Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

5 Juni 2012

Semerbak Mawar Perang Fisabilillah


Jurang lebar membentang, tidak ada lagi jembatan tempat menyeberang. Kalau akhir yang dituju sudah berbeda, tak ada lagi gunanya berjalan beriringan. Cinta telah terpisah dan kebersamaan telah pecah. Sebab yang satu ingin melindungi perjuangan, tapi yang lain telah jatuh menyerah.

Hari itu keputusan telah dibuat, sebuah keputusan yang teguh dan berat. Perceraian memang pahit dikecap, apalagi bagi seorang perempuan. Namun kalau memang jalan itu yang mesti ditempuh demi melindungi perjuangan, pantang jalan lain dipijak. Meutia perempuan yang kuat, hatinya sekokoh karang. Baginya lebih baik hidup manjanda daripada mengkhianati perjuangan.

Kau berani melawanku?” Bentak Samsyarif sambil membelalak. “Perempuan durhaka.

Aku bukan perempuan durhaka,” sahut Meutia sengit. “Kezaliman wajib dilawan, tak peduli siapapun yang melakukannya.”

Aku tak akan menceraikanmu.

Aku tak sudi menjadi istri pengkhianat. Aib dan nista bagiku menjadi istrimu, aku menggugat cerai.

DURHAKA.” Samsyarif meraung, tangannya naik hendak menampar Meutia.

Dengan tegak Meutia menghadapi tamparan itu. alisnya berkerut, bibirnya mengatup keras. Apapun yang akan terjadi akan ditantangnya. Telapak tangan Samsyarif meluncur deras hendak menghantam pipi Meutia, namun tamparan itu ditahan oleh genggaman tangan seorang pria.

Tiba-tiba di dekat Samsyarif berdirilah seorang pria yang tegap dan tampan. Ia menggenggam pergelangan tangan Samsyarif, menahan agar tamparan keras itu tidak mendarat di pipi Meutia.

Maaf, Cutbang, tak baik kau bersikap kasar kepada istrimu,” katanya, “bukan begitu memperlakukan perempuan.”

Apa pedulimu?” Sergah Samsyarif kepada laki-laki itu. “Dia perempuan yang durhaka kepada suaminya.”

Benarkah begitu, Cutda?

Aku tak sudi jadi istri pengkhianat.” Meutia masih sengit melawan, matanya menatap Samsyarif tajam-tajam.

Samsyarif menarik tangannya dari genggaman laki-laki itu, berusaha menyerang Meutia. Dengan cekatan laki-laki itu kembali menahan gerakan Samsyarif.

Lepaskan aku, jangan kau ikut campur urusanku, kau sama durhakanya dengan perempuan itu,” Samsyarif berteriak tak karuan.

Dua lelaki perkasa itu bergumul, bertindihan di lantai. Namun lelaki asing itu lebih tangkas, ia berhasil mengunci dan menahan tubuh Samsyarif.

Lepaskan, kau tak tahu diri, masih berani kau menampakkan batang hidungmu di rumah ini? Tak malu kau pulang ke rumah ini? Bukankah hutan dan senapan lebih engkau cintai?” Samsyarif hanya bisa berteriak. “Karena kau kedua orang tua kita mati, kau durhaka.

Lelaki itu tersenyum namun ia tak mengendurkan kunciannya pada tubuh Samsyarif.

Terima kasih untuk semua kata-katamu, Cutbang. Aku pulang hendak berziarah ke pusara orang tua kita. Untuk menghormati betapa teguh dan kuatnya perjuangan mereka melawan kaphe penjajah. Sampai mati mereka tak pernah menyerah, dan sudah seharusnya begitu pulalah adanya kita, tidak boleh menyerah.”

Meutia menjauh ke sudut kamar. Ia menyaksikan semua itu. hatinya bertanya-tanya siapa gerangan lelaki asing yang tiba-tiba hadir itu? ia tak mengenalnya. Namun siapapun lelaki asing itu telah terselip rasa kagum di hatinya akan segala yang dikatakan lelaki itu. Meutia menyadari mungkin lelaki itu memiliki hubungan saudara dengan suaminya. Samsyarif tak pernah menyebut bahwa dia memiliki saudara. Dan perasaan kagum itu tiba-tiba berubah menjadi cinta, saat ia terus memperhatikan lelaki itu dan kata-katanya.

Tak ada kebaikan dan kebahagiaan di sisi kaphe beulanda. Ikutlah berjuang sebagaimana orang tua kita dahulu telah berjuang. Mengapa aku lebih memilih tinggal di hutan dan lebih memilih memanggul senjata, adalah karena aku ingin menetapi amanah mereka untuk terus melawan penjajah. Dan sampai mati aku akan terus menetapi amanah itu. tak akan pernah berubah sedikit pun.”

