Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

26 Mei 2012

Delapan Wasiet Iskandar Muda


WASIAT;
            ATJEH pernah dijuluki "seramoe mekkah", karena masyarakatnya religius, yang sangat mengenal nilai-nilai agama. Syariat Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan hidup sehari-hari. Keadaan itu pernah terealisir pada masa SULTAN ISKANDAR MUDA berkuasa (1016-1046 H atau 1607-1637 M).

            DENIS LOMBAT, seorang sejarawan Perancis melukiskan wajah Aceh pada zaman ISKANDAR MUDA sudah berjalan dengan baik, meliputi tertibnya administrasi keuangan dalam negeri, adanya perundang-undangan dan tata pemerintahan yang teratur, memiliki angkatan bersenjata, memiliki komitmen di bidang politik perdagangan dalam negeri dan antar-negara lain, memiliki hubungan diplomatik dengan negara asing, memiliki mata uang sendiri, memiliki kebudayaan yang bemafaskan Islam, kesenian dan kesusastraan, dan Iskandar Muda sendiri sebagai seorang Sultan yang agung dan sangat berwibawa serta bijaksana. 

            Era keemasan “zaman Aceh” seperti itu bukanlah dongengan belaka seperti diungkapkan snouck hugronjoe, “Zaman emas kerajaan Aceh, dalam waktu mana Hukum Islam berlaku atau Adat meukuta alam, boleh jadi dianggap sebagai landasan peraturan Kerajaan, nyatanya telah menjadi sebuah dongeng” (buku The Achehnese).
Pernyataan Snouck Hurgronje tersebut, telah pula dibantah oleh W.C.SMITH, seperti diungkapkan dalam bukunya Islam in modern history (1959;45). Menurut Smith, kerajaan Aceh Darussalam da1am abad ke XVI merupakan salah satu negara Islam yang memiliki peradaban dan dikenal dunia, setelah Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Isfahan dan Kerajaan Agra di Anak benua India.

Wasiat Iskandar Muda

            Menurut catatan sejarah, betapa indah dan damainya Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Seperti terungkap dalam delapan wasiat raja adil dan bijaksana;

            Pertama, hendaklah semua orang tanpa kecuali supaya selalu ingat kepada Allah dan memenuhi janji-Nya. Taushiah pertama ini tidak hanya diperuntukkan kepada rakyat semata, tetapi juga diberlakukan untuk semua wazir, hulubalang, pegawai kerajaan, bahkan untuk keluarga istana. Melalui wasiat ini telah mendorong tumbuhnya girah keagamaan dan syiar Islam di seluruh wilayah kerajaan Aceh Darussalam.

            Kedua, janganlah raja menghina para alim-ulama dan cendekiawan. Pesan kedua ini terutama ditujukan kepada raja (diri sendiri) sebelum ditujukan kepada rakyat. Ini mengandung filosofi, bahwa setiap pimpinan (kerajaan) tidak hanya pandai memberikan perintah, intruksi kepada orang lain, sedangkan untuk diri sendiri diabaikan. Pesan ini juga tercermin begitu baiknya hubungan umara (raja) dengan ulama dan pada masa itu. Ulama ditunjuk sebagai mufti kerajaan. Hal ini tidak terlepas dari pesan Rasulullah saw, “Ada dua golongan manusia, bila kedua golongan itu baik maka akan baiklah semua manusia. Dan bila keduanya tidak baik maka akan rusaklah kehidupan manusia ini, dua golongan itu ialah ulama dan umara”.

            Ketiga, Raja janganlah cepat percaya bila ada informasi atau berita disampaikan kepadanya. Wasiat ini ada berkorelasi dengan isyarat Alquran (al-Hujarat:6), agar setiap ada berita atau informasi yang belum jelas, supaya dilakukan investigasi kebenarannya. Tujuan supaya tidak menimbulkan fitnah antar sesama.

            Keempat, Raja hendaklah memperkuat pertahanan dan keamanan. Wasiat keempat ini merupakan hal yang penting, karena dengan kuatnya pertahanan negara, menjadikan negara itu berwibawa. Pertahanan keamanan negara ini tidak hanya ditujukan kepada prajurit-prajurit terlatih tetapi juga diserukan kepada rakyat untuk saling membantu bangsa, agama dan tanah airnya dari segala bentuk ancaman yang datang baik dari dalam maupun dari luar.

            Kelima, Raja wajib merakyat, dan sering turun ke desa melihat keadaan rakyatnya. Ini pesan yang sangat simpatik dan seperti itulah jiwa dari seorang khalifah, tidak hanya duduk dan berdiam di istana dengan segala kesenangan dan kemewahan, tapi semua itu justru digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Raja, tidak hanya ahli mendengar para pembisik dari wazir dan hulubalangnya, raja tidak hanya pandai menerima dan membaca laporan dari kurirnya, tetapi raja yang adil, arif dan bijaksana serta amanah menyaksikan langsung apa yang sedang terjadi dan dialami oleh penduduknya. Sifat semacam itu menjadi kebiasaan dari khalifah Umar bin Khattab saat beliau menjabat Khalifah. Raja sangat menghargai prestasi yang telah dibuat oleh rakyat, yang baik diberi penghargaan, sedangkan yang tidak baik diberi sanksi berupa teguran dan peringatan.

            Keenam, Raja dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan hukum Allah. Semua ketentuan Allah yang harus dijalankan termaktub dalam Qanun al-Asyi. Tentang sumber hukum dalam qanun al-asyi, dengan tegas dicantumkan, bahwa sumber hukum dari Kerajaan Aceh Darussalam, yaitu Alquran, al-Hadis Nabawi, Ijmak ulama, dan qiyas, hukum adat, qanun dan reusam.

            Islamisasi semua aspek kehidupan rakyat Aceh disimbolkan oleh sebuah hadih maja yang menjadi filsafat hidup, politik dan hukum bagi rakyat dan Kerajaan Aceh Darussalam. Bunyinya: "Adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana, hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut". Menyimak ungkapan tersebut, jelas sekali demikian kukuhnya pilar keislaman yang dilandasi syariat Islam kaffah di seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan ada riwayat yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda, pernah menghukum putranya sendiri karena melakukan perbuatan mesum dengan perempuan yang bukan isterinya.

            Ketujuh, Raja dilarang berhubungan dengan orang jahat. Pesan ini dipahami agar semua orang berkewajiban untuk menegakkan amar makruf dan membasmi segala bentuk kemungkaran. Kerajaan tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk melakukan segala bentuk kemaksiatan yang menjurus kepada kefasidan. Namun berkenaan dengan syiar keagamaan kerajaan memberikan dukungan sepenuhnya untuk dijalankan.

            Kedelapan, Raja wajib menjaga dan memelihara harta dan keselamatan rakyat dan dilarang bertindak zalim. Pesan ini dimaksudkan agar raja bertindak adil dalam semua aspek, dan tidak berlaku diskriminatif dalam penegakan hukum. Hak-hak rakyat dijaga, dan sama sekali tidak membebani rakyat dalam hal-hal yang tidak mampu dikerjakannya.

24 Mei 2012

Sultan Iskandar Muda Menjemput Tengku Japakeh


Penyerangan Kerajaan Aceh terhadap Semenanjung Malaya dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada, Tgk Japakah ikut serat di dalamnya.

Dalam Hikayat Sulthan Aceh Iskandar Muda diceritakan, setelah saran-saran dari Putroe Phang, Sulthan Iskandar Muda meninggalkan istananya. Ia berangkat diiringi para menteri dan uleebalang serta bala tentaranya. Mereka berjalan melalui darat dana akan naik kapal di Kuala Jambo Aye. Kapal-kapal perang menyusuri pantai mengikuti rombongan Sulthan Iskandar Muda. Armada perang itu dinamai Cakra Donya.
Sampai di Negeri Pidie rombongan beristirahat. Panglima Pidie berserta rajanya menyatakan dukungan dan bergabung dengan armada Cakara Donya. Dari Pidie mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Negeri Meureudu.

Hal yang sama juga diungkapkan H M Zainudidn dalam buku “Singa Atjeh” terbitan Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1957. Dalam buku setebal 198 halaman itu perjalanan Sulthan Iskandar Muda ke beberapa daerah untuk mengumpulkan kekuatan menyerang Johor dan Malaka. Dalam perjalanannya, Iskandar Muda memberi nama beberapa daerah yang dilaluinya.

Penyerangan terhadap Semenanjung Malaya itu akan dilakukan dengan Ghali, yakni kapal perang besar dan Djong (perahu) yang dibeli dengan keuntungan dari perniagaan lada. Untuk mengumpulkan bala tentara tambahan maka perjalanan ke daerah-daerah dilakukan.

Para pembesar negeri, ulama dan para panglima dikumpulkan untuk menyokong penyerangan tersebut. Sulthan juga melakukan pertemua dengan empat kepala kaum di Aceh yaitu, kaum imum peut, kaum tok batee, kaum lhee reutoh dan kaum ja sandang. Tujuannya, bersepakat untuk menyerang Portugis yang telah lama mengganggu Kerajaan Aceh dan Semenanjung Malaya.

Setelah empat kaum itu dipertemukan dalam sebuah pertemuan, para pemuda direkrut menjadi angkatan perang untuk menambah barisan tentara kerajaan. Sulthan juga mengirim surat rahasia kepada para panglima di pelosok-pelosok Aceh untuk menyiapkan pasukannya.
Ketika persiapan dengan pusat kerajaan sudah dirasa memadai, dilakukan kenduri besar bersama rakyat. Para panglima berpidato membakar semangat tentara kerajaan untuk menuju Semenanjung Malaya. Sulthan memerintahkan  angkatan lautnya untuk berangkat terlebih dahulu ke pesisir Timur dan berkumpul di Teluk Aru (Pulau Kampai) dan Asahan yang diiringi bersama oleh Panglima Deli.

Sementara Sulthan dan rombongannya mengambil jalan darat dengan menggunakan gajah. Sepanjang perjalanan ia mengumpulkan para prajurit dari setiap daerah yang sudah disiapkan oleh para panglimanya masing-masing. Sulthan Iskandar Muda ingin mengajak Panglima Pidie dan Panglima Meureudu untuk membantunya dalam misi tersebut.

Para panglima asal negeri Meurueudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak kalau sedang marah. Maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang mata hu su meutaga, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin dan konsekwen. Golongan dari merekalah yang banyak menjadi panglima.

Namun sikap yang mata hu su meutaga itu kadang juga muncul dalam kemarahan, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis ketika melawan musuh. Orang-orang yang mampu menjaga karakter itu pada tempatnyalah yang lebih banyak lulus sebagai perwira militer setingkat panglima di pusat pelatihan Raweu.

Pusdiklat Raweu itu dibangun oleh Tgk Japakeh, ulama besar di Negeri Meureudu yang diangkat sebagai penasehat kerajaan pada masa Sulthan Iskandar Muda memerintah Aceh. Kala itu Sulthan Iskandar Muda hendak menyerang Johor dan Malaka, ia bergerak menuju Negeri Meureudu untuk menjumpai Tgk Japakeh yang akan diangkat sebagai penasehat perang, ahli siasat militer.

Keberadaan Pusdiklat Raweu di Negeri Meureudu membuat Kerajaan Aceh begitu tergantung padanya. Untuk mengembangkan Pusdilkat Raweu menjadi pusat pelatihan yang lebih baik, Sulthan Aceh menjalin kerjasama dengan Turki. Malah Tgk Japakeh yang bernama asli Jalaluddin merupakan ulama dan diplomat yang memiliki garis keturunan dengan Bangsa Turki. Ia berasal dari Khoja Faqih Turki, namun orang-orang di Meureudu suka memanggilnya dengan nama yang singkat Japakeh yang bermakna Tgk Jalaluddin dari Faqih.

Ketika pertama datang ke Negeri Meureudu, Tgk Japakeh menetap di Raweu di lembah hulu sungai Meureudu, sekitar 40 kilometer arah selatan pusat pemerintahan Negeri Meureudu, yang berbatasan langsung dengan Aceh Barat. Sulthan Iskandar Muda datang ke Negeri Meureudu untuk menjemput Tgk Japakeh. Ia akan diangkat sebagai penasehat militer dalam misi perang menyerang Johor dan Malaka.

Tgk Japakeh bersama rakyat Raweu membawa hasil pertanian, turun ke pusat Negeri Meureudu untuk menyambut kedatangan Sulthan Iskandar Muda, tapi sampai pada waktu yang ditentukan, Raja Aceh itu tidak muncul. Tgk Japakeh memerintahkan masyarakat Raweu untuk kembali, sehingga ketika Sulthan Iskandar Muda tiba, tak ada yang menyambutnya.

Sulthan Iskandar Muda kemudian mengirim utusan ke Raweu untuk menjemput Tgk Japakeh. Rakyat Raweu pun kembali turun bersama Tgk Japakeh membawakan hasil pertanian sebagai persembahan bagi raja agung itu. Ia meminta maaf tentang hal itu. Namun Sulthan Iskandar Muda menolaknya, ia marah besar karena sudah seminggu berada di Meureudu tak ada yang menyambutnya.

Melihat Sulthan Iskandar Muda marah, maka Tgk Japakeh dengan bersuara lantang di hadapan raja memerintahkan kepada warga Raweu untuk mengambil kembali barang bawaannya. “Ambil kembali barang itu, mari kita kembali ke Raweu, tak perlu kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita. Raja yang ingkar janji yang datang tidak pada waktu yang dijanjikannya,”  perintah Tgk Japakeh.

Mendengar suara Tgk Japakeh yang bengis dan lantang itu, Sulthan Iskandar Muda menyadari kesalahannya. Ia membujuk Tgk Japakeh agar tidak kembali ke Raweu dan mau ikut dengannya sebagai penasehat militer untuk misi menyerang Johor dan Malaka.

Tgk Japakeh mengiyakan permintaan Sulthan Iskandar Muda tersebut dengan syarat, orang Meureudu harus diangkat menjadi panglima dalam perang tersebut. Ia merekomendasikan Tgk Chik Pante Geulima, yang setelah penyerangan ke Johor dan Malaka itu menulis hikayat Malem Dagang dengan 2.695 bait yang menceritakan kisah armada Iskandar Muda dalam perang tersebut.

Tgk Japakeh dan Malem Dagang memiliki watak keras, dua ulama Negeri Meureudu tersebut, yang berani bersikap lantang di hadapan Sulthan selama sikap yang diyakininya itu benar. Sebagaimana lantangnya Tgk Japakeh terhadap Sulthan Iskandar Muda.

Tgk Chik Pante Geulima lahir pada tahun 1839 di kampung Pante Geulima. Ia pernah belajar di Pusat Pendidikan Islam Dayah Pante Geulima yang dipimpin ayahnya sendiri Teungku Chik Ya’kub. Selain itu itu, ia juga pernah mengikuti pendidikan militer di pusat pelatihan Askar (tentara) Aceh, Makhad Baital Makdis di Raweu.
Makhad Baital Makdis Raweu

Tak sembarangan orang bisa masuk ke pusat pelatihan militer di Raweu. Komplek itu sangat tertutup dan dibentengi dengan hal-hal mistis. Gerbang pertama masuk ke sana di tandai dengan batee meuampe, batu besar sebagai gapura.

Batu gapura itu juga memiliki kisah mistis tersendiri. Masyarakat setempat meyakininya hal itu karena ada bekas rambut wanita yang tertinggal di batu itu. Alkisah, seorang wanita melarikan diri dari kampung halamannya, ia pergi ke hutan karena malu melahirkan anak yang cacat. Ia melahirkan di batu itu dan meninggalkan rambutnya di sana.

Batee meuampe, adalah wilayah yang sangat sakral di gerbang masuk ke Raweu. Siapapun yang masuk ke sana harus melakukan ritual adat masyarakat setempat sebagai simbol penghormatan. Biasanya hal-hal semacam itu dilakukan dengan bantuan pawang hutan, orang Aceh menyebutnya pawang uteuen. Alasannya, karena batu itu ada penjaganya, yakni seekor harimau.

Bukanlah hal yang mudah untuk masuk ke sana. Orang-orang yang dilatih di pusat pelatihan militer di situ merupakan orang-orang yang sudah siap secara lahiriah dan batiniah. Untuk masuk ke Raweu seseorang harus mengikuti ajaran yang berlaku di daerah itu yakni empat pantangan utama yang wajib dipatuhi; ujub, temeua, riya, teukabu. Niat buruk, tamak, riya dan takabur, empat hal yang tidak boleh dimiliki oleh para pelintas yang ingin menuju Raweu.
Bila salah satunya dari empat itu dimiliki, maka orang tersebut akan tersesat, bahkan dimangsa binatang buas. Tapi sebaliknya, bila bisa mampu menghilangkan empat hal itu, amanlah dia menuju Raweu. Warga sekitar Raweu memaklumi hal itu, mereka bebas berburu rusa dan kijang untuk santapan tanpa diganggu oleh harimau. Malah antara manusia dan harimau saling berbagi rezeki. Ketika pemburu berhasil menangkat rusa atau kijang, ia akan segera menyembelihnya agar tidak busuk ketika di bawa pulang. Isi perut binatang itu diletakkan begitu saja di tanah, beberapa langkah mereka pulang, harimau segera datang untuk memakannya.

Kali lain, ketika para pemburu tersesat, harimau pulalah yang menuntun mereka menuju jalan pulang. Harimau akan berdiri beberapa meter di depan para pemburu, mengaum keras kemudian meloncat dan berlari beberapa meter. Saat itulah para pemburu mengikutinya. Hal itu terus dilakukan raja rimba itu sampai berhasil menuntut para pemburu menuju jalan pulang.

Raweu merupakan daerah savana yang luasnya ribuan hektar, yang saban tahunnya binatang seisi rimba akan turun ke situ. Karena itu pula Raweu sangat cocok untuk kamp pelatihan militer. Tentara Kerajaan Aceh yang latihan di tempat itu akan sangat mudah mendapat makanan yang cukup kadar kalori dan gizinya. Raweu daerah yang kaya dengan binatang buruan yang kapan pun bisa diburu untuk makanan. Sementara untuk kebutuhan beras, di daerah utara Raweu terbentang sawah yang luas. Yang juga menjadi pusat logistik bagi Kerajaan Aceh. Karena itu pula Negeri Meureudu sangat diistimewakan oleh Kerajaan Aceh kala itu.

Ketika Sulthan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu merupakan negeri yang bebas dari aturan kerjaan. Hanya satu kewajiban Negeri Meureudu waktu itu, yakni menyediakan kebutuhan beras untuk Kerajaan Aceh. Keistimewaan itu tercantum dalam Qanun Al Asyi Adat Meukuta Alam yang merupakan undang-undang Kerajaan Aceh.

Sulthan Iskandar Muda tetap memberi perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu sebagai daerah istimewa. Ia membangun sebuah benteng di sana dan sebuah mesjid yang dikenal sebagai benteng dan mesjid Kuta Batee di pinggiran Krueng Meureudu.
Setelah Johor dan Malaka berhasil ditaklukkan, Sulthan Iskandar Muda mengangkat Tuengku Chik Di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Thaher yang bernama Muerah Ali Husein sebagai perpanjangan tangan Sulthan Aceh di Negeri Meureudu.

Sulthan Iskandar Muda juga memberi status sebagai negeri bebas bagi Negeri Meureudu. Rakyatnya diberi kebebasan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa bagi kerajaan Aceh yakni menyediakan beras sebagai makanan pokok. Selain itu tentu juga memberi perhatian yang khusus terhadap pusat pelatihan militer di Raweu.

Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah (1688-1699)


Setelah mangkatnya Sultanah Nurul Alam Zakiatuddin pada tahun 1688, terjadi perselisihan pendapat antara lembaga panglima tiga sagi dan Majelis Orang Kaya tentang keabsahan wanita menjadi sultanah. Isu ini sebenarnya telah diselesaikan dengan fatwa Syeikh Abdur Rauf Singkel pada zaman Sultanah Tajul Alam Safiatuddin tetapi dimunculkan kembali oleh pihak yang tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin menjadi Sultanah.

Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan rencana diangkatnya Zinatuddin sebagai Sultanah. Walaupun demikian, pada akhirnya ia tetap dilantik menjadi sultanah karena kekuasaan untuk mengangkat seseorang menjadi sultanah ada di tangan Lembaga Panglima Tiga Sagi dan kebetulan lembaga ini mendukungnya karena Zinatuddin masih adik Sultanah Zakiatuddin dan diangkat ia dianugerahi gelar Sultanah Zinatuddin Kamalat Syah.

Alasan Majelis Orang Kaya tidak setuju dengan diangkatnya Zinatuddin adalah: pertama karena menurut mereka Islam melarang perempuan menjadi pemimpin. Di antara hadis yang menjadi pegangan mereka adalah : Khasira qaumun allazina wallau umuurahum imraatan (al-hadis). Artinya :

Rugilah suatu kaum yang menyerahkan urusan publiknya kepada perempuan.

Seperti dijelaskan dalam hadis dan kedua berdasarkan fakta setelah dipimpin oleh tiga orang sultanah berturut-turut Aceh ternyata tidak bertambah jaya namun sebaliknya semakin mundur terbukti dengan banyaknya daerah bawahan yang melepaskan diri.

Di sisi lain, argumetasi Majelis Orang Kaya dipatahkan oleh Lembaga Panglima Tiga Sagi dan tetap mempertahankan Zinatuddin karena berdasarkan fakta bahwa di kalangan kerajaan Islam sebelumnya telah ada perempuan yang memerintah kerajaan dan tidak ada masalah dengan kerajaan yang mereka pimpin. Para perempuan yang pernah menjadi sultanah itu adalah Sultanah Syajaratul al-Daur yang memimpin kerajaan Mameluk di Mesir dan Sultanah Raziah di Delhi India dan bahkan pada zaman keemasan Pasai terdapat seorang ratu perempuan yang bernama Sultanah Nahrasiyah.

Majelis Orang Kaya tetap mencari celah agar Zinatuddin turun dan tahta kesultanan. Di antara upaya yang mereka lakukan untuk menurunkan dan tahta kesultanan itu adalah dengan minta fatwa ke Mekkah tentang boleh tidaknya seorang wanita menjadi sultanah. Setelah ditunggu beberapa lama, tibalah fatwa yang dinantikan. Mufti Mekkah ternyata mengeluarkan fatwa haram bagi wanita menjadi pemimpin. Fatwa ini memicu perdebatan antara ulama yang pro dan kontra dan akhirnya berimbas pada ruang politik dengan turunnya Zinatuddin dan tahta kesultanan.

Walaupun menurut peraturan yang ada, kekuasaan untuk mengangkat dan menurunkan sultan di tangan lembaga panglima tiga sagi, di era ini lembaga panglima tiga sagi tidak sekuat pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin karena pengaruh Panglima Polem dan 22 mukim tidak sebesar pengaruh kakeknya yang merupakan keturunan langsung dan Iskandar Muda walaupun bukan dan isteri pertama. Faktor lain adalah adanya desakan Majelis Orang Kaya yang semakin keras setelah dikeluarkannya fatwa haram dan Mufti Mekkah disamping fakta semakin lemahnya Aceh sejak lima puluh tahun diperintah oleh tiga pemimpin perempuan. Hal ini semakin memperkuat kedudukan pihak oposisi yang ingin menggulingkan Zinatuddin.

Kedudukan teritorial Aceh yang semakin lemah juga menjadi faktor mengapa Sultanah Zinatuddin harus lengser dan tahtanya. Banyak daerah di Sumatera yang melepaskan diri dari Aceh sejak Belanda menekan Aceh pada tahun 1667 di antaranya Sumatera Timur dan Barat.

Demikian juga memperlemah ekonomi dan perdagangan Aceh karena sejak Sumatera Timur dan Sumatera Barat lepas, mereka mengalihkan perdagangan komoditas penting seperti emas, lada dan timah melalui sungai Siak, Rokan, Kampar, dan Inderagiri ke pelabuhan di kawasan timur Sumatera dan selanjutnya di angkut melintasi Selat Malaka ke Sungai Ujong. Naning, dan Rembau di Semenanjung Melayu.

Sama dengan para pendahulunya. Sultan Kamalat Syah juga menerbitkan uang emas dengan tulisan Paduka Seri Sultanah Zinatuddin dan dibaliknya Kamalat Syah Berdaulat.

Apa yang dilakukan daerah Sumatera Timur dan Sumatera Barat juga dilakukan daerah Perak dan Kedah. Pengaruh Aceh di kedua daerah ini menjadi lemah dan lama-lama dikuasai orang-orang Bugis yang bersaing dengan Belanda.
Memburuknya keadaan ekonomi dan politik yang membuat rakyat Aceh tidak puas dengan Kamalat Syah plus fatwa mufti Mekkah yang mengharamkan pemimpin kerajaan perempuan mengharuskan Kamalat Syah turun tahta pada bulan Oktober 1699.

Setelah turun tahta, Kamalat Syah diganti oleh suaminya yang bernama Sayid Hasyim Jamalulail dan Hadramaut yang juga keturunan Rasulullah SAW Hadramaut. Setelah diangkat menjadi Sultan Aceh, Sayid Hasyim Jalamulail diberi gelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalulail. Karena ketika diangkat sudah uzur, Ia memerintah Aceh dalam waktu yang relatif singkat dan turun tahta pada tahun 1702 dan mangkat dua minggu setelah turun tahta pada tahun yang sama.

Struktur Militer Angkatan Perang Kerajaan Aceh Darussalam


Untuk mengenang kembali masa keemasan, kejayaan, dan kebesaran Kerajaan Aceh Darussalam dengan angkatan perangnya yang tangguh di darat dan laut, di bawah ini saya tampilkan gelar-gelar perwira di Departemen Pertahanan dan susunan pangkat mau pun jabatan angkatan perang zaman Kerajaan Aceh Darussalam, yang dikutip dari Kandar Aceh.

