Jauh sebelum Aceh menjadi bagian dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), daerah ini sudah dilanda konflik. Anthony Reid,
seorang ahli sejarah Asia Tenggara yang pernah belajar di Selandia Baru dan
Cambridge, dalam bukunya “Asal Mula Konflik Aceh” menyebutkan konflik di Aceh
sudah bergejolak sebelum nama Indonesia ada hingga akhir abad 19, saat Aceh
menjadi bagian kesatuan NKRI. Konflik itu bermula saat agresi Belanda dan
realpolitik Inggris mengorbankan banyak rakyat Aceh. Padahal, mula-mula Belanda
mampir ke tanah Aceh, mereka disambut baik oleh masyarakat Aceh.
Ada hal yang memicu
terjadinya konflik, yakni upaya pendekatan. Jika semula pendekatan yang
dilakukan Belanda mampu ‘mencuri’ hati rakyat Aceh, pola dan sistem perdagangan
merekalah yang membuat rakyat Aceh melawan. Hal ini selaras dengan kearifan
yang hidup dalam masyarakat Aceh, “Ureueng
Aceh hanjeut teupèh. Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geujôk rasa, menyo hana
teupèh, padé bijèh jeut tarasa.” Selanjutnya,
konflik dipicu juga oleh hegemoni kekuasaan pemikiran pusat terhadap
daerah-daerah—termasuk Aceh—sehingga sebuah kebenaran seolah hanya boleh ditentukan
oleh para penguasa.
Nah, buku berjudul “RESOLUSI
KONFLI DALAM ISLAM—Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah” yang
ditulis oleh Tgk. H. Ibrahim Bardan alias Abu Panton, ini mencoba mencari dan
memberikan solusi terhadap pemecahan konflik di Aceh. Dari judulnya yang
menggunakan frasa “Perspektif Ulama Dayah” sudah terkesan bahwa solusi/resolusi
yang dipaparkan dalam buku terbitan Aceh
Institute Press itu
merupakan hasil pemikiran ulama dayah (pesantren) di Aceh. Artinya, penulis
tidak membatasi bahwa resolusi konflik di Aceh juga dapat dilakukan melalui
perspektif lainnya.
Namun demikian, satu hal yang
tak dapat dipisahkan dari Aceh adalah Islam, dan ulama merupakan pemikir dalam
Islam. Bahkan, dalam setiap konflik di Aceh, ulama selalu terlibat sebagai
pencari solusi. Selain itu, pemimpin perang pun ada yang ulama, seperti Tgk.
Chik Ditiro, Tgk. Chik Kuata Karang, Tgk. Chik Pante Kulu, Tgk. Fakinah, dan
lain-lain. Oleh karena itu, buku berdasarkan perspektif ulama dayah ini akan
membantu banyak pencarian solusi terhadap konflik di Aceh yang belum diketahui
tuntasnya hingga entah kapan.
Menariknya, buku yang berisi
160 halaman ini mengupas habis konflik di Aceh, mulai dari sejarah dan dinamika
yang terjadi masa Islam pertama sekali masuk ke Aceh, yakni masa bermulanya
Kerajaan Samudera Pasai, hingga situasi Aceh masa sekarang (masa Abu Panton
menulis buku) ini. Jika Reid dalam disertasinya untuk Cambridge University
menghasilkan sebuah buku yang mampu menarik segenap penjuru dunia mendalami asal
mula konflik di Aceh, maka buku Abu Panton ini dapat menjadi pelengkap
penelitian Reid tersebut. Pasalnya, Reid hanya memantau asal mula konflik di
Aceh, tanpa solusi. Akan tetapi, Abu Panton mencoba memberikan resolusi
terhadap konflik yang terjadi. Karena itu, hemat saya, “Resolusi Konflik” Abu
Panton dapat menjadi pelengkap “Asal Mula Konflik Aceh” Anthony Reid.
Hal yang sangat mencuat dalam
“Resolusi Konflik” adalah mengenai suloh yang diadopsi dari bahasa Arab, al-shul,artinya perdamaian; penghentian
perselisihan; penghentian peperangan. Hal
ini menggambarkan betapa Abu Panton memang hendak mengupayakan sebuah resolusi
terhadap konflik di Aceh. Sejarah al-shul pun dikupas secara ekspositoris
sejak zaman Nabi Muhammad saw. hingga zaman kontemporer sekarang ini
(1999-2006) demi mempermudah pembaca memahami makna al-shultersebut (BAB DUA –
BAB LIMA).
Pola-pola penerapan suloh ditulis dengan bahasa bertutur
dengan menghadirkan tokoh dalam rentang waktu tertentu sehingga membacanya
seolah kita seperti membaca kisah tauladan para sahabat, ambiya, ulama, dan
orang-orang terpilih untuk diteladani. Gaya berkisah seperti ini, dengan bahasa
yang ringan dan mudah dicerna, akan meringankan pembaca dalam memahami setiap
makna yang hendak disampaikan. Hal tersebut menjadikan buku yang diberikan
pengantar oleh Muhammad Nazar, S.Ag., Gubernur Aceh, ini menjadi semakin
menarik untuk ditelisip.
Struktur dan Tens
Sekilas sudah dijelaskan
beberapa hal menyangkut isi (tens) buku ini. Struktur yang dibangun mulai zaman
sejarah hingga zaman pasca-MoU pun sudah diulas di atas. Adapun secara garis
besar, buku ini terbagi dalam tujuh
bab. BAB SATU mengulas
tentang konsep perdamaian dan Islam yang di dalamnya dideskripsikan tentang
pengertianal-shul dan
ajaran islam tentang perdamaian. BAB DUA berisi refleksi sirah nabawi sebagai ragam
praktik al-shuldi zaman
Rasulullah saw. BAB TIGA tentang refleksi sirah para sahabat nabi. BAB EMPAT
menelaah sekilas sejarah Aceh dan dinamikanya. BAB LIMA tentang peran ulama
dalam dinamika penyelesaian konflik pada rentang waktu 1999-2006. BAB ENAM
berisi tentang ishlah, akhir dri DI/TII. Terakhir, BAB
TUJUH memberikan gambaran tentang suloh
Aceh sebagai
kemaslahatan untuk kebersamaan. Bab terakhir inilah yang menjadi pelengkap
telaah tentang solusi konflik Aceh, sebab adat dan Islam dalam masyarakat Aceh
serupa tulang dan kulit, bunga dan kelopaknya, keduanya berkait erat dan tak
bisa dilepaskan. Hal ini tercermin dalam hadih maja “Hukôm ngon adat lagè
zat ngon sifeut”.
Kendati demikian, bukan berarti buku ini tak ada cacat.
Sebagai manusia biasa, kesalahan atau paling kecil kesilapan pasti ada. Kesalahan yang sangat menggangu adalah
pengulangan isi dan halaman. Hal ini terjadi pada halaman 129-146. Halaman yang
berisi sembilan lembar dengan ulasan yang sama itu terdapat dua kali (double).
Mungkin kesalahan ini ada pada tata letak atau semoga saja karena kesilapan
cetak (print out). Namun, kesalahan yang murni oleh si penulis adalah
pada penggunaansubhanahuwata’ala dan salallahu’alaihiwassalam saat menyingkat penulisannya. Seperti
diketahui, singkatan yang ditulis semua dengan huruf kapital adalah singkatan
yang huruf-huruf tersebut berupa huruf awal dari setiap kata yang hendak
disampaikan. Misalnya, AGAM: A=Angkatan; G=Gerakan; A=Aceh; M=Merdeka. Akan
tetapi,subhanahuwata’ala tidak
dapat disingkat dengan SWT (kapital semua), sebab S,W, dan T, tidak dapat
berdiri sebagai *Subhanu,
*Wa, dan *Ta’ala. Namun, ia
berupa satu kata sehingga jika disingkat dapat ditulis dengan swt. (lihat pedoman penulisan singkatan dan akronim). Demikian halnya
dengan salallahu’alaihiwassalam, disingkat saw.
Kesalahan penulisan singkatan
pada nama Allah dan Rasul-Nya ini memang lazim kita dapati. Karena itu,
memperbaikinya pada buku-buku yang diterbitkan baru adalah sangat baik guna
memberikan pendidikan kepada publik, seperti tujuan buku ini yang memberikan
pendidikan resolusi konflik kepada publik.
Saya juga mendapati
ketidakkonsistenan dalam buku ini, yakni seperti penulisan suloh. Ada yang ditulis suloh ada pula shulôh (halaman 152). Hal serupa juga
terjadi pada kata hukôm
kejröh, yang di
halaman lain ditulis hukom
keujroh (tanpa tanda
diakritik). Seharusnya, jika memang memakai diakritik, pakailah pada setiap
kosa kata Aceh yang menghendaki tanda tersebut. Sebalinya, jika memang tidak
mau menggunakan diakritik, jangan gunakan satu pun. Hal ini demi menjaga
kekonsistenan dalam menulis.
Selain itu, juga terdapat
kekeliruan pembubuhan tanda diakritik. Hal ini seperti pada halaman 153: Uleu beumatë rantëng bék patah, tatarëk
panyang, talingkang paneuk.Perlu diketahui bahwa untuk vokal [e] dalam
bahasa Aceh ada tanda grave
[è] untuk kata
seperti panè (mana/dari mana), lhèe (tiga), bèk (jangan), dan tanda aigu [é] untuk kata seperti lé (oleh), maté (mati), ranténg (ranting), dan lain-lain. Hal ini sesuai
dengan ilmu linguistik tentang kajian fonologi bahasa Aceh. Dengan demikian,
tulisah hadih maja di atas yang benar adalah Uleue beumaté ranténg bèk patah,
tatarék panyang, talingkang paneuk (Ular
harus mati ranting jangan patah, diurai akan panjang, disimpul akan pendek).
Memang belum kita temui
kesepakatan apakah bahasa Aceh harus memakai tanda diakritik atau tidak. Namun,
jika memang pada tulisan kita menggunakan tanda diakritik, semua kata yang
menghendaki tanda dimaksud harus pula digunakan.
Masih pada tulisan dalam
bahasa Aceh pada buku ini, tulisan uleue bukan uleu, sebab yang dipakai di sini
adalah vokal rangkap [eue]. Begitu pula pada kata peudeung, meulinteung, dan ureung (halaman 150), seharusnyapeudeueng,
meulinteueng, dan ureueng.
Terlepas dari semua itu, “Resolusi Konflik dalam Islam,
Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah” ini tetap dapat dijadikan
panduan, yakni panduan dalam mencari solusi terhadap konflik. Apalagi, buku
yang di dalamnya juga memuat firman dan hadis ini turut didampingi pendiri dan
pekerja Aceh Institute, menjadikan kita semakin yakin bahwa buku ini sudah
mengalami telaah mendalam.
Yang sangat patut kita
banggakan adalah si penulis, Abu Panton, merupakan seorang alumni dayah. Artinya,
kegemilangan Aceh atas keberhasilan pena ulama-ulama terdahulu seperti Syekh
Abduraruf as-Singkili, Ali Hasyimi, Nuruddin Ar-Raniry, akan kembali bersinar
di zaman sekarang ini, zaman serba konflik. Insya Allah jika ulama sudah mulai
menggenggam pena, Aceh akan kembali jaya. Amin!!! Itu makanya, saya menilai
buku ini ibarat secercah air di tanah tandus. Sudah kita dapatkkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar