Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Saudara Ahmad, dengan adanya
perkataan Terauchi, maka jelaslah sudah yang mana wilayah indonesia itu
sekarang, walaupun akhirnya Jepang tidak menunaikan janjinya untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia karena sudah kalah dalam PD II, dan hal ini patut
disyukuri karena kemerdekaan Indonesia bukan diberi tapi direbut. Dan setelah
Jepang menyerah kalah, maka atas desakan pemuda untuk merdeka, sehingga terjadi
peristiwa penculikan Soekarno dan Hatta ke Renggas Dengklok. Dan akhirnya
disepakati kalo Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, dan perkataan
Indonesia dalam proklamasi meliputi wilayah Hindia Belanda seperti yang
dikatakan Terauchi, yang otomatis ini membuat Aceh termasuk didalamnya.
Sehingga tidak tepat saudara
ahmad mengatakan bahawa Soekarno mengklaim di atas kertas saja, sehingga
ditunjuk 8 Gubernur ketika itu. Jelas disini Soekarno tidak main klaim saja, karena
Soekarno merujuk kepada apa yang dikatakan terauchi. Dan melihat kenyataan
kalau Indonesia telah merdeka, maka belanda yang memang berniat menjajah
kembali Indonesia, maka Belanda melakukan berbagai macam cara menekan
Indonesia, seperti melakukan agresi I dan II, membentuk negara boneka, dan
memaksa RI menjadi bagian RIS.
Namun setelah menjadi RIS maka
seperti yang sudah pernah saya katakan hak RIS lah untuk mengatur rumah
tangganya, sehingga jika RIS melebur menjadi RI itu urusan RIS bukan Belanda
dan Ratu Juliana. Dan seperti diawal bahwa wilayah RI dalah meliputi wilayah
Hindia Belanda, maka setelah RIS melebur semua wilayah Indonesia telah menyatu
kembali kecuali Irian barat, dan inipun melalui perjuangan yang panjang baru
dapat diperoleh kembali. Dan mengenai Aceh. Disini tidak ada pencaplokan,
karena wilayah itu masuk merupakan termasuk wilayah Indonesia seperti yang
diungkapkan Terauchi.
Dah hak pemerintah pusatlah
untuk meleburkan propinsinya jika dianggap perlu, walaupun akhirnya ini
menimbulkan ketidak senangan antara pemerintah daerah terhadap pusat. Dan saya
melihat disini yang keras kepala itu adalah para pimpinan GAM/ASNLF bukan
pemerintah RI.
Karena mereka terus merasa
dijajah, padahal penjajahan itu sendiri tidak pernah terjadi. Seandainya mereka
mau menerima otonomi yang diberikan pemerintah pusat, tentu ga perlu keluar
yang namanya DM, DOM dan sebagainya itu, ga perlu ada pertumpahan darah. Lihat
Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Propinsi lainnya,
apa mereka diberlakukan DM, kan tidak? kenapa tidak ada DM disana? ya....karena
disana tidak ada gerakan pemberontakan seperti di Aceh. Dan nyatanya mereka
bisa hidup lebih tenang. Dan disini saya mau mengatakan saya bukan pion dari
pemerintah RI, karena disini saya menulis atas kesadaran saya sendiri.
Demikianlah isi tanggapan saya
untuk saudara Ahmad, lebih dan kurang saya mohon ma'af. Sekian terima kasih.
Wassalamua’alaikum Wr. Wb.
“Sagir Alva”.
Terimakasih saudara Sagir Alva
di Universitas Kebangsaan Malaysia, Selangor, Malaysia.
Baiklah saudara Sagir.
Saudara Sagir Alva menulis: “Jika
RIS melebur menjadi RI itu urusan RIS bukan Belanda dan Ratu Juliana.” Nah
disinilah persoalannya, saudara Sagir Alva mengatakan bahwa RIS melebur menjadi
RI itu urusan RIS.
Ternyata dalam pernyataan
saudara Sagir ini telah mengandung taktik dan strategi Soekarno untuk menguasai
seluruh Negara-Negara, Daerah-Daerah, dan Negeri-Negeri yang masih berada
diluar wilayah kekuasaan daerah secara de-facto dan de-jure Negara
RI-Jawa-Yogya.
Nah kelihatan disini, saudara
Sagir Alva, memang itulah yang dikehendaki oleh Soekarno. Apa itu yang
dikehendaki oleh Soekarno Presiden Negara RI-Jawa-Yogya ?.
Keinginan Soekarno Presiden
Negara RI-Jawa-Yogya yang merupakan salah satu Negara Bagian RIS adalah berusaha
agar semua anggota Negara Bagian RIS dan Semua Daerah anggota RIS masuk kedalam
tubuh Negara RI-Jawa-Yogya.
Coba pikirkan oleh saudara Sagir
Alva, bagaimana Soekarno dengan politik, dan taktik serta strategi yang
dijalankannya melalui Negara RI-Jawa-Yogya dan Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) untuk menguasai Negara-Negara, Daerah-Daerah, dan Negeri-Negeri
yang masih berada diluar wilayah kekuasaan daerah secara de-facto dan de-jure
Negara RI-Jawa-Yogya tanpa perlu mengangkat senjata dan mengerahkan seluruh
kekuatan Angkatan Perangnya.
Dengan mengandalkan kemampuan
untuk mengelabui, menipu dan memberikan janji-janji muluk untuk memikat kepada
setiap wakil-wakil Pemerintah Negara dan Daerah Bagian RIS agar menyatukan dan
melebur kedalam Negara RI-Jawa-Yogya.
Coba perhatikan bagaimana
Soekarno berusaha untuk merebut wilayah daerah kekuasaan de-jure dan de-facto
Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur (NST). Karena dengan dua
Negara Bagian RIS inilah Soekarno betul-betul menghadapi tantangan kuat,
dibandingkan dengan Negara-Negara dan Daerah-Daerah Bagian RIS lainnya.
Jelas, kelihatan ketika pihak
Pemerintah Negara Bagian Negara Indonesia Timur (NIT) dan Pemerintah Negara
Bagian Negara Sumatera Timur (NST) tidak mau berunding berhadapan langsung
dengan pihak Negara Bagian RI-Jawa-Yogya, sehingga perlu melalui wakil. Dimana
wakil juru runding adalah Pemerintah Federal RIS. Pihak Pemerintah Negara
Bagian Negara Indonesia Timur (NIT) dan Pemerintah Negara Bagian Negara
Sumatera Timur (NST) menyerahkan untuk menjadi juru-runding kepada Pemerintah
Federal RIS dengan pihak Pemerintah Negara Bagian RI-Jawa-Yogya.
Coba sampai disini, perhatikan
oleh saudara Sagir Alva, pihak Pemerintah Negara Bagian Negara Indonesia Timur
(NIT) dan Pemerintah Negara Bagian Negara Sumatera Timur (NST) yang ingin hidup
dalam naungan Negara Federasi RIS biar duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,
eh, rupanya Soekarno tidak senang dan tidak puas hati apabila kedua Negara itu
masih berada diluar daerah kekuasaan de-facto dan de-jure Negara RI-Jawa-Yogya.
Tetapi, akhirnya setelah
berlangsung perundingan yang seru, antara Pemerintah Federal RIS yang
sebenarnya dipegang oleh Soekarno sendiri dengan pihak Negara Bagian Negara
RI-Jawa-Yogya yang juga sebenarnya dibawah kekuasaan Soekarno, dicapai
perjanjian dengan nama Piagam Persetujuan yang ditandatangani pada tanggal 19
Mei 1950.
Nah coba perhatikan sekali lagi,
perhatikan oleh saudara Sagir Alva, bagaimana itu wakil Pemerintah Negara
Bagian Negara Indonesia Timur (NIT) dan wakil Pemerintah Negara Bagian Negara
Sumatera Timur (NST) sampai tidak mau berjumpa dalam perundingan yang begitu
penting dengan pihak wakil Pemerintah Negara Bagian RI-Jawa-Yogya, melainkan
diwakilkan kepada Pemerintah Federal RIS ?
Ini menunjukkan satu bukti bahwa
dengan rasa berat dan kecewa pihak Pemerintah Negara Bagian Negara Indonesia
Timur (NIT) dan wakil Pemerintah Negara Bagian Negara Sumatera Timur (NST)
telah kehilangan Negara-nya ditelan oleh Negara RI-Jawa-Yogya.
Memang, boleh Soekarno tertawa
senang hati, bisa berhasil menelan dan mencaplok Negara Bagian Negara Indonesia
Timur (NIT) dan Negara Bagian Negara Sumatera Timur (NST). Tetapi ketawa pada
masa permulaan, menangis pada masa akhir. (30 Tahun Indonesia Merdeka,
1950-1964, Sekretariat Negara RI, 1986)
Nah selanjutnya, saudara Sagir
Alva menulis: “Dan mengenai Aceh. Disini tidak ada pencaplokan, karena wilayah
itu masuk merupakan termasuk wilayah Indonesia seperti yang diungkapkan
Terauchi”.
Setelah saya baca berulang kali
pernyataan saudara Sagir Alva diatas ini, karena saya betul-betul tidak yakin
dan tidak percaya, apakah benar ucapan janji Marsekal Terauchi mengenai
pemberian hadiah kemerdekaan kepada Soekarno cs, yang Pemerintah-nya di Negara
Jepang telah menyerah kepada sekutu yang dipelopori oleh Amerika pada tanggal
14 Agustus 1945, bisa dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengambil dan
memasukkan Negeri Aceh yang secara de-facto dan de-jure berdiri sendiri pada
saat RIS berdiri ?
Coba kita pikirkan, ucapan wakil
Pemerintah Jepang di Asia Pasifik, Marsekal Terauchi di Saigon dihadapan
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat pada tanggal 12 Agustus
1945, dua hari sebelum Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu dalam Perang Dunia
Kedua karena setelah AS menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada
tanggal 14 Agustus 1945, ternyata oleh saudara Sagir Alva dari Universitas
Kebangsaan Malaysia dijadikan sebagai pegangan untuk memasukkan wilayah daerah
de-facto Negeri Aceh pada tanggal 14 Agustus 1950 kedalam Propinsi Sumatera
Utara apabila RIS telah dilebur menjadi NKRI pada tanggal 15 Agustus 1950.
Hanya karena Marsekal Terauchi telah berkata kepada Soekarno cs bahwa “wilayah Indonesia
adalah Hindia Belanda” .
Kalau memang Soekarno sebagai
Presiden RIS pada tanggal 14 Agustus 1950 memang memegang ucapan Marsekal
Terauchi yang telah berkata kepada-nya bahwa “wilayah Indonesia adalah Hindia
Belanda”, maka tidak perlu susah-susah Soekarno, menetapkan Peraturan Pemerintah
RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Propinsi oleh Presiden RIS
Soekarno yang membagi Negara RI-Jawa-Yogya menjadi 10 daerah propinsi yaitu,
1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur, 4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera
- Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan, 8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda -
Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi Negara RI-Jawa-Yogya. Dan menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5 tahun 1950 tentang
pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk didalamnya wilayah daerah
Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Aceh Besar, 2. Pidie, 3.
Aceh-Utara, 4. Aceh-Timur, 5. Aceh-Tengah, 6. Aceh-Barat, 7. Aceh-Selatan dan
Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom Propinsi Sumatera-Utara,
tanpa mendapar persetujuan, kerelaan, dan keikhlasan seluruh rakyat Aceh dan
pemimpin rakyat Aceh.
Apalagi setelah saya baca
berulang kali itu isi seluruh pasal-pasal yang terkandung dalam dasar hukum
Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah
Propinsi yang ditetapkan oleh Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri RIS
Mohammad Hatta, pada tanggal 14 Agustus 1950 ternyata tidak ada itu janji atau
ikrar atau ucapan Marsekal Terauchi yang menyebut “wilayah Indonesia adalah Hindia
Belanda” dicantumkan atau dituliskan dalam pasal-pasal yang ada dalam dasar
hukum Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 tahun 1950.
Jadi kesimpulannya saudara Sagir
Alva, apa yang dijadikan alasan oleh saudara untuk memasukkan Negeri Aceh
kedalam NKRI melalui Propinsi Sumatera Utara karena didasarkan kepada ucapan Marsekal
Terauchi yang menyebut “wilayah Indonesia adalah Hindia Belanda” dihadapan
Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di Saigon pada tanggal 12
Agustus 1945 adalah tidak benar dan tidak sah.
Begitu juga dasar hukum
Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah
Propinsi oleh Presiden RIS Soekarno yang membagi Negara RI-Jawa-Yogya menjadi
10 daerah propinsi yaitu, 1.Jawa - Barat, 2.Jawa - Tengah, 3.Jawa - Timur,
4.Sumatera - Utara, 5.Sumatera - Tengah, 6.Sumatera - Selatan, 7.Kalimantan,
8.Sulawesi, 9.Maluku, 10.Sunda - Kecil apabila RIS telah dilebur menjadi Negara
RI-Jawa-Yogya. Dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.5
tahun 1950 tentang pembentukan Propinsi Sumatera-Utara, yang termasuk
didalamnya wilayah daerah Aceh yang melingkungi Kabupaten-Kabupaten 1. Aceh
Besar, 2. Pidie, 3. Aceh-Utara, 4. Aceh-Timur, 5. Aceh-Tengah, 6. Aceh-Barat,
7. Aceh-Selatan dan Kota Besar Kutaraja masuk kedalam lingkungan daerah otonom
Propinsi Sumatera-Utara, tanpa mendapar persetujuan, kerelaan, dan keikhlasan
seluruh rakyat Aceh dan pemimpin rakyat Aceh, adalah tidak sah dan tidak benar.
Karena itu, saya disini, di
mimbar bebas ini, dihadapan seluruh rakyat NKRI dan dihadapan seluruh rakyat
Negeri Aceh berani mengatakan dengan penuh kesadaran bahwa Soekarno pada
tanggal 14 Agustus 1950 sebagai Presiden RIS telah menelan, mencaplok dan
menjajah Negeri Aceh melalui RIS sebelum RIS dilebur menjadi NKRI pada tanggal
15 Agustus 1950.
Jadi kesimpulan yang dapat
diambil adalah RIS menjajah Negeri Aceh dari sejak 14 Agustus 1950 dan
diteruskan oleh NKRI dimulai dari tanggal 15 Agustus 1950 sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar