I
Berdasarkan karya-karya penulis asing dan penulis Melayu tentang sejarah Aceh dan sejarah negeri-negeri di Semenanjung Tanah Melayu, dapat diketahui bahwa hubungan antara Kerajaan Aceh yang berlokasi di bagian paling utara Pulau Sumatra dengan Kerajaan Johor di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu telah terjalin semenjak abad ke XVI. Tetapi, hubungan ini ternyata bukanlah semata hubungan yang harmonis atau menyenangkan bagi kedua belah pihak. Karena seperti dipaparkan dalam hampir semua sumber-sumber sejarah itu, lebih banyak menginformasikan tentang konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi di antara kedua kerajaan. Dari sejumlah fakta yang terdapat dalam sumber-sumber itu dapat diinterpretasi penyebab atau punca mengapa sampai terjadinya konflik tersebut.
Berdasarkan karya-karya penulis asing dan penulis Melayu tentang sejarah Aceh dan sejarah negeri-negeri di Semenanjung Tanah Melayu, dapat diketahui bahwa hubungan antara Kerajaan Aceh yang berlokasi di bagian paling utara Pulau Sumatra dengan Kerajaan Johor di bagian selatan Semenanjung Tanah Melayu telah terjalin semenjak abad ke XVI. Tetapi, hubungan ini ternyata bukanlah semata hubungan yang harmonis atau menyenangkan bagi kedua belah pihak. Karena seperti dipaparkan dalam hampir semua sumber-sumber sejarah itu, lebih banyak menginformasikan tentang konflik-konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi di antara kedua kerajaan. Dari sejumlah fakta yang terdapat dalam sumber-sumber itu dapat diinterpretasi penyebab atau punca mengapa sampai terjadinya konflik tersebut.
Pada
umumnya semua peristiwa sejarah, termasuk peristiwa konflik yang terjadi antara
Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Johor disebabkan oleh beberapa faktor. Namun di
antara faktor-faktor penyebab itu, terdapat faktor yang paling dominan atau
menonjol. Dalam kasus peritiswa konflik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan
Johor diperkirakan penyebabnya antara lain; adanya perebutan kuasa dalam
hegemoni perniagaan di kawasan Selat Melaka di antara beberapa Kerajaan Melayu
di samping itu peningkatan maruah kekuasaan masing-masing kerajaan yang berbeda
kepentingan juga menjadi salah satu penyebab. Sedangkan faktor yang paling
dominan dalam hal ini karena kehadiran pihak barat (orang-orang Portugis) yang
mempunyai kepentingan tersendiri. Untuk kepentingannya pihak Portugis melakukan
bermacam cara, termasuk menciptakan pertikaian dan permusuhan serta
membiarkannya terus terjadi di antara sesama Kerajaan Melayu yang penduduknya
sama-sama penganut agama Islam.
Usaha
Portugis “mengadu domba” dan memprovokasi sesama Kerajaan Melayu supaya mereka
tidak bersatu dan tetap bertikai satu dengan yang lainnya, berhasil mereka
lakukan. Karena ternyata kerajaan-kerajaan Melayu Islam yang merupakan
musuh-musuh Portugis di kawasan Selat Melaka seperti Aceh dan Johor tidak
pernah kompak dan sungguh-sungguh bersatu untuk sama-sama menghadapi Portugis
yang telah merusak tatanan dalam sistem perdagangan di kawasan Selat Melaka.
Malahan, akibat kehadiran dan campur tangan Portugis terhadap
persoalan-persoalan intern dan ekstern yang dihadapi oleh kerajaan-kerajaan
Melayu lebih memperparah pertikaian dan menjadikan mereka tetap bermusuhan satu
dengan yang lainnya. Di sinilah letak kelihaian dan keunggulan pihak Portugis
sehingga mereka dapat tetap eksis berkuasa di Bandar Melaka lebih dari satu
abad (1511-1641). Semua tindakan Portugis dilakukan demi kepentingan misinya
sesuai dengan tujuan dan maksud kedatangan mereka ke Nusantara.
II
Selat Melaka merupakan jalur perniagaan yang ramai yang banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negeri di Asia. Negeri-negeri yang ada di sepanjang perairan Selat Melaka, silih berganti menempati kedudukan sebagai bandar/pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal yang lewat di sana untuk mengambil perbekalan dan sekaligus dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berniaga dan kepentingan-kepentingan lainnya. Salah satu negeri yang terkenal di kawasan itu ialah Melaka. Sudah semenjak awal abad ke-15 Melaka dijadikan sebagai sentral perdagangan oleh para pedagang yang berasal dari berbagai negeri, baik dari barat (Timur Tengah dan India), maupun dari negeri Cina di Timur dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Melaka juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh pedagang muslim yang berasal dari negeri-negeri Timur Tengah, India, dan negeri-negeri Asia Tenggara yang penduduknya telah memeluk agama Islam. Karena fungsi dan kedudukannya itu, maka negeri Melaka pada waktu itu dapat disebut sebagai pemimpin dalam kemaraan Islam di kawasan Selat Melaka. Hal ini dapat dicapai melalui perniagaan dan juga karena terdapat perkawinan-perkawinan di antara keluarga sesama penguasa kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Situasi keharmonisan dan ketentraman hubungan perniagaan yang terdapat pada negeri-negeri di kawasan Selat Melaka, berlangsung sepanjang abad ke-15 M. Situasi yang demikian baru terusik ketika datangnya bangsa barat (Portugis) pertama kali ke wilayah itu.
Selat Melaka merupakan jalur perniagaan yang ramai yang banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negeri di Asia. Negeri-negeri yang ada di sepanjang perairan Selat Melaka, silih berganti menempati kedudukan sebagai bandar/pelabuhan yang disinggahi oleh banyak kapal yang lewat di sana untuk mengambil perbekalan dan sekaligus dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berniaga dan kepentingan-kepentingan lainnya. Salah satu negeri yang terkenal di kawasan itu ialah Melaka. Sudah semenjak awal abad ke-15 Melaka dijadikan sebagai sentral perdagangan oleh para pedagang yang berasal dari berbagai negeri, baik dari barat (Timur Tengah dan India), maupun dari negeri Cina di Timur dan negeri-negeri di Asia Tenggara. Selain itu, Melaka juga dijadikan pusat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh pedagang muslim yang berasal dari negeri-negeri Timur Tengah, India, dan negeri-negeri Asia Tenggara yang penduduknya telah memeluk agama Islam. Karena fungsi dan kedudukannya itu, maka negeri Melaka pada waktu itu dapat disebut sebagai pemimpin dalam kemaraan Islam di kawasan Selat Melaka. Hal ini dapat dicapai melalui perniagaan dan juga karena terdapat perkawinan-perkawinan di antara keluarga sesama penguasa kerajaan-kerajaan di wilayah itu. Situasi keharmonisan dan ketentraman hubungan perniagaan yang terdapat pada negeri-negeri di kawasan Selat Melaka, berlangsung sepanjang abad ke-15 M. Situasi yang demikian baru terusik ketika datangnya bangsa barat (Portugis) pertama kali ke wilayah itu.
Orang-orang
Portugis muncul pertama kali di Asia Tenggara pada awal abad ke-16 Masehi;
tepatnya pada tahun 1509. Maksud dan tujuan kedatangan mereka yang utama adalah
untuk memerangi orang-orang Islam yang dalam istilah mereka disebut dengan
orang Moor, sebagai lanjutan dari Perang Salib (Perang antara orang Kristen dan
orang Islam). Portugis semua orang Islam adalah orang Moor dan musuh mereka.
Selain itu, Portugis juga bermaksud meng-hancurkan perdagangan
saudagar-saudagar Islam dimanapun berada sehingga mereka dapat memegang kendali
dalam perdagangan, khususnya di kawasan Asia Tenggara yang terkenal memiliki
berbagai komoditi yang sangat diperlukan di pasaran Eropah.
Untuk
maksud tersebut sejak awal kedatangannya Portugis berusaha menguasai jalur
perdagangan Selat Melaka dan merebut kota Melaka yang sangat strategis dari
orang-orang Islam. Pada tahun 1511 Portugis melancarkan suatu serangan hebat ke
atas kota Melaka dan mereka berhasil menguasainya. Dengan didudukinya Melaka
berakibat timbulnya kegoncangan dalam jaringan perdagangan di kawasan Selat
Melaka, khususnya di kalangan pedagang-pedagang Islam. Lebih-lebih karena
Portugis tidak senang berhubungan dagang dengan para pedagang Islam. Mereka
lebih menyukai berdagang dengan pedagang-pedagang yang bukan beragama Islam. Akibatnya,
para pedagang Islam terpaksa menyingkir dari Melaka. Mereka terpaksa mencari
tempat-tempat lain yang dianggap cocok sebagai pangkalan dagangnya di kawasan
Selat Melaka. Tempat-tempat yang dituju antara lain Johor di semenanjung Tanah
Melayu dan Aceh di ujung bagian utara Pulau Sumatra. Kemudian dalam
perkembangannya kedua tempat ini muncul dan berkembang menjadi bandar
perdagangan baru bagi saudagar-saudagar Islam dan dijadikan tumpuan mereka
sebagai pengganti Melaka yang telah dikuasai oleh Portugis.
Setelah
Melaka dikuasai Potugis keluarga Sultan Melaka hijrah ke negeri Johor dan
melanjutkan kesinambungan Kesultanan Melaka di tempat yang baru ini. Oleh
karena itu, negeri Johor dianggap sebagai pengganti Kesultanan Melaka, sehingga
paling beralasan untuk memusuhi Portugis dan berupaya untuk mengusirnya kembali
dari Melaka. Untuk itu, berulangkali Johor melancarkan serangan terhadap
kedudukan Portugis di Melaka. Hal ini dilakukannya mulai tahun 1515, tahun
1516, 1519, 1524 dan dilanjutkan pada tahun 1533. Dan pada tahun 1551 angkatan
perang Johor dengan dibantu oleh negeri Perak, Pahang, dan Jawa Jepara
melancarkan suatu serangan secara besar-besaran untuk merampas kembali Melaka
dari tangan Portugis. Namun semua penyerangan yang dilakukan mengalami
kegagalan sehingga Portugis tetap bercokol di Melaka. Baru pada tahun 1641
ketika pihak lain, yaitu Belanda menyerang Melaka untuk merebutnya dari tangan
Portugis di mana Johor ikut memberi bantuan kepada Belanda, berhasil
mengalahkan Portugis. Sebaliknya, dalam upaya menghapus keturunan Sultan Melaka
yang sudah pindah ke negeri Johor, pihak Portugis juga melancarkan serangan ke
Johor. Penyerangan terhadap Johor juga berulangkali dilakukan Portugis, yaitu
tahun 1524, tahun 1526, 1535, 1576 dan tahun 1587. Meskipun Portugis bermusuhan
dengan Johor dan berulangkali terlibat peperangan, tetapi di antara keduanya
(Portugis dan Johor) pernah berbaikan. Hal ini terjadi karena kelihaian
Portugis mempengaruhi Johor ketika mereka menghadapi Aceh sebagai suatu
kekuatan baru di kawasan Selat Melaka.
Muncul
dan berkembangnya Kerajaan Aceh, berkaitan erat dengan penaklukkan Melaka oleh
Portugis pada tahun 1511 Masehi. Setelah Melaka dikuasai Portugis,
pedagang-pedagang Islam yang biasa berdagang di sana terpaksa menyingkir
mencari tempat lain yang cocok untuk tempat berdagang. Di antara mereka ada
yang datang ke Aceh. Dengan datangnya pedagang-pedagang Islam, Aceh menjadi
ramai dan berkembang sebagai salah satu bandar tempat berdagang serta tempat
penyiaran agama Islam untuk kawasan Nusantara pengganti Melaka. Selanjutnya,
dengan potensi yang dimilikinya, Aceh semakin berkembang, menjadi kaya dan
kuat. Karena kaya dan memiliki kekuatan sehingga timbul hasrat untuk memperluas
kuasanya, baik ke Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatra maupun ke Semenanjung
Tanah Melayu. Selain itu, yang paling didambakan oleh Aceh ialah mengeyahkan
Portugis di kawasan Selat Melaka.
Sama
halnya dengan negeri Johor, Kerajaan Aceh juga berulangkali mencoba melakukan
penyerangan terhadap Portugis di Melaka dan di tempat-tempat lain di kawasan
Selat Melaka. Penyerangan pertama terhadap Portugis dilakukan pada tahun 1524
yang pada waktu itu sedang berada di Kerajaan Pasai. Pada tahun 1547 Melaka
Portugis menjadi sasaran penyerangan pihak Aceh, namun karena negeri-negeri
Melayu seperti Johor yang mengetahui penyerangan ini diam saja, tidak membantu
Aceh, malah sebaliknya mereka berpihak kepada Portugis menyebabkan penyerangan
ini gagal. Dalam hal ini Portugis berjaya memecah belah antara Johor dengan
Aceh. Penyerangan berikutnya dilakukan pihak Aceh pada tahun 1568. Meskipun
penyerangan ini dilakukan secara besar-besaran yang dibantu oleh tentara
bayaran/sewaan, seperti Turki, Malabar, dan Abbessinia, tetapi Aceh juga tidak
mampu mengusir Portugis dari Melaka. Pada tahun 1577 lagi-lagi Aceh menyerang
Portugis di Melaka, tetapi juga tidak berhasil. Demikian juga penyerangan yang
dilakukan pada tahun 1615 dan penyerangan yang paling besar pada tahun 1629.
Kesemuanya tidak berhasil mengusir Portugis dari Melaka.
Selain
melakukan penyerangan terhadap Portugis, Aceh juga melakukan sejumlah ekspansi
ke daerah-daerah yang berpotensi ekonomi, baik di Pantai Timur dan Pantai Barat
Sumatra maupun ke negeri-begeri di Semenanjung. Maksud ekspansi ini, selain
untuk kepentingan ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap kekuatan Portugis
di Melaka dan kelemahan-kelemahan Sultan-sultan Melayu dalam menghadapi pihak
Portugis. Lebih-lebih karena Portugis sering mengadakan hubungan tertentu untuk
mencari pengaruh atas kerajaan-kerajaan yang lemah di Semenanjung Tanah Melayu.
Akibatnya, setiap Kerajaan Melayu yang berhubungan dengan Portugis dimusuhi
oleh Aceh. Sementara kerajaan-kerajaan itu menginginkan agar mereka dapat bebas
berhubungan dengan siapa saja yang dianggap membawa keuntungan bagi mereka.
Oleh karena adanya perbedaan kepentingan, maka timbullah persaingan dan
pertikaian yang terus menerus antara Kerajaan Aceh dengan kerajaan-kerajaan
Melayu, khususnya dengan Kerajaan Johor di Semenanjung.
Pada
tahun 1539 Kerajaan Aru di Pantai Timur Sumatra diserang Kerajaan Aceh dengan
alasan karena Aru berhubungan dengan Portugis. Padahal Kerajaan Aru merupakan
daerah taklukan Johor di Sumatra. Akibat penyerangan ini Johor dan
sekutu-sekutunya mencurigai dan tidak senang terhadap Kerajaan Aceh. Hal ini
kemudian berkembang menjadi permusuhan yang membawa keuntungan besar bagi
Portugis sehingga ia dapat mencegah musuh-musuhnya (kerajaan-kerajaan Melayu)
untuk bersatu dalam menentang mereka. Dengan alasan karena Johor membantu
Portugis ketika Aceh menyerang Melaka pada tahun 1547, maka pada tahun 1564
Aceh menyerang Johor dan berhasil menjadikan Johor untuk beberapa tahun sebagai
vazal Kerajaan Aceh. Penyerangan terhadap Johor juga dimaksudkan oleh Aceh
sebagai persiapan untuk menyerang kembali Portugis di Melaka, supaya Johor
tidak berkesempatan membantu Portugis seperti pada tahun 1547.
Setiap
kerajaan yang bersahabat dengan Portugis di Melaka atau memberi kesempatan
berdagang di kerajaannya, dimusuhi oleh Kerajaan Aceh. Demikianlah Kerajaan Johor
sebagai salah satu kerajaan berpengaruh di Semenanjung Tanah Melayu karena
pernah mengadakan persahabatan dengan Portugis, maka selalu bermusuhan dengan
Kerajaan Aceh dan sebagaimana telah disebutkan, Johor sering mendapat serangan
pihak Aceh. Kadang-kadang memang terjadi suatu hubungan baik antara kedua
kerajaan, meskipun kemudian terjadi permusuhan lagi. Contohnya, dapat dilihat,
ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada
tahun 1613 Aceh menyerang Kota Batu Sawar dan berhasil menguasainya. Sultan
Johor (Sultan Alaudin) yang telah berusia lanjut menyingkir ke Pulau Bintan.
Tetapi, Sultan Muda yang disebut Raja Sabrang (Raja Abdullah) bersama
keluarganya dan juga 22 orang Belanda yang mencoba membantu Johor dapat ditangkap
dan dibawa ke Aceh.
Raja
Sabrang selama di Aceh, rupa-rupanya telah dapat meyakinkan Sultan Aceh bahwa
dia juga merupakan orang yang memusuhi Portugis seperti juga orang-orang Aceh.
Oleh karenanya, Sultan Aceh menaruh kepercayaan kepada Raja Sabrang dan
kemudian dia dikawinkan dengan saudara perempuan sultan. Setelah beberapa lama
di Aceh, pada September 1614 M Raja Sabrang bersama istrinya dikirim kembali ke
Johor yang diantar sekitar 2000 orang Aceh. Pengantar sebanyak ini dimaksudkan
untuk membangun kembali ibukota Kerajaan Johor (Batu Sawar) yang telah rusak
akibat diserang oleh tentara Aceh sebelumnya. Kemudian Raja Sabrang menjadi
sultan dengan gelar Sultan Hammat Shah. Setelah beberapa lama menduduki tahta
kerajaan, Sultan Hammat Shah mengadakan hubungan atau suatu perjanjian kerja
sama di bidang ekonomi dan politik dengan Portugis di Melaka yang diwakili oleh
Fernando da Costa. Hal ini menimbulkan kemarahan Sultan Aceh. Pada tahun 1615
pasukan Aceh yang sedang dipersiapkan untuk menyerang Melaka, dialihkan untuk
menggempur kembali Kerajaan Johor. Namun setelah tentara Aceh tiba di sana,
ibukota Kerajaan Johor telah dikosongkan. Sultan Hammat Shah bersama dengan
sebagian penduduknya yang telah mengetahui akan adanya serangan dari pihak Aceh
telah pindah ke Lingga, sebuah pulau di selatan Singapore.
Hubungan
baik antara Kerajaan Johor dengan Kerajaan Aceh pernah pula terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1637-1641) dan Sultan Abdul Jalil Shah III
(1623-1677), masing-masing selaku Sultan Aceh dan Sultan Johor. Dalam kitab
Bustanus Salatin karya Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa pada masa Iskandar
Thani, datang ke Kerajaan Aceh utusan dari Raja Johor yang dipimpin Paduka Raja
bersama dengan 4 orang hulubalang. Ketika menghadap sultan, utusan ini
menyerahkan surat Raja Johor dan persembahan-persembahan lainnya. Setelah
membaca surat itu sultan sangat gembira, sehingga ia memberikan berbagai hadiah
kepada utusan Johor itu. Selain itu, mereka juga diajak bersama sultan untuk bersama-sama
pergi negeri Pasai. Ketika telah kembali dari Pasai, Paduka Raja bersama dengan
4 orang hulubalang memohon diri kepada sultan untuk kembali ke Johor. Bersama
dengan kembalinya utusan Raja Johor, Sultan Iskandar Thani menitipkan
hadiah-hadiah untuk dipersembahkan kepada Raja Johor. Hadiah-hadiah ini antara
lain berupa cincin-cincin intan, kancing dan anting-anting intan serta sejumlah
pakaian keemasan beserta beberapa ekor kuda dan keledai.
III
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber konflik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Johor disebabkan karena kehadiran pihak Portugis yang merusak kemapanan situasi di kawasan Selat Melaka. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh atas kerajaan-kerajaan Melayu lebih disebabkan karena kekhawatiran Aceh terhadap Portugis yang diperkirakan akan menguasai dan mempengaruhi kerajaan-kerajaan itu sehingga mereka akan berpihak kepada Portugis. kerajaan-kerajaan Melayu sendiri, seperti Johor sebenarnya juga tidak menyenangi kehadiran Portugis di kawasan Selat Melaka. Mereka juga bermusuhan dan berperang untuk mengusir Portugis di wilayah itu. Tetapi karena sikap Aceh yang tidak dapat dipahami lebih-lebih dalam melakukan ekspansi yang dinilai sangat arogan, menyebabkan kerajaa-kerajaan Melayu (Johor) tidak senang terhadap Aceh. Itulah sebabnya pula maka mereka kadang-kadang mau bersahabat/membantu Portugis ketika diserang oleh pihak Aceh. Jadi, dalam hal ini, adanya perbedaan persepsi dan kepentingan sebagai akibat kehadiran Portugis, menimbulkan konflik antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya Johor. Sekiranya kerajaan-kerajaan Melayu mau bersatu tentu akan mudah bagi mereka menghadapi musuhnya, Portugis. Dalam konflik yang berkepanjangan (abad ke XVI sampai dengan abad ke XVII), antara Aceh dengan Johor, kita dapat mengambil pelajaran daripadanya, bahwa persatuan dan kesatuan serta tenggang rasa di antara sesama orang Islam amat diperlukan.
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa sumber konflik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Johor disebabkan karena kehadiran pihak Portugis yang merusak kemapanan situasi di kawasan Selat Melaka. Ekspansi-ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh atas kerajaan-kerajaan Melayu lebih disebabkan karena kekhawatiran Aceh terhadap Portugis yang diperkirakan akan menguasai dan mempengaruhi kerajaan-kerajaan itu sehingga mereka akan berpihak kepada Portugis. kerajaan-kerajaan Melayu sendiri, seperti Johor sebenarnya juga tidak menyenangi kehadiran Portugis di kawasan Selat Melaka. Mereka juga bermusuhan dan berperang untuk mengusir Portugis di wilayah itu. Tetapi karena sikap Aceh yang tidak dapat dipahami lebih-lebih dalam melakukan ekspansi yang dinilai sangat arogan, menyebabkan kerajaa-kerajaan Melayu (Johor) tidak senang terhadap Aceh. Itulah sebabnya pula maka mereka kadang-kadang mau bersahabat/membantu Portugis ketika diserang oleh pihak Aceh. Jadi, dalam hal ini, adanya perbedaan persepsi dan kepentingan sebagai akibat kehadiran Portugis, menimbulkan konflik antara Aceh dengan kerajaan-kerajaan Melayu, khususnya Johor. Sekiranya kerajaan-kerajaan Melayu mau bersatu tentu akan mudah bagi mereka menghadapi musuhnya, Portugis. Dalam konflik yang berkepanjangan (abad ke XVI sampai dengan abad ke XVII), antara Aceh dengan Johor, kita dapat mengambil pelajaran daripadanya, bahwa persatuan dan kesatuan serta tenggang rasa di antara sesama orang Islam amat diperlukan.