7 WANITA
ACEH DI PEPERANGAN
1. Laksamana Malahayati
Pada waktu Sultan Alaidin Riayat
Syah A l Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M) terjadilah
pertempuran laut di Teluk Aru, antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada
Portugis. Pertempuran dipimpin oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana.
Pertempuran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara
sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh mati syahid. Isteri
dari salah seorang Lakseumana itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu
itu menjabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia. Sekalipun kemenangan suatu
pertempuran menimbulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping
kegembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan bercampur geram
dan marah. Karena itu ia meminta kepada Sultan agar membentuk
sebuah Armada Aceh yang prajuritnya seluruhnya terdiri dari para
janda yang suaminya telah syahid dalam pertempuran Teluk Haru
itu.
Permintaannya
dikabulkan, dan terbentuklah Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda)
dengan Malahayati sebagai Panglimanya, dan mengambil Teluk
Krueng Raya sebagai
pangkalan armada tersebut. Ketika muda,
Malahayati mendapat pendidikan militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh
yang bernama Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para
perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki dengan kerajaan Aceh
Darussalam. Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayahdan kakeknya.
Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan suaminya, dan menikah. Setelah
selesai pendidikan, suaminya terus mengembangkan karir di laut, sementara ia
menjadi komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi panglima armada
Inong Balee.
Peristiwa Houtman bersaudara telah
mengangkat derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. Armada Inong
Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal perang dan meriam-meriam, pada
waktu itu merupakan sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada
kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang yang dipimpin oleh
Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh
dan diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap kepercayaan Sultan dengan
membuat manipulasi dagang, mengadakan pengacauan, menghasut, dan sebagainya.
Sultan memerintahkan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertempuran
dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan
Frederijk ditawan.
Laksamana Malahayati bukan saja
seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri
Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan Aceh, datanglah utusan
Belanda dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri
Belanda pada waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati oleh
Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya
kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid.
Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidupn pada abad ke-17, di samping
seorang panglima yang gagah berani, juga seorang diplomat yang cakap.
2. Teungku Fakinah
Selama perang Aceh melawan Belanda
pada akhir abad ke-19 banyak sekali muncul pahlawan wanita, salah seorang di
antaranya ialah Teungku Fakinah. Tetapi ia bukan hanya seorang pehlawan perang
yang berani, melainkan juga seorang pendidik dan ulama. Sebelum Perang Teungku
Fakinah membuka sebuah dayah (pesantren), ketika zaman perang ia tampil sebagai
panglima perang yang disegani musuh, dan setelah kembali dari medan perang
beliau kembali muncul sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras membangun
kembali pendidikan pada pesantrennya yang porak poranda karena peperangan.
Ayah Teungku Fakinah adalah seorang
pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar,
yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma
menjadi seorang panglima perang dan ulama besar. Ketika kecil dan remaja,
Teungku Fakinah mendapat pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya,
serta belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah mendapat
pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan
seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya sebelum pecah
perang mengajar pada Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah. Teungku
Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam perang, dan sejak itu Teungku Fakinah
berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut
Sukey).
Atas persetujuan Sultan terbentuklah
Sukey Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau sendiri
menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon dalam Sukey Fakinah itu,
seluruh prajuritnya terdiri atas kaum wanita, sementara komandan-komandan kompi
dan Regu pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita. Beliau
ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar, dan setelah
lewat 10 tahun perang beliau turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa
pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuangku Hasyim Banta
Muda.
Salah satu peranan Teungku Fakinah
yang perlu dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami kawan
dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak Aceh.
Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat,
yang antara lain isinya sbb :
"Saya harap kepada Cutnyak agar
menyuruh suami
Cutnyak, T. Umar, untuk memerangi
wanita-wanita
yang sudah siap menanti di Kuala
Lamdiran (maksudnya
Resimen Fakinah), sehingga akan
dikatakan orang
bahwa dia adalah panglima yang
berani, johan pahlawan
seperti yang digelarkan oleh musuh
kita Belanda
Isi surat itu sangat menyegat
perasaan Cut Nyak Dhien, dan mendorongnya untuk berusaha menyadarkan kembali
suaminya. Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim pesan kepada suaminya, yang
antara lain berbunyi:
"Apalagi Pang Karim, sampaikan
kepada Teuku Umar,
bahwa Teungku Fakinah telah siap
sedia menanti
kedatangan Teuku Umar di Lamdiran.
Sekarang
barulah dinilai perjuanganmu cukup
tinggi pria lawan
wanita, yang belum pernah terjadi
pada masa nenek
moyang kita. Kafir sendiri segan
memerangi wanita.
Karena itu, Teuku didesak berbuat
demikian. Sudah
dahulu kuperingatkan : janganlah
engkau menyusu
pada badak ".
Pesan Cut Nyak Dhien sangat
menyentuh hati Teuku Umar, dan tidak berapa lama kemudian maka Teuku Umar
kembali kepada bangsanya dengan membawa alat persenjataan
Belanda yang cukup banyak. Demikianlah, maka kemudian
dalam umur yang cukup tua, seorang pahlawan dan ulama besar Teungku Fakinah
berpulang kerahmatullah pada tanggal 3 Oktober 1933, dan dimakamkan di Lamdiran
di tempat kelahirannya.
3. Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita
Aceh yang telah menjadi pahlawan Nasional, karena memang dalam tubuhnya bersemi
semangat pahlawan yang luar biasa. Ketika masih bayi telah didendangkan
ketelinganya dengan lagu-lagu yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan. Ayahnya
menceritakan kepadanya kehebatan para wanita Aceh di masa lalu, sehingga
setelah ia tumbuh menjadi dewasa seperti telah ditakdirkan untuk menjadi
srikandi, pahlawan bangsa.
Cut Nyak Dhien adalah puteri seorang
uleebalang berdarah pahlawan, bernama Teuku Nanta Setia, penguasa VI Mukim
Peukan Bada. Neneknya juga seorang bangsawan, Teuku Nanta Syekh, yang sangat
dipercayai oleh Sultan Aceh! Suami Cut Nyak Dhien yang pertama ialah Teuku
Ibrahim dari Lam Nga, Montasik, seorang pahlawan yang sangat ditakuti Belanda,
yang syahid pada tahun 1873 setelah hanya baru lima tahun menikah
dengan Cut Nyak Dhien, dan meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak
Gambang.
Setelah beberapa tahun Cut Nyak
Dhien menjanda, maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar, yang
kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, Teuku
Nanta Syekh. Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak
pinangan Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi isteri
Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi isteri penjaga rumah,
tetapi dibolehkan ikut perang bersama suaminya dan pejuang-pejuang lainnya,
yang hal itu disetujui oleh Teuku Umar.
DemikianJah, semenjak setelah
perkawinannya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, melawan musuh untuk
mempertahankan tanah airnya. Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka
pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia berjihad dalam hutan,
berpindah dari satu lembah ke lembah yang lain, sampai kemudian matanya buta.
Akhirnya pada tanggal 4 Nopember
1905, Cut Nyak Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Van
Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut Nyak Dhien masih tetap
mengomandokan perang dari kamp tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau
diasingkan ke tanah Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal
6 Nopember 1908. Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam beberapa buku,
dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut Nyak Dhien.
4. Cut Meutia
Seperti halnya Cut Nyak Dhien,
pejuang wanita Aceh Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkan
oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalam mempertahankan tanah
air dari penjajahan Belanda. Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga
mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima perang. Bedanya
ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda
dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati
syahid dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880-1910 M).
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku
Ben Daud, dan darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat jihad
telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben Daud sendiri yang hidup
sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang
ulama, yang erat hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang
bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana
perang (7 tahun setelah pecah perang), dimana ibunya senantiasa mendendangkan
lagu-lagu yang menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku
Syamsyarif yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian menikah
dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang pejuang dan panglima perang.
Setelah suaminya mati syahid, atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan
Pang Nanggroe, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya Teuku Cut Muhammad,
dan terus melanjutkan perjuangan suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut
Meutia menjadi janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula
pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Cut Meutia
syahid pula. Cut Meutia meninggalkan seorang putra dari suaminya Teuku Cut
Muhammad, yang diberi nama T. Raja Sabi.
5. Pocut Meurah Intan
Di Desa Tegal Sari, Blora, di bawah
kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan
wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh.
Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan
yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari,
jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana
tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur
Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).
Pocut Meurah Intan adalah puteri
seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda.
Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku
Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun.
Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi
pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin.
Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin
Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan
Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dan kemudian dipindahkan ke
Batavia, dan meninggal disana.
Tentang bagaimana keperkasaan dan
semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan
wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang
wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H.C. Zentgraaff, dalam bukunya ATJEH.
Berikut adalah beberapa kutipan dari buku tersebut.
"Veltman yang terkenal dengan
sebutan Tuan
Pedoman, seorang perwira yang baik
had, pernah mengenai
seorang wanita Aceh turunan
bangsawan,
namanya Pocut Meurah Intan. Wanita
itu disangka
menyembunyikan sebilah keiewang di
dalam lipatan
kainnya. Tiba-tiba ia mencabut
rencongnya dan dengan
meneriakkan : "Kalau begitu
biarlah kau mati syahid'
iapun menyerbu brigade.
Anggota-anggota pasukan
nampaknya kurang bemafsu untuk
bertempur dengan
seorang wanita yang berlaku sebagai
singa betina, yang
menikam kekiri dan kekanan, dan
sebentar kemudian
wanita itupun jatuh terbaring di
tanah "
"Ia mengalami luka-luka parah;
ia memperoleh dua
buah tatakan di kepalanya dan dua
buah di bahunya,
sedang salah satu urat ketingnya
putus. Ia terbaring di
tanah, penuh dengan darah dan
lumpurlaksanasetumpuk
daging yang dicencang-cencang.
Seorang sersan
yangmelihatnya, dengan perasaan
penuh belas kasihan
berkata kepada komandannya :
Bolehkah saya meiepaskan
tembakan pelepas nyawanya?, yang
dibentak Veltman
dengan: Apa kau sudah gila?
Lalupasukan meneruskan
perjalanannya. Mereka menginginkan
agar wanita itu
meninggal di tangan bangsanya
sendiri". Beberapa hari
telah berlalu, ketika Veltman
berjalan-jalan di kedai
Biheu (dekat Padangtiji) disana ia
mendengar bahwa
Pocut Meurah Intan bukan saja masih
hidup, tetapi
bahkan ia mempunyai rencana hendak
membunuh
penduduk kampung yang telah menyerah
kepada
Belanda.
Untuk mengetahui hal itu yang
sebenarnya, Veltman
memerintahkan untuk menggeledah
rumah-rumah di
kampung. Setelah dicari dalam setiap
rumah dalam arti
kata yang sebenarnya, ditemuilah
wanita itu tubuhnya
dibalut dengan bermacam-macam kain
dan kelihatannya
menyedihkan sekali. Pada
luka-lukanya itu disapukan
setumpuk kotoran sapi. Keadaannya
lemah sebab
banyak kehilangand arah dan tubuhnya
menggigil;
ia mengerang karena kesakitan.
Walaupun begitu ia tetap menolak
bantuan dokter,
lebih baik mati daripada tubuhnya
dijamah seorang
"khapee". Veltman yang
sangatpasih berbahasa Aceh,
lama berbicara dengan wanita itu
dengan cara yang
amat hormat, sesuai dengan
kedudukannya. Akhirnya
ia menerima juga bantuan serdadu itu
yang ditolaknya
dari seorang dokter. Orang-orang
Aceh sangat sportif;
serdadu-serdadu dari semua negara
dan keturunan
dapat sama-sama harga-menghargai,
wanita itu membiarkan
dirinya dirawat oleh Veltman, dia
membersihkan
luka-lukanya yang berulat, kemudian
membalutnya
baik-baik "
Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan
keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.
6. Pocut Baren
Dalam tahun-tahun Revolusi fisik
1945, di Aceh dibentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya dan
amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di bawah pimpinan A .
Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam Divisi Rencong itu terdapat satu resimen
Putri yang terdiri dari gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang
dibentuk pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di Sumatera,
dan mungkin di Indonesia.
Kepahlawanan Pocut Baren telah
diangkat menjadi nama resimen tersebut. Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut
Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880. Darah
kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh Pocut Baren. Dalam usia muda
(7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh
Barat, sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing keiewang tidaklah
asing bagi remaja puteri itu.
Setelah usia dewasa, Pocut
bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai
panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut menggantikan kedudukan
suaminya, baik sebagai Uleebalang maupun sebagai panglima perang, dan terus
melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin
pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar 18 tahun, seorang
janda yang luar biasa.
Pocut membangun sebuah benteng di
"Gua Gunong Macang" yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia
melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan patroli Belanda. Setiap
kali patroli Belanda melewati wilayah markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali
dengan Membawa mayat serdadunya. Atas perintah Kapiten Heidens, Letnan Scheuler
dari kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang "Gunong
Macang", tetapi tidak berhasil, sampai akhirnya ia (setelah mendapat
persetujuan dari Kutaraja) membakar Gunong Macang dengan 2000 liter minyak
tanah sehingga Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak yang
mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari serdadu marsose yang
terjebak dalam gua.
Di antara mayat-mayat yang ditemukan
ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah Pocut Baren. Adapun Posut Baren sendiri dapat
menerobos pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu pertempuran
yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari "Neraka Gunong Macang" Pocut
membangun kubu pertahanan baru, yang tidak lama kemudian ia telah menyerang
pasukan Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat dengan
pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.
Dalam suatu pertempuran yang
berkecamuk sejak pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan
beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannya. Beliau dibawa
ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja. Kakinya yang telah hancur kena pecahan
peluru itu terpaksa dipotong, dan menjadi cacat. Jenderal van Daalen yang telah
menjadi Gubernur Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang PocuT Baren ke
tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten Veltman, yang telah
mempelajari adat istiadat Aceh memberi
advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh,
sebab rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka akan bertambah
menyala.
Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke tanah Jawa, dan kaki kanannya
yang cacat itu, menikah dengan Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop
sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume. Pada tanggal 9 September 1912, Kapten
Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut Baren yang
masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat
muda dengan tidak mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak
mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume
dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita
dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang
masa.
7. Teungku Fatimah
Seperti telah dikemukakan pada
bagian terdahulu bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid
pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang grilya
bersama putranya yang masih kecil, Teuku Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid
sebulan kemudian, maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya,
salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah, yang berjuang bersama
suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku
Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat (suaminya) adalah
sama-sama murid dari Teungku Khatim. Teungku di Barat dan Teungku Fatimah
adalah Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou. Seperti
pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan, Teungku Fatimah pun berperang
di medan laga dengan gagah berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang
yang lain.
Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai, di mana di tempat itu di
dalam suatu pertempuran yang sangat sengit, Teungku Fatimah dan suaminya
teungku di Barat mati
syahid bertindih mayat dengan disaksikan kayu-kayu
perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung rimba. Itu terjadi pada
tanggal 22 Pebruari 1912.
http://meukeutop.blogspot.com/2011/05/7-wanita-aceh-dalam-peperangan.html
suka deh baca baca info seperti ini
BalasHapusal fatihah