12 Mei 2012

7 WANITA ACEH DI PEPERANGAN


7 WANITA ACEH DI PEPERANGAN

1. Laksamana Malahayati

Pada waktu Sultan Alaidin Riayat Syah A l Mukamil memerintah Kerajaan Aceh Darussalam (1589 - 1604 M) terjadilah pertempuran laut di Teluk Aru, antara armada Selat Malaka Aceh dengan armada Portugis. Pertempuran dipimpin oleh Sultan dengan dibantu dua orang Lakseumana. Pertempuran Teluk Aru berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara sekitar 1000 orang prajurit dan dua orang laksamana Aceh mati syahid. Isteri dari salah seorang Lakseumana itu ialah Lakseumana Malahayati, yang pada waktu itu menjabat Komandan Protokol Istana Darud Dunia. Sekalipun kemenangan suatu pertempuran menimbulkan kegembiraan, namun bagi Malahayati, di samping kegembiraan, kehilangan suaminya adalah pula suatu kesedihan bercampur geram dan marah. Karena itu ia meminta kepada Sultan agar membentuk sebuah Armada Aceh yang prajuritnya seluruhnya terdiri dari para janda yang suaminya telah syahid dalam pertempuran Teluk Haru itu.
  Permintaannya dikabulkan, dan terbentuklah Armada Inong Balee (Armada Wanita Janda) dengan Malahayati sebagai Panglimanya, dan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai
pangkalan armada tersebut. Ketika muda, Malahayati mendapat pendidikan militer pada Pusat Pendidikan tentera Aceh yang bernama Pusat Pendidikan Asykar Baital Makdis, yang dilatih oleh para perwira dari Turki, dalam rangka kerja sama antara Turki dengan kerajaan Aceh Darussalam. Darah pelaut telah tumbuh dalam dirinya dari ayahdan kakeknya. Dalam pendidikan itulah ia bertemu dengan suaminya, dan menikah. Setelah selesai pendidikan, suaminya terus mengembangkan karir di laut, sementara ia menjadi komandan protokol istana, sampai ia diangkat menjadi panglima armada Inong Balee.
Peristiwa Houtman bersaudara telah mengangkat derajat Laksamana Malahayati ke puncak kegemilangan. Armada Inong Balee yang diperlengkapi dengan 100 buah kapal perang dan meriam-meriam, pada waktu itu merupakan sebuah armada yang kuat di Samudera AsiaTenggara. Armada kapal perang Belanda yang menyamar sebagai armada dagang yang dipimpin oleh Houtman bersaudara (Cornelis dan Frederijk), yang memasuki pelabuhan Banda Aceh dan diterima bersahabat, ternyata berkhianat terhadap kepercayaan Sultan dengan membuat manipulasi dagang, mengadakan pengacauan, menghasut, dan sebagainya. Sultan memerintahkan Malahayati menyelesaikan persoalan itu. Dalam pertempuran dengan kapal perang Belanda, Cornelis de Houtman mati ditikam Malahayati dan Frederijk ditawan.
Laksamana Malahayati bukan saja seorang panglima armada perang, tetapi juga seorang negarawan. Ketika negeri Belanda berusaha memperbaiki hubungan dengan kerajaan Aceh, datanglah utusan Belanda dengan membawa surat istimewa dari Prins Maurits, pemimpin negeri Belanda pada waktu itu. Untuk melakukan perundingan ditunjuk Malahayati oleh Sultan, dan ternyata memberikan hasil yang gemilang, antara lain dibukanya kedutaan Aceh di negeri Belanda dengan Duta Besar pertama Abdul Hamid. Demikianlah profil seorang wanita Aceh yang hidupn pada abad ke-17, di samping seorang panglima yang gagah berani, juga seorang diplomat yang cakap.

2. Teungku Fakinah

Selama perang Aceh melawan Belanda pada akhir abad ke-19 banyak sekali muncul pahlawan wanita, salah seorang di antaranya ialah Teungku Fakinah. Tetapi ia bukan hanya seorang pehlawan perang yang berani, melainkan juga seorang pendidik dan ulama. Sebelum Perang Teungku Fakinah membuka sebuah dayah (pesantren), ketika zaman perang ia tampil sebagai panglima perang yang disegani musuh, dan setelah kembali dari medan perang beliau kembali muncul sebagai ulama dan pendidik yang bekerja keras membangun kembali pendidikan pada pesantrennya yang porak poranda karena peperangan.
Ayah Teungku Fakinah adalah seorang pejabat tinggi kerajaan (umara) dan ibunya adalah anak seorang ulama besar, yang juga menjadi ulama. Karena itu tidak heran kalau Teungku Fakinah menjelma menjadi seorang panglima perang dan ulama besar. Ketika kecil dan remaja, Teungku Fakinah mendapat pendidikan Islam dan membaca Al-Qur'an dari ibunya, serta belajar kerajinan tangan dan ilmu-ilmu agama, ia juga pernah mendapat pendidikan militer menjelang pecahnya perang Aceh.
Setelah dewasa, Fakinah bersuamikan seorang perwira juga ulama bernama Teungku Ahmad, yang keduanya sebelum pecah perang mengajar pada Dayah Lampucok yang dibangun oleh ayah Fakinah. Teungku Ahmad, suami Fakinah, mati syahid dalam perang, dan sejak itu Teungku Fakinah berusaha untuk membentuk sebuah pasukan tentara setingkat Resimen (yang disebut Sukey).
Atas persetujuan Sultan terbentuklah Sukey Fakinah yang terdiri atas 4 batalyon (balang), dimana beliau sendiri menjadi panglimanya. Salah satu dari keempat batalyon dalam Sukey Fakinah itu, seluruh prajuritnya terdiri atas kaum wanita, sementara komandan-komandan kompi dan Regu pada batalyon-batalyon lain adalah juga dipimpin oleh wanita. Beliau ikut bertempur di berbagai medan perang dalam wilayah Aceh Besar, dan setelah lewat 10 tahun perang beliau turut bergerilya di pedalaman dengan beberapa pemimpin Aceh, termasuk bersama Sultan Muhammad Daud dan Tuangku Hasyim Banta Muda.
Salah satu peranan Teungku Fakinah yang perlu dicatat ialah, upayanya untuk menyadarkan T. Umar, suami kawan dekatnya Cut Nyak Dhien, untuk kembali ke pihak Aceh.
Kepada teman dekatnya itu beliau mengirim surat,
yang antara lain isinya sbb :

"Saya harap kepada Cutnyak agar menyuruh suami
Cutnyak, T. Umar, untuk memerangi wanita-wanita
yang sudah siap menanti di Kuala Lamdiran (maksudnya
Resimen Fakinah), sehingga akan dikatakan orang
bahwa dia adalah panglima yang berani, johan pahlawan
seperti yang digelarkan oleh musuh kita Belanda

Isi surat itu sangat menyegat perasaan Cut Nyak Dhien, dan mendorongnya untuk berusaha menyadarkan kembali suaminya. Lewat Do Karim, Cut Nyak Dhien mengirim pesan kepada suaminya, yang antara lain berbunyi:

"Apalagi Pang Karim, sampaikan kepada Teuku Umar,
bahwa Teungku Fakinah telah siap sedia menanti
kedatangan Teuku Umar di Lamdiran. Sekarang
barulah dinilai perjuanganmu cukup tinggi pria lawan
wanita, yang belum pernah terjadi pada masa nenek
moyang kita. Kafir sendiri segan memerangi wanita.
Karena itu, Teuku didesak berbuat demikian. Sudah
dahulu kuperingatkan : janganlah engkau menyusu
pada badak ".

Pesan Cut Nyak Dhien sangat menyentuh hati Teuku Umar, dan tidak berapa lama kemudian maka Teuku Umar kembali kepada bangsanya dengan membawa alat persenjataan
Belanda yang cukup banyak. Demikianlah, maka kemudian dalam umur yang cukup tua, seorang pahlawan dan ulama besar Teungku Fakinah berpulang kerahmatullah pada tanggal 3 Oktober 1933, dan dimakamkan di Lamdiran di tempat kelahirannya.

3. Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Aceh yang telah menjadi pahlawan Nasional, karena memang dalam tubuhnya bersemi semangat pahlawan yang luar biasa. Ketika masih bayi telah didendangkan ketelinganya dengan lagu-lagu yang dapat menanamkan semangat kepahlawanan. Ayahnya menceritakan kepadanya kehebatan para wanita Aceh di masa lalu, sehingga setelah ia tumbuh menjadi dewasa seperti telah ditakdirkan untuk menjadi srikandi, pahlawan bangsa.
Cut Nyak Dhien adalah puteri seorang uleebalang berdarah pahlawan, bernama Teuku Nanta Setia, penguasa VI Mukim Peukan Bada. Neneknya juga seorang bangsawan, Teuku Nanta Syekh, yang sangat dipercayai oleh Sultan Aceh! Suami Cut Nyak Dhien yang pertama ialah Teuku Ibrahim dari Lam Nga, Montasik, seorang pahlawan yang sangat ditakuti Belanda, yang syahid pada tahun 1873 setelah  hanya baru lima tahun menikah dengan Cut Nyak Dhien, dan meninggalkan seorang putri bernama Cutnyak Gambang.
Setelah beberapa tahun Cut Nyak Dhien menjanda, maka ia dipinang oleh seorang panglima muda, Teuku Umar, yang kebetulan cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri, Teuku
Nanta Syekh. Pada mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan Teuku Umar, tetapi atas desakan keluarga ia bersedia menjadi isteri Teuku Umar dengan syarat bahwa ia tidak lagi menjadi isteri penjaga rumah, tetapi dibolehkan ikut perang bersama suaminya dan pejuang-pejuang lainnya, yang hal itu disetujui oleh Teuku Umar.
DemikianJah, semenjak setelah perkawinannya, Cut Nyak Dhien terus berada di medan perang, melawan musuh untuk mempertahankan tanah airnya. Setelah Teuku Umar mati syahid di Meulaboh, maka pimpinan perang diambil alih olehnya. Bertahun-tahun ia berjihad dalam hutan, berpindah dari satu lembah ke lembah yang lain, sampai kemudian matanya buta.
Akhirnya pada tanggal 4 Nopember 1905, Cut Nyak Dhien, ditawan oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Van Vuuren. Dalam keadaan tertawan dan buta Cut Nyak Dhien masih tetap mengomandokan perang dari kamp tawanan di Banda Aceh. Kemudian beliau diasingkan ke tanah Jawa, dan di Sumedang Jawa Barat beliau wafat pada tanggal 6 Nopember 1908. Perjuangan Cut Nyak Dhien telah diabadikan alam beberapa buku, dan dalam film kolosal berjudul namanya: Cut Nyak Dhien.

4. Cut Meutia

Seperti halnya Cut Nyak Dhien, pejuang wanita Aceh Cut Meutia adalah pahlawan nasional, yang telah ditetapkan oleh pemerintah karena perjuangannya yang luar biasa dalam mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda. Seperti halnya Cut Nyak dhien, Cut Meutia juga mempunyai dua suami yang keduanya mati syahid sebagai panglima perang. Bedanya ialah, kalau Cut Nyak Dhien ditawan Belanda
dan dibuang ke luar daerah, maka Cut Meutia mati syahid dalam medan perang dalam usia terlalu muda, 30 tahun (1880-1910 M).
Orang tua Cut Meutia adalah Teuku Ben Daud, dan darah bangsawan yang kesatria dan ulama yang bersemangat jihad telah mengalir dalam dirinya dari moyang Teuku Ben Daud sendiri yang hidup sekitar 400 tahun sebelum Cut Meutia lahir, yaitu seorang tokoh bangsawan yang ulama, yang erat hubungannya dengan istana Darud Dunia di Banda Aceh, yang bernama Tok Bineh Blang. Disamping itu Cut Meutia dilahirkan dalam suasana perang (7 tahun setelah pecah perang), dimana ibunya senantiasa mendendangkan lagu-lagu yang menggelorakan semangat.
Mula-mula ia dikawinkan dengan Teuku Syamsyarif yang tidak dicintainya dan yang segera bercerai. Kemudian menikah dengan Teuku Cut Muhammad yang juga seorang pejuang dan panglima perang. Setelah suaminya mati syahid, atas wasiat suaminya itu Cut Meutia kawin dengan Pang Nanggroe, seorang pahlawan yang menjadi wakil suaminya Teuku Cut Muhammad, dan terus melanjutkan perjuangan suaminya yang telah syahid itu. Akhirnya Cut Meutia menjadi janda untuk kedua kalinya, setelah Pang Nanggrou syahid pula pada 26 September 1910, dan sebulan kemudian, 25 Oktober 1910, Cut Meutia syahid pula. Cut Meutia meninggalkan seorang putra dari suaminya Teuku Cut Muhammad, yang diberi nama T. Raja Sabi.

5. Pocut Meurah Intan

Di Desa Tegal Sari, Blora, di bawah kesejukan pepohonan yang rimbun merindang, berbaringlah jasad seorang pahlawan wanita, Pocut Meurah Intan, yang ditawan Belanda dalam perang kolonial di Aceh. Bersama puteranya Tuanku Nurdin dan pembantunya Pang Mahmud, Pocut Meurah Intan yang tubuhnya telah dikoyak-koyak oleh peluru musuh, bersemedi di Tegal Sari, jauh dari bumi kelahirannya, sejak tanggal 28 September 1937 sebagaimana tertulis pada batu nisannya (menurut surat Gubernur Jawa Tengah kepada Gubernur Jenderal di Bogor, bahwa beliau meninggal pada tanggal 19 September 1937).
Pocut Meurah Intan adalah puteri seorang bangsawan yang turut berjuang melawan tentera kolonial Belanda. Suaminya seorang turunan Sultan Aceh, bernama Tuanku Abdul Majid bin Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Syah Alam yang memerintah Aceh selama 28 tahun. Dari suaminya Pocut Meurah Intan mendapat putrera tiga orang, semuanya menjadi pahlawan perang Aceh, yaitu Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin. Pocut Meurah Intan adalah "ibu tiri" dari permaisuri Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah, Sultan terakhir dari kerajaan Aceh, yang setelah ditawan Belanda pada tahun 1903, lalu dibuang ke Ambon dan kemudian dipindahkan ke Batavia, dan meninggal disana.
Tentang bagaimana keperkasaan dan semangat juang mempertahankan tanah air yang menggelora dalam tubuh pahlawan wanita Pocut Meurah Intan, dengan panjang lebar telah ditulis oleh seorang wartawan dan pengarang Belanda terkenal, H.C. Zentgraaff, dalam bukunya ATJEH. Berikut adalah beberapa kutipan dari buku tersebut.
"Veltman yang terkenal dengan sebutan Tuan
Pedoman, seorang perwira yang baik had, pernah mengenai
seorang wanita Aceh turunan bangsawan,
namanya Pocut Meurah Intan. Wanita itu disangka
menyembunyikan sebilah keiewang di dalam lipatan
kainnya. Tiba-tiba ia mencabut rencongnya dan dengan
meneriakkan : "Kalau begitu biarlah kau mati syahid'
iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan
nampaknya kurang bemafsu untuk bertempur dengan
seorang wanita yang berlaku sebagai singa betina, yang
menikam kekiri dan kekanan, dan sebentar kemudian
wanita itupun jatuh terbaring di tanah "
"Ia mengalami luka-luka parah; ia memperoleh dua
buah tatakan di kepalanya dan dua buah di bahunya,
sedang salah satu urat ketingnya putus. Ia terbaring di
tanah, penuh dengan darah dan lumpurlaksanasetumpuk
daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan
yangmelihatnya, dengan perasaan penuh belas kasihan
berkata kepada komandannya : Bolehkah saya meiepaskan
tembakan pelepas nyawanya?, yang dibentak Veltman
dengan: Apa kau sudah gila? Lalupasukan meneruskan
perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu
meninggal di tangan bangsanya sendiri". Beberapa hari
telah berlalu, ketika Veltman berjalan-jalan di kedai
Biheu (dekat Padangtiji) disana ia mendengar bahwa
Pocut Meurah Intan bukan saja masih hidup, tetapi
bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh
penduduk kampung yang telah menyerah kepada
Belanda.
Untuk mengetahui hal itu yang sebenarnya, Veltman
memerintahkan untuk menggeledah rumah-rumah di
kampung. Setelah dicari dalam setiap rumah dalam arti
kata yang sebenarnya, ditemuilah wanita itu tubuhnya
dibalut dengan bermacam-macam kain dan kelihatannya
menyedihkan sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan
setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah sebab
banyak kehilangand arah dan tubuhnya menggigil;
ia mengerang karena kesakitan.
Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter,
lebih baik mati daripada tubuhnya dijamah seorang
"khapee". Veltman yang sangatpasih berbahasa Aceh,
lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang
amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya
ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya
dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif;
serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan
dapat sama-sama harga-menghargai, wanita itu membiarkan
dirinya dirawat oleh Veltman, dia membersihkan
luka-lukanya yang berulat, kemudian membalutnya
baik-baik "
Demikianlah sekilas gambaran dari perjuangan dan keberanian pahlawan Pocut Meurah Intan.

6. Pocut Baren

Dalam tahun-tahun Revolusi fisik 1945, di Aceh dibentuk satu lasykar rakyat yang sangat kuat persenjataannya dan amat tangguh organisasinya, bernama Divisi Rencong, di bawah pimpinan A . Hasjmy dan Nyak Neh Lhoknga. Dalam Divisi Rencong itu terdapat satu resimen Putri yang terdiri dari gadis remaja, bernama Resimen Pocut Baren, yang dibentuk pada tahun 1946, yang merupakan lasykar wanita pertama di Sumatera, dan mungkin di Indonesia.
Kepahlawanan Pocut Baren telah diangkat menjadi nama resimen tersebut. Pocut Baren adalah Puteri Teuku Cut Ahmad, Uleebalang Tungkop, lahir dalam kancah perang, tahun 1880. Darah kepahlawanan dari ayahnya mengalir ke dalam tubuh Pocut Baren. Dalam usia muda (7-14 tahun) ia selalu mengikuti ayahnya dalam berbagai medan perang di Aceh Barat, sehingga asap mesiu, dentuman meriam dan gemerincing keiewang tidaklah asing bagi remaja puteri itu.
Setelah usia dewasa, Pocut bersuamikan seorang Kejruen, yang menjadi Uleebalang Geume, di samping sebagai panglima perang di Woyla. Setelah suaminya syahid, Pocut menggantikan kedudukan suaminya, baik sebagai Uleebalang maupun sebagai panglima perang, dan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sambil dengan bijaksana memimpin pemerintahan di daerahnya. Waktu ia masih berusia sekitar 18 tahun, seorang janda yang luar biasa.
Pocut membangun sebuah benteng di "Gua Gunong Macang" yang menjadi markasnya, yang dari tempat itu ia melakukan gerilya dengan menyerang tiba-tiba pasukan patroli Belanda. Setiap kali patroli Belanda melewati wilayah markasnya, selalu Belanda terpaksa kembali dengan Membawa mayat serdadunya. Atas perintah Kapiten Heidens, Letnan Scheuler dari kesatuan Kuala Batee, Meulaboh, berkali-kali menyerang "Gunong Macang", tetapi tidak berhasil, sampai akhirnya ia (setelah mendapat persetujuan dari Kutaraja) membakar Gunong Macang dengan 2000 liter minyak tanah sehingga Kuta Gunong Macang menjadi lautan api. Akibatnya banyak yang mati, baik dari pasukan Pocut Baren maupun juga dari serdadu marsose yang terjebak dalam gua.
Di antara mayat-mayat yang ditemukan ialah mayat Teuku Cut Ahmad, ayah Pocut Baren. Adapun Posut Baren sendiri dapat menerobos pasukan marsose yang mengawal di pintu gua melalui suatu pertempuran yang sangat dahsyat. Setelah bebas dari "Neraka Gunong Macang" Pocut membangun kubu pertahanan baru, yang tidak lama kemudian ia telah menyerang pasukan Schleuler di Tanoh Mirah, pos Belanda yang telah diperkuat dengan pasukan dari Meulaboh, Kutaraja dan dari Betawi.
Dalam suatu pertempuran yang berkecamuk sejak pagi buta sampai sore hari, kaki Pocut Baren tertembak, dan beliau ditawan karena tidak sempat dibawa lari oleh pasukannya. Beliau dibawa ke Meulaboh dan kemudian ke Kutaraja. Kakinya yang telah hancur kena pecahan peluru itu terpaksa dipotong, dan menjadi cacat. Jenderal van Daalen yang telah menjadi Gubernur Militer Aceh, telah menetapkan untuk membuang PocuT Baren ke tanah Jawa, tetapi seorang perwira Belanda, Kapten Veltman, yang telah mempelajari adat istiadat Aceh memberi
advis agar Pocut Baren tidak dibuang ke luar Aceh, sebab rakyat akan bertambah marah dan semangat perang mereka akan bertambah menyala.
            Akhirnya, Pocut Baren yang tidak jadi dibuang ke tanah Jawa, dan kaki kanannya yang cacat itu, menikah dengan Teuku Muda Rasyid, dan menetap di Tungkop sebagai Uleebalang Tungkop dan Geume. Pada tanggal 9 September 1912, Kapten Veltman bersama Letnan Gosensons datang ke Tungkop menemui Pocut Baren yang masih marah, untuk meminta maaf kepada Pocut Baren.
Setelah berjihad sejak masih amat muda dengan tidak mengenai lelah, setelah ditawan sebagai orang yang tidak mempunyai kaki sebelah, dan setelah memimpin pemerintahan di Tungkop dan Geume dengan berhasil, maka pada tahun 1933, dalam usia 53 tahun, pahlawan wanita dari Aceh, Pocut Baren, meninggal dunia, dan meninggalkan nama yang harum sepanjang masa.

7. Teungku Fatimah

Seperti telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa setelah Pang Nanggrou, suami Cut Meutia, mati syahid pada tanggal 24 September 1910, maka Cut Meutia melanjutkan perang grilya bersama putranya yang masih kecil, Teuku Raja Sabi. Namun Cut Meutia pun syahid sebulan kemudian, maka perjuangannya dilanjutkan oleh para panglima bawahannya, salah seorang di antaranya ialah Teungku Cutpo Fatimah, yang berjuang bersama suaminya Teungku di Barat.
Teungku Fatimah adalah anak Teungku Khatim seorang ulama. Teungku Fatimah dan Teungku di Barat (suaminya) adalah sama-sama murid dari Teungku Khatim. Teungku di Barat dan Teungku Fatimah adalah Panglima-panglima dari pasukan Cut Meutia-Pang Nanggrou. Seperti pahlawan wanita lainnya yang telah dibicarakan, Teungku Fatimah pun berperang di medan laga dengan gagah berani, bahu membahu dengan suaminya dan pejuang yang lain.
            Pertempuran antara lain berlangsung di hutan Pasai, di mana di tempat itu di dalam suatu pertempuran yang sangat sengit, Teungku Fatimah dan suaminya teungku di Barat mati
syahid bertindih mayat dengan disaksikan kayu-kayu perawan hutan Pasai dan diratapi kicauan burung-burung rimba. Itu terjadi pada tanggal 22 Pebruari 1912.

http://meukeutop.blogspot.com/2011/05/7-wanita-aceh-dalam-peperangan.html

1 komentar: