Pendidikan
Indonesia, Sampai Kapan Terus Termarjinalkan?
Oleh: Akhmad Bayhaqi
Masalah pendidikan sebenarnya teramat penting untuk
negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan
jumlah tenaga kerja sekitar 144 juta orang. Apabila tidak memperoleh pendidikan
memadai, penduduk atau tenaga kerja yang ada itu akan menjadi beban daripada
menjadi modal dasar pembangunan.
Meski dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
sudah disebutkan salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa selain untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor
pendidikan tampaknya amat terbelakang dibandingkan dengan upaya pemerintah
untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah
untuk pendidikan yang amat rendah. Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4
persen produk nasional brutonya untuk pendidikan dibandingkan dengan rata-rata
global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).
Sementara untuk pengeluaran pemerintah pada periode
sebelum krisis (1991-1995), pengeluaran pemerintah hanya 1,3 persen, amat jauh
di bawah negara jiran Malaysia yang mencapai 4,8 persen. Meski sama-sama
dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, Malaysia tampaknya lebih berhasil
dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya daripada Indonesia. Malaysia juga lebih
berhasil dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan. Data sebelum krisis
(1995) menunjukkan, Malaysia bahkan mengalami kekurangan tenaga kerja sebesar
60.000 orang, sedangkan Indonesia dihadapkan masalah kelebihan 1,2 juta tenaga
kerja!
Ada Apa Dengan Pendidikan Kita?
Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup
mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan
sebagai salah satu prioritas utama dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak
dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral.
Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto, sebenarnya
masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite
politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan
salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi
kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Sebagai pendiri Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru)
sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis
Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4
Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik,
pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni
Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).
Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang
otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai dikesampingkan, terutama
mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan
politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih melihat
pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soeharto untuk
melakukan indoktrinasi terhadap rakyat.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah,
berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan
berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4.
Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi
mengenai G 30 S/PKI, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional
terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Tidak heran apabila sistem pendidikan
yang ada di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang
ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998).
Contoh lain, dalam hal dana Instruksi Presiden (inpres)
pada masa Soeharto. Meski tujuannya baik, yaitu untuk menanggulangi kemiskinan
(pemberantasan buta huruf), penyaluran dana inpres untuk pendidikan
(pembangunan SD inpres) lebih banyak muatan politiknya, yaitu untuk memberi
“hadiah” bagi wilayah di mana pemerintah memperoleh dukungan politik, hal ini
dikarenakan kategori penyaluran dana yang tak jelas dan abstrak.
Sejak saat itu, fokus pembangunan lebih diarahkan
kepada pembangunan ekonomi daripada pembangunan manusia. Departemen Pendidikan
pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan
departemen lain.
Rosser (2002) mencatat, pada tahun 1980-an Menteri
Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita) dan
Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan
kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Musa (2003),
Kementerian Pendidikan selalu memperoleh tempat yang terpandang di Malaysia,
dengan semua perdana menteri Malaysia pernah menjabat sebagai menteri
pendidikan. Kementerian Pendidikan di Malaysia juga memperoleh anggaran yang
besar dari total pengeluaran pemerintah. Bahkan, tahun 2003, departemen ini
menerima 27 persen dari total pengeluaran pemerintah (Musa, 2003).
DPR sebenarnya sudah berupaya mengoreksi kebijakan
pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun
2003 Ayat (49), yang mensyaratkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan
harus paling rendah sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah pusat
maupun daerah. Namun, dengan mudahnya menteri keuangan menyatakan angka itu
baru bisa dipenuhi tahun 2009! Anehnya, DPR tidak bereaksi apa-apa.
Atas keadaan ini, seharusnya ada konsekuensi hukum
bila ada pihak yang melanggar UU. Anehnya lagi, tidak lama kemudian pemerintah
mengumumkan darurat militer di Aceh, di mana untuk perpanjangannya selama enam
bulan telah menelan dana sekitar Rp 2 triliun (Tempointeraktif, 14/11/2003),
yang sebelumnya tidak ada dalam anggaran.
Sepah Dibuang?
Uraian itu menunjukkan rendahnya prioritas pendidikan
dalam pemikiran elite politik saat ini. Anehnya, dalam masa kampanye pemilu
presiden beberapa waktu lalu, masalah pendidikan merupakan masalah utama yang
dijanjikan para kandidat. Beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan
pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan mengangkat
100.000 guru.
Sayangnya, janji-janji itu justru menggambarkan ketidakmengertian
pemerintah saat ini atas masalah pendidikan. Kandidat yang menjanjikan
pengangkatan 100.000 guru seharusnya memahami bahwa beban anggaran gaji guru
dalam otonomi daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sudah banyak
pemerintah daerah yang bingung mengatasi beban transfer gaji guru dari pusat ke
daerah karena APBD mereka tidak mencukupi, bahkan di kemudian hari mungkin
harus menanggung beban tambahan dari janji-janji kandidat presiden yang ada.
Hal ini menunjukkan, pada masa mendatang, paling tidak
lima tahun ke depan, masalah pendidikan di Indonesia masih akan memperoleh
prioritas yang tidak semestinya.
Lantas, apa yang harus dilakukan? Dalam buku IQ and
the Wealth of Nations (2002), Lynn dan Vanhanen menyimpulkan, produk domestik
bruto (PDB) dan IQ dari penduduk suatu negara mempunyai hubungan yang amat
erat. Tingkat IQ dari penduduk suatu negara, menurut mereka, dapat menjelaskan
variasi yang ada dalam PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi.
Di kawasan Asia Tenggara, rata-rata IQ penduduk
Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan ada di bawah Singapura, Malaysia,
dan Thailand. Satu hal lagi dari tabel di atas adalah prediksi PDB Indonesia
berdasarkan level IQ yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ada. PDB
Indonesia pada tabel itu hanya sekitar 25 persen dari PDB yang diprediksikan
atau PDB potensial yang dapat dicapai.
Hal ini menunjukkan potensi luar biasa bagi
perekonomian Indonesia apabila saja kondisi infrastruktur sosial yang ada
dibenahi (budaya KKN dan sebagainya) dan kita dapat membentuk masyarakat yang
berdasarkan “guna” (merit-based society) sehingga seseorang benar-benar dinilai
berdasarkan pada apa yang telah dihasilkan, bukan sekadar berdasarkan pada
relasi atau kekuasaan.
Apabila pengeluaran pemerintah untuk pendidikan kurang
bisa diharapkan, apakah kita harus menunggu sampai elite politik sadar bahwa
pendidikan itu penting? Sebenarnya peran serta masyarakat sendiri masih dapat
diharapkan.
Porsi pengeluaran untuk pendidikan sebenarnya masih
dapat ditingkatkan lagi dalam rumah tangga. Namun, ini juga bergantung pada
bagaimana masyarakat memandang pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan hanya
dipandang sebagai “biaya”, tentu ada keengganan untuk meningkatkan pengeluaran
pendidikan.
Namun, apabila masyarakat dapat melihat pendidikan
sebagai bentuk “investasi”, yang nantinya akan dapat membawa mereka ke tingkat
kesejahteraan lebih baik, masa depan lebih cerah, dan pendapatan lebih tinggi,
masyarakat tentu tidak akan sayang meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan.
Hanya saja, “investasi” dalam pendidikan mungkin hanya akan tinggal angan-angan
jika tidak ada perbaikan struktur ekonomi dan struktur sosial yang menjamin
bahwa keahlian yang diperoleh dalam pendidikan benar-benar bisa dimanfaatkan
untuk memperoleh pekerjaan ataupun pendapatan lebih baik.
Penulis adalah: Pengajar
pada Fakultas Ekonomi UI dan Peneliti pada LPEM-FEUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar