Ratu Safiatuddin
merupakan Sultanah perempuan pertama di tahta Kerajaan Aceh Darussalam. Ia
dinobatkan sebagai ratu menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani yang
memerintah pada tahun 1636-1641. Ratu Safiatuddin dalam khasanah sejarah
Kerajaan Aceh Darussalam dikenal dengan nama Sultanah Taju Alam Safiatuddin
Syah. Memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam dari tahun 1641-1675 masehi, yang
juga merupakan anak dari Sultan Iskandar Muda. Sultanah Taju Alam Safiatuddin
Syah merupakan wanita pertama yang diangkat menjadi Sultanah di Kerajaan Aceh
Darussalam. Ratu Safiatuddin diangkat pada saat Aceh dalam keadaan pergolakan
politik, sosial, dan budaya yang tidak stabil karena kaum laki-laki tidak siap
dipimpin oleh kaum perempuan.
Setelah Sultan
Iskandar Thani wafat tidak ada pengganti laki-laki yang dari ketururunan Sultan
Iskandar Muda atau keluarga dekat. Sehigga terjadi kericuhan dalam istana
Kerajaan Aceh Darussalam untuk mencari pengganti sultan. Sebagian dari kalangan
ulama mengatakan bahwa wanita dilarang menjadi pemimpin sedangkan sebagiannya
lagi mengatakan membolehkan wanita menjadi pemimpin. Ulama yang memperbolehkan
bahwa wanita hanya dilarang menjadi imam dalam shalat sedangkan untuk menjadi
pemimpin urusan dunia seperti menjadi Sultanah tidak dilarang. Sedangkan pada
saat itu satu-satunya orang yang dari keturunan Iskandar Muda adalah Ratu
Safiatuddin yang berhak mewarisi tahta kerajaan karena Sultan Iskandar
Muda hanya memiliki seorang puteri.
Para kaum
Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja dengan alasan
tertentu. Sehingga seorang Ulama Besar, yang bernama Nurudin Ar Raniri,
menengahi kericuhan dalam pemilihan pemimpin dengan menolak pendapat kaum
Ulama, akhirnya diangkatlah Safiatuddin menjadi ratu di Kerajaan Aceh Darussalam.
Ratu
Safiatuddin sangat gemar terhadap ilmu pengetahuan dan sastra. Ketika Safiatuddin
berumur 7 tahun sering belajar dengan Iskandar Thani dan putri istana lainnya
pada para ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh
Kamaluddin dan lainnya. Karena latar belakang pendidikan Safiatuddin terhadap
pengembangan dalam bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang
dikelola oleh Hamzah Fansuri.
Selain
pengembangan ilmu pengetahuan, Safiatuddin juga melakukan pembangunan terhadap
pertahanan militer dengan membentuk pasukan khusus wanita yang bertugas mengawal
istana sekaligus sebagai pasukan elite kerajaan terhadap keamanan Kerajaan Aceh
Darussalam, Safiatuddin juga memeriksa dan mengontrol pasukan khusus dengan
menunggang kuda. Yang juga turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639.
Safiatuddin juga meneruskan tradisi pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan
perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Safiatuddin
dalam menyejahterakan masyarakat sangat serius terutama janda dan anak korban
perang di Malaka tahun 1640. Untuk mereka dibangunkan sebuah kota yang terkenal
dengan nama kota Inong Balee yaitu di Krueng Raja yang pembangunannya dibiayai
dengan uang kerajaan dan zakat. Kota ini dijaga ketat oleh pasukan agar para
janda dan anak-anak korban perang dapat hidup dengan aman dan layak dengan
diberikan tunjangan uang kepada janda-janda dan pengurus anak-anak.
Di dalam
bidang militer, Safituddin lebih berperan terhadap pembangunan pendidikan,
ekonomi, dan sosial terutama dalam bidang pengembangan agama di masyarakat.
Dalam pengembangan agama, Safiatuddin dibantu oleh Syeikh Nuruddin Al-Raniri
dan Syeikh Abdul Rauf Singkili yang dikenal dengan Syiah Kuala. Syeikh Abdul
Rauf mempunyai pengaruh yang besar di Aceh karena pengetahuannya yang luar
biasa, sehingga bisa diterima semua kalangan masyarakat.
Pada saat
Situasi Kerajaan Aceh Darussalam menjadi bertambah gawat dengan adanya usaha
perebutan kekuasaan dari kalangan yang tidak senang terhadap pemerintahan
Safiatuddin sebagai Sultanah. Kondisi semakin kacau dengan keberadaan sebagian
orang yang menghasut dan mengambil keuntungan dari situasi yang sulit. Sehingga
peranan kekuasaan VOC di kawasan Selat Malaka pun menjadi meningkat tajam,
terutama setelah barhasil merebut Malaka dari tangan Portugis pada tahun 1641.
Oleh karena itu, Safiatuddin dalam mengendalikan pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam
dalam situasi yang sangat sulit dan kritis.
Safiatuddin
dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam dengan pengembangan sistem
pemerintahan, pendidikan, keagamaan dan perekonomian dengan menjadi perhatian
utamanya. Dalam sistem keagamaan Safiatuddin menjadikan peranan yang tinggi
terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, mengutuskan para ulama Aceh untuk
pergi ke Siam (Thailand) untuk menyebarkan agama Islam. Dengan peranan ini
menjadi penyebab dukungan para ulama terhadap Safiatuddin.
Peranan yang
di tempuh dalam pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendorong para ulama untuk
terus menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan menulis berbagai kitab. Untuk
memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut
hukum Islam, Safiatuddin meminta Abdur Rauf as-Singkili menulis sebuah kitab
yang dikenal Mir’at al Tullab, yang berisi tentang ilmu fiqh yang dapat memudahkan
mengenal segala hukum syara’ Allah. Dalam menjalankan roda pemerintahan yang
berlangsung lama pada masa Safiatuddin membuktikan bahwa secara umum masyarakat
menerima kepemimpinannya. Meskipun pada kenyatan tidak sehebat kepemimpinan
ayahnya, Sultan Iskandar Muda.
Era
pemerintahan Safiatuddin di kenal dengan zaman emas ilmu pengetahuan dalam Kerajaan
Aceh Darussalam. Dengan banyak muncul ulama besar seperti syekh Nurdin
Ar-Raniry, syekh Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala), syekh Jalaludin Tursany,
dan lain-lain. Mendorong para ulama untuk mengarang buku-buku dalam berbagai
disiplin ilmu, di dalam Nukaddimah buku tersebut adalah anjuran dari
Safiatuddin, seperti buku Hidayatul Iman Fi Fadhlil Manan karya Nurdin
Ar-Raniry dan buku Miratuth Thullab karya Syiah Kuala. Pada masa pemerintahan
Safiatuddin telah menyelesaikan 30 judul buku, sedangkan Abdurrauf
menyelesaikan 10 judul buku dalam berbagai bidang ilmu yang menjadi pusat
peradaban perkembangan ilmu pengetahuan di Asis Tenggara.
Karena
prestasi yang dicapai Safiatuddin tidak hanya bersangkutan soal-soal keagamaan
seperti yang dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal teknis pemerintahan.
Sebagai misal, ia berhasil pula menggalang persatuan di kalangan rakyatnya
dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa sebelumnya,
khususnya menyangkut masalah paham wujudiyah. Dalam hal perekonomian,
Safiatuddin sangat memperhatikan pembinaan kehidupan ekonomi. Sumber utama
perekonomian ketika itu, selain dari hasil tambang emas, adalah pemungutan
cukai atau pajak pada setiap pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam
wilayah kekuasaan Aceh dan daerah taklukannya. Hal ini terlihat dari
kebijaksanaan hubungan dagang antara Aceh dan Belanda. Di mana Belanda tidak
diberikan hak-hak istimewa dalam perdagangan, mereka tetap diharuskan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang berlaku di Kerajaan Aceh Darussalam, bahwa setiap
kapal asing yang berdagang di Kerajaan Aceh Darussalam diwajibkan membayar
pajak masuk sebesar 5 persen dari harga barang yang diperdagangkan. Selain itu,
setiap pedagang asing diharuskan memiliki lisensi untuk dapat berdagang di daerah-daerah
yang dikuasai Aceh, seperti Pantai Barat Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu.
Lisensi ini harus diambil di ibukota kerajaan dan untuk setiap pemberian
lisensi dikenakan biaya yang harus dibayar oleh pedagang asing yang
bersangkutan.
Salah satu
kelemahan yang terjadi pada masa pemerintahan Safiatuddin adalah menyangkut
masalah militer, di mana angkatan perang yang sudah mengalami kemunduran sejak
masa pemerintah suaminya Sultan Iskandar Tsani, tidak mengalami perbaikan dan
peningkatan pada masa pemerintahannya. Padahal, ketika itu ancaman ancaman dari
luar khususnya Belanda, semakin besar. Mengenai penetrasi Belanda ketika itu
kita tidak akan membicarakan panjang lebar dalam kesempatan ini.
Walaupan
dalam kemiliteran mengalami kelemahan, namun Safiatuddin dianggap sebagai
pemimpin wanita Aceh yang berhasil. Setelah memerintah dengan berbagai
kebijaksanaan dan rintangan selama sekitar 35 tahun, tepatnya pada hari Rabu,
23 Oktober 1675 M atau bertepatan dengan 3 Sya’ban 1086 H, Sultanah Safiatuddin
Syah mengakhiri kekuasaannya, ia berpulang kerahmatullah. Sepeninggal
Safiatuddin Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh seorang wanita lainnya
yang bernama Naqiatuddin dan bergelar Sri Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar