Alangkah ganjil cerita
yang hendak aku uraikan padamu ini, Kawan. Kisah tentang seorang lelaki yang
begitu ingin menangis. Sampai-sampai, ia rela mengembara dari tanah ke tanah,
dari air ke air, dari rimba ke rimba, hanya untuk mencari cara agar ia bisa
menangis. Oi, tidakkah itu terdengar ganjil di kupingmu? Ada seorang lelaki
yang ingin menangis. Ya zaman, betapa ajaib dunia ini. Dimana-mana lelaki tak
ingin menangis. Lelaki ingin terlihat kuat, gagah, dan tentu saja jantan. Lalu,
mengapa lelaki yang hendak aku ceritakan padamu ini ingin sekali menangis? Ai,
simaklah dengan seksama ceritaku ini. Tentu bila telah tuntas, kau akan dapat
jawabannya.
Pada mulanya, aku
bertemu lelaki ini di suatu senja yang demikian kerontang. Petang yang terasa
begitu meranggas dan udara terasa sangat panas. Ia tegak di sana, di tepi
jembatan yang senyap. Tak ada siapa-siapa yang lewat. Pun kesiur angin yang
menyapa. Pada wajahnya yang tergurat demikian keras, kutemukan balada tak berujung
pangkal. Ah, wajah keruh itulah yang membuatku tertarik untuk bersuara.
“Bila kau hendak bunuh
diri dan terjun dari jembatan ini, saya jamin kau tidak akan mati. Air di bawah
sana tak cukup dalam, tak banyak bebatuan, dan jembatan ini pun tingginya hanya
beberapa hasta. Bocah-bocah malah saban menjelang Asar, mandi dan meloncat dari
jembatan ini.”
Ia mengerling, hanya
sekilas pintas, kemudian melarikan kembali matanya jauh ke ujung sungai yang
hilang dalam rimbun pepohonan di hilir sana. Aku senyap. Alangkah
menyebalkannya, ia tak menanggapi apa yang kuucapkan. Oi, mungkinkah lelaki
yang kusapa ini adalah orang gila? Seketika itu jua, kuamati lekat-lekat
badannya. Kaos oblong warna coklat yang memudar, celana biru yang sudah dekil
dan hilang warna, rambut panjang awut-awutan, kumis, jenggot, dan cabang
demkian liar bersarang di wajah. Ai, mungkin benarlah dugaanku barusan. Lelaki
ini adalah orang gila yang tersasar di kampung kami nan damai.
Ketika kusepakati
pikiranku, lamat-lamat aku melangkah, berusaha melewatinya dan tentu saja akan
gegas meninggalkannya. Namun, sebatang kalimat yang ia lontarkan telah
menjenggal langkah yang baru saja kubuat.
“Aku ingin mencari
seseorang yang bisa mengajariku menangis. Apa kau tahu? Mungkin ia ada di
kampung ini.”
Allahurobbi, alangkah
ajaib pernyataan lelaki itu. Beberapa detik aku senyap, walau sejatinya tawaku
hendak menyembur demikian lepas. Benar saja. Mungkin, ia seorang lelaki gila.
Mencari seseorang untuk mengajarinya menangis. Edan. Dari bayi saja manusia
sudah bisa menangis, tak perlu diajari.
“Kau bukanlah orang
pertama yang hendak tertawa mendengarnya. Mungkin kau adalah orang yang
kesekian ratus, bahkan ribu, yang merasa demikian lucu perkataanku. Tapi, aku
benar-benar mencari orang yang bisa mengajariku menangis.”
Dan, mata lelaki itu
begitu lekat, begitu tajam menghujam ke kedalaman retinaku. Aku tercekat. Di
matanya yang hitam, kutemukan kesungguhan dan kewarasan yang demikian terjaga.
Ia tak bergurau atau pun tengah berkelakar. Seketika, aku dibaluri senyap yang
demikian pekat. Entah, mendadak saja lidahku berubah bebal, kelu, dan terasa
begitu kesat. Aku tak tahu harus bercakap apa.
“Me.., mengapa kau ingin
belajar menangis? Bukankah setiap orang bisa menangis?” pertanyaan itu
terluncur dengan terbata-bata dari lidahku. Entahlah, bagiku masih sangat ajaib
apa yang lelaki itu katakan. Ia ingin mencari seseorang yang bisa mengajarinya
menangis? Ahai, alangkah ganjilnya. Begitu geli terdengar di lidahku, hingga
lidahku pun menggelinjang. Mati-matian kutahan tawa yang meronta.
“Akan panjang bila
kukisahkan,” seketika mata lelaki itu redup, serupa bola lampu yang akan mati.
Aku kian terbungkam sekaligus bertambah penasaran.
“Ceritakanlah, mungkin
saja aku akan paham dan bisa menolongmu,” tak tahulah darimana kata-kata bijak
itu berasal, ia terluncur begitu saja dari lidahku yang tadi mendadak bebal.
Lelaki itu mengerlingkan matanya, menatapku beberapa lama, kemudian kembali
melarikan retinanya ke arah liukan air sungai yang menari dengan gemulai ke
hilir sana.
Dan cerita itu terurai
dengan deras dari mulutnya. Kisah yang seketika membuat kudukku meremang,
tengkukku dingin, dan lutut gemetar. Alahai, betapa mataku membulat dan liur
berkali-kali kudorong masuk ke dalam tenggorokkan. Aku.., aku tak kuasa
mendengar ceritanya yang demikian menakutkan. Tapi, aku pun harus ingat dengan
janjiku kepada lelaki itu: Menolongnya mencari seseorang yang bisa mengajarinya
menangis setelah ia berkisah padaku. Dan susah payah kujinakkan lidah agar
kisah ini terurai padamu, Kawan. Inilah cerita lelaki itu padaku.
Ia tak hendak disebut
namanya, lantaran tak ingin mengorek luka di dadanya yang demikian dalam. Luka
yang katanya telah berulat dan bernanah. Baiklah, kita tak usah risaukan
masalah namanya itu. Biarkanlah saja, mungkin ia perlu sedikit privacy dan kita
hargai itu. Nah, simaklah cerita tentang hidupnya yang kelam, hingga membuatnya
tak bisa menangis.
Pada kisah pertamanya,
lelaki itu mengaku telah membunuh ibu kandungnya. Oi, dapatlah kau tebak,
Kawan, seketika aku tersurut saat ia mengungkap itu. Alangkah gila yang ia
ceritakan? Ia membunuh ibu kandungnya lantaran berebut harta pusaka warisan
bapaknya. Tersebab, lelaki itu merasa ibunya tak adil membagi semua harta.
Mengapa adik-adik perempuanku harus dapat bagian? Bukankah semua itu hakku
sebagai anak laki-laki bapak. Itulah yang membuat ia tega membunuh ibunya.
Semua itu membuatnya terlempar ke dalam penjara yang pengap. Dan bahkan terbuang
dari kampung halaman, dijauhi oleh teman-temanya, bahkan tak diakui oleh
seluruh keluarga dan saudaranya.
Dalam penjara itulah,
lelaki itu berkawan dengan penjahat. Segala rupa ada. Pembunuh. Perampok.
Pemerkosa. Pengedar obat haram. Bahkan orang-orang sekelas pemaling ayam. Semua
ada. Dan ia seolah menemukan dunia yang menyambutnya dengan tangan terbuka.
Usai terkurung dalam penjara pengap bertahun-tahun lamanya, lelaki itu bebas,
tersebab hakim hanya menjatuhinya hukuman dengan kurun waktu tertentu saja,
lantaran ia terbukti tak membunuh dengan rencana.
Selepas itu,
dicarinyalah kawan-kawan penjahatnya. Dan dimulailah kisah keduanya. Ia menjadi
begundal di dunia hitam. Merampok. Memperkosa. Bergelut dengan pelacur. Mabuk.
Judi. Dan segala hal yang terasa begitu bersahabat dengan dirinya. Hingga ia
keluar masuk penjara, sampai-sampai lelaki itu pun lupa telah berapa kali ia
terdampar di sel-sel pengap itu.
Oi, Kawan. Seketika aku
tak dapat berkata-kata. Alangkah mengerikan jalan hidup lelaki yang ingin
menangis ini. Membunuh ibu kandungnya. Ah, tak dapat itu kunalar dengan akal.
Dalam benakku yang terdalam, tak pernah terlintas cerita demikian rupa.
Kupikir, sebuas apapun binatang di rimba dunia ini, tak akan mampu ia membunuh
ibunya. Nyatanya, itu salah. Lelaki yang ingin menangis itu telah melakukannya.
Bahkan kisah hidupnya yang bergelut dengan dosa; merampok, memperkosa, mabuk,
berzina, berjudi, dan hingar bingarnya saja telah membuat kepalaku pusing
alang.
Lalu, mengapa lelaki itu
tiba-tiba ingin menangis? Itu pulalah yang terus menggelitik isi kepalaku
sepanjang lelaki itu berkisah di atas jembatan petang itu. Seolah paham dengan
apa yang bersarang dalam batok kepalaku, lelaki itu menguraikan cerita tentang
keinginannya menangis.
Ketika aku masuk penjara
yang kesekian kalinya, aku satu sel dengan seorang lelaki yang rajin
sembahyang. Dari raut mukanya, kuterka ia terlempar dalam bilik jeruji itu
karena sebuah kesalahan. Tak dapat kubayangkan, lelaki serupa itu seorang
begundal macam diriku. Nyatanya, aku sedikit benar. Lelaki itu seorang alim di
kampungnya. Entahlah, ia tak hendak berkisah tentang musabab dirinya ada di
penjara. Dan aku bukanlah seseorang yang suka mendengarkan orang berkisah.
Dari kawan penjaranya
yang rajin sembahyang itulah, lelaki yang ingin menangis menemukan sesuatu yang
beda dalam hidupnya. Mulanya, ia sangat muak ketika lelaki itu selalu saja
mengoceh tentang hakikat manusia ada di dunia fana. Tentang Tuhan. Neraka.
Surga. Dan segala tetek bengek yang membuat kepala lelaki itu pening bukan
buatan. Bahkan, ia pernah meninju muka lelaki itu lantaran tak tahan mendengar ceritanya
yang membosankan.
Namun, lamat-lamat
lelaki itu mulai terbiasa dengan ocehan kawannya itu. Ia menyerah untuk
membungkam mulut kawannya itu, tersebab lelaki yang jadi karib satu selnya itu
terus saja berkicau walau telah berkali ia pukul wajahnya. Entahlah, mendadak
saja ketika kawan satu selnya itu berkisah tentang kiamat, lelaki itu teringat
dengan guru mengajinya di langgar dulu. Surau kampung yang kecil, tempat
bocah-bocah ingusan mengeja alif ba ta. Seketika, sebuah kerinduan tumbuh di
ladang hatinya yang gersang. Rindu kampung halaman. Rindu dengan masa
kanak-kanannya. Bahkan mendadak ia rindu kepada ibunya. Seseorang yang telah
lama ia lupakan. Saat itu jugalah, sebuah rasa menggeliat demikian buas. Rasa
menyesal. Rasa takut akan bayangan hitam di belakangnya. Rasa yang ia sendiri
pun tak paham.
Lalu, pada malam yang
demikian pekat. Lelaki yang ingin menangis itu berkisah pada kawannya. Tentang
betapa kelam hidupnya. Betapa mengerikan tapak-tapak di belakang punggungnya.
Tentulah dapat ditebak.
Kawan lelaki yang ingin menangis itu terkesiap. Bahkan tak dapat berkata barang
sepatah ketika mendengar kisahnya. Siapapun pasti akan bersepakat, cerita kelam
lelaki yang ingin menangis sangatlah hitam dan menakutkan.
Adakah jalan untuk
menebus semuanya? Itulah tanya yang lelaki itu lontarkan pada kawannya. Dan
tentu saja kawannya itu kebingungan. Berhari-hari kawannya itu berpikir, tetap
saja ia tak menemukan cara untuknya. Hingga pada senja yang demikian indah bagi
lelaki yang ingin menangis itu. Mendadak kawannya berujar, kata-kata itu
terluncur usai kawannya dibezuk oleh serombongan orang berwajah teduh. Lelaki
iu sempat melihat mereka sekilas pintas.
Menangislah dihadapan ALLAH,
mohon ampun dalam sembahyangmu. Kata guruku, itulah yang dapat menolongmu.
Dan lelaki itu meminta
kawannya mengajarinya menangis, karena ia sudah lupa cara menangis. Bahkan ia
pun tak ingat kapan terakhir kali ia menangis. Sayangnya, sampai kawannya itu
terbebas dari penjara, lelaki itu belum jua bisa menangis. Dan ketika ia pun
bebas dari penjara, ia tetap belum bisa menangis. Bahkan ketika ia diam-diam
menyelinap ke kampungnya, lalu mengedap-endap ke area pekuburan, mencari makam
ibunya, dan memohon ampun pada sebuah kubur yang bertuliskan nama ibunya itu.
Ia tetap saja tak bisa menangis.
Dosa-dosa itu yang
membuat hatiku membatu. Dan aku tak bisa menangis. Aku harus mencari orang yang
bisa membuat hatiku tak lagi membatu.
Kata-kata itu, ia
dapatkan dari kawan penjaranya itu. Mulailah lelaki itu mengembara dari tanah
ke tanah, dari air ke air, dari rimba ke rimba, hanya untuk mencari seseorang
yang dapat mengajarinya menangis. Seseorang yang bisa membuat hatinya yang
keras mencair.
Nah, begitulah kisah
tentang lelaki yang ingin sekali dapat menangis itu, Kawan. Sampai detik ini,
lelaki itu belum jua menemukan seseorang yang bisa mengajarinya menangis.
Beberapa kali ia datang menyambangiku dan bertanya; apakah telah kau temukan
orang yang dapat mengajariku menangis? Tolong, carikanlah. Aku takut masaku
akan segera usai. Oi, aku dapat merasakan kecemasannya. Maka kuceritakan saja
kisahnya ini kepadamu, kalau kau seandainya tahu seseorang yang dapat mengajari
lelaki itu menangis. Beritahukanlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar