Oleh: Widia
Munira
Nahdhatul Ulama
Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama
atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan
bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Gerakan yang muncul 1908
tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang
terus menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan
dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah
berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Peperangan
Belanda dengan Tuanku Imam Bonjol (1821-1837) membuat Belanda menyadari bahwa
gerakan pemurnian (Pembaharuan Islam) merupakan gerakan yang membahayakan bagi kedudukan
Belanda di tanah air maka Belanda perlu memberi sokongan kepada organisasi yang
menentang gerakan ini. Deliar Noer seorang penulis “Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1900-1942” memberikan catatan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi
yang didirikan Belanda, sekurang-kurangnya sebagai organisasi yang disokong
Belanda dalam melawan golongan pemurnian
(pembaharu) atau dikenal dengan golongan anti bid’ah, khurafat, takhayul, dan
kemusyrikan. Lihat umpamanya Oemar Amin Hoesin, “Sedjarah Perkembangan
Politik Moderen di Indonesia, “ Hikmah, tahun VIII, No. Lebaran 20/21 (1955).
Hoesin menyebut kahadiran Charles van der Plas pada Kongres al-Islam di Cirebon
tahun 1922 sebagai bukti tuduhan tersebut. Penulis buku ini (Deliar Noer, pen)
berpendapat bahwa kehadiran seorang pejabat seperti itu pada suatu kongres,
Islam atau bukan Islam, merupakan suatu hal yang biasa semenjak masa permulaan
Sarekat Islam. Tentang tuduhan ini, lihat juga Hindia Baru, 19 Februari 1926.
Latar Belakang Terbentuknya NU
Karel A. Steenbrink (peneliti Belanda) menulis seputar
berdirinya NU sebagai berikut. Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan
oleh pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan
pemerintahannya Republik Turki, diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama
sekulerisasi adalah penghapusan Islam sebagai agama resmi negara, kedua
penghapusan lembaga kesultanan, dan berikutnya penghapusan kekhalifahan,
menyusul digantinya syari’at Islam dengan hukum positif ala Barat. Lalu
digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat
Turki, terutama aparat pemerintah, harus menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan
ibadah harus menggunakan bahasa Turki, namun tidak berlangsung lama, karena
protes datang dari berbagai ulama di dalam maupun luar negeri.
Kemudian di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan
dengan penghapusan khalifah di Turki. Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang
nantinya mendirikan NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh
yang masuk persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana
panitia ini untuk menghadiri muktamar dunia Islam tertunda, karena terjadi
peperangan Wahabi di Saudi Arabia. Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut
terlaksana meski dalam bentuk yang berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab
Hasbulah mengundurkan diri dari kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan
dia tidak jadi dikirim sebagai utusan karena pengetahuan bahasa yang kurang, di
samping pengalaman dunia yang tidak cukup luas. Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya:
“Abdul
Wahab Hasbullah kemudian membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite
merembuk Hijaz.” Bermula dari komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926
didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul
Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari
kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi
organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Tiga tahun kemudian Wahab
Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan
persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab
Syafi’i.
Pada saat
itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu keras dan memahami
keinginan NU tersebut. Persepsi yang hampir sama ditulis pula oleh peneliti
Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA seperti yang ia tulis: “Pada tanggal
31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di bawah pimpinan Syaikh
Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi
terhadap gerakan pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan
lain-lain. Usahanya antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah
satu dari keempat mazhab fiqh. Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan
sejak itu resmi menjadi Partai Politik Islam.
Dr. Deliar Noer Menulis, Menurutnya, penghapusan
kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya,
yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu khilafat baru. Masyarakat Islam
Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban
memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud
mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan sebagai sambutan
atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober
1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari
Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah.
Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924
antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri
dari Surjopranoto (Saerkat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA
Wahab dari kalangan tradisi. Tetapi kongres di Kairo itu ditunda karena
peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar bagi negeri Arab ini
untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain meminta panitia
bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan tentang
konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di samping itu
Mesir juga menghadapi pemilihan umum.
Umat Islam
di Jawa tertarik pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil
mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini
pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek beragama yang tidak sesuai dengan
ajaran islam (praktik Bid’ah, syirik dan Khurafat). Namum ia tidak melarang pelajaran mazhab di
Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di
Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak.
Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia
untuk menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta
(21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6 Februari
1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan pembaharu Islam.
Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara organisasi-organisasi
pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926) telah memutuskan untuk
mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji Mas Mansur dari
Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.
