Mengikuti diskusi beberapa tulisan tentang
kepepimpinan wanita dan gender yang dimuat Serambi Indonesia dalam dua pekan
terakhir, membuat saya tertarik untuk ikut nimbrung dalam diskusi itu. Secara
umum dari beberapa tulisan tersebut--kalau saya tidak salah menyimpulkan--semua
bermuara pada tuntutan bagaimana nemempatkan perempuan untuk setara dengan
laki-laki dalam berbagai aktivitas, baik sebagai pemimpin maupun hak-hak sosial
lainnya.
Untuk diketahui polemik kepemimpinan wanita di Aceh bukan lagi masalah baru. Polemik mengenai boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin pernah terjadi sekitar 350 tahun yang lalu. Naiknya Ratu Safiatuddin (1641-1675 M) menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh Darussalam menggantikan suaminya Sultan Iskandar Sani (1636-1641 M) bukan tidak menimbulkan masalah, dengan diangkatnya Safiatuddin menjadi Sultanah di Kerajaraan Aceh telah menimbulkan polemik besar dan bahkan telah menuai konfik luar biasa di kalangan ulama Wujudiyah dan Syafiiah di Aceh kala itu. Ulama wujudiyah menentang habis kesultanan wanita di Aceh. Akan tetapi, setelah mangkatnya Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) para ulama wujudiyah di Aceh tidak lagi memiliki kekuatan politis, akibat kuatnya pengaruh Syeh Nuruddin Ar-Raniry yang kala itu telah menjabat Qadhi Malikul Adil (Mufti) kerajaan Aceh sejak naiknya Iskandar Sani menjadi Sultan.
Dengan demikian, Nuruddin Ar-Raniry yang dikenal penentang wujudiyah-meskipun ia seorang ulama bermazhab Syafii yang sebenarnya juga tidak membolehkan wanita menjadi hakim dan kepala negara-tapi demi kelanjutan kedudukannya sebagai Qadhi Malikul Adil di kerajaan Aceh setelah meninggalnya Sultan Iskandar Sani, Nuruddin Ar-Raniry melegalkan Ratu Safiatuddin naik menjadi Sultanah Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan yang melantik Safiatuddin menjadi Sultanah adalah Nuruddin Ar-Raniry sendiri dalam posisinya sebagai Qadhi Malikul Adil ketika itu.
Dengan diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah di Kerajaan Aceh sekaligus telah menimbulkan dua konflik besar di kalangan ulama yang sangat mengganggu jalannya roda pemerintahan kerajaan Aceh. Dua konflik itu, selain pertentangan Nuruddin Ar-Raniry yang menganggap ulama wujudiyah zindik, sehingga Nuruddin memfatwakan halal terhadap pembunuhan pengikut Wujudiyah di Aceh saat itu. Juga terjadinya konflik pro kontra para ulama terhadap pengankatan Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah yang telah dilegalkan oleh Nuruddin Ar-Raniry memimpin kerajaan Aceh. Dua konflik yang sempat memicu pada terjadinya pertumpahan darah ini adalah nuansa politik yang tidak menyenangkan yang telah dimainkan Nuruddin Ar-Raniry dalam sejarah Aceh, di samping tidak sedikit jasa Ar-Raniry lainnya yang harus diakui selama ulama asal Ranir India ini berada di Aceh hingga tahun 1644 M.
Setelah tiga tahun kepemimpinan Safiatuddin, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba menghilang dari Aceh, kembali ke negara asalnya Ranir India. Kepulangan Ar-Raniry secara mendadak ke Ranir India menurut Hujjah As Siddiq (2003) disebabkan kekalahannya dalam berargumen masalah keagamaan dengan seorang ulama Wujudiyah Sayf ar-Rijal, yang saat itu Sayf ar-Rijal baru saja kembali ke Aceh dari Surat India setelah beberapa tahun memperdalam ilmunya di sana. Diduga akibat kekalahan itu Nuruddin Ar-Raniry merasa malu sehingga secara diam-diam ia kembali ke negaranya. Dengan demikian posisi Qadhi Malikul Adil kerajaan Aceh yang sadang berada di bawah Sultanah Safiatuddin sementara dipegang oleh Sayf ar-Rijal sebelum kemudian diangkatnya Syech Abdul Rauf Syiah Kuala sebagai Mufti besar kerajaan di masa Sultanah Ratu Safiatuddin.
Menariknya lagi, pada kepulangan Syech Abdul Rauf Syiah Kuala ke Aceh tahun 1661 M dari menutut ilimunya di tanah Arab (Mekkah) membuat kalangan istana kerajaan Aceh jadi kalang kabut. Saat itu Ratu Syafiatuddin yang sudah diangkat sebagai Sultanah langsung mengutus utusannya untuk melobi Syech Abdul Rauf guna mengetahui apakah Abdul Rauf mendukung kepemimpinan wanita sebagai kepala negara di Kesultanan Aceh. Ternyata dalam hal ini Abdul Rauf mengambil sikap netral dan dapat bersekongkol dengan Sultanah Safiatuddin, hingga Syech Abdul Rauf diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil kerajaan Aceh oleh Syafiatuddin menggatikan Sayf al Rijal ulama Wujudiyah asal Miang Kabau yang sebelumnya juga pernah menjadi Qadhi Malikul Adil dikerajaan Aceh pada awal pemerintahan Sutan Iskandar Sani.
Persekongkolan Syech Abdul Rauf dalam mendukung Ratu Safiatuddin sebagai Sultanah (kepala negara wanita) di kerajaan Aceh sepertinya tak bisa dibantahkan. Hal itu terbukti Abdul Rauf bersedia menulis sebuah kitab khusus Mir’at al Thullab yang kemudian kitab itu dipersembahkan kepada Sultanah Safiatuddin. Kitab ini adalah sebuah kitab Fiqh terlengkap karya Syech Abdul Rauf Syiah Kuala. Akan tetapi karena Mir’ar al Thullab ini merupakan kitab pesanan dari Sultanah Safiatuddin, maka dalam kitab tersebut menurur Azyumardi Azra (1994) tidak satu bagian pun yang menyinggung masalah hukum Islam boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin. Yang dikemukakan Abdul Rauf dalam kitab ini malah wanita dibolehkan menjadi hakim. Ini berarti secara tidak langsung dalam kitab tersebut Abdul Rauf ikut membolehkan wanita jadi pemimpin. Pendapat Syech Abdul Rauf ini sebenarnya sangat berbeda dengan kitab Fiqh Syafi’i lainnya yang menyatakan wanita tidak boleh menjadi hakim atau kepala negara.
Dalam hal ini, Syech Abdul Rauf tampaknya sengaja tidak memberikan fatwa lebih jelas dalam kitab Mir’at al Thullab mengenai syarat-syarat untuk menjadi penguasa atau pemimpin. Jadi sedikit banyak, Syech Abdul Rauf Syiah Kuala-seperti juga Syech Nuruddin Ar-Raniry-dapat dituduh telah mengkompromikan integritas intelektual dan keulamaannya bukan hanya telah menerima pemerintahan seorang wanita di kerajaan Aceh, malainkan kedua ulama ini juga seperti sengaja tidak memecahkan masalah kepemimpinan wanita secara lebih bijaksana.
Padahal, kasus kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh saat itu bukan tidak berpengaruh pada kemunduran kekuasaan dan peradaban Aceh setelah mencapai puncak kejayaan masa Sultan Iskancar Muda. Malah kita bisa mengindikasikan bahwa awal terjadi runtuhnya Kerajaan Aceh Darussalam sebenarnya jutru ketika Kesultanan Aceh di pegang oleh wanita, yang dimulai dari Sultanah Ratu Safiatuddin hingga tiga Sultanah selanjutnya. Meskipun pemerintahan empat Sultanah ini relatif lama, tapi satu persatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Aceh di Semenanjung Melayu dan Sumatera saat melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. Hal ini disebabkan makin melemahnya pertahanan keamanan kerajaan Aceh, di samping ketidakstabilan politik dalam negeri Aceh yang diakibatkan oleh kekacauan agama dan politik yang tak mampu dikendalikan para Sultanah sebagai pemimpin kerajaan Aceh ketika itu.
Akibatnya stabilitas politik dan keamanan kerajaan makin tak terkendali. Sehingga satu per satu wilayah taklukan kerajaan Aceh saat itu lepas dari kekuasaan kerajaan Aceh.
Semua
itu membuktikan bahwa wanita memang tidak kuat untuk bertahta. Rasulullah
memang tidak mengatakan secara tegas wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Nabi
hanya mengatakan, “Sungguh tidak beruntung bila suatu kaum menyerahkan urusan
kepemimpinan mereka kepada wanita”.
Itu sebabnya, mengapa sebagian para ulama kerajaan Aceh dulu, terutama kalangan ulama wujudiah menentang diangkatnya wanita menjadi Sultanah untuk memimpin negara. Tentu saja, penentangan itu selain didasarkan pada hadis di atas, yang kemudian penentangan itu ternyata juga dikuatkan sebuah fatwa ulama Mekkah yang dikirim khusus untuk kerajaan Aceh, yang isi fatwanya adalah bertentangan dengan syariat bila sebuah kerajaan Islam diperintah oleh wanita. Dengan datangnya fatwa ini, maka berakhirlah rezim kepemimpinan wanita di Kesultanan kerajaan Aceh.