Laksamana Keumalahatai merupakan
inisiator terbentuknya Pasukan Inong Balee, divisi tentara peempuan di Kerajaan
Aceh. Kesuksesannya memimpin pasukan itu mengantarnya menjadi seorang admiral
perempuan pertama di dunia.
Posisi
Aceh secara geografis di Selat Malaka membuat perairan Aceh banyak dilalui dan
dan disinggahi kapal asing untuk membeli rempah-rempah, baik secara resmi
maupun ilegal. Untuk menertibkan hal tersebut Kerajaan Aceh membentuk angkatan
laut yang tangguh dan diplomat handal.
Kedatangan kaum imperialis dan kolonialis kemudian membuat kekacauan di Selat Malaka, untuk itu Kerajaan Aceh harus mengambil tindakan. Bangsa asing pertama yang melakukan kontak dan berkonflik dengan Aceh adalah Portugis pada awal abad XVI. Portugis mencoba merebut Selat Malaka dari Aceh pada tahun 1511 masehi.
Waktu itu Portugis berusa melakukan intervensi teradap kerajaan-kerajaan di Selat Malaka, baik Aceh maupun Malaya, hingga kemudian Portugis berhasil merebut Malaka. Kerajaan Aceh kemudian berusaha mengusir bangsa asing tersebut dari kawasan Selat Malaka.
Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya “Laksamana Keumalahati” mengungkapkan, perlawanan Kerajaan Aceh dilakukan karena Portugis dianggap sebagai agresor yang telah merusak kedamaian dan jaringan perdagangan di kawasan Malaka. Konflik antara Aceh dengan Portugis berlangsung sepanjang abad XVI hingga XVII. Salah seorang yang memiliki peran dalam perlawanan terhadap Portugis itu adalah Keumalahayati.
Marie Van Zeggelen dalam buku “Oude Glorie” terbitan Uitgeverij Conserrne, Den Hag, 1935, menjelaskan, Keumalahayati adalah wanita yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh, yang memimpin armada laut pada masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah Al Mukamil (1589-1604). Sebelum diangkat menjadi admiral, Keumalahayati bertugas sebagai panglima pasukan perempuan (sipai inong) di kerajaan Aceh. Karena keberhasilannya memimpin pasukan perempuan, ia diangkat menjadi laksamana.
Keluarga Besar Laksamana
Laksamana Keumalahayati berasal dari keluarga yang juga laksamana. Ayah dan kakeknya juga merupakan pimpinan angkatan perang Kerajaan Aceh di laut. Hal itu terungkap dalam sebuah manuskrip tahun 1254 hijriah atau 1875 masehi yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia. Manuskrip itu menjelaskan, Keumalahayati berasal dari keluarga sulthan-sulthan Aceh terdahulu. Ayahnya bernama Mahmud Syah juga seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sulthan Salahuddin Syah yang memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 936 sampai 945 hijriah atau sekitar 1530 sampai 1539 masehi. Sulthan Slahuddin Syah merupakan putra dari Sulthan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513 – 1530) pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Diangkatnya Keumalahayati sebagai Laksamana juga tak lepas dari keadaan kerajaan Aceh waktu itu yang dipenuhi intrik untuk perebutan kekuasaan. Saat itu sulthan sudah berusia 94 tahun, karena itu muncul intrik di kalangan istana untuk menyiapkan pengganti sulthan bila sewaktu-waktu ia mangkat. Sulthan sangat menyadari hal itu, sehigga ia tak bisa percaya penuh kepada orang-orang di sekelilingnya.
Untuk menghindari intrik para petinggi kerajaan, maka pengangkata laksamana juga harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan, maka Keumalahayati dianggap sebagai orang yang netral untuk diangkat menjadi laksamana yang tak akan memperuncing keadaan perpolitikan di istana. Selain itu Keumalahayati juga dinilai memiliki darah pelaut turun temurun dari kakek dan ayahnya yang juga pernah menjabat sebagai admiral di Kerajaan Aceh.
Menurut Marie Van Zeggelen, pengangkatan Keumalahayati sebagai Laksamana bersamaan dengan pengangkatan seorang perempuan lainnya Cut Limpah sebagai pimpinan dewan rahasia istana, yang oleh Marie Van Zeggelen disebut sebagai “geheimtraad”.
Sebagai diangkat menjadi admiral, Laksamana Keumalahayati pernah menduduki jabatan sebagai panglima pasukan wanita (pasukan inong balee) yakni divisi tentara perempuan yang terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan saat Aceh melawan Portugis. Pembentukan pasukan perempuan tersebut merupakan idenya Keumalahayati. Ia menyampaikan maksudnya itu kepada sultan dengan alasan agar wanita juga diberi kesempatan untuk berjuan di medan perang membela bangsanya, serta bisa menuntut balas atas kematian suaminya.
Ide Keumalahayati itu diterima oleh sultah, dan dibentuklah sebuah divisi tentara wanita yang dinamai armada inong balee. Untuk menopang aramda tersebut, sulthan membekalinya dengan berbagai jenis senjata dan membangun benteng pertahanan sebagai pangkalan di daerah Krueng Raya. Benteng itu dinamai Kuta Inong Balee (Benteng Para Janda). Dengan jabatannya sebagai Laksamana, sejak diangkat Keumalahayati melakukan koordinasi dan mengkomandoi sejumlah pasukan laut (marinir) untuk mengawasi pelabuhan dan perairan yang berada di bawah kekuasaan Syahbandar Kerajaan Aceh.
Julius Jacobs dalam buku “Het Familie en Kampoengleven op Groot Atjeh” terbitan Leiden, 1894, mengungkapkan bawha, Jhon Davis dari Inggris yang menjadi nahkota pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumalahayati menjadi adminar menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada saat itu memiliki armada laut yang terdiri dari 100 kapal perang (galey), diantaranya ada yang berkapasitas muatan 400 sampai 500 penumpang yang dipimpin oleh Laksamana Keumalahayati.
Hal
yang sama juga diungkapkan T Braddel, dalam “On the History of Acheen” JIAEA
vol V Singapore tahun 1862. Braddel menulis:
“Pada awal abad XVII Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang sangat kuat. Kekuatan yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki angkatan lautnya, di samping pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya. Selain di Kerajaan Aceh sendiri yang beribukotakan Bandar Aceh Darussalam, kapal-kapal itu juga ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan atau pengaruh kerajaan tersebut, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu terdapat kapal yang besar, bahkan melebihi kapal-kapal yang dibuat di Eropa pada kurun waktu yang sama.”
Menahan de Houtman Bersaudara
Laksamana Keumalahayati merupakan perempuan dengan perawakan tinggi besar dan selalu bersikap tegas dalam setiap tindakannya. Sikap itu ditunjukkannya pada saat menangkap dan menahan kapal Belanda di perairan Aceh yan dinakkodai oleh Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Peristiwa penangkapan itu ditulis dalam berbagai buku sejarah tentang Aceh oleh sejarawan Barat, seperti Van Zeggelen (1835), Davis dan Jacob (1894) dan Tiele (1881)
P A Tiele dalam “Frederick de Houtman te Atjeh” terbitan De Indische Gids 1881 mengungkapkan, pada 21 Juni 1599 dua kapal Belanda yang bermana de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di pelabuhan ibu kota kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua bersaudara, yaitu Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman.
Mulanya kedua kapal itu mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena dihaapkan akan dapat membangunan perdagangan yang baik dengan harga yang baik dari rempah-rempah dan hasil alam lainnya di kerajaan Aceh, khususnya perdagangan lada.
Namun dalam perkembangannya, akibat hasutan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang sudah lebih dulu dekat dengan pihak Kerajaan Aceh, sehingga dijadikan penerjemah sulthan, mereka jadi tidak disenangi oleh sulthan. Pihak Aceh kemudian melakukan penyerangan terhadap yang sedang berada di kapal mereka. Yang menjadi pimpinan penyerangan itu tak lain adalah Laksamana Keumalahayati. Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh.
Frederick de Houtman mendekam dalam penjara kerajaan Aceh selama dua tahun. Dalam masa itu ia berhasil menyusun sebuah karya ilmiah berupa kamus Melayu – Belanda yang merupakan kamus Melayu – Belanda pertama dan tertua di dunia.
Tidak berapa lama setelah peristiwa itu, pada tanggal 21 November 1600 datan lagi utusan dagang Belanda ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus Van Caerden. Kedatang misi dagang kedua Belanda ini juga membawa petaka dan dinilai tidak bersahabat oleh Kerjaan Aceh, sehingga orang-orang Belanda itu diserang dan ditawan oleh Keumalahayati.
Tentang peristiwa itu ditulis Wap (1862) dalam buku “Het Gezantschap van de Sultan van Achin A” dan F Valentijn (1862) dalam buku “Oud en Nieuw Oos Indie I”. Keduanya mengungkapkan, sebelum memasuki perairan Aceh, kedua kapal Belanda itu melakukan tindakan yang ceroboh, yakni menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh setelah terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh. Hal itu membuat Sulthan Aceh berang.
Setelah peristiwa itu datang lagi rombongan kapal Belanda ke Aceh dibawah pimpinan Laksamana Jacob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan van Carden sebelumnya. Ketika merapat di pelabuhan Kerajaan Aceh pada 31 Juni 1601, mereka memperkenalkan diri sebagai orang dari Bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk berdagang dan membeli lada.
Begitu mengetahui bahwa rombongan itu adalah rombongan Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan pasukannya untuk menahan mereka dan memperlakukannya secara tidak baik. Laksamana Keumalahayati menjelaskan kepada mereka bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan sebuah kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran, karena itu sebagai ganti rugi, Sulthan Aceh memerintahkan untuk menawan setiap kapal Belanda yang datang ke Aceh. Tentang peristiwa itu juga ditulis Julius Jacobs dalam “Het Familie en Kampoengleven op Groot Atjeh” terbitan Leiden, 1894.