Tujuan dan Usaha NU
v Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut
paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
v Usaha Organisasi
a. Di
bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan
yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b. Di
bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan
luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang
bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c. Di
bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang
sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d. Di
bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai
dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu
masyarakat.
e. Mengembangkan
usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan
menjadi yang terbaik bagi masyarakat.
Perkembangan NU
Perkembangan kontemporer pemikiran
keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik,
terutama yang digalang kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan
progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional
yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai
khazanah modern.
Kalangan pesantren
merespon spirit ini dengan membentuk berbagai organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, Taswirul Afkar atau
dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) pada 1918 yang
bergerak di bidang pendidikan sosial politik, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan
Kaum Saudagar) yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. NU memang
dikenal sebagai organisasi Muslim tradisional dan sejak awal anggotanya adalah
laki-laki. Namun demikian, pemimpin NU sejak awal telah merespon isu-isu
perempuan secara progresif. KH. Wahid Hasyim yang merupakan putera KH. Hasyim
Asy’ari misalnya pernah membolehkan perempuan menjadi seorang hakim. Isu
perempuan semakin mendapatkan perhatian ketika Kiai Dahlan mengusulkan
berdirinya organisasi perempuan NU di Kongres NU ke XIII di Menes Banten pada
tanggal 11-16 Juni 1938.
Kongres ini sangat penting
karena mulai membicarakan tentang perlunya perempuan mendapatkan kesamaan hak
untuk mendapatkan didikan agama melalui NU. Ketika itu kongres baru menyetujui
perempuan untuk menjadi anggota NU yang hanya bisa
menjadi pendengar dan pengikut dan tidak boleh duduk dalam kepengurusan.
Perkembangan penting kembali terjadi pada kongres NU ke XV di Surabaya pada tanggal 5-9 Desember 1940. Ketika itu,
terjadi perdebatan sengit merespon usulan agar anggota perempuan NU mempunyai
struktur pengurusnya sendiri di dalam NU. Kiai Dahlan termasuk mereka yang
gigih memperjuangkan agar usulan tersebut diterima. Hingga sehari sebelum
kongres berakhir, peserta tidak mampu memutuskan hingga akhirnya disepakati
untuk menyerahkan keputusan akhirnya pada Pengurus Besar Syariah NU. Kesempatan
ini dimanfaatkan oleh Kiai Dahlan untuk mendapatkan persetujuan secara tertulis
dari KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah. Setelah didapatkan, maka
peserta kongres pun dengan mudah menyetujui perlunya anggota perempuan NU untuk
memiliki struktur kepengurusannya sendiri di dalam NU.
Mereka tidak hanya concern dengan
modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga
melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan
tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga
melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan
dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri
seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran
kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif
dibanding seniornya dalam menghadapi modernitas.
Komunitas NU dikenal sebagai
masyarakat “tradisional”. Tradisionalisme itu di satu pihak merupakan hambatan
perkembangan NU, di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal
sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apa pun upaya yang dilakukan
untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri.
Tradisionalisme itu biasanya ditandai beberapa hal. Pertama,
komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meski belakangan terjadi
mobilitas vertikal di kalangan elite pedesaan ini, terutama kalangan muda NU
terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi mulai menjadi
agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap
tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan
adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih bersifat defensif
terhadap modernitas.
Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA
Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul
agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti
dalail al-khairat. Ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru
dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah.
Kongres di Bandung itu tidak menyambut baik usul-usul (Wahab
Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga orang penyokongnya keluar dari Komite
Khilafat tersebut di atas. Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk
mengadakan rapat-rapat kalangan ulama Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya,
kemudian juga dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk
mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang
diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari
1926. Rapat ini masih tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran
utama.
Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan
untuk mengirim dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan
pendapat organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada
raja tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta
memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji
Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang
Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:
1. Tidak melarang kepada siapapun orang
yang menjalankan mazhab Syafi’i.
2. Melarang atau sehingga menyiksa
barang siapa yang mengganggu atau menghalang-halangi perjalanannya mazhab
Syafi’i.
3. Menetap adakan angkatan ziarah ke
Medinah al-Munawarah dan ziarah di beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas
mereka itu.
4. Tidak mengganggu orang yang
menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau
Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.
5. Memelihara qubur Rasulullah saw
sebagaimana yang sudah-sudah.
6. Jangan sampai merusak qubah-qubahnya
syuhada…dan qubahnya aulia atau ulama…
7. Mengadakan tarif biaya barang-barang
atau orang-orang yang masuk pada pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya
orang haji mulai Jeddah terus Madinah…
8. Melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah
turun (datang) ke Tanah Jawa perlu mencari jama’ah haji sebab jalan yang
demikian itu menghilangkan kehebatan Tanah Mekah dan kemudian umumnya
orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya ongkos-ongkos…., lebih utama dalam
pemerintahan mengadakan satu Komite pengurus haji di Mekkah).
Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan
perantaraan Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat
berangkat karena terlambat memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul
Ulama mengawatkan isi keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan
tambahan permintaan agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam
undang-undang Hijaz.
Tak lama
sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September 1926 (kongres
ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di Mekkah), Nahdlatul
Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres tersebut serta terhadap
pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi
ini (NU) malah menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta
penguasanya di Tanah Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik
haji.
Pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke
Mekkah. Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab
dan Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai
perutusan mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah
di Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di
Pulau itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni
1928 mereka diterima oleh Raja Ibnu Sa’ud. Pada kesempatan ini kedua utusan
tersebut juga meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz.
Mereka mohon jawaban terhadap seruan mereka.
Dalam
jawabannya, berupa surat, Raja Ibnu Sa’ud mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz
memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan
memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar
ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan
poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah
mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan
tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang
saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat. Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU.
Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz,
maka hal itu merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan
Pemerintah dalam hal itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala
kemudahan bagi jemaah haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun
untuk melakukan amal baik yang sesuai dengan Syari’at Islam. Adapun yang
berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan suatu
kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan mereka,
kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang
menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf
Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab.
Segala hal yang sesuai dengan ketentuan tersebut, kami
lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang menyelisihinya, maka tidak
boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Maha Pencipta. Tujuan
kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah. Alhamdulillah
kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai dari Sahabat
Nabi hingga Imam empat Mazhab. Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq
kepada kita semua ke jalan kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah
yang perlu kami jelaskan. Semoga Allah melindungi saudara semua. Tanda tangan
dan stempel.
Demikianlah
surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni 1928, 24 Dzulhijjah
1346 H. Usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia agar tetap dibolehkan membaca
dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang NU di antaranya do’a-do’a
dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula dzikir-dzikir aneka aliran
thariqat/ tarekat), Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena
mengandung bid’ah dan kemusyrikan Dalam
sejarahnya Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara
organisasi, telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan membaca Kitab
Dalail al-Khairat.
Perjuangan mereka itu bukan hanya di Indonesia di depan
kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi dengan jalan
mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan dari kitab
karangan orang mistik/shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu. Raja Saudi tidak
menjawabnya secara khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu. Ternyata balasan
surat Raja Saudi, telah diputar balikkan sedemikian rupa yang seolah misi NU
itu sukses dalam hal direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU mau. Hingga
surat Raja Saudi itu seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh
ulama Saudi disebut sebagai bid’ah dan kemusyrikan.
Apa yang
disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid,
didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus
Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Ahlus Sunnah wal Jama’ah Versi NU
sendiri yaitu memperjuangkan lestarinya tradisi mereka di antaranya yang telah
diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam negeri tetapi sampai di Saudi
Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya
model NU di antaranya tarekat-tarekat.
Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi
mengecam amalan-amalan yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang
termasuk bid’ah dan kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi
adalah sebaliknya. Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat
penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin
sedemikian rupa (bahwa misi utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas
untuk mengamalkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin
dikembangkan dan dikokohkan secara organisatoris dalam NU.
Pergeseran NU
Basis pendukung NU ini mengalami
pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka
penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri.
Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka
saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan
terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas,
sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan
ini NU sudah memiliki sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu
selain dari ilmu ke-Islam-an baik dan dalam maupun luar negeri, termasuk
negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimanfaatkan
secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
NU di kabupaten Temanggung bermula
dan para pengikut Toriqoh Naqshabandiyah yang berpusat di Sokaraja Banyumas.
Kebetulan Temanggung termasuk wilayah Banyumas konsul yang diketuai oleh Raden
Muhtar. Kota Parakan mulanya dijadikan badal mengingat cabang toriqoh Sukaraja
berpusat di Parakan.
Kesimpulan
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama
atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam
yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan
bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Keterbelakangan baik secara
mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun
akibat dungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”.
Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi
sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai
jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. NU ini
mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan
industrialisasi.
Apa yang
disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya
sendiri. Sebagaimana pengakuan
Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk wadah berorganisasi dan
mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri. Ahlus
Sunnah wal Jama’ah Versi NU sendiri yaitu memperjuangkan lestarinya tradisi
mereka di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di
dalam negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail
Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat.
Daftar Pustaka
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional Dari Budi Utomo
Sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Suryanegara
Mansur Ahmad. 2009. Api Sejarah.
Bandung: PT Salamadani Pustaka Semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar