1. Sejarah
Data
tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang
pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat
spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat
sementara karena keterbatasan data yang diperoleh.
Secara
umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar,
seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab,
India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber
lokal, seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat
dijadikan rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.
Data
tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt,
seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut
sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh
Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri
merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang
dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan
penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan
Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas
dari pantai hingga ke daerah pedalaman.
Menurut
T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan
bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat
Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M.
Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini
terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung
Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa
kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan
sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih
menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun
demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan
laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak
kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu
bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya
merujuk pada “Lamreh” di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri
sendiri berada di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung
Pande sekarang ini dengan nama Kandang Aceh.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak
pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar
tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi
sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun
943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah
kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai
kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban
untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga
datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.
Menurut
Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang
oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada akhirnya,
Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun telah
memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut
mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti
sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti
Kerajaan Chola.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat
pertama kali yang disinggahi oleh oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang
datang dari India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para
pendatang tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M
semua rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah
historiografi Hikayat Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah
Lamuri) merupakan daerah kedua di Pulau Sumatera yang diislamkan oleh Syaikh
Ismail sebelum ia mengislamkan Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa Kesultanan Lamiri jelas merupakan salah satu kerajaan
Islam di Aceh.
Menurut
Hikayat Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan
Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang
sultan di Aceh yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir
abad ke-15, pusat pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam
(kini dinamakan Kuta Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh.
Pemindahan tersebut dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya
pendangkalan muara sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal
dengan nama Kesultanan Makota Alam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta
dengan Kerajaan Pase,
Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamiang, dan Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M).
Jadi, bisa dikatakan bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal
berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah
satu desa di Kabupaten Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung
Lamreh.
2. Silsilah
(Masih dalam proses pengumpulan data)
3. Periode Pemerintahan
Kesultanan
Lamuri berumur sekitar lebih dari 6 abad karena terhitung sejak tahun 900-an
hingga tahun 1513. Kesultanan ini berakhir setelah menyatu bersama dengan
beberapa kerajaan lain di Aceh ke dalam Kesultanan Aceh Darussalam.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah
kekuasaan Kesultanan Lamuri mencakup daerah yang kini dikenal sebagai wilayah
administratif Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
Indonesia.
5. Struktur Pemerintahan
Struktur
pemerintahan Kesultanan Lamuri tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan
yang berlaku di Kesultanan Samudera Pasai karena kedua kesultanan ini memiliki
pola pemerintahan yang berdasarkan pada konsep Islam dan konsep maritim
(kelautan). Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Lamuri, sultan merupakan penguasa
yang tertinggi. Ia dibantu oleh sejumlah pejabat lainnya, yaitu seorang perdana
menteri, seorang bendahara, seorang komandan militer Angkatan Laut (dengan
gelar laksamana), seorang sekretaris, seorang kepala Mahkamah Agama (atau
disebut sebagai qadhi), dan beberapa orang syahbandar yang bertanggung
jawab pada urusan pelabuhan (biasanya juga berperan sebagai penghubung
komunikasi antara sultan dan pedagang-pedagang dari luar).
6. Kehidupan Sosial-Budaya
Kesultanan
Lamuri merupakan kerajaan laut agraris. Artinya, dasar kehidupan masyarakat di
kesultanan ini di samping mengandalkan hasil pertanian juga mengandalkan hasil
perdagangan yang dilakukan masyarakat sekitar dengan pedagang-pedagang dari
luar, seperti dari Arab, India, dan Cina. Hasil perdagangan yang dimaksud
berupa lada dan jenis rempah-rempah lain, emas, beras, dan hewan ternak.
Hasil-hasil perdagangan tersebut memang telah mengundang perhatian banyak
perdagangan dari luar untuk datang ke Lamuri dan wilayah Aceh secara
keseluruhan.
(HS/sej/36/12-07)
Sumber:
- “Kerajaan Lamuri”, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Lamuri, diakses tanggal 15 Desember 2007.
- “Pariwisata Nangroe Aceh Darussalam”, dalam http://www.tamanmini.com/anjungan/nad/pariwisata/kota_banda_aceh, diakses tanggal 15 Desember 2007.
- Sufi, Rusdi dan Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.