Tulisan berikut merupakan ulasan atas
buku yang ditulis oleh Wilson yang berjudul “Orang dan Partai Nazi di
Indonesia” yang dimuat di Kompas.com.
Pengaruh fasisme Jerman yang dikenal dengan Nazisme ini masuk lewat pengaruh Belanda di Indonesia lewat partai fasis yang pada awalnya didirikan oleh
orang-orang Belanda di tanah Hindia-Belanda (nama Indonesia pada zaman Belanda
dulunya).
Ideologi fasis Jerman ini kemudian mendapatkan lahan yang subur pada masyarakat Jawa yang terbiasa dengan budaya raja-raja seperti Dr. Notonindito seorang anggota PNI zaman dulu dan pemimpin Parindra,Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto. Sebagaimana para pemimpin fasis Eropa seperti Hitler dan Mussolini yang memuja-muja kekaisaran Romawi sebagai teladan, kaum fasis Jawa di Indonesia mengelu-ngelukan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama kerajaan-kerjaan Jawa yang utamanya adalah kerajaan Majapahit. Gagasan fasisme Jawa ini kemudian dikembangkan oleh Sukarno, penguasa fasis pertama di Republik Indonesia, yang juga menggunakan “keagungan” dan lambang-lambang kerajaan Majapahit, sebagai dasar daripada kekuasaannya di tanah Indonesia. Sukarno sendiri menjadi penguasa di Indonesia utamanya lewat dukungan kaum fasis Jepang. Sampai kinipun banyak orang Jawa yang berkecenderungan fasis yang masih menggunakan kerajaan Majapahit sebagai pengesahan daripada usaha untuk meraih kekuasaan.
Ideologi fasis Jerman ini kemudian mendapatkan lahan yang subur pada masyarakat Jawa yang terbiasa dengan budaya raja-raja seperti Dr. Notonindito seorang anggota PNI zaman dulu dan pemimpin Parindra,Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto. Sebagaimana para pemimpin fasis Eropa seperti Hitler dan Mussolini yang memuja-muja kekaisaran Romawi sebagai teladan, kaum fasis Jawa di Indonesia mengelu-ngelukan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara terutama kerajaan-kerjaan Jawa yang utamanya adalah kerajaan Majapahit. Gagasan fasisme Jawa ini kemudian dikembangkan oleh Sukarno, penguasa fasis pertama di Republik Indonesia, yang juga menggunakan “keagungan” dan lambang-lambang kerajaan Majapahit, sebagai dasar daripada kekuasaannya di tanah Indonesia. Sukarno sendiri menjadi penguasa di Indonesia utamanya lewat dukungan kaum fasis Jepang. Sampai kinipun banyak orang Jawa yang berkecenderungan fasis yang masih menggunakan kerajaan Majapahit sebagai pengesahan daripada usaha untuk meraih kekuasaan.
Kisah
Fasisme Hindia-Belanda
Mendengar kata fasisme, biasanya pikiran kita
menerawang ke masa lalu di negeri orang. Sejarah fasisme seolah-olah milik
bangsa Jerman, Spanyol, Italia dan Jepang. Padahal, di negeri ini pernah punya partai fasis. Bahkan sekarang karakter
fasisme masa lalu masih ada yang mewarisi. Namun melalui buku ini, Wilson, alumni Fakultas Sejarah Universitas Indonesia yang membuka mata kita untuk mengenal
masa lalu fasisme di negeri ini.
Munculnya politik fasisme di negeri
ini dimulai sejak kemenangan Partai Nazi Jerman yang memenangkan Pemilu 1933.
Kemenangan ini menurut Wilson menjadi pegangan politik baru bagi kaum Indo di negeri Jajahan Hindia-Belanda. Telah
menjadi wacana umum, bahwa sejarah fasisme berakar dari krisis ekonomi dan
politik berkepanjangan yang menimpa suatu bangsa. Fasisme memiliki dasar filosofi
fascio (Italia), fascis (Latin), yang berarti seikat tangkai kayu.
Di tengah kayu ini terdapat kapak pada
zaman Kekaisaran Romawi. Fascis ini merupakan simbol dari kekuasaan. Dengan
kata lain, kekuasaan politik fasis adalah diktator;
ekonomi, politik, sosial, seni, budaya, hingga agama semuanya harus berjalan
sesuai dengan selera penguasa. Dari sisi “psikologi-politik”, Wilson melihat,
menjelang Perang Dunia II Hindia-Belanda terdapat suatu kondisi
di mana stratifikasi rasialnya menyediakan bibit-bibit subur bagi fasisme.
Sebagian kaum Indo memandang ide-ide fasisme merupakan suatu harapan untuk
tetap menjaga kepentingan ekonomi mereka dalam arus perubahan politik dunia.
(hlm 102).
Pada tahun ini juga muncul partai
fasis di Hindia-Belanda, yakni Nederlandsch Indische
Fascisten Organisatie (NIFO), Facisten Unie (FU). Pengaruh fasisme yang begitu kuat
di masa krisis saat itu juga menghipnotis kalangan bumi putera. Bulan Juli 1933, Partai Fasis Indonesia (PFI) berdiri. Dr. Notonindito,
bekas anggota PNI Lama asal Pekalongan adalah tokoh
teras pendiri partai fasis ini. Ide dasar pendirian PFI ini memang agak unik
karena tidak didasarkan kepentingan ideologi, melainkan oleh cita-cita
pembangunan kembali kerajaan-kerajaan Jawa seperti Majapahit dan Mataram, Sriwijaya
di Sumatera, dan kerajaan-kerajaan di Kalimantan.
Gema fasisme yang melanda dunia menuai
respon beragam dari kalangan pergerakan di Indonesia. Kelompok PNI Baru, PKI dan Partindo adalah kelompok yang menentang gigih
fasisme. Alasan dasarnya karena fasisme adalah benteng terakhir dari kapitalisme untuk mempertahankan diri dari krisis ekonomi dan politik (Hlm 178). Sedangkan di luar kedua
kelompok ini, Wilson menilai kaum pergerakan “kebingungan” dalam merespon
fasisme. Kelompok PSII dan Parindra misalnya, karena percaya ramalan
politik Jayabaya menganggap fasisme Jepang sebagai “saudara tua”
yang akan membebaskan bumiputera dari belenggu kolonialisme Belanda.
Istilah “Indonesia Raya” dan “Indonesia Mulia”
yang getol dikampanyekan oleh Parindra misalnya, mengingatkan kita pada ide “Jerman Raya”
milik kaum Nazi Jerman yang mengakibatkan pembantaian jutaan orang Yahudi.
(Hlm 179). Bahkan Agus Salim melihat potensi fasisme sebagai solusi mengusir
kolonial.
Fasisme lama tinggal catatan sejarah.
Terbukti tidak organisasi atau negara yang menganut fasisme lagi. Namun,
sebagaimana kekhawatiran Mansour Fakih (Alm) delapan tahun silam, krisis
gawat yang terus melanda negeri ini tidak mustahil menjadi bibit-bibit
persemaian fasisme. Hal ini bisa dibuktikan oleh fakta berbagai organisasi yang
gemar mobilisasi massa, arak-arakan, dan gemar melakukan tindak kekerasan untuk
memaksakan kehendaknya. Rekaman sejarah yang ditulis secara objektif dengan
penafsiran yang cerdas ternyata mampu menjadikan masa lalu nampak dekat dengan
kenyataan masa kini.
Buku ini juga mengisyaratkan kepada
kita, bahwa fasisme yang mengancam kehidupan umat manusia itu tidak selalu
berupa partai atau gerakan militer, melainkan juga dalam hal cara berpikir,
mengambil sikap, berorganisasi, bahkan dalam hal berdakwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar