19 Oktober 2014

Kontroversi Kebangkitan Nasional


Beberapa tahun terakhir terutama pasca era reformasi, tema pelurusan sejarah menjadi tema utama yang banyak dikupas di berbagai diskusi. Baik yang sifatnya obrolan ringan, diskusi kampus, seminar, bahkan sampai debat publik. Di dunia maya, diskusi tentang tema inipun marak. Artikel dan komentar yang muncul berasal dari profesi yang berbeda. Mulai dari mahasiswa, dosen, pemerhati sejarah, dan sejarawan turut serta meramaikan tema besar ini.

Salah satu isu penting yang dikritisi adalah ketetapan pemerintah mengenai hari peringatan kebangkitan nasional. Kenapa harus tanggal 20 Mei dijadikan sebagai hari  kebangkitan nasional? Kenapa harus Boedi Oetomo (BO) dijadikan simbolnya? Setidaknya dua pertanyaan fundamental di atas adalah gambaran wujud kegelisahan para sejarawan dan negarawan muslim.
Pemerintah menetapkan kelahiran BO sebagai hari peringatan kebangkitan Nasional pada tahun 1948. Saat itu kondisi bangsa tengah porak-poranda diterpa agresi Belanda dan terancam diistegrasi. Ki Hajar Dewantoro membicarakan kondisi pelik bangsa dengan menteri Mr. Ali Sastroamidjojo. Sehingga lahirlah ide untuk mengenang sebuah momen penting yang diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Usulan itu sampai ke telinga Bung Karno dan Bung Hatta. Akhirnya diputuskanlah 20 Mei yang notabene merupakan tanggal kelahiran BO sebagai hari peringatan yang dimaksud.

Keputusan yang dipandang aneh oleh sejarawan dan negarawan Muslim. Bagaimana mungkin kelahiran BO ditasbihkan sebagai hari bersejarah. Memang benar bahwa keabsolutan sejarah bisa berubah menjadi relatif bila sudah bersentuhan dengan kepentingan politik dan kekuasaaan. Realitas sejarah bisa dengan mudah didistorsi bila bertolak belakang dengan spirit dan ideologi kekuasaan. Sejarah adalah milik penguasa. Versinya adalah versi penguasa.
Mengenal Boedi Outomo
“Boedi” artinya perangai atau tabiat sedangkan “Oetomo” berarti baik atau luhur. Boedi Oetomo yang dimaksud oleh pendirinya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan atas keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat, kemahirannya. Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Perintis organisasi ini, menurut sejarawan M.C. Ricklefs (1994), adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917). Ia adalah seorang lulusan Sekolah Dokter Jawa di Weltevreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan Stovia). Ia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899.


BO beberapa kali mengadakan kongres untuk meletakkan garis pergerakannya. Pada kongres perdana di Yogyakarta tahun 1908, Cipto Mangunkusumo dan Dr. Rajiman Wedyodinigrat mengusulkan agar BO dijadikan partai politik dengan beranggotakan masyarakat banyak yang bukan priyayi, namun usul itu ditolak oleh kongres. Memang mayoritas para pemimpin berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Aktifitas yang digeluti oleh BO boleh disebut hanya berkutat di bidang pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan aktifitas politik tidak dilakukan sama sekali. Hal ini adalah keberhasilan politik etis yang diagendakan Belanda. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial. Tak heran sejak tahun 1909, BO sudah disahkan oleh Belanda. Bahkan, anggaran dasarnya pun berbahasa Belanda.
Menjadi anggota BO tidak mudah. Selain bangsawan dan ningrat keturunan Jawa dan Madura jangan harap bisa bergabung. Nuansa kesukuan sempit sangat kental terasa. Konsep persamaan derajat dan kesetaraan tidak dikenal dalam organisasi ini. Sistem pendidikan dan ekonomi yang dianut sejalan dengan kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu. Terdapat tembok tebal yang memisahkan antara golongan bangsawan Jawa Madura dengan inlander biasa.   
Lalu pantaskah gerakan semacam ini dijadikan sebagai pelopor kebangkitan nasional? Entah kebangkitan apa yang dimaksud. Setiap tahun momentum kelahirannya selalu diperingati oleh bangsa kita. Seakan-akan bangsa ini mengkhianati cita-cita luhurnya.
Kritik Para Sejarawan Terhadap BO
Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai bahwa BO tidak layak disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya meliputi Jawa dan Madura saja” katanya. Dalam buku yang ditulisnya, “Seabad Kontroversi Sejarah“ Asvi sendiri menulis bahwa Budi Utomo yang oleh banyak orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.

Pernyataan KH Firdaus AN lebih keras lagi. Menurut mantan ketua majelis syuro Syarikat Islam ini, BO adalah antek-antek penjajah. Beliau memberi bukti-bukti kongkret di antaranya: BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. “Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya,” kata KH. Firdaus AN dengan tegas.
Selain itu, KH Firdaus AN memaparkan, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, dan bagaimana memperbaiki nasib golongannya sendiri”.
Mengenai hubungan BO dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya. sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”
Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938). Fakta lainnya, ternyata ketua pertama BO, Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry.

Sebagai upaya meluruskan sejarah, bagi KH Firdaus AN, seharusnya pemerintah mengusung spirit kebangkitan nasional yang diprakarsai oleh Sarekat Dagang Islam (SDI). Gerakan yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 16 Oktober 1905 ini lebih membumi. SDI yang berganti nama menjadi sarekat Islam (SI) keanggotanya berasal dari beragam etnis, daerah, dan suku di seluruh Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh pelosok-pelosok desa.
Di berbagai daerah untuk tahun 1916 saja, SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.
Berbeda dengan BO yang tidak berani terjun ke dunia politik, akibat kebijakan politik etis Belanda saat itu. SI dengan gagah menekuni dunia politik dan berkonfrontasi langsung dengan penjajah. Belanda menganggap ini sebagai ancaman atas eksistensi mereka.
Mengingat cakupan SI yang luas meliputi bidang keagamaan, sosial, ekonomi, pendidikan, dan tentunya politik, akhirnya banyak anggota SI ditangkap, di buang ke Digul Irian Barat, atau dibunuh. Perlakuan yang tentu tidak sama dengan apa yang dirasakan anggota BO.  Inilah faktor utama yang membuat rakyat respek dan simpati pada perjuangan SI.
Walaupun organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas Belanda. Islam juga diyakini bisa menjadi sarana pemersatu bangsa. bagaimanapun juga Islam mengakui plularitas. Islam mensejahterakan semua rakyat. Islam senantisa berpihak kepada yang lemah. Adanya faktor Islam inilah yang membuat SI lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat.

Upaya KH Firdaus AN pelurusan sejarah ternyata diamini juga oleh Asvi Marwan Adam. Baginya SI juga merupakan penggerak jiwa nasionalisme dan patriotisme yang tidak hanya mengedepankan otot dan kekuatan dalam melawan kolonialisme, meskipun SI menjadikan sentimen keagaamaan sebagai landasan pergerakannya. Sehingga tidak sedikit dari sejarawan yang berpendapat bahwa 16 oktober –tanggal lahirnya SI- lebih layak menjadi patokan kebangkita nasional. 
Bila kita turut mengkaji sejarah Indonesia, terkesan ada upaya-upaya sistematis yang dilakukan oleh pihak-pihak sekuler untuk mengebiri peran umat Islam. Padahal sumbangsih umat Islam dalam perjuangan pra dan pasca kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipungkiri. Proses deislamisasi tampak halus. Bagi umat Islam Indonesia yang tidak peka sejarah, tentu akan menerima begitu saja.
Mereka membesar-besarkan hari-hari dan tokoh-tokoh yang momen dan perannya tidak begitu dominan. Tokoh Kartini sebagai simbol perjuangan kaum wanita sehingga hari kelahirannya pun diperingati. Apa andil Kartini dalam perjuangan bila dibandingkan Cut Nyak Dien, Cut Mutia atau Dewi Sartika? Ki Hajar Dewantoro ditasbihkan sebagai Bapak Pendidikan berkat Taman Siswa yang didirikannya. Usaha beliau jelas kalah dibandingkan perjuangan KH Ahmad Dahlan di dunia pendidikan. Buktinya, saat ini Taman Siswa sudah punah dimakan sejarah. Sedangkan perguruan Muhammadiyah berkembang pesat merambah berbagai lini kehidupan.
Sejarah perjuangan bangsa ini sesungguhnya didominasi oleh perjuangan umat Islam. Tanpa menihilkan peran umat agama lainnya, umat Islam punya andil yang nyata dalam menggelorakan semangat persatuan. Umat Islam memilih berkronfontasi dengan penjajah daripada kooperatif dengan mereka. Umat ini tidak pernah menerima kedaulatan atas tanah airnya dicederai, harga dirinya diinjak-injak, dan haknya dirampas.
Aneh sekali bila ormas dan partai Islam tidak turut ambil bagian dalam upaya pelurusan sejarah. Apalagi bila latah dan legowo menerima realitas pahit ini apa adanya. Bahkan, menjadikan beberapa hari peringatan yang ada sebagai syiar atau isu kampanye. Padahal tema pelurusan sejarah adalah proyek besar. Proyek yang erat kaitannya dengan kemaslahatan umat untuk meraih legitimasinya atas perjuangan Republik ini.
Bagi pemerhati dan pakar sejarah, ada beberapa isu penting dari sejarah Republik ini yang perlu diluruskan. Upaya pelurusan sejarah ini telah, sedang, dan akan terus bergulir. Ini penting dalam rangka mencerdaskan masyarakat dan mendudukkan perkara sesuai dengan hakikatnya. Harapannya agar kabut tebal yang menyelimuti isu-isu tersebut sedikit demi sedikit mulai hilang. Rahasia-rahasia di baliknya mulai terungkap. Kebenaraan terselubung akan muncul dan tampak jelas di depan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar