Afriansyah
Fitrianadewinta
Amul Hustni
Aceh
terletak di ujung bagian Utara pulau Sumatera, bagian paling barat dan paling
utara dari kepulauan Indonesia. Secara astronomis dapat ditentukan bahwa daerah
ini terletak antara 95’ 13’ dan 98’ 17’ bujut timur dan 2’ 48’ dan 5’ 40’lintar
untara. Dengan melihat posisinya yang
demikian, Aceh dapat disebut sebagai pintu gerbang sebelah barat kepulauan
Indonesia. Karena letaknya yang sangat strategis ini dalam perjalanan
sejarahnya Aceh banyak dikunjungi oleh bangsa asing dengan berbagai kepentingan
perdagangan,diplomasi,dan sebagainya. Kedatangan bangsa asing ini
merupakan salah satu hal penting bagi perkembangan Aceh baik secara
politik,kultur,dan ekonominya. Meski pun demikian diantara para pendatang
asing tersebut banyak yang melakukan
tindakan-tindakan yang didorong oleh kolonialisme dan imprialisme, baik di Aceh
dan kawasan sekitarnya. Oleh karena itu timbullah sikap antagonistis dan reaksi
perlawanan oleh rakyat Aceh. Perlawanan-perlawanan itu dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi pihak yang bersangkutan. Bansa asing yang pertama
kali melakukan kontak dan berkonflik dengan Aceh yaitu bangsa Portugis.
Kedatangan bangsa Portugis pada Abad
ke 16 M,merupakan awal usahanya merebut Malaka dari tangan Aceh, dan
interverensinya ke dalam kerajaan Aceh di sekitar Selat Malaka telah
menimbulkan konflik dengan Aceh. Aceh yang pada saat itu telah menjadi kerajaan
besar mencoba melawan dan mengusir bangsa asing tersebut dari kawasan Selat
Malaka. Konflik Aceh dan Portugis berlangsung sepanjang Abad 16 hingga akhir
perempat Abad 17 M. dalam konflik itu banyak muncul figure-figur atau tokoh
terkemuka dari Aceh yang salah satunya yaitu Laksamana Keumalahayati dari
Armada Inong Balee.
Malahayati Merupakan Keturunan Dari
Darah Biru
Dalam
abad ke 16 sejarah pernah mencatat pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama
“Keumalahayati” atau yang lebih dikenal dengan nama Malahayati.Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama
dengan Kemala yang berarti sebuah
batu yang indah dan bercahaya,banyak khasiatnya dan mengandung kesaktian.
Berdasarkan
sebuah Manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysiadan
berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M Keumalayahayati atau Malahayati
adalah berasal dari kalangan bangsawan Aceh dari kalangan sultan-sultan Aceh
terdahulu.Ayahanda Malahayati bernama laksamana Muhammad Syah kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana
Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar
tahun 1530-1539 M.Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putera dari Sutan
Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri dari kerajaan Aceh Darussalam.
Dengan
demikian berarti bahwa Malahayati berasal dari kalangan darah biru,artinya dari
kalangan bangsawan tinggi Aceh.Sedangkan dilihat dari silsilah menunjukkan
bahwa ayah dan kakeknya Malahayati,mereka adalah Laksamana Angkatan
laut.Sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah serta kakeknya itu sangat
berpengaruh pada perkembangan pribadinya.Oleh karena Sang ayah dan Sang kakek
berjiwa pelaut,rupanya bakat dan jiwa bahari ini diwarisi oleh Malahayati.Dia
ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya.
Sepanjang
catatan sejarah,tahun kelahiran maupun wafatnya Malahayati belum diketahui
dengan pasti.Hanya dapat dipastikan bahwa masa hidupnya Malahayati adalah
sekitar akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 Masehi.
Malahayati Menjabat Sebagai
Komandan Protokol Istana
Sebagai
seoranag perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh,Malahayati
memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riyat Syah Al
Mukammil (1589-1604) diangkat sebagai komandan protocol Istana Darud-Dunia dari
kerajaan Aceh Darussalam.Jabatan sebagai komandan protocol Istana bagi
Malahayati adalah merupakan jabatan yang tinggi dan terhormat,disamping besar
tanggung jawabnya.Karena selain menjadi kepercayaan Sultan, menguasai soal
etika dan keprotokolan sebagaimana lazimnya yang berlaku disetiap Istana
kerajaan dimanapun di Dunia.Bersamaan dengan pangkatan Malahayati sebagai Komandan
protocol Istana,diangkat pula CUT LIMPAH sebagai pemimpin rahasia Istana.
Malahayati Menjabat Sebagai
Panglima Armada Inong Balee
Sejarah
hidup Malahayati mengingatkan kita pada sejarah hidup Cut Nyak Dien.Betapa
tidak,pada waktu Teuku Umar gugur dalam pertempuran melawan Belanda,maka Cut
Nyak Dien bertekat untuk meneruskan perjuangan sang suami.Demikian pula halnya
dengan Malahayati.Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil
(1589-1604) terjadi pertempuran laut yang dasyat antara Armada Selat Malaka
Aceh dengan Armada Portugis.Dalam pertempuran tersebut,Sultan Al Mukammil
sendiri yang memimpin armada Aceh dengan dibantu oleh dua orang
Laksamana.Pertempuran Teluk Haru itu berakhir dengan hancurnya Armada
Portugis,sementara dua orang Laksamana Aceh bersama sekitar 1000 prajurit
syahid sebagai kusuma bangasa.Adapun salah seorang laksamana yang gugur dalam
pertempuran Teluk Haru itu,ialah suami dari Laksamana Malahayati yang menjabat
sebagai Komandan protocol istana Darud-Dunia.
Kemenangan
Armada Selat Malaka Aceh atas Armada Portugis sudah tentu disambut gembira oleh
seluruh rakyat kerajaan Aceh Darussalam.Begitu pula Malahayati merasa gembira
dan bangga atas kepahlawanan sang suami yang telah gugur di medan perang,tapi
hatinya marah dan geram.Dia mengajukan permohonan kepada Sultan Al Mukammil
untuk membentuk sebuah Armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semuanya para
wanita janda,yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru.Permohonan
Malahayati dikabulkan Sultan,untuk itu Laksamana Malahayati diangkat sebagai
panglima Armadanya.Armada tersebut dinamakan Armada Inong Balee (Armada Wanita
Janda) dengan mengambil Teluk kraung Raya sebagai pangkalannya,atau nama
lengkapnya Teluk Lamreh Kreung Raya.
Armada
Inong Balee dibawah pimpinan Laksamana Mlahayati pada waktu pembentukannya
hanya berkekuatan sekitar 1000 orang janda muda.Tapi kemudian berangsur-angsur
diperbesar menjadi 2000 orang.Kemudian tambahan personil ini menurut Ali Hasjmy
tidak lagi terdiri dari janda-janda muda,tapi para gadis-gadis muda yang gagah
berani.John Darwis seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada
sebuah kapal Belanda yang pernah berkunjung ke Aceh,sewaktu Laksamana
Malahayati menjadi panglima armada,menyebutkan bahwa kerajaan Aceh pada masa
itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal
perang,diantaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang.Adapun
yang menjadi pemimpinnya adalah laksamana wanita,yaitu Malahayati.Pada masa itu
kapal-kapal perang itu dilengkapi dengan meriam.Kekuatan Armada Angkatan Laut
Aceh pada waktu itu termasuk yang terkuat di Asia Tenggara.
Peristiwa Cornelis De Houtman
Kekuatan
Malahayati sebagai Laksamana mulai memasuki ujian berat ketika untuk pertama
kalinya konflik antara kerajaan Aceh dengan kapal dari pihak Belanda. Pada
tanggal 21 Juni 1599 dua buah kapal Belanda yang bernama “De Leeuw” dan “De
Leeuwin” berlabuh di pelabuhan kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut dipimpin
oleh dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada mulanya
pemimpin kapal tersebut mengatakan bahwa mereka dating ke Aceh untuk melakukan
hubungan dagang dengan Aceh yang mana pada saat itu Aceh merupakan salah satu
penghasil lada hal tersebut disambut hangat oleh Sultan Aceh karena dengan
adanya hubungan tersebut dapat membangun pasaran yang baik bagi hasil-hasil
bumi kerajaan Aceh, khususnya lada.
Akan
tetapi saying dua bersaudara Houtman ini menghianati kepercayaan yang telah
diberikan kepada mereka, mereka ternyata membuat manipulasi dagang,mengacau,menghasut
dan sebagainya. Kemudian pihak kerajaan
Aceh pun tidak tinggal diam Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil yang
memimpin kerajaan Aceh Darussalam pada saat itu segera memerintahkan Laksamana
Malahayati untuk melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal tersebut. Dalam
incident tersebut Cornelis De Houtman tewas ditikam oleh Malahayati dan
beberapa awak kapal nya juga ikut tewas dalam incident tersebut, sedangkan
saudaranya Frederick De Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan Kerajaan
Aceh.
Selama
2 tahun mendekan ditahanan Frederick De Houtman berhasil menyusun sebuah karya
ilmiah berupa subuah kamus bahasa Melayu-Belanda yang merupakan kamus
Melayu-Belanda pertama di Nusantara. Selang beberapa lama setelah peristiwa
tersebut, pada tanggal 21 November 1600 datang lagi kapal dari Belanda ke
Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Paulus Van Caerden, ternyata sebelum memasuki
pelabuhan Aceh mereka telah melakukan sebuah tindakan yaitu, menjarah muatan
dari kapal dagang Aceh, muatan dari kapal Aceh tersebut adalah lada setelah
mengambil muatan kapal mereka menenggelamkan kapal dagang tersebut dan keudian
meninggalkan pantai Aceh begitu saja. Setelah peristiwa tersebut datang lagi
rombongan dari Belanda yang dipimpin oleh Laksamana Jacob Van Neck, rombongan
yang dipimpin oleh Jacob ini tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Van
Caerden. Sewaktu mereka berlabuh di ibu kota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Juni
1601 mereka memperkenalkan diri kepada Sultan Aceh sebagai pedagang dari
Belanda yang ingin membeli lada dari Aceh. Begitu mengetahui bahwa mereka
berasal dari Belanda Malahayati langsung memerintahkan anak buah nya untuk
menawan mereka. Kemudian Malahayati memberitahu kepada Jacob bahwa dua buah
kapal Belanda sebelumnya telah menenggelamkan kapal milik Aceh dan mengambil
lada tanpa bayaran, karena itu sebagai ganti ruginya sultan memerintahkan untuk
menawan setiap kapal dan orang-orang Belanda yang datang ke Aceh. Menjelang
tahun 1602 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard
De Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal mengunjungi Aceh. Mereka datang
ke Aceh atas perintah pangeran Maurits untuk menjalani hubungan persahabatan.
Kedua
utusan dari pangeran Maurits disuruh menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk
surat isi dari surat itu antara lain,permohonan pangeran agar sultan Aceh
membebaskan tawanan mereka yaitu orang-oranga belanda yang mereka tawan
termasuk membebaskan Frederick De Houtman. Laurens Bicker juga menyampaikan
penyesalan atas perbuatan yang dilakukan oleh Van Caerden dan para awaknya
dulu. Ia mengatakan sekembalinya ia ke negeri Belanda ia akan menuntut kompeni
Van Caerden atas tindakanya. Ternyata Bickers tidak hanya sekedar berbasa-basi
saja janjinya tersebut benar-benar ditepati, hal itu terbukti dari hukuman
denda yang dijatuhkan oleh mahkamah Amsterdam atas Van Caerdens yaitu
keharusannya membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh.
Pada
tanggal 6 Juni 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris
tiba di pelabuhan Aceh bersama rombongannya. Ia membawa sepucuk surat dari Ratu
nya, Elizabeth I untuk disampaikan kepada Sultan Aceh. Sebelum menghadap ke
Sultan Lancaster terlebih dahulu berhadapan dengan Malahayati setelah
perundingan dengan Malahayati baru lah rombongan Inggris melakukan perundingan
dengan Sultan Aceh. Ledatangan orang-orang Belanda dan Inggris ini tidak
menyenangkan pihak Portugis. Kemudian pihak Portugis mencoba merebut sebuah
pulau yang terletak di Pantai Aceh. Tujuannya adalah untuk mendirikan sebuah
benteng ditempat itu,namun hal itu ditentang oleh pihak Aceh. Kemudian
0rang-orang Portugis yang dipimpin oleh Alfonso De Castro menyerang Aceh. Dalam
pertempuran di Teluk Kreung Raya bersama dengan Darma Wangsa pihak Aceh
berhasil mengusir pihak Portugis namun sayang Malahayati gugur dalam
pertempuran tersebut. Hingga sampai sekarang para ahli sejarah belum mengetahui
kapan pastinya lahir dan wafatnya Laksamana Malahayati. Jenazah
Malahayati,pahlawan puteri kerajaan Aceh Darussalam ini di makamkan di lereng
bukit kota dalam,sebuah bukit yang terletak di Desa Nelayan Krueng Raya,jauh
nya skitar 34 KM dari kota Banda Aceh.
Kesimpulan
Malahayati
merupakan salah satu keturan dari Laksamana Muhammad Syah yang merupakan
keturunan bangsawan Aceh.Malahayati diperkirakan hidup sekitar akhir abad ke-15
dan pada awal abad ke-16 Masehi.Malahayati merupakan salah satu srikandi dari
Aceh yang sangat berpengaruh untuk kerajaan Aceh Darussalam yang mana pada saat
pemerintahan Sultan Alaiddin Riyat Syah Al Mukammil (1589-1604 M) ia menjabat
sebagai seorang protocol istana dan sebagai panglima di Armada Inong
Balee.Dimasa kepemimpinannya Armada Inong Balee banyak melakukan penyerangan
diantaranya penyeranagan terhadap kapal-kapal dagang belanda yang pada
peristiwa tersebut menewaskan Cornelis de Houtman dan penyerangan terhadap
kapal-kapal Portugis yang akhirnya menewaskan Laksamana Malahayati.Hingga
sekarang para ahli sejarah belum bisa memastikan kapan tepatnya lahir dan
wafatnya Laksamana Malahayati.
Sumber:
Hasjmi,A.
1977. 59 Tahun Aceh Merdeka Di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta:
Bulan Bintang.
Kurdi,
Maulidi. (2009). Aceh Di Mata Sejarawan. Banda Aceh: Lembaga Kegiatan Agama dan
Sosial Banda Aceh.
Salam,
Solichin. (1995). Malahayati Srikandi Dari Aceh. Jakarta: Gema Salam.
Wakhid.
(2011). Srikandi Di Selat Malaka. Dalam Majalah Paras, Edisi Februari
2011.
Zainudin,
H.M. (1961). Tarich Atjeh Dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Penulis
adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah
Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012 Banda Aceh – Darussalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar