11 Mei 2013

PENDIDIKAN INDONESIA, SAMPAI KAPAN TERUS TERMARJINALKAN?


Pendidikan Indonesia, Sampai Kapan Terus Termarjinalkan?

Oleh: Akhmad Bayhaqi 

Masalah pendidikan sebenarnya teramat penting untuk negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan jumlah tenaga kerja sekitar 144 juta orang. Apabila tidak memperoleh pendidikan memadai, penduduk atau tenaga kerja yang ada itu akan menjadi beban daripada menjadi modal dasar pembangunan.

Meski dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah disebutkan salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selain untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor pendidikan tampaknya amat terbelakang dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.

 Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang amat rendah. Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4 persen produk nasional brutonya untuk pendidikan dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).

Sementara untuk pengeluaran pemerintah pada periode sebelum krisis (1991-1995), pengeluaran pemerintah hanya 1,3 persen, amat jauh di bawah negara jiran Malaysia yang mencapai 4,8 persen. Meski sama-sama dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, Malaysia tampaknya lebih berhasil dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya daripada Indonesia. Malaysia juga lebih berhasil dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan. Data sebelum krisis (1995) menunjukkan, Malaysia bahkan mengalami kekurangan tenaga kerja sebesar 60.000 orang, sedangkan Indonesia dihadapkan masalah kelebihan 1,2 juta tenaga kerja!

Ada Apa Dengan Pendidikan Kita?

Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral.



Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto, sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Sebagai pendiri Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).

Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soeharto untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat.



Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi mengenai G 30 S/PKI, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Tidak heran apabila sistem pendidikan yang ada di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998).

Contoh lain, dalam hal dana Instruksi Presiden (inpres) pada masa Soeharto. Meski tujuannya baik, yaitu untuk menanggulangi kemiskinan (pemberantasan buta huruf), penyaluran dana inpres untuk pendidikan (pembangunan SD inpres) lebih banyak muatan politiknya, yaitu untuk memberi “hadiah” bagi wilayah di mana pemerintah memperoleh dukungan politik, hal ini dikarenakan kategori penyaluran dana yang tak jelas dan abstrak.

Sejak saat itu, fokus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain.



Rosser (2002) mencatat, pada tahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.

Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Musa (2003), Kementerian Pendidikan selalu memperoleh tempat yang terpandang di Malaysia, dengan semua perdana menteri Malaysia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan. Kementerian Pendidikan di Malaysia juga memperoleh anggaran yang besar dari total pengeluaran pemerintah. Bahkan, tahun 2003, departemen ini menerima 27 persen dari total pengeluaran pemerintah (Musa, 2003).

DPR sebenarnya sudah berupaya mengoreksi kebijakan pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Ayat (49), yang mensyaratkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan harus paling rendah sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah pusat maupun daerah. Namun, dengan mudahnya menteri keuangan menyatakan angka itu baru bisa dipenuhi tahun 2009! Anehnya, DPR tidak bereaksi apa-apa.

Atas keadaan ini, seharusnya ada konsekuensi hukum bila ada pihak yang melanggar UU. Anehnya lagi, tidak lama kemudian pemerintah mengumumkan darurat militer di Aceh, di mana untuk perpanjangannya selama enam bulan telah menelan dana sekitar Rp 2 triliun (Tempointeraktif, 14/11/2003), yang sebelumnya tidak ada dalam anggaran.

Sepah Dibuang?

Uraian itu menunjukkan rendahnya prioritas pendidikan dalam pemikiran elite politik saat ini. Anehnya, dalam masa kampanye pemilu presiden beberapa waktu lalu, masalah pendidikan merupakan masalah utama yang dijanjikan para kandidat. Beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan mengangkat 100.000 guru.

Sayangnya, janji-janji itu justru menggambarkan ketidakmengertian pemerintah saat ini atas masalah pendidikan. Kandidat yang menjanjikan pengangkatan 100.000 guru seharusnya memahami bahwa beban anggaran gaji guru dalam otonomi daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sudah banyak pemerintah daerah yang bingung mengatasi beban transfer gaji guru dari pusat ke daerah karena APBD mereka tidak mencukupi, bahkan di kemudian hari mungkin harus menanggung beban tambahan dari janji-janji kandidat presiden yang ada.

Hal ini menunjukkan, pada masa mendatang, paling tidak lima tahun ke depan, masalah pendidikan di Indonesia masih akan memperoleh prioritas yang tidak semestinya.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Dalam buku IQ and the Wealth of Nations (2002), Lynn dan Vanhanen menyimpulkan, produk domestik bruto (PDB) dan IQ dari penduduk suatu negara mempunyai hubungan yang amat erat. Tingkat IQ dari penduduk suatu negara, menurut mereka, dapat menjelaskan variasi yang ada dalam PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi.

Di kawasan Asia Tenggara, rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Satu hal lagi dari tabel di atas adalah prediksi PDB Indonesia berdasarkan level IQ yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ada. PDB Indonesia pada tabel itu hanya sekitar 25 persen dari PDB yang diprediksikan atau PDB potensial yang dapat dicapai.

Hal ini menunjukkan potensi luar biasa bagi perekonomian Indonesia apabila saja kondisi infrastruktur sosial yang ada dibenahi (budaya KKN dan sebagainya) dan kita dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan “guna” (merit-based society) sehingga seseorang benar-benar dinilai berdasarkan pada apa yang telah dihasilkan, bukan sekadar berdasarkan pada relasi atau kekuasaan.

Apabila pengeluaran pemerintah untuk pendidikan kurang bisa diharapkan, apakah kita harus menunggu sampai elite politik sadar bahwa pendidikan itu penting? Sebenarnya peran serta masyarakat sendiri masih dapat diharapkan.

Porsi pengeluaran untuk pendidikan sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi dalam rumah tangga. Namun, ini juga bergantung pada bagaimana masyarakat memandang pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan hanya dipandang sebagai “biaya”, tentu ada keengganan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan.

Namun, apabila masyarakat dapat melihat pendidikan sebagai bentuk “investasi”, yang nantinya akan dapat membawa mereka ke tingkat kesejahteraan lebih baik, masa depan lebih cerah, dan pendapatan lebih tinggi, masyarakat tentu tidak akan sayang meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan. Hanya saja, “investasi” dalam pendidikan mungkin hanya akan tinggal angan-angan jika tidak ada perbaikan struktur ekonomi dan struktur sosial yang menjamin bahwa keahlian yang diperoleh dalam pendidikan benar-benar bisa dimanfaatkan untuk memperoleh pekerjaan ataupun pendapatan lebih baik.

Penulis adalah: Pengajar pada Fakultas Ekonomi UI dan Peneliti pada LPEM-FEUI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar