28 November 2013

Nafas Terakhir Indonesia

Oleh Nab Bahani As
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia tercatat, bahwa berdirinya Budi Utomo selain awal dari kebangkitan nasionalisme modern bangsa Indonesia, juga bercita-cita untuk menyatukan seluruh rakyat Indonesia --dari 134 suku yang mendiami kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke-- dalam satu semangat kebangsaan nasional, yang puncaknya kemudian lahir Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dengan pengakuan pemuda-pemuda Indonesia sebagai satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa sebagai wujud nasionalisme Indonesia yang lebih nyata.

Akar nasionalisme bangsa Indoneseia sebenarnya telah tumbuh jauh sebelum Budi Utomo didirikan. Semangat nasionalisme di Nusantara telah pernah dibangun oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VI yang menguasai hampir seluruh daerah di Sumatera dan semenanjung Malaka. Hubungan Sriwijaya kala itu telah mencapai hampir seluruh wilayah Nusantara dan wilayah-wilayah Asia, seperti India, Tiongkok, Arab dan Srilangka. Namun keinginan untuk mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara pada abad XIII kandas seiring dengan runtuhnya Kerajaan Sriwijaya.
Maka akar kebangkitan nasionalisme tahap pertama di Nusantara pun tenggelam bersama lenyapnya kebesaran kerajaan Sriwijaya di Sumatra. Setelah itu bangkit pula nasionalisme kedua di Nusantara yang dipelopori kerajaan Majapahit pada abad XIII. Majapahit berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan dari Tiongkok sebagai wujud anti kekuatan asing di Nusantara. Patih Gajah Mada saat itu sudah mencita-citkan untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara dalam suatu kejayaan Majapahit.

Nasionalisme ke-Acehan

Sayangnya, dalam sejarah kebangkitan nasionalisme ini, baik dari abad klasik maupun dalam abat modern saat ini, peranan Aceh seperti terlupakan dalam sejarah nasional bangsa. Padahal akar nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai tumbuh sejak abad ke-15 M, pada saat Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, dalam kronologis sejarah akar kebangkitan nasionalisme yang terjadi di kerajaan Aceh ini boleh dikatakan sebagai kebangkitan nasionalisme ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit di Nusantara.


Rasa kesatuan yang dibangun Aceh saat itu tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi juga Pahang dan tanah Melayu lainnya tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan seorang Sultan. Jadi, rasa nasionalisme kebangsaan ini telah tumbuh dalam diri masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Hal ini boleh jadi karena pada saat itu semua wilayah-wilayah di Aceh sedang menghadapi serangan Portugis yang ingin menguasai Aceh.

Maka ketika Sulthan Ali Mughayat Syah mempersatukan Aceh dalam satu Kesultanan Aceh Darussalam, meski di satu sisi mendapat tantangan dari wilayah-wilayah yang ditaklukkan, tapi di sisi lainnya kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh saat itu, seperti Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Pedir, Kerajaan Lingge dan Kerajaan Lamno Daya, dengan sendirinya harus berintegrasi dalam kedaulatan Aceh Darussalam untuk mempersatukan kekuatan menghadapi Portugis yang ingin mengusai Aceh.

Itulah akar dari sejarah terbentuknya rasa kebangsaan dan nasionalisme orang Aceh dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya dari serangan bangsa asing. Dari sini pula kemudian Aceh berhasil membangun sebuah peradaban yang gemilang pada abad ke-16 hingga akhir abad 17, di mana Aceh digolongkan dalam lima besar kemajuan peradaban Islam di dunia, yang masing-masing berpusat di kerajaan Islam Maroko Afrika Utara, Turki Usmani di Asia Kecil, Kerajaan Islam di Agra dan Isfahan di Anak benua India, dan Kerajaan Islam Aceh Darussalam di Asia Tenggara.

Jiwa nasionalisme yang tertaman dalam diri orang Aceh, ternyata tidak hanya telah berhasil membangun Aceh dalam satu peradaban yang menggumkan. Akan tetapi semangat nasionalisme itu kembali diperlihatkan dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonial Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat Aceh rela berkorban jiwa raga, terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia hingga ke luar Aceh seperti yang kita kenal dengan perang Medan Area.
Nafas Terakhir Indonesia
Kita tidak ingin mengungkit cerita lama dari rasa kebangsaan dan sifat nasionalisme orang Aceh terhadap terhadap republik ini. Tapi sejarah tak dapat dibohongi, sekiranya Radio Rimba Raya tidak dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, yaitu wilayah Aceh. Sementara semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki kembali oleh Belanda dalam agresi kedua.
Tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan jika “Aceh adalah nafas terakhir Indonesia”. Dan kita tidak berani mengatakan bahwa jika Aceh tidak ada kala itu mungkin “Indonesia telah tamat riwayatnya”.
Mungkin inilah yang dimaksud Nurcholis Madjid dalam tulisan pengantar buku Tragedi Anak Bangsa (2001). Nurcholis menulis:
“Sesungguhnya ada segi lain yang jauh lebih asasi tentang Aceh, yang membuatnya benar-benar daerah modal bagi seluruh Nusantara. Mungkin akan terdengar impistik jika dikatakan bahwa Indonesia atau Keindonesiaan tidak akan mungkin ada seandainya tidak ada Aceh. Justru itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Aceh adalah “nafas terakhir Inonesia”.
Tidaklah salah bila H.M Amien Rais (1999) pernah mengatakan:
“Kalau boleh berterus terang, Aceh ini sebagai salah satu daerah pemegang saham terbesar di Republik Indonesia. Maka sebagai pemegang saham terbesar, jika Aceh menarik sahamnya, tentu RI akan guncang seguncang-guncangnya. Apalagi kalau pemegang saham yang kecil-kecil pun ikut menjadi makmum, tentu kita akan mengucapkan: Innalillahi wa inna ilaihi rajiun buat Republik Indonesia.” 
Apa yang dilihat Nurcholis Madjid dan Amien Rais terhadap Aceh mungkin baru sepenggal dari sejarah rasa nasionalisme masyarakat Aceh terhadap Indonesia. Belum lagi cerita pesawat Seulawah 01 dan Seulawah 02 yang disumbangkan rakyat Aceh kepada Republik. Demikian pula bagaimana rakyat Aceh membiayai tokoh-tokoh republik ini pada awal-awal kemerdekaan, pada saat Indonesia belum punya uang untuk modal melobi dan mencari dukungan luar negeri.
Tak dapat dibohongi
Ini sejarah yang harus diketahui oleh anak bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara bahwa betapa besar rasa kebangsaan dan nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh terhadap Indonesia.
Nasionalisme Aceh terhadap bangsa tidak hanya berhenti sampai di situ. Berapa banyak hasil alam Aceh yang disumbangkan kepada negara, yang setiap tahunnya Aceh tidak kurang dari Rp 30 triliun menyumbangkan hasil alamnya untuk negara selama hampir 30 tahun (Majalah Nangggoe2007). Apakah itu belum cukup sebagai bukti betapa besarnya rasa nasionalisme ureung Aceh terhadap Republik ini.Semua itu adalah fakta sejarah yang harus ditulis ulang dalam sejarah nasional Indonesia, agar generasi bangsa dapat mengetahui bagaimana rasa kebangsaan dan rasa ke-Indonesia-an rakyat Aceh terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia. Karenanya, Emha Ainun Nadjib (1992) dalam sebuah puisinya menulis:
Indonesia berhutang budi padamu, Aceh
Indonesia berterimakasih padamu, Aceh
Indonesia menundukkan muka dan berkata :
“Aceh tak perlu kau banggakan dirimu /
Sebab akulah Indonesia yang wajib bangga atas pengorbananmu”.

Emha Ainun Nadjib (1992)

Penulis adalah : Nab Bahani As, Budayawan tinggal di Banda Aceh. 
Nasionalisme 'Ureung Aceh' dan Nafas Terakhir indonesia | Serambi.


Sumber: Atjeh Cyber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar