Terlepas dari semua khayalan tentang masa lalu, tentang Hamzah Fansuri
yang Agung, Jadilah perubahan yang anda inginkan dan disaksikan oleh dunia.
Simpanlah Ephoria jaya itu. Kini pikirkanlah yang sedang tejadi dan menuju
kearah manakah sastra di Aceh. Menuju pluralisme Keacehan ataukah menuju pada
kemujudan yang picik???
Jika kita menyepatkan diri membaca
majalah Izzah edisi yang bergambar perjuangan para pemuda Palestina, barangkali
kita akan menemukan sebuah topik bahasan utama yang cukup menarik, yang
nuasanya mensuport media Islam untuk bangkit dan berarti pula mengajak kita
untuk menuliskan gagasan-gagasan kita ke dalam bentuk tulisan. Bahkan disana
disebut-sebut pendapat dua orang tokoh yang tak asing lagi, yaitu Napoleoan
Bonaparte yang sangat memperhitungkan seorang penulis. Karena seorang penulis
bisa mengalahkan orang dalam peperangan dengan opini yang dibuatnya, sedangkan
ribuan tentara belum tentu dapat melakukan demikian.
Hal serupa juga diserukan oleh seorang
ulama besar Dr. Yusuf Qordlawi yang ketika berkunjung ke Indonesia mengatakan
bahwa “Dahulu Eropa kita takhlukkan dengan pedang dan sekarang dengan Ilmu dan
Pena Insayaallah”. Apa yang diangkat oleh majalah Islam Izzah ini saya rasa hal
yang sangat tepat. Keberadaan media Islam saat ini masih tertinggal jauh
dibandingkan dengan media lain. Dan tentunya akhirnya opini Islam akan menjadi
lemah. Pembentukan karakter manusia yang dihasilkan dari proses membaca tentu
akhirnya lebih banyak di pengaruhi oleh media kapitalis dan sekuler. Cobalah
sekarang bandingkan media Islam dengan media lain. Kalaulah ada media cerita
muda, mungkin hanya Annida. Demikian pula dengan media wanita, mungkin hanya
ada Ummi. Dan bandingkan pula dengan media lain, belum lagi dengan koran dan
websitenya. Mungkin untuk koran kita hanya bisa menyebut Serambi Indonesia, Pro
Haba, Republika untuk ukuran yang bermutu dan untuk websitenya hanya Eramuslim.
Seringkali saya mendengarkan
beramcam-macam alasan untuk masalah ini. Kebanyakan mengatakan bahwa kita tidak
punya uang untuk itu, berapa modal yang harus digunakan untuk membuat majalah,
koran dan website, tentu besar bukan?? Hal yang masuk akal juga. Okee sekarang
ada website yang pengelolaannya lebih murah dan malahan ada yang gratis
meskipun tidak bisa menghasilkan uang. Namun masih mungkin tulisan kita bisa
nampang disana. Dan Alhamdulillah kalaulah ada orang lain yang lihat bahkan
dikutip di papernya atau sebagainya. Ah menulis kan sulit, menulis kan butuh
waktu, menulis kan..... kan.... kan.... tentu takkan mungkin habis alasan kita
untuk untuk tidak menulis.
Apakah menulis itu sulit? Ah tentu saja
tidak. Menulis hanyalah memindahkan apa yang sering kita bicarakan ke dalam
bentuk tulisan dan saya fikir tidak ada hal yang terlalu sulit dalam proses
ini. Akan tetapi untuk menulis yang baik memang tidak semua orang bisa termasuk
juga saya, namun hal ini akan dapat kita lalui dengan sendirinya seiring dengan
jam terbang kita dalam menulis.
Dengan demikian saya sangat berharap
banyak bahwa kali ini dapat dijadikan sebagai gambaran tentang situasi dan
kejadian-kejadian yang pernah ada. Nah dengan demikian, mengapa tidak sejak
sekarang kita belajar menulis?? Jika jawabannya mungkin tidak di muat dalam
koran berupa opini, mengapa tidak dikirimkan ke Manarul Online saja?? Nah
sekarang saya fikir tidak akan ada alasan lagi untuk tidak menulis. Dan tidak
ada alasan lagi bagi seruan ustadz Qardlawi untuk tidsk terealisasi.
Sulitnya Menjadi Seorang Penulis Di Kalangan Aktifis
Hadirnya beberapa media masa yang
sedemikian rubrik sastra membuat sebagian kawan-kawan sekarang kian bersemangat
dan berlomba-lomba untuk mengirim karya atau tulisannya agar dimuat dalam koran
atau sejenis media cetak lainnya. Dan setiap tulisan itu adalah kebanggaan bagi
setiap penulis. Namun belum tentu karya yang ditulis itu adalah karya yang
terbaik.
Setiap karya tentunya berpegaruh, baik
positif dan negatif, baik kecil maupun besar, tergantung kekuatan si penulis
itu sendiri. “Anda tidak bisa menyentuh
kelopak mata bunga tanpa menyebabkan bintang bergetar” maknanya penulis
harus berhati-hati setiap melahirkan sastra atau tulisan, karena ia bertanggung
jawab atas isi tulisan tersebut.
Hadirnya sebagian karya fiksi seperti
Opini, Cerpen, Puisi dan lain-lain yang bertebaran di media cetak Aceh belum
mencapai kata “berkualitas”, bahkan sebagiannya belum layak dikatakan karya
sastra. Namun, apa boleh buat memang itu yang kita punya di antara kita. Maka
kini perkuatkanlah mutu karya wahai kawan. Jangan hanya menulis kisah cinta
muram yang pesimis. Mengapa tidak menulis tentang keacehan atau keislaman yang
membuat orang bersemangat. Untuk apa berkarya jikalau hanya menumpahkan air
mata.
Namun dibalik keprihatinan para pencinta
sastra pada kesastraan di Aceh, kalangan akademis malah mengesampingkan sastra.
Sebagian diantara mereka bahkan di Fkip Bahasa dan Sastra sendiri pun mereka
mengklaim bahwa mereka memproduksi para guru bukan sastrawan. Nah paradigma
yang kuno seperti ini hanya membuat kesusastraan jadi tak penting dan
terabaikan. Yang pada hakekatnya dunia sastra adalah cermin budaya sebuah
bangsa.
Apakah menjadi seorang penulis di Aceh
itu sangat mudah? Siapa bilang itu mudah. Yah, memang sangat sulit untuk
menjadi seorang penulis di Aceh dalam hal memamerkan hasil tulisan yang
menyangkut berbagai hal, baik itu tentang Aceh masa silam, sekarang dan masa
yang akan datang. Karena seorang penulis itu harus dulu mempunyai titel yang
angkuh. Lantas apakah seorang penulis itu harus mempunyai sebuah gelar? Dan apakah
penulis juga harus dulu betul-betul menjadi manusia layaknya seorang dosen,
guru, penjabat negara atau sebagainya? Mengapa demikian, lihatlah pada media
cetak yang bertebaran di Aceh, sedikitpun tidak mencerminkan sebagai seorang
penulis sejati yang katanya itulah karya sastra kami yang terbaik dengan gelar
atau titel yang kami punya. Itulah yang saya anggap alias Unrepresentativeness
atau tidak mewakili.
Lalu bagaimana dengan kalangan aktifis
dan siswa-siswi? Apakah Kami tidak berhak menjadi seorang penulis, layaknya
seperti Endatu kami Hamzah Fansuri?? Kami sudah sejak lama telah durhaka
terhadap Nenek Moyang kami sebagai bangsa yang mengagungkan Hamzah Fansuri
sebagai Bapak Kesusastraan Dunia Melayu.
Jikalau budaya tulis yang bersifat aneh
ini akan terus diupayakan, maka jangan sebut-sebut Aceh pernah gemilang pada
masanya, jangan sebut-sebut Hikayat Perang Sabil sebagai puisi panjang yang berkualitas dunia. Kalau tuan-tuan
tidak mau melakukannya, maka berikanlah kewenangan itu pada kami, dan lihatlah
kami bisa melakukannya lebih cepat dari tuan-tuan bayangkan.
Maka lahirkanlah karya tulisan yang
bermutu dan berguna bagi bangsa kita. Kepada tuan-tuan yang berwenang,
hentikanlah kinerja yang anda kerjakan dan perlihatkan selama ini pada media
cetak Aceh yang besifat Unrepresentativeness atau tidak mewakili dan memihak
sebelah itu, agar kembali ruh kejayaan sastra itu di ujung Sumatera ini seperti
endatu kita Hamzah Fansuri yang telah melalukannya.
Penulis Adalah Mahasiswa FKIP Sejarah Universitas Syiah Kuala-Banda Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar