Sudah 141
tahun lalu, 26 Maret 1873, Komisari Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen
berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah
Hindia Belanda, menyatakan perang terhadap Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen
inilah yang menyebabkan kehidupan rakyat Aceh menjadi tidak menentu hingga hari
ini. Perlawanan dan pengkhianatan bercampur baru di sana. Belanda harus
mendapat taktik khusus penaklukan Aceh, bahkan orientalis terkenal Prof. Dr.
Snouck Hurgronje dikirim ke Mekkah mempelajari watak dan karakter kaum muslimin
Aceh. Teori Snouck ini tidak hanya dipakai di Indonesia saat ini dalam
penafsiran agama dan negara bahkan pemerintah Belanda masih memakainya dalam
keterlibatannya di dunia muslim seperti dalam keikutsertaan ke Afghanistan,
Belanda pelajari Perang Aceh (Republika, 28 Januari 2011) khususnya pengetahuan
tentang Perang Aceh dan bagaimana Belanda berjibaku mencoba menjajah Aceh.
Kedatangan tentara Belanda di perairan Aceh pada saat itu, menyebabkan Sultan
Alaidin Mahmudsyah (1870-1873) memanggil pembesar pembesar istana untuk
bermusyawarah dan diputuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman
Komisari Pemerintah Hindia Belanda Nieuwenhuijzen dan setiap serangan akan
dibalas dengan serangan pula.
Tidak ada
putusan kita yang lain, demikian titah Sultan Alaidin Mahmudsyah, kecuali
menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihad, dan segenap lapisan rakyat
diserukan ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan
dari setiap serangan. Udep merde’ka, mate
syahid; langet sihet awan peutimang, bumoé’reunggang ujeuen peurata, salah
narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.
Di pihak
lain Belanda dengan kekuatan penuh telah berada di pantai pantai Aceh yang
dipimpin oleh Jenderal Mayor J.H.R. Köhler, dibantu Kolonel C.E. van Daalen dan
Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku Kepala Staf. Kekuatan ekspedisi ini
terdiri dari batalyon kesatu Barisan Madura, satu detasemen cavaleri, barisan
meriam, barisan Genie lengkap, staf tatausaha dan dinas kesehatan lengkap.
Jumlah kekuatan angkatan darat seluruhnya terdiri dari 168 opsir, 3198 serdadu
(1.098 Belanda dan 2.100 orang Indonesia asli) 31 ekor kuda perang untuk opsir,
149 ekor kuda untuk serdadu, 100.026 orang hukuman, 220 janda, 8 bersuami dan
300 buruh.
Penyerangan
Belanda pada tanggal 26 Maret 1873 dihadapi dengan kekuatan penuh oleh rakyat
Aceh. Dari seluruh pelosok Aceh menyahuti seruan Sultan Alaidin, akibanya 18
hari setelah proklamasi perang Belanda di Aceh, Belanda harus membayar mahal,
banyak tentaranya yang mati bahkan pimpinan pasukannya Jenderal Mayor J.H.R.
Köhler ditembak oleh tentara kerajaan Aceh Darussalam, di halaman Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh, pada tanggal 14 April 1873. Dan berucap “O God, Ik ben getroffen” (ya Tuhan, Aku
kena).
Itulah
ucapan terakhir yang keluar dari mulut Jenderal Kohler ketika sebutir peluru
menembus dadanya. Sang Jenderal itu pun terkapar dan tewas di depan Masjid Raya
Baiturrahman. Akhirnya ekspedisi pertama ini gagal dan tentara Belanda ditarik
pada tanggal 17 April 1873. Setelah Nieuwenhuijzen meminta persetujuan.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Jakarta.
Belanda
tidak mengira akan mendapatkan perlawanan setangguh ini di Aceh, satu-satunya
wilayah di Netherland Hindi (Indonesia) yang belum tunduk pada Belanda, Aceh
telah membuat Belanda gregetan. Armada Aceh dianggap sering mengganggu kapal
Belanda yang mengangkut rempah-rempah di Selat Melaka.
Sementara
itu, Belanda tak dapat membalas karena terikat Traktat London 1824 antara
Ingris dan Belanda yang salah satu pasalnya tetap menghormati kedaulatan Aceh.
Tak heran kalau Belanda giat berupaya mencari celah untuk mengadakan perjanjian
baru dengan Inggris, dan itu terpenuhi dengan Traktak Sumatera 1871 antara
Inggris dan Belanda, setelah Belanda menyerahkan Gold Coast (Pantai Gading) di
Afrika kepada Inggris dengan konpensasi.
Wartawan
Belanda Paul van’t Veer menulis bahwa perang Belanda di Aceh yang bermula pada
tanggal 26 Maret 1873 berakhir pada tahun 1942. Ia membaginya dalam 4 babak
pertama, perang 1873. Kedua, Perang yang terjadi, 1874-1880. Ketiga, perang
1884-1896. Keempat perang dari tahun 1898-1942. Dijelaskannya, bahwa Belanda
hampir 69 tahun tak henti-hentinya berperang di Aceh. Aceh adalah negara yang
paling akhir dimasukkan ke dalam pemerintahan Hindia Belanda (Indonesia), dan
yang mula-mula sekali pula keluar daripadanya pada tahun 1942. Banyak
pahlawan-pahlawan Aceh Kerajaan Islam Aceh Darussalam syahid kena peluru atau
kelewang Marsose Belanda begitu terdapat pula dari tokoh tokoh Aceh yang berkhianat
pada negerinya dan memihak Belanda. Dalam sejarah juga tercatat munculnya kaum
wanita yang berdiri di depan melawan penjajahan negerinya.
Zentgraaf
wartawan perang Belanda sangat kagum terhadap wanita Aceh. Katanya mereka gagah
berani dan memendam rasa dendam. Di medan-medan perang mereka menjalankan tugas
tempur dengan keberanian tak takut mati sehingga sering-sering mengalahkan
seorang pria. Sampai pada detik-detik darah penghabisan dan merenggut nyawanya,
dengan perasaan jijik dan amarah, mereka masih meludahi muka musuhnya yang
merampas kemerdekaan negerinya.
Salah satu
bukti korbannya tentera Belanda di Aceh sekarang masih dapat dilihat di kuburan
Belanda Peutjoet, Blower, samping Blang Padang di mana lebih 2.200 tentera KNIL
Belanda terbaring kaku di sana sehingga F V D Veen ketua Yayasan Peutjoet
mengatakan pada tahun 1984 bahwa “The Royal Dutch Indies Army has had to fight
a fierce battle for more than 40 years in order to get the area under Dutch
rule. A war that cost many lives on both sides. About 2.200 members of the KNIL
(Royal Dutch Indies Army) killed in action or otherwise, from soldier to
general, lie buried in the Cemetery of Peutjoet at Banda Atjeh”
(Peutjoet:1984). Maksudnya, lebih dari 40 tahun tentara kami harus berperang di
Aceh demi mendapatkan negeri ini tunduk pada pemerintahan kami. Perang ini
telah mengorbankan banyak jiwa. Dan lebih 2.200 tentera KNIL terbunuh di sini.
Pada tahun
1973, intelektual Aceh mengadakan seminar di Medan Sumatera Utara untuk
mengenang perang 100 tahun perang Belanda di Aceh. Hal serupa juga dilakukan
oleh Hasan Tiro di New York dengan menulis artikel untuk memperingati 100
perang Belanda di Aceh. Makna yang dapat dipetik dari perang yang telama pernah
terjadi di dunia ini yakni kesetian dan pengkhianatan selalu hadir bersamaan.
Teman pada masa perang bisa menjadi musuh pada masa damai. Ini bisa terjadi
karena mereka mengutamakan logistik (pendapatan) dengan menghilangkan logika
(pendapat). Memperingati perang Belanda di Aceh ini pada hari ini, marilah kita
sedekahkan doa dan al fatihah kepada para syuhada yang mendahulu kita demi
berjuang untuk negeri dan agamanya. Bersatulah bangsaku dalam membangun negeri
para syuhada ini.
* M Adli
Abdullah anggota Subung Community Corner dan Fello pada
Pusat Penyelidikan Dasar dan Kajian Antara Bangsa Universiti Sains Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar