Cristian Snouck
Hurgronje atau Abdul Gafar atau Abu Puteh adalah sebuah nama yang telah
ditinggalkan dalam benak Rakyat Aceh. Nama itu tak asing lagi dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia, khususnya di masa perang Belanda di Aceh dalam
rentan waktu 1873-1942. Berkat informasi yang dipasok sang orientalis yang
menguasai budaya Aceh dan Islam itu, pasukan kolonial Belanda yang sejak awal
telah frustasi terhadap sengitnya perlawanan yang diberikan oleh pejuang Aceh,
kemudian secara perlahan-lahan seperti telah mengetahui titik kelemahan Aceh
dan bertekat ingin menguasai Aceh, dan tentunya atas saran dari Snouck
Hurgronye tersebut. Rupanya, kiprah warga Belanda itu tak hanya tercatat di
bumi Serambi Mekkah saja. Jejak kaki Hurgronje (1857-1936) juga sampai ke
Makkah yang sesungguhnya di Arab Saudi. Demi mempelajari Islam, ritual haji,
dan kehidupan masyarakat di Makkah, lulusan jurusan teologi di Universitas
Lieden, ini pernah tinggal selama sekitar tujuh bulan di Kota Suci itu.
Pria yang lahir di Oosterhout, Belanda, pada 1857 dan memiliki nama lengkap
Christian Snouck Hurgronje, ini bahkan dikabarkan sampai mengubah keyakinan
agamanya alias menjadi mualaf demi bisa menetap di Kota Makkah. Semua itu
dilakukannya agar bisa mempelajari Islam langsung di jantungnya. Orientalis
Kristen kelahiran Oosterhout ini tak percaya Tuhan. Tapi ia dijunjung sebagai
pahlawan oleh Belanda atas keberhasilan memecah-belah ulama. Snouck Hurgronje
adalah sosok kontroversial khususnya bagi kaum Muslimin Indonesia, terutama
kaum muslimin Aceh. Bagi penjajah Belanda, dia adalah pahlawan yang berhasil
memetakan struktur perlawanan rakyat Aceh. Bagi kaum orientalis, dia sarjana
yang berhasil. Tapi bagi rakyat Aceh, dia adalah pengkhianat tanpa tanding.
Saat ini
foto-foto karya Hurgronje saat menetap di Makkah sedang dipamerkan di Dubai
Financial Center dengan diberi judul “Makkah, Sebuah Petualangan Berbahaya”. “Dia
terpesona dengan berbagai macam agama, tetapi secaa khusus tertarik pada ajaran
dan sistem kepercayaan Islam. Dia juga fasih berbahasa Arab,'” ujar Elie Domit,
seorang kurator galeri. Pada 1880, Hurgronje menulis tesis doktornya berjudul
“Het Mekkansche Feest” (Pesta Makkah) yang menggambarkan ibadah haji dan adat
istiadatnya. Pada waktu itu, pemerintah di negara-negara Eropa mulai melihat
dukungan yang diberikan penduduk Muslim bagi upaya kemerdekaan bagi wilayah
koloni Eropa dan Belanda. Makkah dipandang sebagai tempat berkumpulnya para
pejuang Muslim fanatik.
Pada 1884,
berkat didanai pemerintah Belanda, Hurgronje dikirim ke Jeddah untuk meneliti
kehidupan Muslim fanatik di Makkah. Namun dia juga memiliki kepentingan pribadi
untuk memasuki Tanah Suci. Karena bukan seorang Muslim, dia pertama kali
berangkat ke Jeddah dengan maksud mendekati kalangan elit di sana. Demi bisa
memasuki Makkah dan mendapatkan kepercayaan dari warga serta pejabat pemerintah
di sana, Hurgronje secara terbuka mengumumkan keputusannya untuk menjadi
pemeluk Islam. Bahkan kemudian dia dikenal dengan sebutan Abd Al-Ghaffar.
Berkat cara itu, dia akhirnya diizinkan untuk memasuki Makkah dan perjalannya
diatur pada 21 Januari 1885.
Selama tujuh
bulan, Hurgronje tinggal di Makkah. Meski terbilang singkat, dia mengamati,
mencatat, dan mempelajari kehidupan masyarakat lokal. “Waktu itu, Makkah
memiliki salah satu pasar budak terbesar di dunia, dan Hurgronje kagum dengan
perlakukan manusiawi yang diberikan kepada budak karena budak-budak itu diperlakukan
sebagai anggota keluarga, “ujar Domit. Hurgronje juga mengamati kehidupan
wanita di Makkah. Persoalan status sosial, rasa mode, dan kebebasan yang
diberikan kepada kalangan wanita ini dibandingkannya dengan wanita di kota-kota
di Timur lainnya.
Minatnya
yang begitu besar terhadap Makkah membuat curiga pemerintah negara Eropa yang
lain. Setelah itu terungkap bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu,
sekaligus sebagai sedikit dari kalangan orientalis kala itu. Tak lama usai
menikahi wanita Ethiopia, dia dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan
pemerintah Prancis yang menuduhnya telah mencuri batu Taima. Akibatnya,
Hurgronje harus segera meninggalkan Makkah. Dengan tergesa, dia mengumpulkan
catatan dan foto-foto yang diperolehnya selama tinggal di Makkah. Namun
peralatan kamera ditinggalnya dan dititipkan kepada temannya yang seorang
mahasiswa fotografi, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar.
Hurgronje
kemudian balik ke Belanda dan mulai menulis berbagai artikel mengenai Makkah.
Dia tetap menjalin kontak dengan temannya, Al-Sayyid untuk bertukar informasi
dan mendapatkan foto-foto terbaru mengenai Makkah, termasuk foto-foto mengenai
jamaah haji. Sekembalinya di tanah kelahirannya, tak diketahui kabar
selanjutnya, apakah dia masih memegang agama Islamnya, atau kembali ke agama
asalnya “Kristen” seperti yang tertera pada awal namanya. Namun, banyak karya
yang dibuatnya mengenai Islam dan budaya Makkah. Mungkin karena itu pula,
hubungan dia dengan petinggi Arab Saudi bisa terjalin baik. Sebagai pertanda
eratnya hubungan itu, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi sampai tiga kali
mengunjungi Belanda selama kurun waktu 1926-1935.
Ijin share ya kak
BalasHapussurat ad-duha