Balai Laksamana Amirul Harb

Menurut Qanun Meukuta Alam (Konstitusi Negara/Undang-undang Kerajaan Aceh Darussalam), di antara lembaga-lembaga negara tertinggi terdapat Balai Laksamana Amirul Harb (Departemen Pertahanan), dan pejabat tinggi yang memimpinnya bergelar Orangkaya Laksamana Wazirul Harb (Menteri Pertahanan) yang mengepalai Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Qanun (Balai Laksamana)
  1. Seri Bentara Laksamana
  2. Tandil Amirul Harb
  3. Tandil Kawal Laksamana
  4. Budjang Kawal Bentara Sijasah
  5. Budjang Laksamana
  6. Tandil Bentara Semasat
  7. Budjang Bentara Sidik
  8. Tandil Radja
  9. Budjang Radja
  10. Magat Seukawat
  11. Budjang Akijana
  12. Tandil Gapounara Sijasah

Pembangunan Angkatan Perang


Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M), pembangun Kerajaan Aceh Darussalam telah menetapkan empat dasar kebijakan negara, di antaranya: membangun Armada (Angkatan Laut) yang kuat.

Sultan Alaiddin Riayat Syah (1539-1572 M) yang lebih terkenal dengan Al Qahhar segera melanjutkan rencana Ali Mughayat Syah dengan membangun armada dan angkatan perang yang kuat, sekaligus menjalin kerjasama militer dengan negara Turkey Ottoman (Turki Usmani). Tenaga-tenaga ahli teknik untuk keperluan zeni didatangkan dari Turki, Arab, dan India. Turki sendiri mengirim 300 tenaga ahli yang dimaksud.

Sultan Iskandar Muda (Iskandar I, 1606-1636 M) yang mendasarkan kerjanya pada filsafat: siapa kuat hidup, siapa lemah, tenggelam terus memperkuat dan mempermodern angkatan perangnya darat dan laut.


Pangkat-Pangkat Militer Angkatan Perang Atjeh
  1. Si Pai (Prajurit)
  2. Tjut (Kopral)
  3. Banta Sedang (Sersan)
  4. Banta (Sersan Mayor)
  5. Banta Setia (Pembantu Letnan)
  6. Pang Tjut (Letnan II)
  7. Pang Muda (Letnan I)
  8. Pang (Kapten)
  9. Bentara Tjut ( Mayor)
  10. Bentara Muda (Letnan Kolonel)
  11. Bentara (Kolonel)
  12. Panglima Sukey (Brigadir Jenderal)
  13. Panglima Tjut (Mayor Jenderal)
  14. Panglima Muda (Letnan Jenderal)
  15. Panglima (Jenderal)
Buhon Angkatan (Pasukan Tentara)
  1. Sabat (Regu)
  2. Rakan (Peleton)
  3. Kawan (Kompi)
  4. Balang (Batalyon), Ulee Balang (Komandan Batalyon)
  5. Sukey (Resimen)
  6. Sagoe (Devisi)

Neumat Buet (Jabatan)
  1. Ulee (Komandan)
  2. Rama Setia (Ajudan)
  3. Keudjruen (Ajudan Jenderal)
  4. Keudjruen Panglima (Ajudan Panglima)
  5. Keudjruen Balang (Ajudan Batalyon)
  6. Peurintah (Komando)
  7. Adat (Staf)
  8. Tuha Adat (Kepala Staf)
  9. Adat Meuhad (Staf Khusus)
  10. Kaway (Petugas Penjagaan/Piket)

Adat Peurintah Sagoe (Staf Komando Devisi)
  1. Panglima Peurintah Sagoe (Panglima Devisi)
  2. Panglima Wakilah (Wakil Panglima)
  3. Bentara Rama Setia (Ajudan Kolenel)
  4. Pang Setia (Ajudan Kapten)
  5. Tuha Adat Peurintah (Kepala Staf Komando)
  6. Keudjreun (Staf Ajudan)
  7. Pang Muda Setia (Ajudan Letnan)
  8. Adat Samaindra (Staf Administrasi)
  9. Adat Seumasat (Staf Intelijen)
  10. Adat Peunaroe (Staf Operasi)
  11. Adat Seunaroe (Staf Logistik)
  12. Adat Meuhad (Staf Khusus)
  13. Bala Sidek Tantra (Korps Polisi Militer)
  14. Bala Tantra Rantoe (Tentara Lapangan/infanteri)
  15. Bala Utoh Pande (Korps Zeni Bangunan)
  16. Bala Surah Hanta (Korps Perhubungan)
  17. Bala Buleun Mirah (Korps Palang Merah)
  18. Bala Dapu Balee (Korps Perbekalan Barak)
  19. Balang Balee Raya (Batalyon Garnizun)
  20. Balang Meuriam Lila (Batalyon Alteleri)
  21. Kawan Bala Gajah (Batalyon Kaveleri)
  22. Mentara Tuha Adat (Kepala Staf)
  23. Ulee Adat (Perwira Staf)
  24. Ulee Bala (Kepala Korps)
  25. Ulee Kawan (Komandan Kompi)
  26. Ulee Balang (Komandan Batalyon, yang merangkap sebagai kepala pemerintahan sipil)
Demikian sekilas tentang struktur militer angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah terkenal berabad-abad yang silam.

Putroe Phang ( Puteri Pahang - Putroe Kamaliah )


            Pada abad ke-17 Kesultanan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengalami masa keemasan dan termasuk salah satu kekuatan adi daya di dunia khususnya di kawasan Selat Malaka.

            Di balik kesuksesan seorang laki-laki selalu ada orang perempuan di balik layar. Bagi Sultan Iskandar Muda, perempuan di balik layar itu adalah permaisurinya yang bernama Puteri Pahang yang dalam bahasa Aceh lebih dikenal dengan sebutan Putroe Phang.

            Perkenalan Sultan Iskandar dengan Puteri Pahang ini berawal ketika Aceh Darussalam berhasil menaklukkan Pahang. Bersamaan dengan itu, keluarga istana Pahang bersama sekitar 10.000 penduduknya berimigrasi ke Aceh untuk memperkuat pasukan Sultan Iskandar Muda.

            Sultan Iskandar Muda rupanya tertarik dengan seorang puteri dan Pahang yang bernama Puteri Kamaliah. Puteri Kamaliah kemudian dinikahi Sultan Iskandar Muda dan diangkat menjadi permaisurinya. Karena Puteri Kamaliah berasal dan Pahang, rakyat Aceh memanggilnya dengan Putroe Phang.

            Puteri Kamaliah masyhur karena cerdas dan bijaksana dalam memutuskan persoalan yang dihadapi masyarakat Aceh Darussalam. Pada suatu hari, terdapat kasus pembagian harta waris dengan dua ahli waris yakni seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Adapun harta yang menjadi objek pembagian adalah berupa sawah dan rumah. Diputuskan bahwa anak perempuan mendapatkan sawah sedangkan anak laki-lakinya mendapat rumah.

            Anak perempuan tersebut tidak menerima keputusan tersebut dan melakukan banding. Mendengar kasus tersebut, Putroe Phang langsung meresponnya dan membela perempuan tersebut dengan argumen bahwa wanita tidak mempunyai rumah dan tidak dapat tinggal di meunasa (mushola) sedangkan anak laki-laki dapat tinggal di musola. Oleh karena itu, yang layak menerima rumah adalah wanita sedangkan yang layak menerima sawah adalah anak laki-laki. Argumen Putroe Phang itu kemudian disetujui oleh Sultan Iskandar Muda.

            Sejak itu, Puteri Kamaliah yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai Putroe Phang itu menjadi rujukan dalam penyelesaian masalah hukum.

            Kerja sama Sultan Iskandar Muda yang gagah, berani, dan adil dengan Permaisuri Putroe Phang yang bijaksana dan selalu membela rakyat yang lemah terutama wanita dan kaum papah mengantarkan kejayaan Aceh menuju masa keemasan.

            Di samping Permaisuri Putroe Phang yang berkontribusi bagi pembangunan Aceh Darussalam, terdapat pula beberapa lembaga pemerintahan. Secara struktural, Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin eksekutif tertinggi yang dibantu beberapa pejabat tinggi. Mereka adalah Qadhi Malikul Adil dengan empat orang mufti di bawahnya, Menteri Dirham (keuangan), Baitul Mal yang dibawahnya ada Balai Furdhan (bea cukai).

            Di samping lembaga eksekutif terdapat pula lembaga musyawarah yang terdiri atas:
1.      Balairung Sari, terdiri atas empat anggota hulubalang
2.      Balal Gading, terdiri atas 22 ulama
3.      Balai Majelis Mahkamah Rakyat (Parlemen), terdiri atas 73 anggota yang mewakili setiap mukim (daerah), Aceh Darussalam dibagi atas 73 mukim.

        Balai Sari dan Balai Gading masih merupakan rumpun lembaga eksekutif sedangkan Balai Majelis Mahkamah Rakyat masuk dalam rumpun lembaga legislatif.

         Lembaga-lembaga ini secara resmi dibentuk pada tanggal 12 Rabiul Awal 1042 (1633) dan ditulis dalam suatu undang-undang yang disebut dengan Qanun Al-Asyi Darussalam.

         Perkawinan Sultan Iskandar Muda dengan Puteri Kamaliah dianugerahi seorang puteri yang bernama Puteri Sari Alam yang menikah dengan Sultan Iskandar Tsani dan setelah suaminya itu meninggal Puteri Sari Alam naik tahta menjadi Sultanah dengan gelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

          Sultan lskandar Tsani juga dikenal dengan Raja Mughal. Ia adalah putera dan Raja Ahmad Syah Pahang. yang termasuk keluarga Pahang yang dibawa Sultan Iskandar Muda ke Aceh. Nama asli Puteri Pahang adalah Puteri Jamilah (ada yang menyebut “Kamaliah”) yang juga terkenal dengan nama Putroe Phang. Menurut satu riwayat. perkawinan Puteri Pahang dengan Sultan Iskandar Muda berlangsung setelah melalui peristiwa yang sangat luar biasa.

            Pada suatu hari Sultan Pahang bersama Permaisurinya yang bernama Puteri Jamaliah (Putroe Phang) menghadap Sultan Iskandar Muda dan dalam pertemuan itu Sultan Pahang yang bernama Raja Abdullah (Raja Raden) menyatakan mengetahui niat suci Iskandar Muda menaklukan kerajaannya demi memperjuangkan agama dan menyingkirkan kawasan Melayu dan imperialis Barat dan untuk itu rela menceraikan istrinya untuk dinikahi Sultan Iskandar Muda.

         Setelah mendapatkan persetujuan dan keluarga permaisuri Puteri Sendi Ratna Indra (permaisuri pertama). Sultan Iskandar Muda bercerai dengan Puteri Sendi Ratna Indra. Setelah masing-masing istri menyelesaikan masa iddahnya, Sultan Iskandar menikah dengan Puteri Jamaliah dan Raja Abdullah menikah dengan Puteri Sendi Ratna lndra.

       Bukti cinta Sultan Iskandar Muda terhadap Putroe Phang adalah bangunan Gunongan. Bangunan ini dibangun untuk membuktikan cintanya kepada Putroe Phang.

            Putroe Phang sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan penyusunan undang-undang kerajaan sampai-sampai lahir semboyan:

Adat bak Poeu Meureuhom
Hukum bak Syiah Kuala
Qanun bak Putroe Phang
Reusam bak Bentara

Artinya:

Adat dari Marhum Mahkota Alam
Hukum dan Syiah Kuala
Qanun dan Puteri Pahang
Resam dan Bentara (‘uleebalang)

Adat meukoh reubung
Hukum Meukoh purih
Adatjeutabarangho takong
Hukum hanjuet barangho takih

Artinya:
Adat dapat dipotong seperti memotong rebung
Hukum seperti memotong sagak (hujung buluh keras)
Hukum tak dapat diatur dengan semena-mena
(melainkan wajib didasarkan Quran dan Hadis)

            Ketika Putri Phang mangkat, upacaranya dilakukan dengan megah dan khidmat. Kain jendela dan tirai Istana Keraton Darud Dunia diganti dengan kain warna hitam. Upacara pelepasan dilaksanakan dengan khidmat seperti dilukiskan oleh Muhammad Junus Djamil sebagai berikut:

            “Ketika jenazah diturunkan dan Istana, Sultan Iskandar Muda turun di depan, didampingi dua bentara keraton yang berpakaian serba hitam berselempang merah. Yang di sebelah kanan memegang pedang terhunus bersandar di bahu kanannya dan yang disebelah kirinya memegang payung hitam terbuka yang disebut Payoong panyang-go. Di Mideuen (halaman istana) telah siap segenap barisan dan setelah berhenti sejenak tampil ke muka bentara Keujruen Tandil Keraton Darud Dunia (Tandil Mujahid Chik Seri Dewa Purba) untuk mengucap berita duka dan memohon doa selamat kepada Allah SWT serta selawat kepada Nabi Muhammad SAW.

            Keranda jenazah yang berhias serba indah dengan hiasan keemasan dan permata diletakkan di atas tandu keemasan yang berbentuk segitiga. Masing-masing ujung segitiga dipikul oleh tiga pembesar dan tiga dewan negara, yaitu dewan Mong-mong Angkatan Laut, Angkatan Darat. Didepan sekali berdiri Ketua Dewan Mufti empat (Khuja Madinah) yang lebih terkenal dengan Khuja Pakeh yang berpakaian serba putih (sorban dan jubah) dengan tongkat di tangan kanannya. Di belakangnya diikuti dua pembesar negara Perdana Menteri Seri Ratna Bijaya Sang Raja Meukuta Dilamcaya yang bernama Orang Kaya Seri Maharaja Laila dan Qodli Malikul Adil, keduanya memegang jambangan air mawar yang dibuat dari emas berhias permata. Di belakang mereka, dua orang Bentara yang membawa jambangan teurapan-geutanggi yang mengeluarkan asap dari pembakaran ramuan-ramuan setanggi yang harum semerbak baunya.

            Di sebelah kanan keranda (peti jenazah) berdiri Laksamana Meurah Ganti yang berpakaian serba hitam, berselimpang merah serta pedang yang terhunus bersandar di bahunya. Di sebelah kiri berdiri Bentara Tandil (Datuk Bendahara Muhammad Tun Sari Lanang) yang mengembangkan payung kuning keemasan yang berumbai mutiara ke atas keranda dan beliau juga berpakaian hitam dan teungkulook leumbayung di kepalanya, serta berselempang merah. Di bagian belakang jenazah (diantara dua cabang tandu) berdiri Seri Sultan Iskandar Muda yang diikuti di belakangnya sebelah kanan oleh Putera Mahkota (Poteu Cut) dan di belakang sebelah kiri adalah menantu beliau, Pangeran Husain Mughayat Syah bin Sultan Ahmad Perak. Di belakangnya barulah barisan menteri-menteri dan raja-raja serta iringan yang berjumlah ratusan mengikuti di belakang mereka.

            Setelah selesai ucapan berita duka barisan bergerak menuju Masjid Raya Baiturrahman dan setelah selesai upacara shalat jenazah, jenazah kembali ke Kraton Darud Dunia dan terus menuju ke pemakaman raja-raja/Sultan. Keranda jenazah dibawa masuk ke dalam makam lalu dilaksanakan upacara pemakaman. Yang turun ke dalam liang lahat adalah Laksamana Meurah Ganti dan Datuk Bendahara Muhammad Tun Seri Lanang (Bentara Tandil Samalanga). Ke dalam Keranda ditungkanlah emas urai (pasir tanah) sekitar tubuh jenazah Putroe Pahang, keranda (peti mati) ditutup lalu di timbun dengan tanah sebagaimana biasa dan acara pemakaman selesai.