Oleh Nab Bahani As
Dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia tercatat, bahwa berdirinya Budi Utomo selain awal
dari kebangkitan nasionalisme modern bangsa Indonesia, juga bercita-cita untuk
menyatukan seluruh rakyat Indonesia --dari 134 suku yang mendiami kepulauan
Nusantara dari Sabang sampai Merauke-- dalam satu semangat kebangsaan nasional,
yang puncaknya kemudian lahir Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dengan pengakuan
pemuda-pemuda Indonesia sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
sebagai wujud nasionalisme Indonesia yang lebih nyata.
Akar
nasionalisme bangsa Indoneseia sebenarnya telah tumbuh jauh sebelum Budi Utomo
didirikan. Semangat nasionalisme di Nusantara telah pernah dibangun oleh
kerajaan Sriwijaya pada abad VI yang menguasai hampir seluruh daerah di
Sumatera dan semenanjung Malaka. Hubungan Sriwijaya kala itu telah mencapai
hampir seluruh wilayah Nusantara dan wilayah-wilayah Asia, seperti India,
Tiongkok, Arab dan Srilangka. Namun keinginan untuk mempersatukan
wilayah-wilayah di Nusantara pada abad XIII kandas seiring dengan runtuhnya
Kerajaan Sriwijaya.
Maka akar
kebangkitan nasionalisme tahap pertama di Nusantara pun tenggelam bersama
lenyapnya kebesaran kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Setelah itu bangkit pula
nasionalisme kedua di Nusantara yang dipelopori kerajaan Majapahit pada abad
XIII. Majapahit berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan dari Tiongkok sebagai
wujud anti kekuatan asing di Nusantara. Patih Gajah Mada saat itu sudah
mencita-citkan untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara dalam suatu
kejayaan Majapahit.
Nasionalisme
ke-Acehan
Sayangnya,
dalam sejarah kebangkitan nasionalisme ini, baik dari abad klasik maupun dalam
abat modern saat ini, peranan Aceh seperti terlupakan dalam sejarah nasional
bangsa. Padahal akar nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai
tumbuh sejak abad ke-15 M, pada saat Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukan
kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu kedaulatan kerajaan Aceh
Darussalam. Secara historis, dalam kronologis sejarah akar kebangkitan
nasionalisme yang terjadi di kerajaan Aceh ini boleh dikatakan sebagai
kebangkitan nasionalisme ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit di Nusantara.
Rasa
kesatuan yang dibangun Aceh saat itu tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi
juga Pahang dan tanah Melayu lainnya tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di
bawah kepemimpinan seorang Sultan. Jadi, rasa nasionalisme kebangsaan ini telah
tumbuh dalam diri masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Hal ini boleh
jadi karena pada saat itu semua wilayah-wilayah di Aceh sedang menghadapi
serangan Portugis yang ingin menguasai Aceh.
Maka ketika
Sulthan Ali Mughayat Syah mempersatukan Aceh dalam satu Kesultanan Aceh
Darussalam, meski di satu sisi mendapat tantangan dari wilayah-wilayah yang
ditaklukkan, tapi di sisi lainnya kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh saat itu,
seperti Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Pedir, Kerajaan Lingge dan Kerajaan
Lamno Daya, dengan sendirinya harus berintegrasi dalam kedaulatan Aceh Darussalam
untuk mempersatukan kekuatan menghadapi Portugis yang ingin mengusai Aceh.
Itulah akar
dari sejarah terbentuknya rasa kebangsaan dan nasionalisme orang Aceh dalam
mempertahankan keutuhan wilayahnya dari serangan bangsa asing. Dari sini pula
kemudian Aceh berhasil membangun sebuah peradaban yang gemilang pada abad ke-16
hingga akhir abad 17, di mana Aceh digolongkan dalam lima besar kemajuan
peradaban Islam di dunia, yang masing-masing berpusat di kerajaan Islam Maroko
Afrika Utara, Turki Usmani di Asia Kecil, Kerajaan Islam di Agra dan Isfahan di
Anak benua India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.
Jiwa nasionalisme yang tertaman dalam diri orang Aceh,
ternyata tidak hanya telah berhasil membangun Aceh dalam satu peradaban yang
menggumkan. Akan tetapi semangat nasionalisme itu kembali diperlihatkan dalam
sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial
Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat Aceh rela berkorban jiwa raga,
terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia hingga ke luar Aceh seperti
yang kita kenal dengan perang Medan Area.
Nafas
Terakhir Indonesia
Kita tidak
ingin mengungkit cerita lama dari rasa kebangsaan dan sifat nasionalisme orang
Aceh terhadap terhadap republik ini. Tapi sejarah tak dapat dibohongi,
sekiranya Radio Rimba Raya tidak dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya
radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, yaitu wilayah
Aceh. Sementara semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah
berhasil diduduki kembali oleh Belanda dalam agresi kedua.
Tidaklah
berlebihan bila ada yang mengatakan jika “Aceh adalah nafas terakhir
Indonesia”. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa jika Aceh tidak ada
kala itu mungkin “Indonesia telah tamat riwayatnya”.
Mungkin inilah
yang dimaksud Nurcholis Madjid dalam tulisan pengantar buku Tragedi Anak Bangsa
(2001). Nurcholis menulis:
“Sesungguhnya
ada segi lain yang jauh lebih asasi tentang Aceh, yang membuatnya benar-benar
daerah modal bagi seluruh Nusantara. Mungkin akan terdengar impistik jika
dikatakan bahwa Indonesia atau Keindonesiaan tidak akan mungkin ada seandainya
tidak ada Aceh. Justru itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Aceh
adalah “nafas terakhir Inonesia”.
Tidaklah
salah bila H.M Amien Rais (1999) pernah mengatakan:
“Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai
salah satu daerah pemegang saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai
pemegang saham terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang
seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun
ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: Innalillahi wa inna
ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.”
Apa yang
dilihat Nurcholis Madjid dan Amien Rais terhadap Aceh mungkin baru sepenggal
dari sejarah rasa nasionalisme masyarakat Aceh terhadap Indonesia. Belum lagi
cerita pesawat Seulawah 01 dan Seulawah 02 yang disumbangkan rakyat Aceh kepada
Republik. Demikian pula bagaimana rakyat Aceh membiayai tokoh-tokoh republik
ini pada awal-awal kemerdekaan, pada saat Indonesia belum punya uang untuk
modal melobi dan mencari dukungan luar negeri.
Tak dapat
dibohongi
Ini sejarah
yang harus diketahui oleh anak bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme
berbangsa dan bernegara bahwa betapa besar rasa kebangsaan dan nasionalisme
yang dimiliki masyarakat Aceh terhadap Indonesia.
Nasionalisme
Aceh terhadap bangsa tidak hanya berhenti sampai di situ. Berapa banyak hasil
alam Aceh yang disumbangkan kepada negara, yang setiap tahunnya Aceh tidak
kurang dari Rp 30 triliun menyumbangkan hasil alamnya untuk negara selama
hampir 30 tahun (Majalah Nangggoe2007). Apakah itu belum cukup sebagai bukti
betapa besarnya rasa nasionalisme ureung Aceh terhadap Republik ini.Semua itu
adalah fakta sejarah yang harus ditulis ulang dalam sejarah nasional Indonesia,
agar generasi bangsa dapat mengetahui bagaimana rasa kebangsaan dan rasa
ke-Indonesia-an rakyat Aceh terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karenanya, Emha Ainun Nadjib (1992) dalam sebuah puisinya menulis:
Indonesia berhutang budi padamu,
Aceh
Indonesia berterimakasih padamu,
Aceh
Indonesia menundukkan muka dan
berkata :
“Aceh tak perlu kau banggakan dirimu
/
Sebab akulah Indonesia yang wajib
bangga atas pengorbananmu”.
Emha Ainun
Nadjib (1992)
Penulis adalah : Nab Bahani As, Budayawan
tinggal di Banda Aceh.
Nasionalisme 'Ureung Aceh' dan Nafas Terakhir
indonesia | Serambi.
Sumber:
Atjeh Cyber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar