Bunga Rampai Aceh

Selamat Datang Di "Bunga Rampai Aceh" Http://ChaerolRiezal.Blogspot.Com

4 Februari 2014

Hubungan Kerajaan Aceh Darussalam Dan Kerajaan Melayu Malaysia



Oleh:

Wan Dian Armando

Amul Huzni

Sejak berabad-abad yang lalu, hubungan antara Aceh yang terletak di utara pulau Sumatera, Indonesia dengan semenanjung Tanah Melayu(Malaysia Barat) sudah terjalin sangat erat. Orang Aceh lebih senang menyebut Malaysia dengan sebutan Malaya. Sejak dahulu, jika ada yang mengatakan baru pulang dari Malaya adalah sesuatu yang menakjubkan dan dianggap sangat mulia. Namun demikian, sejarah mencatat bahwa kedua wilayah ini menjalin hubungan yang lebih erat, berkesan dan kadangkala tragis, disekitar abad 16-17 Masehi, yakni ketika Aceh terkenal sebagai kerajaan islam yang besar dan berpengaruh di Nusantara dan imperialisme Barat sedang giat   mengancam kerajaan-kerajaan islam di seluruh kawasan tersebut.

Oleh karena itu, untuk menilai hubungan antara Kerajaan Aceh dan Semenanjung Tanah Melayu, sangat relevan jika kita mengkaji tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi di masa itu akibat dari interaksi politik, ekonomi maupun agama di sekitar selat Melaka, tanpa , melupakan peranan para penjajah Barat dalam mewarnai suasana kala itu. Ujung dari semua itu, kita juga perlu mengkaji tentang motif yang tersirat dibalik hubungan antara kedua wilayah tersebut, bentuk-bentuk hubungan yang terjadi dan kesan-kesan yang timbul, baik positif maupun negatif.

Berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam

Kerajaan Aceh yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kerajaan islam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Dengan usahanya yang gigih, Sultan telah mempersatukan Daya, sebuah kerajaan di kawasan Aceh Barat, pada tahun 1520 M. Setelah berhasil mempersatukan Daya, Sultan melanjutkan usahanya. Usaha tersebut berhasil dengan ditaklukkannya Pidie pada tahun 1521 M dan Pasai serta Aru pada 1524 M. Setelah kerajaan-kerajaan tersebut berhasil ditaklukkan,  berdirilah sebuah kerajaan yang merdeka dan berdaulat bernama Aceh Darussalam.
Dalam perjalanannya, kerajaan Aceh Darussalam mengalami banyak peristiwa. Dari mulai peristiwa menyenangkan, seperti masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, sampai peristiwa-peristiwa tragis yang dialami sultan-sultan Aceh disekitaran tahun1579-1589. Dalam satu dekade ini, terjadi krisis politik yang serius hingga menyebabkan terbunuhnya 5 sultan yang berkuasa saat itu.(Amirul Hadi, 2010)

Sultan Ali Mughayat Syah tidak lama memerintah kerajaan tersebut. Namun, beliau berhasil membebaskan seluruh bumi Aceh dari cengkraman penjajahan Portugis. Selain itu, untuk melawan misionaris Kristen Portugis, Sultan meniupkan semangat jihad yang membara disanubari rakyat Aceh dengan memperkokoh pendidikan islam diseluruh wilayah pemerintahannya. Usaha sultan dalam  memperluas Kerajaan Aceh dan memerangi penjajah atas nama islam, diteruskan oleh beberapa sultan berikutnya.(Muliadi Nurdin, wikipedia 2012).

Kerajaan Aceh Darussalam dan Semenanjung Melayu (1537-1604 M)

Dalam proses memperluas wilayah dan memerangi Portugis yang berpangkalan di Malaka sejak 1511 M, mau tidak mau, Kerajaan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu. Dialah Sultan Alauddin Riayat Syah(1537-1568), yang kemudian digelar Al-Qahar(gagah perkasa) karena ketangkasan dan kegigihannya dalam menentang penjajahan Portugis. Beliau dilantik menjadi Sultan setelah menggulingkan saudaranya Sultan Salahuddin bin Sultan Ali Mughayat Syah, karena mengabaikan tugas-tugas pemerintahan dan terlalu lemah dalam menghadapi Portugis. Setelah berhasil mengalahkan Portugis, Sultan berniat menguasai Malaka, namun tidak berhasil. Setelah beliau wafat, daerah-daerah yang sudah dipersatukan mulai goyah, karena hasutan-hasutan Portugis. Sebagaimana kita ketahui, Portugis tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk mengadu domba penguasa-penguasa setempat. Kita mengenalnya dengan politik ‘devide et impera’. Untuk mengetahui alasan mengapa Portugis melakukan politik ini, alangkah baiknya terlebih dahulu kita membahas motif kedatangan mereka ke belahan bumi timur.
Sejak awal, ketika mereka meninggalkan Liberia dan Tanjung Pengharapan(Cope Of Good Hope) di selatan Afrika, semangat Perang Salib telah berkobar di jiwa mereka. Keberhasilan mereka dalam membebaskan tanah air dari penguasa islam, menimbulkan rasa bangga sekaligus ingin menaklukkan serta mengkristenkan  seluruh penduduk bumi Timur. Dan untuk memenuhi semua tujuan itu, mereka menghalalkan berbagai cara, baik itu merampok, menipu maupun mengadu domba antar penguasa setempat demi merampas semua kekayaan di kawasan timur. Sehubungan dengan hal itu pula, Portugis menghasut Aru agar memberontak terhadap pemerintah Aceh. Tetapi, Sultan Al-Qahar bertindak tegas. Dengan alasan ingin mengislamkan Sumatera Timur dan daerah Batak, Sultan menyerang Aru pada tahun 1579 M. Dalam penyerangan itu, pasukan sultan berhasil menaklukkan Aru. Namun, Ratu Aru sempat melarikan diri dan memohon perlindungan kepada Sultan Johor, setelah gagal memperoleh bantuan dari Portugis di Malaka. Sejak saat itulah, persaingan antara Kerajaan Aceh dan Johor memanas.

Perlu disebutkan disini bahwa Johor merupakan lanjutan dari Kesultanan Malaka, yang pernah berjaya disekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Pada masa itu, menguasai Aru merupakan hal yang sangat penting bagi kedua kerajaan ini. Bagi Aceh, Aru merupakan kawasan yang penting untuk memperluas wilayahnya ke Siak, tanah Batak dan seterusnya untuk menyerang Malaka, karena letaknya berhadapan langsung dengan Bandar perdagangan itu. Lagi pula, Aru harus ditaklukkan, karena ia telah berkali-kali dijadikan  pangkalan oleh Johor, Portugis maupun Batak untuk menyerang Aceh. Sedangkan bagi Johor, Aru merupakan ujung tombak dalam usahanya menguasai Sumatera Timur yang kaya akan lada dan memperluas kekuasaannya sebagaimana yang pernah dicapai oleh Malaka.

Pada tahun 1540 M, berkat hasutan Ratu Aru, Johor dengan sekutunya Bintan, Siak, Indragiri, Perak dan Pahang memulai serangan ke Kerajaan Aceh. Mereka bersekutu karena merasa tidak sanggup jika harus menghadapi armada Aceh yang terkenal dengan kehebatannya. Dalam satu pertempuran yang sengit di laut, Aceh berhasil dikalahkan oleh pihak sekutu itu. Walaupun saat itu Aceh berhasil dikalahkan, namun 7 tahun kemudian, Aceh berhasil membangun kembali armada yang kuat untuk kembali menyerang Malaka. Sultan Al-Qahar hampir berhasil. Anehnya, Perak dan Pahang yang sama-sama membenci Portugis karena telah merampas Malaka, tanah tumpah darah nenek moyang mereka, justru membantu Portugis untuk mengalahkan angkatan perang Aceh. Namun mereka terlambat, karena satu hari sebelumnya Portugis telah berhasil mengusir armada Aceh dari perairan Malaka. Peristiwa ini sangat penting, karena menggambarkan betapa takutnya kerajaan-kerajaan ini kepada Aceh. Mereka rela membantu bangsa asing yang kejam dan berbeda keyakinan demi mengalahkan Aceh yang masih seagama dan sebangsa. Hal ini juga membuktikan bahwa penguasa-penguasa islam di Nusantara ketika itu lebih mementingkan persoalan politik dan ekonomi masing-masing daripada kepentingan agama.(Muliadi Kurdi, 2003).

Bagi sultan Al-Qahar, kekalahannya di Malaka tidak akan menyurutkan tekadnya untuk terus merebut bandar itu dari Portugis. Sebelum beliau wafat, beliau telah menyiapkan pasukan yang besar dan terstruktur. Ia membentuk suatu liga bangsa-bangsa islam untuk mengusir Portugis dari Nusantara. Demi menambah kekuatan liga itu, beliau mempererat hubungan diplomasi dengan negara-negara islam, seperti Turki Utsmaniyah, Mughal di India, negeri-negeri Arab dan beberapa kerajaan islam di Jawa. Menurut Bustanus Shalatin, Sultan Turki Utsmaniyah yang bernama Sultan Rum, mengirimkan beberapa orang pakar untuk merakit senjata dan meriam ke Aceh. Dengan bantuan itu, Sultan mampu membentuk suatu angkatan bersenjata yang besar, yang belum pernah dicapai oleh sultan-sultan sebelumnya.

Tindakan pertama yang dilakukan Sultan Al-Qahar adalah menyerang Johor, sekutu Portugis, agar tidak dapat membantu Malaka  ketika bandar itu diserang nanti. Ia memulainya dengan mengusir semua pembesar Johor dari Aru. Kemudian ia menyerang Johor Lama, ibukota Johor saat itu. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1564. Sultan Alauddin II beserta keluarga dan beberapa pembesar Johor dibawa ke Aceh sebagai tawanan. Namun, Sultan Alauddin II akhirnya dibunuh karena tidak mau tunduk kepada pemerintah Aceh dan membantu memerangi Portugis. Jika kita amati, Kerajaan Aceh lebih sering menggunakan kekerasan dalam menghadapi lawannya, Namun demikian, Sultan Al-Qahar juga tidak kalah dalam hal diplomasi. Untuk mengambil hati lawannya agar mau tunduk kepada Kerajaan Aceh dan bekerjasama melawan Portugis, Sultan menikahkan putrinya dengan Raden Bahar, yaitu putera Alm. Sultan Alauddin II. Setelah itu, Raden Bahar dikembalikannya ke Johor untuk menjadi raja disana. Perkawinan yang didasarkan atas kepentingan politik seperti ini bukanlah hal baru. Ini biasa dilakukan masyarakat zaman dahulu, untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi. 

Tetapi, perdamaian antara Aceh dan Johor tidak bertahan lama karena Raden Bahar yang dinobatkan sebagai Sultan Muzaffar Syah menganggap Aceh sebagai musuh yang merusak negerinya. Raden Bahar menanti saat yang tepat untuk membalas dendam. Oleh karena itu, ketika Sultan Al-Qahar menyerang Malaka pada tahun 1568 M, Raden Bahar berangkat ke Malaka untuk membantu Portugis mematahkan serangan armada Aceh. Tapi, beliau terlambat. Angkatan laut Aceh telah meninggalkan Malaka sehari sebelumnya. Keterlibatan Johor dalam konflik antara Aceh dan Malaka, menyebabkan Sultan Al-Qahar marah besar. Karena itu, Sultan mengirimkan armada Aceh untuk menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1570 M.

Dari beberapa sumber yang kami amati, kesemuanya menceritakan hal yang sama. Bagaimana Kerajaan Aceh dan kerajaan-kerajaan Melayu Malaysia saling serang demi memperluas pengaruhnya kala itu. Tidak ada yang secara jelas melukiskan hubungan dalam bidang ekonomi maupun sosial. Karena keterbatasan kemampuan kami dalam menafsirkan maksud penulis sumber-sumber yang kami kutip, maka kami hanya sempat menuliskan sampai tahun 1570. Untuk penjelasan lebih lanjut, kami berharap kita semua bisa bekerjasama untuk lebih menggali lagi sumber-sumber yang ada. Namun ada satu hal yang menarik dari hubungan ini, yaitu cerita tentang Putroe Phang.

Putri Pahang dari Semenanjung Malaka Istri Sultan Iskandar Muda

Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, hubungan antara Kerajaan Aceh dan Kerajaan di Semenanjung Malaya bertambah baik dan erat, karena Kerajaan Aceh mengangkat Sultan Husein bin Sultan Ahmad Perak dengan gelar Sultan Iskandar Tsani Alaiddin Mughayat Syah sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda. Beliau memerintah selama 5 tahun dari tahun 1636-1641 M.  (M. Yunus Jamil, 2005). Hubungan antara Aceh dan Malaya terpelihara dengan baik seiring berjalannya waktu. Di antaranya yang sangat menarik untuk diperbincangkan adalah sumbangsih dan darmabakti dari budiwati Semenanjung Malaya, yaitu Srikandi Istana Kraton Darud Dunia yang bernama asli Puteri Djamilah. Beliau adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda yang lebih dikenal dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Puteri Pahang atau Putroe Phang. Atas inisiatif Putroe Phang lah lahir suatu peraturan yang diberi nama Qanun Putroe Phang. Qanun/peraturan ini berisi tata hidup dalam pergaulan dan kesejahteraan kaum wanita. Qanun ini juga dilampirkan dalam Undang-undang Kerajaan Aceh(Qanunul Asyi Alussunnah Wal Jama’ah) dan tetap diamalkan dalam kehidupan masyarakat Aceh hingga saat ini. Keadaan tersebut diabadikan dalam pepatah rakyat Aceh sebagai berikut:

Adat bak poteu muereuhoom

Hukoom bak syiah ulama

Qanun bak putroe phang

Reusam bak laksamana

Artinya:

Adat pada sultan

Hukum pada Syiah Kuala

Qanun pada Putroe Phang

Reusam pada Laksamana

Kesimpulan

Hubungan antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Melayu Malaysia telah terjalin sejak berabad-abad lalu. Hubungan itu lebih kepada hasrat memperluas daerah kekuasaan. Terjadinya hubungan itu tidak terlepas dari peran Portugis yang berusaha menguasai negeri-negeri islam di kawasan timur ketika itu. Hubungan tersebut terus terjadi hingga hari ini. Orang Aceh dan Orang Melayu Malaysia memiliki hubungan batin yang kuat. Sejak dulu, orang Aceh sangat bangga jika baru kembali dari Malaya.

Sumber:

Djamil, M. Yunus. (2005). Gerak Kebangkitan Aceh.ed.Anas. Jaya Mukti.

Hadi, Amirul. (2010). Aceh Sejarah, Budaya, dan Tradisi. Banda Aceh: Yayasan Obor Indonesia.

Kurdi, Muliadi. (2003). Aceh di Mata Sejarawan:Rekonstruksi Sejarah Sosial dan Budaya. Banda  Aceh.

http.www.wikipediaindonesia.co.id

Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Sejarah Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012 Banda Aceh – Darussalam.

1 komentar:

  1. mohon izin bg khairol rizal, bahannya saya ambel untuk pembuatan makalah sejarah aceh membukan hubungan dengan luar.

    BalasHapus