Kau teruskanlah kebodohan itu, kau akan sengsara selamanya. Aku tak peduli.” Samsyarif terus meluap-luap emosinya. “Pergilah kau dari sini, kau bukan adikku lagi.”

Maafkan aku,” sahut lelaki itu, “ada satu permintaanku yang mesti kau penuhi.

Samsyarif mendengus saja.

Kau ceraikan istrimu, nampaknya dia sungguh-sungguh membencimu. Akulah yang akan jadi suaminya.”

Secercah cahaya tiba-tiba bersinar di hati Meutia. Jalan yang baru terbentang sudah.

“Perang Sabil”

Belantara gelap. Sulur-sulur melingkar berkait berkelindan menggambarkan kesuraman hutan. Hawa dingin pagi kejam menusuk tulang menghamburkan asa kepada kedamaian yang telah lama hilang. Dasar hutan basah. Anak-anak embun bergelantungan ceria pada putik-putik rerumputan. Batang-batang pohon kekar dan tebal setia mengawasi perang yang tak lama lagi akan datang. Sebab para pejuang Aceh sedang mengintai dari baliknya.

Di belakang sebuah batang pohon yang besar itu Meutia dan Muhammad memicingkan mata mereka mengintai musuh. Di sanalah mereka kini, di tengah Perang Sabil. Mereka menikah dan bulan madunya adalah turun berperang. Baru kali itu Meutia sungguh-sungguh merasakan cinta. Cinta kepada seorang lelaki, cinta kepada tanah airnya, cinta kepada agamanya. Ia merasakan cinta yang sesungguhya. Dan kini ia berada di antara semak-semak, memeluk senapan, mengintai, hendak melanjutkan perang melawan kaphe Belanda.

Pria gagah itu, Teuku Muhammad, teguh bersandar sambil mengintai kedatangan musuh. Orang-orang memanggilnya Teuku Cik Tunong. Sudah lama dia menjadi duri dalam daging bagi pemerintah kolonial Belanda. Dialah otak penyerangan berbagai benteng Belanda di sepanjang wilayah pantai timur Aceh. Dia pula yang menjadi aktor utama penyergapan-penyergapan patroli dan konvoi logistik Belanda. Dan dengan Meutia berada di sisinya, perjuangannya makin sempurna. Akhirnya apa yang diidamkannya terkabul juga. Dia dapatkan seorang perempuan cantik yang tangkas dan teguh berjuang. Mereka adalah pasangan serasi yang akan mengguncang singgasana penjajahan.

Bersama dengan pasukannya yang telah tersebar di sekitar hutan itu, Cik Tunong dan Meutia akan menyergap konvoi pasokan logistik Marsose belanda yang akan lewat menuju Keureuto. Mereka telah memperhitungkan segalanya, dan saat penyergapan itu berhasil dilaksanakan mereka akan merampas semua barang yang dibawa konvoi logistik itu. Mereka akan berpesta dengan mendapatkan ratusan pucuk senapan beserta amunisinya, juga bahan makanan dan pakaian. Dengan sabar mereka semua menunggu mangsanya lewat.

Terima kasih, Cutbang,” bisik Meutia, senapan teguh dalam pelukannya.

Cik Tunong menoleh kepada istrinya, mempersembahkan senyum menawan. “Jangan berterima kasih terus. Kau sudah berkali-kali bilang begitu.

Kau sudah menyelamatkan aku.

Itu semua ketentuan Allah. Dialah yang mengatur semuanya. Akulah yang mestinya bersyukur sebab akhirnya aku mendapatkan perempuan yang aku idam-idamkan. Engkau cantik, pintar, teguh, dan gigih berjuang. Sungguh aku bangga kau mau menjadi istriku.

Aku pun begitu, aku hanya mau bersama lelaki pejuang. Bukan pengkhianat.” Bisik Meutia sambil tersenyum.

Itu jodoh namanya.” Cik Tunong menyikut lembut pinggang istrinya. Sesekali dia mengintip ke arah tempat datangnya pasukan Belanda. Masih sepi, musuh belum datang.

Tiba-tiba Meutia menggenggam erat tangan Cik Tunong. Ia menoleh kepada suaminya. “Aku tak ingin kehilanganmu, Cutbang.

Cik Tunong tersenyum lagi. “Tak ada yang hilang, Sayang, aku akan tetap ada bersamamu. Selalu. Jangan kau pikir mereka yang mati di atas jalan Allah itu mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Selama kita tidak lari dari jalan perjuangan ini, kita pasti bertemu lagi.”

Meutia tersenyum.

Kuatkanlah hatimu,” lanjut Cik Tunong, “sebab akupun mesti menguatkan hatiku, apabila sesuatu terjadi padamu. Sekali tangan kita berpegangan takkan kita lepaskan di dunia dan akhirat. Demi kuasa Allah aku mencintaimu.

Sinar mata mereka bertemu dalam cinta, kesabaran, dan keikhlasan. Senyum terkembang lagi mengantarkan pejuangan. Dan dalam cinta itu mereka akan terus melawan penjajahan. Jemari Cik Tunong menyentuh lembut dagu Meutia, dikecupnya pipi Meutia.

Aku mencintaimu.” Katanya sekali lagi.

Meutia tersenyum, wajahnya merona merah, dia tak sanggup berkata-kata lagi. Dia bersyukur mendapatkan kehidupan yang manis, mendampingi seorang pejuang tangguh, berdiri tegak di atas jalan perjuangan, teguh melawan kaphe Belanda habis-habisan.

Sayup-sayup suara iring-iringan konvoi logistik Belanda terdengar. Mereka bersiap, membidikkan senapan mereka kepada sasaran yang datang. Mangsa semakin dekat, semua pejuang Aceh secara otomatis bersiap. Senapan telah teracung, rencong dan kelewang telah terhunus.

Bersiaplah, musuh telah datang,” bisik Cik Tunong kepada Meutia. Dia memicingkan matanya, mengarahkan laras senapannya kepada sasaran. Meutia melakukan hal yang sama.

Perempuan itu, Meutia, tak ubahnya seperti mawar. Cantik dengan warna merah merekah. Menggoda mata siapapun yang melihatnya. Namun tak semua orang mampu meraih hatinya dan memetiknya. Sebab kalau ada sesiapa yang berani sembarangan bersikap kepadanya, pastilah tertusuk duri-duri di tubuhnya. Dialah mawar yang merekah di medan perang. Dan bunga yang mekar dipeluk kesulitan adalah bunga yang paling indah sepanjang zaman. Siapapun lelaki yang berhasil merebut hatinya dan memetiknya pastilah bahagia selamanya.

Nanggroe Aceh seperti taman bunga. Di sana tumbuh mawar-mawar yang harum dan indah. Siapapun yang datang dengan kedamaian akan menemukan keindahan yang menawan. Akan menemukan keharuman yang memanjakan indera. Pandangan mata akan merasakan keelokan tak terperi. Sanubari akan dibuai keramahan. Namun apabila ada orang yang datang hendak menjajah, hendak memiliki tanah ini demi nafsunya, dia akan mendapati sang mawar begitu teguh membela segalanya. Tidak akan pernah sudi menyerah kepada penjajah. Memang rapuh mahkota mawar, tapi durinya tajam. Memang rawan hati perempuan, tapi kalau azzam sudah menghunjam akan dia pertahankan semuanya sampai penghabisan.

Jalan setapak itu membelah hutan. Batang-batang pohon yang kekar menjadi pengawal setia di kiri kanannya. Alang-alang menjadi permadani, berteman dengan semak belukar. Rombongan konvoi logistik Belanda melintasi jalan itu menuju Keureuto. Beberapa budak menarik sapi-sapi dan kuda-kuda yang sarat barang bawaan di punggungnya. Serdadu Belanda berbaris di sisi rombongan itu, memeluk senapan dengan bayonet runcing di ujung larasnya. Mata mereka waspada mengawasi hutan. Hati mereka waswas dengan serangan gerombolan yang kerap menghadang konvoi logistik Belanda.

Komandan mereka, seorang Belanda berkumis tebal, menunggang kuda dengan gagah di barisan paling depan. Bibirnya tenggelam di dalam kumis tebal yang jadi kebanggaannya itu. Dengan kekuatan seratus prajurit terlatih dia ditugaskan untuk mengantarkan pasokan logistik itu.

Cik Tunong, Meutia, dan pejuang Aceh telah membidikkan laras senapan mereka kepada sasaran dari tadi. Jumlah mereka jauh lebih sedikit daripada jumlah pasukan Belanda itu. Namun ada berapa banyak peperangan yang dimenangkan oleh pihak yang jumlahnya lebih sedikit dengan karunia Allah? Saat musuh sudah memasuki jarak tembak, mereka akan menghujani musuh dengan timah-timah panas. Mereka akan menjadi malaikat maut yang mencabut roh-roh kotor kaphe Belanda.

Semilir angin halus merayu. Mengantarkan helai dedaunan lepas dari tangkainya. Lalu jatuh ke tanah Aceh yang sedang didera penjajahan. Udara teduh dilindungi bayang-bayang pepohonan. Derap langkah pasukan Belanda ditentang sorot mata tajam pejuang Aceh. Kemudian napas tercekat…

TAR… TAR…TAR....

Moncong senapan bergemuruh, meletup-letup bersemburat kilatan api menyeruak dari balik batang-batang pohon dan semak-semak.

Pejuang Aceh memberondong pasukan Belanda dengan peluru-peluru tajam. Telunjuk mereka ringan saja menarik pelatuk senapan, seolah nyawa prajurit Belanda ada di ujung jari mereka. Cik Tunong membidik, lalu pelurunya melesat. Meutia mengokang senapannya dalam riang.

Pasukan Belanda seketika gelagapan. Barisan mereka yang tadinya rapi jadi kacau berantakan. Mereka tiarap, sebagian lagi berlindung di balik hewan-hewan tunggangan dan gerobak-gerobak. Mereka balas menembak kepada penyerang-penyerang mereka. Komandan Belanda itu berteriak-teriak memberi komando, kudanya meringkik tak karuan. Tiba-tiba sebutir peluru melesat menembus kepalanya, darah terpuncrat dari sana, dia mati seketika.

Baku tembak menyalakan hutan yang tadinya sepi. Pasukan Belanda telah banyak yang mati di ujung moncong senapan pejuang Aceh, namun mereka tetap bertahan dengan segenap kekuatan yang mereka punya. Peluru di senapan Cik Tunong telah habis. Dia cabut pedang di pinggangnya, lalu memekik.

ALLAAAAAAHU AKBAR.”

Tanpa ragu Meutia pun mencabut rencongnya, tetap setia berjuang di sisi suaminya. Para pejuang Aceh meraung dan bersorak, keluar dari tempat persembunyian mereka dengan menenteng pedang, rencong, dan kelewang. Dengan gagah berani mereka menyerbu tentara Belanda. Perang jarak dekat telah pecah.

Ayunan pedang Cik Tunong menerabas perut seorang tentara Belanda, kemudian seorang lagi, lalu seorang lagi, hingga tak terhitung lagi. Sebenarnya telah banyak luka bersarang di tubuhnya, tapi dia tak merasakannya. Dia berperang dengan kegigihan tiada tara. Namun tiba-tiba dia melihat dua orang tentara Belanda mengacungkan bayonet ke arahnya. Dia meraung hendak menyambut peluru dari musuhnya itu. Walau dia tahu dia takkan selamat, dia bangga telah hidup sebagai pejuang yang terhormat.

Meletuslah senapan tentara Belanda itu, darah suci memancar… Darah Meutia.

Dua tentara Belanda itu mati ditikam dari belakang oleh pejuang Aceh. Meutia terpental ke belakang, menimpa tubuh Cik Tunong. Saat tentara Belanda itu hendak menembak suaminya dia jadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai.

Cik Tunong dan Meutia jatuh berdebam bertindihan di tanah. Kecamuk medan perang membahana di sekitar mereka. Buru-buru Cik Tunong menangkap tubuh Meutia dan memeluknya. Tubuh Meutia telah berlubang ditembus peluru Belanda, darah bergelimang di mana-mana. Mulutnya terbuka mencari-cari udara, setetes darah mengalir di sela-sela bibirnya. Bulir keringat tumpah di dahinya. Air suci menetes dari balik kelopak matanya.

Meutia… Meutia,” bisik Cik Tunong. Lelaki gagah itu menangis. Ya, dia menangis.

Tangan Meutia terangkat lemah, menuju wajah Cik Tunong, menghapuskan air matanya. Tiba-tiba Meutia tersenyum pada suaminya itu. Ingin dia sampaikan kepada manusia sepenuh dunia bahwa hidupnya berbahagia. Mati di jalan perjuangan, dalam pangkuan orang yang paling dicintainya. Kemudian napasnya putus, cahaya matanya berubah redup. Dia sudah berangkat ke hadirat Tuhannya.

Allah… Meutia…” desah Cik Tunong. Dia peluk jenazah istrinya erat-erat dalam gelimang air mata. Dia timang-timang, lalu berbisik kepada jenazah istrinya.

Kita takkan berpisah.”

Cik Tunong membaringkan tubuh Meutia di atas kehormatan tanah medan perang. Dia pungut pedangnya, lalu dia hapus air matanya. Dia menerjang dan mengamuk mencerai-beraikan penjajahan. Telah banyak tentara Belanda yang mati di tangannya, hingga kasih sayang Allah yang kemudian bicara. Sebutir peluru entah dari mana datangnya menembus dadanya. Dia tumbang. Hidupnya pupus, perjuangnya telah usai.

Janji itu telah terukir. Mereka tak pernah berpisah. Dengan bergandengan tangan mereka lalui pintu yang bercahaya itu. Pintu yang pasti akan dilalui oleh pejuang yang syahid di jalan Tuhan. Perang Sabil adalah janji Allah. Di sana hanya ada cinta, Hanya satu Cinta saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar