Sejarah
Dinasti Umayyah
Muncul Dan Upaya Pembentukkan Dinasti
Dinasti Umaiyyah
didirikan oleh Mu’awiyah Ibnu Khaldun Abi Sufyan. Upaya strategis yang ditempuh
Mu’awiyah untuk merebut kekuasaan dan sekaligus mendirikan Dinasti Umaiyyah
antara lain:
1. Pembentukan kekuatan militer di Syiria.
2. Politisasi tragedi pembunuhan Usman.
3. Tipu muslihat dalam arbitrase (pengambilan kebijakan).
Upaya strategis
tersebut di atas cukup efektif dalam memperkuat dukungan dan posisi Mu’awiyah,
sehingga pada akhirnya ia mampu mengalahkan kekuatan Hasqan Ibnu Khaldun Ali,
sekaligus menobatkan diri sebagai penguasa atas imperium Muslim. Dengan ini
tercapailah ambisi Mu’awiyah mendirikan dinasti yang baru.
Corak
Khusus Pemerintahan Dinasti Umayyah
Berdirinya
pemerintahan Dinasti Umaiyyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, di antaranya adalah perubahan
beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium
dan perkembangan umat Islam. Selain itu, pada masa Dinasti Umaiyyah terjadi
perubahan-perubahan yang mencolok yaitu:
1. Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah
dipilih oleh para pemuka dan tokoh sahabat di Madinah. Kemudian pemilihan
dilanjutkan dengan baiat oleh seluruh pemuka Arab. Hal serupa ini tidak pernah
terjadi pada masa pemerintahan Bani Umaiyyah. Semenjak Mu’awiyah, raja-raja
Umaiyyah yang berkuasa menunjuk penggantinya kelak dan para pemuka agama
diperintahkan menyatakan sumpah kesetiaan di hadapan sang raja. Sistem pengangkatan
penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran
permusyawaratan Islam.
2. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, baitul
mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, di mana setiap warga negara
memiliki hak yang sama terhadapnya, tetapi semenjak pemerintahan Mu’awiyah, baitul
mal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja. Seluruh raja
Dinasti Umaiyyah kecuali Umar Ibnu Khaldun Abdul Aziz memperlakukan baitul
mal sebagai harta kekayaan pribadi, yang mana sang raja berhak
membenlanjakannya sekehendak hati.
3. Selama masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, khalifah
senantiasa didampingi dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di
mana seluruh kebijaksanaan yang penting dimusyawarahkan secara terbuka, bahkan rakyat
biasa mempunyai hak menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Kebebasan
berpendapat dan kebebasan menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah
maupun corak yang dominan dalam pola pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Tradisi
dan kebebasan berpendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umaiyyah.
4. Raja-raja Dinasti Umaiyyah memunculkan kembali
fanatisme keluarga dan kesukuan.
5. Para penguasa senantiasa hidup dalam kemegahan istana
dan dijaga oleh puluhan pengawal istana.
Corak Penguasa dan Kebijakannya
1. Mu’awiyah
Mu’awiyah adalah
penguasa Islam yang pertama yang menggantikan sistem demokratis republik Islam
menjadi system monarkhis (kerajaan). Jadi Mu’awiyah adalah penguasa Islam yang
beribukota di Damaskus yang menandai berakhirnya sistem khalifah, dan berganti
dengan sistem kerajaan (mulk). Mu’awiyah adalah seorang administrator yang
piawai. Ia penguasa Islam pertama yang membentuk Biro Administrasi Negara yang
dinamakan Diwan al-Hattam. Membentuk dan menerbitkan jawatan pos yang
dinamakan Diwan al-Barid. Bekerja sama dengan Zaid, ia membentuk jawatan
kepolisian yang dinamakan al-Syurtha, memisahkan tata administrasi
kepidanaan dari tata administrasi non pidana. Ia mengangkat sejumlah pegawai
pada tingkat propinsi dan mengangkat pejabat khusus yang menanggungjawabi
pendapatan negara yang dinamakan Shahib al-Kharaj. Mu’awiyah juga
menetapkan sejumlah kebijaksanaan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui
sektor pajak, lalu mengambil sebagian dana tersebut untuk santunan fakir
miskin.
2. Yazid Ibnu Mu’awiyah
Ia menjadi seorang
raja karena ditunjuk oleh ayahnya berdasarkan garis keturunan. Karena itulah,
semasa pemerintahannya, ia banyak menghadapi pemberontakan. Dan peristiwa yang
paling besar terjadi adalah adanya Peristiwa Karbala, yaitu peringatan
terbunuhnya Husain, anak Ali bin Abu Thalib oleh Kaum Syi’ah. Ia berkuasa
selama tiga tahun enam bulan, namun sedikitpun tidak memberi kemajuan pada
Islam. Bahkan sebaliknya, yang timbul justru keretakan dan hilangnya kesatuan
umat Islam.
3. Mu’awiyah II
Ia menggantikan
jabatan ayahnya, sepeninggal Yazid. Tidak banyak yang diperbuatnya ketika
menjabat sebagai penguasa, karena selain ia tidak memiliki kecakapan sebagai
penguasa, juga karena masa jabatannya tidak lama, yakni beberapa bulan saja.
4. Marwan (64-66 H / 683-685 M)
Mu’awiyah tidak
meninggalkan seorang anak pun, sehingga proses suksesi agak berjalan lama.
Sekalipun terdapat saudara laki-laki Yazid yang bernama Khalid, namun Dewan
Istana mempertimbangkan perlu kehadiran seorang penguasa yang kuat untuk
menyelamatkan pemerintahan yang sedang kacau, karena itu dewan menunjuk Marwan,
dengan syarat, sepeninggal Marwan, jabatan penguasa akan beralih kepada Khalid.
Namun Marwan mengingkari janjinya, ia menunjuk putranya Abdul Malik sebagai
putra mahkota, dan ia juga menyakiti ibu Khalid yang telah diambil istri oleh
Marwan. Dan inilah yang melatarbelakangi pembunuhan Marwan oleh istrinya
sendiri setelah berkuasa selama empat tahun.
5. Abdul Malik (64-66 H / 683-685 M)
Selama masa
pemerintahannya, Abdul Malik memprakarsai beberapa upaya pembaharuan untuk
memperlancar administrasi pemerintahan. Pada masa nabi, seluruh dokumen yang
berkaitan perikehidupan bangsa Arab dicatat dalam bahasa Arab. Setelah bangsa
Persia, Syiria, dan Mesir bergabung dalam kekuasaan pemerintahan Islam,
khalifah Umar memperkenankan dokumen yang berkaitan dengan negeri-negeri
tersebut dikuasai oleh pribumi non muslim yang memahami bahasa mereka. Abdul
Malik menghapuskan bahasa mereka dan menetapkan bahasa Arab sebagai bahasa
resmi pemerintah. Pertama kali kebijakan ini diterapkan di Syiria dan Iraq,
belakangan juga diterapkan di Mesir dan Persia. Pembaharuan-pembaharuan yang
lain:
Perbaikan mata uang.
Pembaharuan ragam bahasa Arab.
Mengembangkan sistem pos yang sebelumnya telah
didirikan oleh Mu’awiyah.
6. Walid Ibnu Khaldun Abdul
Malik / Walid I (86-96 H / 705-715
M)
Walid I naik tahta di
Damaskus pada tahun 705 M. Pada masa pemerintahannya, dalam bidang ekspansi
kekuasaan, terjadi ekspansi yang sangat besar, baik ke wilayah timur maupun ke
wilayah barat. Wilayah yang ditaklukan antara lain:
Penaklukan Asia Tengah.
Penaklukan Indo-Pakistan.
Penaklukan Afrika.
Penaklukan Spanyol.
7. Sulaiman Ibnu Khaldun Abdul
Malik (96-99 H / 715-717 M)
Ia berkuasa selama 2
tahun dan tidak ada hal yang diperbuatnya. Di sisi lain, ia telah banyak
berbuat kesalahan. Satu kebijaksanaan yang dapat dicatat dari Sulaiman adalah
penunjukannya terhadap Umar Ibnu Khaldun Abdul Aziz sebagai penggantinya.
8. Umar Ibnu Abdul Aziz (99-101 H / 717-720 M)
Ia berusaha
menghapuskan ketidaksamaan kedudukan antara kelompok muslim Arab dengan muslim
non Arab. Ia juga mengambil kebijakan mengembalikan hak pensiun dan anak-anak
yatim pejuang Islam. Ia juga mengembalikan tuntutan masyarakat Kristen di
Damaskus.
9. Yazid II Ibnu Abdul Malik (101-105 H / 720-724 M)
Adanya konflik antar
Suku Mudariyah dengan Suku Himyariyah.
10. Hisyam Ibnu Abdul Malik (105-125 H / 724-743 M)
Terjadi Gerakan
Hasyimiyah yang mendapat dukungan dari orang-orang Turkoman dan kelompok Khajar
dari Afrika.
11. Walid II (125-126 H / 743-744 M)
Ia adalah raja yang
“bermuka dua” di balik sifatnya yang baik, tersimpan watak yang jahat dan
korup.
12. Yazid III
Ia adalah penguasa
yang saleh dan bertaqwa. Ia menuruti tuntutan rakyatnya untuk memecat para
pegawai yang korup dan memperkecil beban pajak.
13. Marwan II (127-132 H / 744-750 M)
Tindakan pertama yang
dilakukan Marwan II adalah memindahkan ibukota kerajaan dari Damaskus ke
Hassran untuk menjalin kekuatan pengikutnya di Syiria dan sebagai langkah untuk
menyatukan kembali kelompok-kelompok penentang. Ia berhasil memukul
pemberontakan di Palestina, yakni Sabit Ibn Na’im beserta keluarganya. Marwan
merupakan penguasa terakhir dari Dinasti Umaiyyah.
Akhir Dinasti
Terdapat banyak sebab
yang mendukung hancurnya Dinasti Umaiyyah, setelah berlangsung kurang lebih
sembilan puluh tahun. Sebab-sebab tersebut antara lain:
a. Ketidakcakapaan para penguasa, serta kejahatan
perilaku mereka.
b. Egoisme para pejabat pemerintahan dan terjadinya
sejumlah pembelotan militer.
c. Persaingan antar suku.
d. Tidak adanya mekanisme dan aturan baku mengenai
suksesi kepemimpinan.
e. Perlakuan yang tidak adil terhadap non Arab (mawali).
f. Propaganda dan gerakan Syiah.
g. Propaganda dan gerakan Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar