cocok dengan apa yang tertulis di prasasti Tanjore (1030 Saka), ketika Raja Rajendra
Cola Dewa-I pada tahun 1025 M menyerang Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di
Sumatera Utara dan (Pannai, Lamuri Aceh) Malaya. Dari Prasasti Lobu Tua itu
kita ketahui bagaimana eratnya hubungan perdagangan dan budaya “benua” India
dengan Sumatera. Prasasti Lobu Tua itu berisi tentang aktivitas perdagangan
kumpulan konglomerat Tamil yang dikenal dengan nama “Mupakat Dewan 1500”.
Anggotanya terdiri dari berbagai sekte Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan
lain-lain. Keberbagai negara mereka pergi membawa barang dengan kapal mereka
sendiri dan disitu mendirikan Loji (gudang yang berbenteng yang dijaga oleh
perajurit mereka). Mereka tidak tunduk kepada sesuatu kerajaanpun tetapi
disambut hangat oleh setiap negeri/yang dikunjungi mereka.
Tentulah bersama para pedagang itu turut serta pula seniman pengukir/candi
dan pendeta Hindu dan tentu banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita
Batak. Menurut hikayat di Sianjur Mula-Mula diciptakan aksara Batak yang nampak
sekali berasal pengaruh aksara Sansekerta, oleh DATU TALA DIBABANA marga
Borbor. Mari kita lihat beberapa pengaruh Hindu itu pada orang Batak antara
lain:
1. Nama-nama hari “ Aditya = Ariria (Toba) = Aditia (Karo)
2. Soma = Suma
(Toba) = Suma (Karo); Anggara = anggara (Toba) = anggara (Karo); Budha = Muda
(Toba) = Budalia (Karo); Brhaspati = Boraspati (Toba) = Beraspati (Karo);
Syukra = Singkora (Toba) = Cukera (Karo); Syabaisycara = Samisara (Toba) =
Sanusara (Karo); Yoga = Ayuga (Toba) = Iyoga
(Karo); Kala = hala ‘ Wisnu-Bisnu ; Brahma = Borma.
3. Brahma dalam
kitab Upanisad = Mulajadi Nabolon; Gunung Cicira yang dingin = Pusuk Buhit;
Dewa Manu dalam Purana = Batara Asi-asi; Saraswati cakti dari Brahma = Boru
Deak Parujar. Pani didalam kitab Pustaha Panai Bolon = dalam buku orang Weda
tentang pencegah langit mendung; Kuda Debata = Kuda Dewata; Sisingamangaraja =
Dewa Manusia didalam buku Hindu Manu; Sri = Sori.
4. Pada etnis
Karo terdapat merga-merga : Brahmana, Pandia, Meliala (=Malayali), Depari,
Pelawi (=Phlawa), Colia (=Cola), Tekang (=tekanam) dan lain-lain semua masuk
grup SEMBIRING (Orang Hitam) dan dalam upacara adat misalnya “Pekualuh”
(menghanyutkan abu jenazah di sungai) ternyata masih ada terdapat sisa-sisa
kepercayaan orang Tamil itu pada mereka. Mereka juga boleh kawin sesama merga.
Memasuki abad ke-16 dari catatan Portugis misalnya orang “Benggali” (dari
Prop.Bengal), “Kling” (dari kerajaan Kalingga=Tamil) dan Gujarat ramai
sekali berdagang ke Sumatera dan kawin mengawin dengan penduduk Sumatera.
Didalam prasasti TANJORE ada ditulis negeri-negeri yang ditaklukkan Indra
Coladewa-I tercatat Kerajaan PANAI (Pannai) di Padang Lawas. Negeri itu dicatat
sebagai “water in its bathing gats” (Bah. Tamil “pannai” artinya
lapangan yang diairi sungai-sungai). Didalam exkavasi yang dilakukan DR.
Schnitger ditahun 1930-han, terdapat disana banyak biara sekte Budha Tantrik
Bhairawa (abad ke-11 s/d 14 M) dan bahasa dari inskripsi disana bahasa Melayu
Tua bercampur Sangsekerta, sebagai contoh inskripsi Gunung Tua (1024 M) ada
kalimat : “Juru pandai Surya barbwat Bhatara Lokanantha”. Pedagang asal
turunan Tamil-Batak itu banyak mendatangkan kuda-kuda dari pantai Barat untuk diexport
ke pantai timur Sumatera. Merga “Kudadiri” mungkin sekali berasal dari
nenek moyang mereka pedagang kuda. Kuda Batak sangat digemari karena kokoh
badannya. Baik di Kota Cina ditemukan patung Budha (Sahasamala) dan
manik asal India Selatan abad ke-13 dan 15. Ini menunjukkan maraknya
perdagangan India Selatan dengan Sumatera terus menerus.
Daftar
Pustaka
J. Tideman,
“Hindoe-invloed in Noordelijk Batakland”. Amsterdam 1936.
DR. J. Przyluski “Indian
Colonisation in Sumatra before 7th Century”
W.H.M. Schadee, “Geschiedenis
van Sumatr’s Oostkust”, I dan II, Medan 1918.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar