Beberapa tahun
terakhir terutama pasca era reformasi, tema pelurusan sejarah menjadi tema
utama yang banyak dikupas di berbagai diskusi. Baik yang sifatnya obrolan
ringan, diskusi kampus, seminar, bahkan sampai debat publik. Di dunia maya,
diskusi tentang tema inipun marak. Artikel dan komentar yang muncul berasal
dari profesi yang berbeda. Mulai dari mahasiswa, dosen, pemerhati sejarah, dan
sejarawan turut serta meramaikan tema besar ini.
Salah satu isu
penting yang dikritisi adalah ketetapan pemerintah mengenai hari peringatan
kebangkitan nasional. Kenapa harus tanggal 20 Mei dijadikan sebagai hari
kebangkitan nasional? Kenapa harus Boedi Oetomo (BO) dijadikan simbolnya? Setidaknya
dua pertanyaan fundamental di atas adalah gambaran wujud kegelisahan para
sejarawan dan negarawan muslim.
Pemerintah
menetapkan kelahiran BO sebagai hari peringatan kebangkitan Nasional pada tahun
1948. Saat itu kondisi bangsa tengah porak-poranda diterpa agresi Belanda dan
terancam diistegrasi. Ki Hajar Dewantoro membicarakan kondisi pelik bangsa
dengan menteri Mr. Ali Sastroamidjojo. Sehingga lahirlah ide untuk mengenang
sebuah momen penting yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Usulan
itu sampai ke telinga Bung Karno dan Bung Hatta. Akhirnya diputuskanlah 20 Mei
yang notabene merupakan tanggal kelahiran BO sebagai hari peringatan yang
dimaksud.
Keputusan yang
dipandang aneh oleh sejarawan dan negarawan Muslim. Bagaimana mungkin kelahiran
BO ditasbihkan sebagai hari bersejarah. Memang benar bahwa keabsolutan sejarah
bisa berubah menjadi relatif bila sudah bersentuhan dengan kepentingan politik
dan kekuasaaan. Realitas sejarah bisa dengan mudah didistorsi bila bertolak
belakang dengan spirit dan ideologi kekuasaan. Sejarah adalah milik penguasa.
Versinya adalah versi penguasa.
Mengenal Boedi Outomo
“Boedi”
artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi
Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai
sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat,
kemahirannya. Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, bertempat di salah satu
ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari
depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo.
Perintis organisasi ini, menurut sejarawan M.C. Ricklefs (1994), adalah Dr.
Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917). Ia adalah seorang lulusan Sekolah Dokter
Jawa di Weltevreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan Stovia). Ia bekerja sebagai
dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899.
BO beberapa
kali mengadakan kongres untuk meletakkan garis pergerakannya. Pada kongres
perdana di Yogyakarta tahun 1908, Cipto Mangunkusumo dan Dr. Rajiman
Wedyodinigrat mengusulkan agar BO dijadikan partai politik dengan beranggotakan
masyarakat banyak yang bukan priyayi, namun usul itu ditolak oleh kongres.
Memang mayoritas para pemimpin berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan
dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati
Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari
Keraton Pakualaman.
Aktifitas yang
digeluti oleh BO boleh disebut hanya berkutat di bidang pendidikan dan
kebudayaan. Sedangkan aktifitas politik tidak dilakukan sama sekali. Hal ini
adalah keberhasilan politik etis yang diagendakan Belanda. Sistem pendidikan
yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat
kooperatif dengan pemerintah Kolonial. Tak heran sejak tahun 1909, BO sudah
disahkan oleh Belanda. Bahkan, anggaran dasarnya pun berbahasa Belanda.
Menjadi
anggota BO tidak mudah. Selain bangsawan dan ningrat keturunan Jawa dan Madura
jangan harap bisa bergabung. Nuansa kesukuan sempit sangat kental terasa.
Konsep persamaan derajat dan kesetaraan tidak dikenal dalam organisasi ini.
Sistem pendidikan dan ekonomi yang dianut sejalan dengan kebijakan pemerintah
kolonial pada masa itu. Terdapat tembok tebal yang memisahkan antara golongan
bangsawan Jawa Madura dengan inlander biasa.
Lalu pantaskah
gerakan semacam ini dijadikan sebagai pelopor kebangkitan nasional? Entah
kebangkitan apa yang dimaksud. Setiap tahun momentum kelahirannya selalu
diperingati oleh bangsa kita. Seakan-akan bangsa ini mengkhianati cita-cita
luhurnya.
Kritik Para Sejarawan Terhadap BO
Asvi Marwan
Adam, sejarawan LIPI menilai bahwa BO tidak layak disebut sebagai pelopor
kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya
meliputi Jawa dan Madura saja” katanya. Dalam buku yang ditulisnya, “Seabad
Kontroversi Sejarah“ Asvi sendiri menulis bahwa Budi Utomo yang oleh banyak
orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan
lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran
politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.
Pernyataan KH
Firdaus AN lebih keras lagi. Menurut mantan ketua majelis syuro Syarikat Islam
ini, BO adalah antek-antek penjajah. Beliau memberi bukti-bukti kongkret di
antaranya: BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan,
karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan
penjajahan atas Indonesia. BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke
pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah
organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit
yang boleh menjadi anggotanya. “Orang Betawi saja tidak boleh menjadi
anggotanya,” kata KH. Firdaus AN dengan tegas.
Selain itu, KH
Firdaus AN memaparkan, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas
tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya
membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah
pemerintahan Ratu Belanda, dan bagaimana memperbaiki nasib golongannya
sendiri”.
Mengenai
hubungan BO dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian
terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah
seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van
Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama Islam
merupakan batu karang yang sangat berbahaya. sebab itu soal agama harus
disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel
di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr Soetomo
terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat
tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”,
“Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor
24, 1938). Fakta lainnya, ternyata ketua pertama BO, Raden Adipati Tirtokusumo,
Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry.
Sebagai upaya
meluruskan sejarah, bagi KH Firdaus AN, seharusnya pemerintah mengusung spirit kebangkitan
nasional yang diprakarsai oleh Sarekat Dagang Islam (SDI). Gerakan yang
didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905 ini lebih membumi.
SDI yang berganti nama menjadi sarekat Islam (SI) keanggotanya berasal dari
beragam etnis, daerah, dan suku di seluruh Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS
Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis
dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam
juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh pelosok-pelosok desa.
Di berbagai
daerah untuk tahun 1916 saja, SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh
Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak
drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu.
Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak
lebih dari 10.000 orang.
Berbeda dengan
BO yang tidak berani terjun ke dunia politik, akibat kebijakan politik etis
Belanda saat itu. SI dengan gagah menekuni dunia politik dan berkonfrontasi
langsung dengan penjajah. Belanda menganggap ini sebagai ancaman atas
eksistensi mereka.
Mengingat
cakupan SI yang luas meliputi bidang keagamaan, sosial, ekonomi, pendidikan,
dan tentunya politik, akhirnya banyak anggota SI ditangkap, di buang ke Digul
Irian Barat, atau dibunuh. Perlakuan yang tentu tidak sama dengan apa yang
dirasakan anggota BO. Inilah faktor utama yang membuat rakyat respek dan
simpati pada perjuangan SI.
Walaupun
organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi
anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan
label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas
Belanda. Islam juga diyakini bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. bagaimanapun
juga Islam mengakui plularitas. Islam mensejahterakan semua rakyat. Islam
senantisa berpihak kepada yang lemah. Adanya faktor Islam inilah yang membuat
SI lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan
adanya kemajuan bagi seluruh rakyat.
Upaya KH
Firdaus AN pelurusan sejarah ternyata diamini juga oleh Asvi Marwan Adam.
Baginya SI juga merupakan penggerak jiwa nasionalisme dan patriotisme yang
tidak hanya mengedepankan otot dan kekuatan dalam melawan kolonialisme,
meskipun SI menjadikan sentimen keagaamaan sebagai landasan pergerakannya.
Sehingga tidak sedikit dari sejarawan yang berpendapat bahwa 16 oktober
–tanggal lahirnya SI- lebih layak menjadi patokan kebangkita nasional.
Bila kita
turut mengkaji sejarah Indonesia, terkesan ada upaya-upaya sistematis yang
dilakukan oleh pihak-pihak sekuler untuk mengebiri peran umat Islam. Padahal
sumbangsih umat Islam dalam perjuangan pra dan pasca kemerdekaan Indonesia
tidak bisa dipungkiri. Proses deislamisasi tampak halus. Bagi umat Islam
Indonesia yang tidak peka sejarah, tentu akan menerima begitu saja.
Mereka
membesar-besarkan hari-hari dan tokoh-tokoh yang momen dan perannya tidak
begitu dominan. Tokoh Kartini sebagai simbol perjuangan kaum wanita sehingga
hari kelahirannya pun diperingati. Apa andil Kartini dalam perjuangan bila
dibandingkan Cut Nyak Dien, Cut Mutia atau Dewi Sartika? Ki Hajar Dewantoro
ditasbihkan sebagai Bapak Pendidikan berkat Taman Siswa yang didirikannya.
Usaha beliau jelas kalah dibandingkan perjuangan KH Ahmad Dahlan di dunia
pendidikan. Buktinya, saat ini Taman Siswa sudah punah dimakan sejarah.
Sedangkan perguruan Muhammadiyah berkembang pesat merambah berbagai lini
kehidupan.
Sejarah
perjuangan bangsa ini sesungguhnya didominasi oleh perjuangan umat Islam. Tanpa
menihilkan peran umat agama lainnya, umat Islam punya andil yang nyata dalam
menggelorakan semangat persatuan. Umat Islam memilih berkronfontasi dengan
penjajah daripada kooperatif dengan mereka. Umat ini tidak pernah menerima
kedaulatan atas tanah airnya dicederai, harga dirinya diinjak-injak, dan haknya
dirampas.
Aneh sekali
bila ormas dan partai Islam tidak turut ambil bagian dalam upaya pelurusan
sejarah. Apalagi bila latah dan legowo menerima realitas pahit ini apa adanya.
Bahkan, menjadikan beberapa hari peringatan yang ada sebagai syiar atau isu
kampanye. Padahal tema pelurusan sejarah adalah proyek besar. Proyek yang erat
kaitannya dengan kemaslahatan umat untuk meraih legitimasinya atas perjuangan
Republik ini.
Bagi pemerhati
dan pakar sejarah, ada beberapa isu penting dari sejarah Republik ini yang
perlu diluruskan. Upaya pelurusan sejarah ini telah, sedang, dan akan terus
bergulir. Ini penting dalam rangka mencerdaskan masyarakat dan mendudukkan
perkara sesuai dengan hakikatnya. Harapannya agar kabut tebal yang menyelimuti
isu-isu tersebut sedikit demi sedikit mulai hilang. Rahasia-rahasia di baliknya
mulai terungkap. Kebenaraan terselubung akan muncul dan tampak jelas di depan
mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar