Masyarakat
Aceh, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia, mempercayai bahwa masa
peralihan dari kehidupan seseorang (dari kelahiran sampai kematian) adalah
masa-masa yang krisis2. Untuk itu, perlu adanya suatu usaha menetralkannya.
Wujud dari usaha itu adalah berbagai bentuk upacara di lingkaran hidup
individu, seperti upacara: kehamilan, kelahiran, turun tanah, perkawinan dan
kematian. Dalam artikel ini hanya akan diuraikan salah satu upacara di
lingkaran hidup individu yang dilakukan oleh masyarakat Aceh, yaitu upacara
turun tanah. Uraian meliputi: peralatan dan perlengkapan, tata laksana, dan
nilai budaya yang terkandung dalam upacara turun tanah.
Peralatan dan Perlengkapan
Peralatan
dan perlengkapan yang diperlukan dalam upacara turun tanah pada masyarakat Aceh
adalah: tangga, sehelai kain putih, sebuah kelapa, sapu, tampi, cangkul,
parang, pulut kuning, madu lebah, dan gunting rambut. Tangga digunakan untuk
menurunkan anak yang akan diturun-tanahkan. Sehelai kain putih digunakan untuk
memayungi anak dengan cara setiap orang memegangi sudutnya. Sebuah kelapa untuk
dipecahkan di atas tudung. Sapu digunakan untuk menyapu tanah ketika anak
diturunkan dari anak tangga yang satu ke anak tangga lainnya. Tampi digunakan
untuk menampi beras. Cangkul digunakan untuk mencangkul tanah. Parang digunakan
untuk mencincang batang pisang atau tebu. Pulut kuning, khususnya pada
masyarakat Aceh-Gayo, digunakan untuk menutupi daun telinga anak. Madu lebah
digunakan untuk mengolesi bibir sang anak. Gunting, khususnya pada masyarakat
Aceh-Temiang, digunakan untuk menggunting rambut anak yang akan
diturun-tanahkan.
Persiapan Upacara
Upacara
Turun Tanah tidak hanya melibatkan kerabat ibu dan ayah Sang jabang bayi,
tetapi juga para tetangga dan handai taulan. Seorang yang baik budi pekertinya
(terpandang) dan seorang alim ulama (tuan guru marhaban) yang biasanya memimpin
jalannya marhabanan. Untuk itu, sebagai persiapan, semua yang akan terlibat itu
(diberitahu bahwa pada hari tertentu2)), diminta kehadirannya untuk menyaksikan
dan sekaligus mendoakan bayi yang akan diturun-tanahkan. Selain itu, pihak
penyelenggara juga mempersiapkan bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam
upacara tersebut. Besar-kecilnya atau mewah-sederhananya upacara bergantung
pada kemampuan pihak penyelenggara. Biasanya anak pertama, baik laki-laki
maupun perempuan, diperlakukan secara khusus dibandingkan dengan anak kedua
atau ketiga, sehingga pelaksanaannya seringkali disertai dengan penyembelihan
kerbau atau sapi. Jadi, lebih besar atau lebih meriah ketimbang anak kedua atau
ketiga yang cenderung lebih sederhana (tanpa penyembelihan kerbau atau sapi).
Jalannya Upacara
Upacara
diawali dengan penggendongan bayi (anak) oleh seorang yang terpandang dalam
masyarakatnya. Anak tersebut dibawa ke sebuah tangga3) yang dibuat khusus untuk
upacara ini, kemudian diturunkan dari anak tangga yang satu ke lainnya. Ketika
penurunan dilakukan, anak tersebut dipayungi dengan sehelai kain yang setiap
sudutnya dipegangi oleh seseorang. Lalu, sebuah kelapa dibelah di atasnya.
Maksud yang terkandung dalam makna simbolik dari pembelahan kelapa ini adalah
agar anak di kemudian hari tidak takut terhadap suara petir. Sementara itu,
jika anak yang akan diturun-tanahkan itu adalah perempuan, maka salah seorang
anggota keluarganya bergegas menyapu tanah dan salah seorang anggota keluarga
lainnya menampi beras. Menyapu tanah dan menampi beras adalah simbol dari
kerajinan. Artinya, anak perempuan yang diturun-tanahkan itu kelak menjadi
seorang perempuan yang rajin. Namun, jika yang diturun-tanahkan adalah anak
laki-laki, maka seorang anggota keluarganya bergegas mencangkul tanah dan salah
seorang anggota keluarga lainnya mencincang batang pisang atau batang tebu.
Makna simbolik dari ritual itu adalah kesatriaan. Artinya, kelak anak lelaki
itu dapat menjadi seorang lelaki yang bermoral kesatria.
Ketika
penurunan anak sudah sampai ke tanah, maka anak tersebut dibiarkan sejenak di
atas tanah, kemudian dibawa keliling rumah atau masjid. Dan, ketika akan
memasuki rumah, disertai dengan ucapan: “Assalamu Alaikum”. Dengan masuknya
anak ke dalam rumah, maka berakhirlah upacara turun tanah ini. Sejak saat itu
anak sudah diperbolehkan menyentuh tanah. Sementara itu, sebagai ungkapan
terima kasih dari shohibul hajah, bidan yang dalam upacara ini juga masih
berperan sebagai “penjaga dari gangguan gaib” hingga Sang bayi melalui upacara
turun tanah, diberi sejumlah uang (ala kadarnya).
Sebagai
catatan, pada masyarakat Gayo upacara diawali dengan pembacaan doa yang dipimpin
oleh seorang Imam. Isi doa itu pada dasarnya adalah memohon kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Allah) agar anak berumur panjang, banyak rezeki, dan menjadi seorang
yang taqwa. Setelah pembacaan doa, anak dipangku oleh ralik (salah seorang
kerabat dari pihak ibu anak). Kemudian, daun telinganya dilekati pulut kuning
dan bibirnya diolesi dengan madu lebah disertai dengan ucapan: “Mudahlah
rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”. Selanjutnya, anak
diserahkan kepada semua yang hadir (peserta upacara) secara bergantian
(bergiliran) dengan mengucapkan kata-kata yang sama. Setelah itu, baru anak
diturun-tanahkan melalui sebuah tangga yang khusus.
Pada
masyarakat Tamiang lain lagi. Sebelum upacara turun tanah dilakukan, mereka
melakukan upacara menyangke rambut budak (cukur rambut) dan sekaligus memberi
nama. Upacara diawali dengan pengayunan anak sesuai dengan irama marhaban.
Kemudian, anak diambil dari ayunan oleh salah seorang kerabatnya dan
ditepung-tawarinya oleh tuan guru marhaban serta digunting rambutnya (sedikit).
Guntingan rambut dimasukkan dalam kelapa muda yang terukir. Selanjutnya, setiap
peserta marhaban diberi kesempatan untuk mengguntingnya4). Setelah semuanya
mendapat gilirannya, maka barulah upacara turun tanah dilakukan.
Nilai Budaya
Turun tanah
adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Aceh. Upacara yang sangat erat
kaitannya dengan lingkaran hidup individu ini, jika dicermati secara seksama,
di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan, baik di dunia maupun akherat (alam baqa). Nilai-nilai itu, antara
lain: kerajinan, kesatriaan, keberanian, dan ketaqwaan.
Nilai
kerajinan tercermin dalam makna simbolik dari ritual menyapu halaman dan
menampi beras yang dilakukan oleh dua orang kerabat sang bayi. Nilai kesatriaan
tercermin dari ritual mencangkul tanah dan mencincang batang pisang atau batang
tebu. Kemudian, nilai keberanian tercermin dari pemecahan buah kelapa. Dan,
nilai ketaqwaan tercermin dari pelekatan pulut kuning pada telinga anak dan
pengolesan bibir dengan madu lebah yang disertai dengan ucapan: “Mudahlah
rezekimu, taat dan beriman serta berguna bagi agama”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar